lautkelabu

— 77


Setelah mengantar sang mama dan Nayla ke mobilnya untuk pulang, padahal Utara sudah menyuruh keduanya menginap di apartemennya meski masih berantakan dan Nayla menolak karena besok ia masih harus bekerja dan malas bangun terlalu pagi untuk mengejar waktu sampai kantornya, dan mamanya tak tahan melihat berantakannya tempat tinggal Utara sedangkan ia tak boleh menyentuh apa pun dengan alasan Utara sudah membayar orang untuk membereskan itu semua hari Minggu nanti.

Utara kembali naik ke unitnya, namun belum benar-benar sampai di unitnya, Utara sudah menghentikan langkah, tepat di depan pintu unit Arion Janardana yang sedikit mengingatkan kembali pada apa yang terjadi malam itu, ketika ia menerobos masuk ke dalam, mengira itu pintu unit apartemennya, yang memulai situasi rumit ini sekarang.

Ia ingin kembali melangkah, lalu teringat pesan teks yang mereka lakukan siang tadi, saat Arion mengatakan bahwa ia sedang mengantar Elea berobat karena bocah itu panasnya semakin tinggi di pagi hari ketika bangun tidur. Setelah itu tak ada kabar lagi. Utara penasaran apakah Arion ada di dalam atau tidak, mengingat setelah berobat, katanya cowok itu mengantar Elea ke tempat neneknya karena ia harus kembali bekerja.

Tanpa berpikir panjang lagi, Utara menekan bel, menunggu respons.

Dua sampai tiga kali, tak ada respons, mengira kalau Arion juga mungkin ada ada di tempat mamanya dan tak pulang agak sedikit membuatnya kecewa. Tapi saat ia baru akan melangkah pergi dari sana, pintu tiba-tiba terbuka dan Arion bersama ponsel di telinganya muncul, tersenyum melihat Utara di sana.

“Hai,” sapa Arion tanpa suara, ia terlihat begitu serius menyimak percakapan di ujung telepon sana.

Utara membalas dengan senyum kikuk. “Lagi sibuk?” bisiknya.

Cowok itu menggeleng, lalu begitu saja menarik lembut tangan Utara seraya berujar tanpa suara, “Ayo masuk.” Dan Utara tak memberi perlawanan untuk menolak.

Ketika pintu di belakang tubuh Utara tertutup, tiba-tiba saja ia merinding, seperti baru saja mengambil keputusan untuk masuk ke kandang singa yang kelaparan, membuatnya takut tapi anehnya antusias menunggu. Agak gila, namun begitulah yang ia rasakan. Utara membiarkan Arion menyentuh punggungnya dengan santai ketika menuntunnya masuk ke dalam sementara cowok itu terus mengobrol dengan seseorang di balik ponselnya.

“Iya, Pak. Nanti coba saya cek lagi proposal. Kemarin saya dan tim udah coba cek data, semua aman. Tapi barangkali saya kelewatan satu hal, jadi akan saya cek lagi.” Dengan pakaian kasualnya, celana pendek dan kaus lengan pendek, Arion berbicara serius tentang pekerjaan, Utara nyaris kehilangan akan sehat karena dengan begitu pun ia bisa melihat aura seksi dan berkarisma seorang Arion Janardana. Bagaimana jika dengan pakaian rapi dengan kemeja, dasi, jas, serta sepatu pantofel mengilap yang hampir setiap hari dikenakan itu? Berbicara dengan serius di hadapan para klien pentingnya. Utara pasti sudah meneteskan air liur dengan membayangkan bisa memakan lelaki itu di ruang kerjanya.

“Ada jus mangga sama pizza di kulkas. Angetin aja pizza-nya di microwave, aku mau cek berkas dulu,” bisik Arion tepat di sebelah telinga Utara, menjauhkan sebentar ponselnya dari telinganya sebelum ia yang menjauh dari Utara dengan masuk ke salah satu ruangan yang Utara yakini dijadikan ruang kerja.

Utara membuang napas. Entah kenapa melihat Arion yg sibuk dan ia datang kemudian dicuekin merasa sebal, padahal ia datang pun hanya untuk sekadar menanyakan kabar Elea yang tak ia lihat keberadaannya sejak masuk ke sana, juga untuk membuktikan apakah Arion benar-benar merindukannya seperti yang lelaki itu katakan semalam.

Karena tak tahu harus apa, ia jadi mengikuti ucapan Arion untuk mengambil jus mangga dan pizza di dalam kulkas, menghangatkannya menggunakan microwave dan menuangkan ke dalam gelas serta menambahkan es batu pada jus mangga itu.

Setelah semuanya siap, ia membawanya menggunakan nampan ke ruangan di mana Arion belum juga keluar selama ia melakukan semuanya itu pada pizza dan jus mangga. Pintunya tak ditutup rapat, Utara mengetuknya dua kali sebelum melangkah masuk, dan Arion sedang duduk di kursinya, di hadapan meja bersama laptopnya dan ponselnya yang belum lepas dari telinganya. Lelaki itu berjengit melihat Utara masuk membawa nampan berisi piring dengan pizza dan gelas dengan jus mangga yang disodorkan padanya di atas meja.

Ruang tidur Arion sangat bernuansa maskulin yang siapa pun pasti bisa menebak hanya dengan sekali melihat desainnya kalau itu kamar tidur seorang lelaki. Tapi ruang kerja ini cukup berbeda, lebih cerah, dan banyak warna. Seperti ada dua dunia di sana. Satu sisi berisi buku koleksi Arion, dan sisi lainnya berisi tumpukan buku serta mainan milik Elea. Bocah itu pun punya mejanya sendiri, berwarna pink lengkap dengan segala pernak-pernik lucu lainnya. Utara menebak bahwa di ruangan inilah dua orang itu lebih banyak menghabiskan waktu. Elea yang belajar dan Arion yang mengatasinya sembari mengurus pekerjaan, mungkin dengan tatapan galak jika Elea menolak untuk belajar dan memilih bermain.

Utara menelusuri rak berisi buku milik Arion yang sebagian besar tentang bisnis dan keuangan, yang sangat tidak Utara ketahui. Ada beberapa buku tentang parenting juga yang membuat Utara diam-diam tersenyum dan hatinya menghangat. Ketika ia menoleh kembali pada Arion, lelaki itu masih sibuk dengan laptop dan ponselnya.

“Aku pulang, ya,” ujar Utara pelan, menghampiri lelaki itu.

“Nanti,” Arion membalas tanpa suara. Ia kembali fokus pada laptopnya, lalu berbicara pada ponselnya, Utara berniat pergi tanpa meminta persetujuan lelaki itu, namun belum sempat ia melakukannya, Arion tiba-tiba menariknya, membuatnya seketika duduk di pangkuan lelaki itu, dan tangan besar itu mendekapnya, membawa punggungnya rebah ke tubuh bagian depan Arion, sementara Arion menumpukan dagu di pundak Utara.

Utara menahan napas sejenak, jantungnya langsung berdegup kencang. Ia gugup. Mereka sudah melakukan lebih dari sekadar itu, tapi rasanya sentuhan seperti ini pun bisa membuatnya seperti tersengat listrik. Dan tangan Arion yang melingkar di pinggangnya perlahan membuat darahnya mendidih.

“Sebentar, nanti kita ngobrol. Aku kangen,” bisik lelaki itu di telinga Utara, membuat Utara merinding.

Arion masih terus berbicara pada ponselnya dan terlihat sangat serius. Sesekali memainkan laptop untuk melihat sederet angka dan huruf yang membuat Utara pusing. Dan selama melakukan itu, Utara benar-benar duduk di pangkuan Arion seolah itu bukan masalah besar. Tangannya berpindah dari pinggang Utara ke laptop, lalu bergantian dengan tangan yang lain untuk memegang ponsel, kemudian pulpen dan buku agenda, dan terakhir paha Utara yang terbuka karena kebetulan ia memakai celana pendek.

Lelaki itu mengusapnya lembut, membuat bulu kuduk Utara terasa meremang, fokus Utara yang entah pada apa pun ikut buyar. Utara bertanya-tanya bagaimana Arion masih bisa dengan baik berbicara pada orang penting di teleponnya itu dan masih bisa dengan fokus memainkan laptop, menggulirkan fail-fail di sana, mencatat ini dan itu di buku agendanya ketika tangannya terus mengusap paha Utara dan sesekali mencium tengkuk Utara membuat deru napas yang terasa hangat itu menggelitiknya di sana.

Baby …,” suara Arion terdengar lembut membelai telinganya. “Hei …, wake up ….”

Ah!

Utara sampai tertidur!

Suara mengobrol Arion dengan si penelepon bisa-bisanya jadi dongeng pengantar tidurnya. Dan berapa lama ia tertidur?

Utara mengerjap, berusaha untuk mencerna keadaan. Ia tersentak, bangkit dari pangkuan Arion lalu panik sendiri, membuat lelaki itu terkekeh.

“Berapa lama aku tidur?” tanya Utara, berbalik menatap Arion yang masih duduk di kursinya.

“Sini, duduk lagi.”

Utara menggeleng, ia mundur, tapi di belakangnya ada meja.

“Tara ….”

Utara masih diam.

Please ….” Arion benar-benar memohon. Ia meraih tangan Utara, dan dengan perlahan kembali berhasil membawa Utara ke pangkuannya dan ia kembali memeluk perempuan itu.

“Aku tidurnya lama?”

“Nggak. Mungkin … setengah jam?”

Mata Utara melebar. “Itu lumayan lama.”

“Iya? Kayaknya cuma sebentar.”

“Kamu udah selesai teleponnya?”

“Teleponnya udah, tapi kerjaannya belum. Masih ada yang harus aku cek.”

“Ya udah kalau gitu aku pulang—”

“Aku masih kangen,” potong Arion, semakin erat mendekap tubuh Utara, menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Utara.

Utara berusaha tetap tenang agar tak terlalu terlihat bahwa sejatinya ia sedang gugup. Ke mana keberaniannya di hadapan Erika yang suka berbicara ingin melahap Arion jika sekali disentuh pun ia sudah lembek?

“Elea?” tanya Utara, menangkup punggung tangan Arion di depan perutnya.

“Lea di tempat neneknya, nggak mau pulang tadi pas sore aku jemput.”

“Udah nggak apa-apa? Demamnya gimana?”

“Udah lumayan turun, udah mau makan juga walau dipaksa,” jawab Arion. “Di sana ada suster yang biasa jagain Mama, jadi aku agak tenang walau biasanya dia kalau sakit itu selalu penginnya tidur sama aku.”

“Kenapa kamu nggak nginep di sana aja kalau gitu?”

“Tadinya mau gitu, tapi aku banyak kerjaan yang harus aku urus. Berkasku di sini semua. Takut mau ngecek apa-apa, nanti ribet sendiri.”

Utara mendesah. Ia mendongak kala bibir Arion semakin maju untuk mengecup lehernya. Ia sampai memejamkan mata.

“Kamu sendiri gimana? Jadi nge-date sama mama kamu?”

Susah payah Utara menjawab, “Jadi …. Habis check up tadi ngajak jalan-jalan ke mal bentar, soalnya Mama udah ngeluh capek kalau diajak jalan kelamaan.”

Arion terkekeh, dan Utara begitu merasakannya di lehernya, sapuan hangat napas Arion menggelitiknya di sana, membuatnya melenguh pelan tertahan. Dan Arion puas karena hal itu.

“Nginep di sini, oke?”

Seketika Utara membuka mata, tubuhnya menegak meski tak langsung bangkit, membuat Arion juga menjauhkan bibirnya dari leher Utara. “Nginep?” Ia menoleh ke belakang untuk menatap Arion.

Arion mengangguk. “Besok kita berangkat ke kantor bareng, aku anterin.”

“Aku bisa berangkat sendiri.”

I know,” balas lelaki itu. “Tapi udah bilang, kan? Let me in, Tara. Biarin aku terlibat sama kehidupan kamu, meski itu cuma hal kecil kayak nganter jemput kamu, atau sekadar beliin makanan.”

“Aku bisa lakuin itu semua sendiri, Mas.”

“Tara—”

“Aku takut terbiasa,” sela Utara. “Terbiasa sama kehadiran kamu, terbiasa sama bantuan kamu, terbiasa sama apa yang kamu lakuin. Aku takut. Aku takut kalau aku udah terbiasa, kamu pergi, dan aku kebingungan sendiri harus apa dan gimana sama hidup aku. Kamu nggak akan tahu—”

“Aku tahu,” kali ini Arion yang memotong. “Aku tahu rasanya gimana. Sangat tahu. Aku pernah berpisah, aku pernah ditinggalin, aku pernah ngerasain kebingungan atas hidup aku sendiri. Aku rasa kamu juga pernah lihat aku di titik itu. Iya, kan?”

Utara tak menjawab. Ia diam, menatap tepat di mata Arion, kedua tangannya terkepal di atas bahu Arion sementara tangan Arion melingkar di pinggang Utara.

“Dan karena aku tahu, aku nggak akan lakuin itu ke kamu,” sambung Arion. “Oke, aku nggak bisa kasih apa pun ke kamu sebagai jaminan, tapi kamu harus percaya sama perasaan aku. Bahwa aku tulus dan serius suka sama kamu.”

Utara menggeleng. “Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak percaya sama apa pun yang kamu bilang suka, sayang, apalagi cinta itu. Semuanya beneran cuma kedengeran omong kosong di telinga aku. Kamu justru bikin aku semakin takut ….”

Tangan Arion terulur untuk mengusap wajah Utara, merapikan helai rambut itu, menyelipkannya ke belakang telinga ketika tatapannya masih terus lurus menatap Utara dengan sangat lembut. “Relax, Baby …. Aku nggak maksa kamu buat terburu-buru percaya aku, buat cepet-cepet suka sama kamu. Pelan-pelan, lakuin semuanya pelan-pelan. Aku baru lakuin sedikit ke kamu soal perasaan aku, masih banyak hal yang belum aku tunjukin, yang bakal bikin kamu percaya sama yang namanya cinta lagi.”

“Kalau aku tetep nggak percaya?”

“Berarti aku belum penuh tunjukin hal itu ke kamu.”

“Kalau aku—”

“Tara, listen to me,” Arion memotong, “yang perlu kamu cari tahu pertama soal diri kamu adalah, apakah kamu nggak percaya soal cinta karena seseorang atau karena diri kamu sendiri? Barangkali kamu yang bikin diri kamu nggak percaya soal cinta. Jadi, kita bisa perbaiki dari diri kamu dulu.”

“Maksud kamu, aku nggak cinta sama diri aku sendiri?” Utara tiba-tiba terdengar marah.

No, Baby. Aku nggak bilang gitu. Hati kamu sakit karena seseorang, makanya bikin kamu nggak percaya lagi sama cinta dan sama cowok. Right? Dan barangkali, apa yang kamu rasain sekarang bukan cuma karena cowok brengsek yang udah nyakitin kamu, tapi karena luka yang ada di hati kamu itu belum sepenuhnya sembuh, makanya kamu takut buat tambah terluka, bukan karena takut buat terluka lagi.”

Utara kembali diam.

“Aku udah pernah gagal, Tara. Tapi bukan kayak yang kamu bilang, karena aku udah pernah gagal dan kamu nggak percaya cinta, kita nggak bisa bersama. Tapi justru karena aku pernah gagal, aku bisa paham sama apa yang terjadi sama perasaanku dan bikin aku lebih kenal diriku sendiri. Dan aku akan berbagi itu sama kamu. Aku percaya diri sama diriku sendiri, aku pernah bilang itu, kan?” Ia tersenyum.

“Terus aku harus gimana, Mas?” tanya Utara dengan suara pelan.

“Pura-pura aja cinta sama aku, biar aku yang bikin kamu lupa kalau kamu lagi pura-pura.”

Utara berpikir, namun belum sempat ia mendapat kesimpulan atas kalimat itu, Arion sudah tiba-tiba menciumnya. Mencium bibirnya dengan lembut sebelum akhirnya menjadi lumayan kasar ketika Utara membuka mulutnya tanpa disuruh, seolah mempersilakan Arion untuk kembali makannya meski ia sebenarnya sudah menunggu agar bisa balik memakan Arion—mungkin ia perlu menunggu lebih sabar lagi. Tak apa, toh dimakan pun ia akan tetap puas dan kenyang.

I need extra dopamine, Baby,” bisik Arion di tengah ciuman mereka. “Aku harus lanjutin kerjaan aku nanti, tapi aku butuh itu sekarang biar bisa tetap waras.”

“Setelah aku kasih itu, emangnya kamu yakin bisa tetap terus waras?”

Arion mendengus. “Oke, aku lupa kalau semua tentang kamu bikin aku gila. Tapi kalau aku nggak makan kamu sekarang aku bakal lebih gila.”

“Laper banget? Aku udah angetin pizza tadi.”

“Aku nggak butuh pizza, aku butuh kamu. I need your juice.” Arion menjilat lidahnya sendiri. Kerongkongannya terasa begitu kering sekarang.

“Tapi tadi jus mangganya udah—”

Your juice, Baby,” potong Arion.

“Laper dan haus banget, ya?”

Arion mengangguk. “Please …,” ia memohon, membuat Utara terkekeh.

Call me Mommy, not Baby.”

Yes, Mommy,” balas Arion cepat.

“Oke. Makan aku.”

Dengan cepat Arion langsung bangkit dari tempat duduknya dan menggendong Utara, membuat perempuan itu menjerit kecil. “Aku pengin banget makan kamu di sini, tapi ini tempat belajarnya Lea juga. Jadi … kita harus ke kamar,” katanya. “You ready, Mommy?”

Utara terkikik, lalu membalas dengan suara yang dibuat lebih sensual, “Yes, Daddy.”

Ketika apa yang Arion ucapkan perihal cinta dan percaya itu mulai mengubah cara berpikir Utara, membuat Utara sedikit tergerak untuk mengikuti apa yang Arion katakan padanya, bahwa mungkin selama ini ia yang salah dalam cara melihat dan merasa terhadap cinta karena luka yang sebelumnya tertoreh, dan berniat memperbaikinya pelan-pelan bersama Arion.

Di saat yang sama pula, satu pesan singkat yang dikirim Erika membuat pemikiran itu kembali pecah lalu hilang.

— 54


Selama lima tahun menikah dengan Rania—tiga tahun dengan kehadiran Elea di dunia mereka, mungkin bisa dihitung jari jumlah mereka berdua pergi jalan-jalan bersama. Elea bisa dikatakan adalah anak yang tidak direncanakan kehadirannya, sebab meski sudah satu tahun menikah, Rania masih belum mau memiliki anak karena dengan ia hamil, melahirkan, lalu menyusui, semuanya akan menghambat kariernya sebagai seorang model.

Arion tak masalah soal itu. Bahkan jika akhirnya Rania memutuskan untuk tak memiliki seorang anak pun Arion tak akan keberatan. Sebab yang ia butuhkan saat itu memang hanya cinta dari sang istri. Sampai kemudian Elea hadir menambah kebahagiaan lain untuk Arion, tapi justru seolah membuat luka untuk Rania hingga perdebatan-perdebatan kecil itu mulai terjadi, sampai berubah menjadi keributan besar yang membawa mereka semakin jauh dan Rania memilih melabuhkan cintanya ke orang lain.

Meski luka itu belum sembuh sepenuhnya, tapi tiga tahun berlalu Arion benar-benar hanya fokus pada tiga hal; dirinya sendiri, pekerjaan, dan keluarga—terutama Elea. Ia tak peduli pada apa pun lagi, bahkan pada perempuan seperti yang selalu dipinta mamanya untuk segera mencari istri sekaligus mama baru untuk Elea. Hingga Arion bertemu kembali dengan Utara yang membuat gelenyar aneh tapi indah itu menggelitik sudut hampa di hatinya, sebuah tempat yang sudah lama tak tersentuh dan tak berpenghuni, kini mulai kembali terlihat keberadaannya.

Karena Utara Pradita, seseorang yang berhasil membuat Arion dan Elea jalan-jalan bersama lengkap dengan seorang perempuan dewasa, meski hanya di sebuah mal.

“Mau mampir ke sana?” tanya Arion, menunjuk pada sebuah toko pakaian dari sebuah merek besar.

“Mas, dress-ku tuh cuma dress biasa. Ya …, bermerek sih, tapi nggak yang—”

“Ayo ke sana,” Arion memotong cepat, menyentuh punggung Utara agar segera melangkah ke toko pakaian tersebut sementara tangan satunya menggenggam tangan Elea yang mulai merengek meminta beli es krim.

“Sebentar, kita beli baju buat Tante Tara dulu, habis itu baru beli es krim,” ujar Arion pada Elea.

“Kenapa nggak beli es krim dulu?”

“Kalau beli es krim dulu, nanti kamu nggak boleh masuk ke tokonya. Mau ditinggal di luar sendiri?”

Elea menggeleng, masih cemberut. “Tapi, Papa—”

“Lea ….”

Elea sudah mau menangis.

Utara yang menyaksikan itu langsung mengambil alih. “Elea, gimana kalau kamu bantu pilihin baju buat Tante?”

Elea menatap antusias. “Aku boleh pilihin buat Tante Seksi?”

“Iya.” Utara tersenyum. “Kira-kira baju kayak gimana yang cocok buat Tante?”

Bocah itu langsung melepas genggaman tangan papanya, berlari masuk ke dalam toko untuk melihat-lihat baju yang sekiranya cocok dengan si Tante Seksi.

Arion menoleh ke arah Utara, dan Utara hanya tersenyum seraya mengangkat bahu sebelum kemudian ia berjalan lebih dulu untuk menyusul Elea.

Ini adalah yang terbaik. Utara tak perlu merasa tak enak pada baju pilihannya yang akan Arion bayar, dan Utara yakin semahal apa pun baju tersebut Arion tetap akan membayarnya untuk Utara, apalagi kali ini pilihan anaknya sendiri.

“Gimana kalau ini, Tante?” Elea menunjuk pada sebuah dress hitam dengan potongan leher rendah—mirip dengan dress miliknya yang mengkerut karena dicuci menggunakan mesin cuci. Bedanya, ada akses berwarna silver yang mengelili dress bagian atas itu, tepat pada potongan leher—atau mungkin dada? Karena sejatinya dress itu seperti potongan handuk yang melilit tubuh dengan sebuah tali spageti sebagai penyangganya.

Yahh …, seksi.

Utara bergumam panjang. Memang seleranya. Dan pasti akan cocok di tubuhnya. Ia melirik pada Arion, meminta pendapat lelaki itu tanpa berkata.

“Coba aja dulu,” ujar lelaki itu.

“Ayo, Tante. Coba bajunya!”

Utara meringis, menoleh pada pegawai toko yang mengikuti mereka sejak tadi. Meminta pegawai tersebut untuk mempersiapkan ukurannya agar ia bisa mencobanya.

Di kamar pas, ia mendesah. Menatap dirinya di pantulan cermin. Dress-nya jelas terbaik, lekuk tubuhnya jelas terbaik juga. Perpaduan yang pas. Kalau yang sedang menunggunya di luar itu tantenya yang kayak setan, Utara tidak akan merasa keberatan perihal apa pun. Ia akan dengan percaya diri keluar, memperlihatkan tubuhnya dengan dress tersebut, bahkan berlenggak-lenggok agar membuat sang tante kepanasan.

Tapi masalahnya yang benar-benar menunggunya di luar ini adalah Arion dengan bocah yang memilih baju ini untuknya. Apa Arion akan kepanasan melihat Utara dalam balutan dress ini?

Setelah mengumpulkan niat sebanyak-banyaknya, Utara akhirnya keluar, bertemu dengan Elea yang langsung bersorak seraya bertepuk tangan dan Arion yang mematung. Dress itu pendek, hanya setengah paha Utara yang tertutupi. Hari ini Utara pakai celana jins panjang, dan karena harus mencoba dress ini Arion jadi bisa melihat kaki jenjang dan mulus Utara, membuatnya agak kegerahan.

“Bagus, Tante. Bagus banget!” seru Elea, sangat bersemangat.

Utara tersenyum manis.

“Ya udah, aku bayar.” Tanpa menunggu balasan Utara, Arion langsung beranjak menuju kasir.

“Tante ganti baju dulu, oke?” ucap Utara pada Elea.

Elea mengangguk patuh.

Setelah ia selesai berganti pakaian, Arion sudah kembali ke depan kamar pas, sudah selesai membayar, dan mereka tinggal menunggu pegawai toko itu membungkuskan dress tersebut untuk Utara bawa pulang.

“Silakan, Kak,” pegawai tersebut menyodorkan paper bag pada Utara, tapi Arion langsung meraihnya.

“Biar aku yang bawa,” katanya.

“Sekarang es krim!” seru Elea, membuat Arion terkekeh.

“Iya, es krim.” Lelaki itu tersenyum pada Elea. “Ayo, kita beli es krim.” Arion kembali menyentuh punggung Utara, untuk membawa perempuan itu agar berjalan beriringan dengannya.

“Makasih, Mas,” ujar Utara, terdengar seperti bisikan. “Harga dress itu jauh lebih mahal dari dress aku yang jadi kecil lho. Aku harap kamu nggak nyesel.”

Arion tertawa. Tangannya kemudian berpindah jadi merangkul penuh pinggang Utara, membuat Utara harus bergeser lebih dekat ke arah Arion. Utara sempat menoleh, tapi Arion hanya membalas dengan senyuman. Itu bukan masalah besar, kan? Hanya merangkul pinggang ketika sebenarnya mereka sudah pernah berciuman meski Utara tak sadar dan tak ingat, tapi ciuman itu membawa efek lain bagi Arion yang sadar sepenuhnya malam itu.

“Kalau aku nyesel, emang kamu mau ngapain?” tanya Arion.

“Aku balikin dress-nya ke kamu?”

“Dan suruh aku pakai?”

Utara tertawa. “Kayaknya baru masuk aja itu dress-nya udah sobek deh. You're a big boy, aren't you?”

Arion menatap Utara, berjengit kecil. “Yeah, I'm a big boy. Kamu gak salah. Aku bisa sobek-sobek baju.”

Utara merinding. Bukan karena itu kalimat yang menggelikan, tapi meskipun itu kalimat yang menggelikan, nyatanya Arion berhasil menggunakan kalimat menggelikan itu untuk membuat Utara memikirkan bagaimana cowok itu benar-benar merobek pakaian yang sedang Utara pakai saat ini karena tak sabar ingin memakan Utara.

This big boy is dangerous.

Oke, stop!

Utara harus berhenti memikirkan tentang makan, memakan, robek, merobek jika sedang bersama Arion. Ini membuatnya gila.

“Papa, itu!” Elea berseru seraya menunjuk ke sebuah toko es krim.

“Ayo ke sana,” ucapnya pada Utara, seraya mengeratkan pegangannya pada pinggang perempuan itu.

“Eum, Mas,” Utara menghentikan langkah, “Kayaknya aku mau ke sana dulu, deh.” Ia menunjuk toko ponsel yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, namun berseberangan dengan toko es krim yang diinginkan Elea.

“Kamu mau beli sesuatu?”

“Iya, aku mau beli handphone buat Mama.”

“Oh, ya udah ayo aku anter.”

“Nggak usah, Mas. Kamu beli es krim aja sama Elea sementara aku ke sana. Nanti siapa yang selesai duluan, dia yang nyamper.”

“Bener?”

“Iya, Mas ….”

“Ya udah, aku ke sana sama Lea, ya. Ini anaknya keburu ngambek terus nangis.”

Utara terkekeh.

Kemudian mereka berpisah di sana. Utara ke arah kanan, Arion dan Elea ke kiri.

Di dalam toko ponsel itu, Utara tak melakukan banyak. Ia langsung meminta tipe ponsel yang diinginkan, memilih warna, lalu meminta pegawainya memindah data ponselnya yang lama ke yang baru karena sebenarnya yang akan ia berikan pada sang mama adalah ponsel lamanya. Setelah membayar, Utara langsung keluar dan mendapati Arion sudah menunggunya di luar toko, bersama Elea yang sibuk menjilati es krim dalam cone-nya.

“Udah?” tanya Arion.

Utara menjawabnya dengan menunjukkan ponsel barunya.

“Kamu bilang, buat mama kamu. Jadi, kamu juga ikutan beli?”

Utara terkekeh. “Nggak. Yang buat Mama bekas aku.”

Arion mengerutkan kening, agak tak suka dengan jawaban itu.

“Kenapa? Aneh, ya? Aku kasih bekas buat Mama?” Utara bisa membaca raut wajah itu. “Kalau Mama aku kasih yang baru, Mama nggak akan mau lagi pegang hape. Jadi satu-satunya cara, ya, kasih bekas, biar nggak terlalu kelihatan kalau anaknya beliin barang bagus buat mamanya.”

“Jadi mama kamu selama ini nggak pegang handphone?”

Utara menggeleng. “Kemarin baru bilang mau lagi, tapi ya gitu, minta yang murah aja kalau sekiranya aku beliin dia baru. Karena hapeku juga sebenernya masih bagus, aku baru beberapa bulan lalu ganti. Jadi aku pikir lebih baik kasih hapeku aja. Aku bisa ngerti maksudnya hape murah tuh menurut Mama, beneran hape jadul yang cuma bisa SMS sama telepon.”

Arion tersenyum. “Sejak kapan mama kamu nggak pegang handphone? Dan gimana kalian komunikasi? Telepon rumah?”

“Ada adikku. Udah … dua tahun kayaknya.” Utara mengangkat bahu. “Mama emang lebih suka nonton YouTube di TV.”

“Kenapa? Kenapa beliau nggak pegang mau pegang handphone? Maksudku, di zaman kayak sekarang, anak kecil pun udah pada pegang handphone-nya masing-masing. Mamaku di rumah juga nggak pernah lepas dari handphone-nya.”

“Itu …, ceritanya agak cukup panjang. Kapan-kapan aku ceritain.” Utara meringis.

“Aku tunggu kapan-kapan itu, ya.” Karena pada saat itu tiba, Arion mungkin sudah benar-benar mendapatkan hari Utara. “Oh, ini. Es krim buat kamu.”

“Enak lho, Tante. Rasa vanila!” Elea menyahut, dengan mulut yang penuh es krim.

“Oh, ya? Tapi Tante suka rasa strawberry.” Utara menerima es krim tersebut.

“Tuh, kan? Apa aku bilang, Papa! Tante Seksi suka rasa strawberry!” Bocah itu menggerutu saat papanya berjongkok di hadapannya untuk membersihkan mulutnya dari lelehan es krim menggunakan tisu yang diberikan saat membeli es krim itu.

“Iya, kapan-kapan kita beliin Tante Tara es krim rasa strawberry,” balas Arion. “Mau aku beliin sekarang?” bisiknya setelah kembali berdiri menatap Utara.

Utara terkekeh. “Aku cuma bercanda, Mas. Makasih es krimnya.” Ia menjilat es krim itu tanpa menyadari Arion menatapnya. Menatap bagaimana es krim itu berpindah dari tempatnya ke bibir dan lidah Utara, lalu bagaimana Utara menjilat bibirnya sendiri untuk membersihkan bibirnya. Apa Arion boleh menggantikan lidah Utara untuk membersihkan bibir tersebut? Dengan lidahnya sendiri.

“Kamu nggak beli, Mas?” tanya Utara, membuyarkan lamunan Arion.

Arion hanya menggeleng seraya tersenyum.

“Mau coba? Enak. Rasa vanila.”

Cowok itu terkekeh. Lalu tangannya terulur untuk membersihkan sudut bibir Utara yang terkena lelehan es krim dengan ibu jarinya. Kemudian membawa ibu jari itu ke mulutnya sendiri, menghisapnya, menyecapnya. “Iya, enak. Rasa vanila.”

Itu bukan yang pertama kali. Tapi reaksi tubuh Utara masih tetap sama, membeku di tempat, dan setelahnya merinding saat Arion menghisap ibu jarinya sendiri setelah mengusap sudut bibir Utara. Apa cowok itu nggak tahu kalau Utara masih pegang tisu yang diberi toko es krim itu?

Mungkin tidak. Karena itu satu-satunya cara Arion menahan diri agar tak bertindak gila menjilat bibir Utara dengan lidahnya.

“Walaupun sebenernya aku nggak tahu mana yang bikin enak. Es krimnya atau bibir kamu.”

Dengan kesadaran penuh Utara membalas, “Mungkin kamu harus coba satu-satu, buat bandingin mana yang bikin enak. Atau mungkin … yang lebih enak.”

“Andai aku bisa.”

— 45


“Mas, kamu beneran nggak apa-apa nyamperin aku ke sini cuma buat makan siang?” Sekali lagi Utara bertanya pada Arion yang jauh-jauh datang menghampirinya di studio tempatnya melakukan syuting untuk program acara televisi yang dibintanginya, sebuah acara talk show bertemakan perbincangan masalah rumah tangga dengan pembawa acara seorang artis papan atas, dan seorang pengacara perceraian terkenal yang sejatinya namanya sudah malang-melintang di televisi dan media sosial karena kerap menjadi pengacara perceraian orang-orang yang punya nama besar, mulai dari artis hingga pejabat negara.

Acara tersebut juga membahas permasalahan rumah tangga dari bintang tamu yang berbeda tiap episode-nya, atau sekadar permasalahan yang dikirim melalui surel.

Acara yang baru berjalan setengah tahun, yang punya rating cukup tinggi sebagai acara mingguan yang tayang di jam prime time di malam hari ketika akhir pekan, yang katanya Arion Janardana tak pernah melewatkan satu episode pun.

Arion datang dari kantornya yang berjarak hampir satu jam ke studio tempat Utara syuting, hanya untuk mengajak perempuan itu makan siang bersama, membuat Utara terpaksa mengusir Rizal agar cowok itu pulang lebih dulu ke kantor dengan membawa mobilnya, dan ia sendiri bisa berduaan bersama Arion.

Mereka mampir ke sebuah restoran makanan nusantara yang tak jauh dari gedung kantor stasiun televisi itu. Utara yang memberi saran, karena sebelumnya ia pernah ke sana sepulang syuting beberapa minggu lalu, dan makanannya enak-enak.

“Nggak apa-apa, Tara. Aku emang punya kerjaan di kantor, tapi masih bisa aku tinggal, aku bisa selesain itu nanti. Lagian, ini jam makan siang,” Arion menjawab dengan senyuman yang manis.

“Enak, ya, punya jabatan tinggi gitu,” goda Utara membuat Arion terkekeh.

“Nggak setinggi itu, tapi ya … cukup enak.”

Utara tertawa. “Udara di jabatan tinggi pasti beda.”

Arion mengerutkan kening.

“Iya, wangi uangnya beda.”

Lalu cowok itu tertawa. “Aku nggak yakin penghasilanku lebih tinggi dari kamu yang kliennya orang-orang gede, terus punya acara mingguan, belum lagi kontrak iklan—”

“Kontrak iklan udah selesai sejak bulan lalu,” potong Utara.

“Tapi tetep aja, kan?

“Nggak setinggi itu, tapi ya … lumayan,” balas Utara.

Mereka berdua tertawa.

Karena ini pas jam makan siang, jadi resto tersebut cukup ramai, pesanan mereka pun datang sedikit lebih lama. Tapi selama menunggu, mereka tak merasa kesal, bukan karena tak lapar, tapi karena waktu tersebut dihabiskan dengan mengobrol banyak hal hingga rasanya mengalir begitu saja.

Utara jadi ingat tentang pertemuan pertama mereka ketika salah satu seniornya di kantor memintanya menangani kasus Arion Janardana dengan seorang model Rania Cahyadi. Iya, kasus perceraian Arion dan Rania tidak datang begitu saja karena Arion yang meminta Utara menjadi pengacaranya, tapi karena senior Utara yang awalnya dipinta Arion untuk menjadi pengacaranya tak bisa mengambil kasus itu karena ia sudah terlalu banyak mengambil kasus.

Kasus perceraian itu mungkin terdengar mudah, tapi sejatinya sulit secara mental. Bagaimana seorang pengacara tak boleh melibatkan perasaannya pada apa pun yang klien alami terhadap masalah rumah tangganya yang 90% membuat emosi dan ingin mencaci maki.

Saat itu Arion datang ke kantor Utara, dengan pakaian rapi khas orang kantoran, tapi wajahnya terlihat tak baik-baik saja. Rambutnya berantakan, seperti sudah waktunya dipangkas, tapi cowok itu melewatkannya. Kantung matanya hitam dan tebal, seperti tak tidur berhari-hari. Dan jangan lupakan wajah yang terlihat kusam dan tak pernah tersenyum, bahkan ketika Utara memperkenalkan dirinya untuk yang pertama kali.

“Utara Paradita,” katanya begitu, sembari mengulurkan tangan.

“Ari,” Arion hanya menjawab seadanya, membalas singkat uluran tangan Utara hingga Utara ketika itu berpikir bahwa mungkin Arion tak suka karena ia yang akhirnya mengambil kasusnya. Padahal Arion sendiri bisa menolak kalau tak ingin Utara yang menjadi pengacaranya. Tapi lelaki itu tak melakukannya, membiarkan Utara menjadi pengacara perceraiannya sampai akhir.

“Saya boleh pakai … aku-kamu, kan?” tanya Utara, masih berusaha tetap ramah dengan senyuman yang tak luntur. “Biar terdengar akrab.”

“Ya …, silakan,” Arion membalas.

“Jadi, Mas Ari—”

“Saya mau anak saya. Saya mau hak asuh Lea ke tangan saya.” Arion menyorot dengan tatapan putus asa, penuh permohonan, dan membuat Utara mengerti asal mula tatapan kehilangan arah itu berasal hingga kemudian Utara bertekad untuk mengembalikan Elea pada Arion.

Cukup sulit memenangkan kasus itu, terlebih Elea masih kecil. Tak sulit juga membuat pihak Rania mendapatkan hak asuh karena Rania bekerja dan dianggap mampu untuk membiayai kebutuhan Elea setiap harinya. Namun Arion juga bekerja sama dengan baik untuk memberikan bukti yang memberatkan Rania bahwa seseorang yang selingkuh tak pantas mendapatkan hak asuh anak meski mampu membiayai hidup anak tersebut.

“Mas, Elea nggak akan ngambek kamu nggak jemput dia ke sekolah?” tanya Utara di tengah acara makan mereka.

“Nggak. Kalau ada pengasuhnya, aku emang sesekali aja jemput dia di sekolah. Pengasuhnya ada terus nemenin dia di sekolah.”

“Nganterin ke sekolah juga?” tanya Utara lagi, mendadak ia penasaran. “Tadi kamu bilang, kamu lihat aku pas bukain pintu waktu pengasuhnya Elea dateng.”

Arion terkekeh. “Nah, kalau nganterin ke sekolah justru pengasuhnya yang sesekali ngelakuin. Aku sebisa mungkin anter dia ke sekolah tiap hari. Cuma tadi pagi tuh karena aku harus ngurusin kerjaan dulu sebelum berangkat ke kantor, jadinya aku minta Mia buat nganter Lea ke sekolah.”

“Nama pengasuhnya Mia?”

Arion mengangguk.

“Iya. Nanti dia bawa Lea ke rumahnya, di sana ada ponakannya yang walaupun lebih besar dari Lea, tapi suka ngajakin main Lea, jadi anaknya nggak bete-bete banget tiap pulang sekolah sebelum aku jemput,” jelas Arion. “Kadang juga Mia aku suruh nganterin Lea ke tempat neneknya kalau emang neneknya lagi pengin ketemu sama Lea, habis itu Mia pulang.”

“Kayaknya enak ngasuh Elea ….”

Arion tertawa. “Kenapa? Kamu mau nambah kerjaan jadi pengasuhnya Lea?”

“Aku—” Utara tiba-tiba membeku saat Arion mengulurkan tangannya, mengusap sudut bibir Utara dengan ibu jari lelaki itu, menghilangkan jejak bumbu kecap dari ikan bakar yang sedang dimakan.

Dan yang membuat Utara kembali tak bisa berkata-kata adalah saat Arion membawa ibu jarinya yang digunakan untuk menyapu sudut bibir Utara ke bibirnya sendiri. Menghisapnya sejenak sebelum mengembalikan tatapan ke mata Utara seolah ia tak melakukan apa pun yang membuat Utara kepanasan.

“Mas, kamu tadi …,” Utara mencoba bicara meski dengan terbata.

Kemudian Arion membalas seolah ia baru menyadarinya. “Oh, maaf …. Tadi di bibir kamu ….”

Masalahnya bukan hanya soal cowok itu mengusap sudut bibir Utara, tapi Arion juga menghisap ibu jarinya yang digunakan untuk mengusap sudut bibir tersebut!

Apa itu hal yang biasa dilakukan seorang Arion Janardana pada siapa pun perempuan yang sedang makan bersamanya?

Atau itu bentuk lain dari perhatian yang sejatinya mulai Utara rasakan akhir-akhir ini? Yang membuatnya semakin ingin memakan cowok itu.

Apakah Utara akan dicap sebagai cewek sinting kalau lain kali Arion bisa membersihkan sudut bibir Utara dengan hal lain selain jarinya?

Misal … bibirnya?

Itu pasti akan lebih baik, kan? Arion tak perlu menghisap jarinya sendiri setelahnya, karena noda kecap itu langsung masuk ke mulutnya tanpa perantara.

“Tara …,” panggil Arion, membuyarkan lamunan Utara. “Kamu nggak apa-apa?” Ia menatap khawatir. “Aku minta maaf soal—”

“Nggak apa-apa, Mas. Makasih …,” Utara tersenyum. “Mungkin lain kali kamu bisa bantu bersihin dengan hal lain biar nggak ngotorin tangan kamu.”

“Dengan hal lain?” Arion mengerutkan kening.

“Ya!” Utara berjengit. “Dengan … tisu.” Lalu nyengir.

“Oke.” Cowok itu terkekeh, seolah memang tahu isi pikiran Utara saat ini. “Aku pikir kamu minta aku bersihin dengan hal lain yang masih anggota tubuhku.” Ia mengangkat sebelah alisnya.

Utara agak panik. Apa pikiran sintingnya terbaca dengan jelas? Apa Arion tahu kalau beberapa detik lalu Utara sedang menelanjanginya di pikirannya? Berpikir bahwa meja makan di depannya saat ini berisi Arion yang sedang berbaring dan siap Utara santap, bukan ikan bakar dengan pelbagai lauk lainnya.

“Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin,” sahut Arion lagi, memutus pembahasan. Ia ingin sekali saat ini juga berbicara pada Bara bahwa bukan sendoknya yang salah tujuan, tapi tangannya. Langsung tangannya tanpa memegang sendok. Dan akibat tangannya itu, membuat anggota tubuh lain ingin melakukan apa yang tangannya tadi lakukan.

Apa tadi Bara bilang?

Makan.

Ya, makan.

Memakan Utara, jika itu memang kalimat tercocok, terhalus sekaligus terliar yang ada.

***

“Iya, nanti pulang mampir ke minimarket buat beli es krim. Ingetin Papa kalau lupa,” Arion sedang berbicara pada Elea lewat telepon, menunggu Utara di dalam mobil yang pamit sebentar untuk ke toilet.

“Bener? Awas kalau bohong lagi.”

Arion tertawa. “Papa nggak pernah bohong.”

“Waktu aku habis dari rumah Alya, Papa bohong. Katanya mau beliin aku es krim, tapi ternyata nggak jadi.”

“Itu kan karena kamu tidur.”

“Papa seharusnya bangunin aku.”

“Iya, iya, Papa minta maaf.” Lalu Utara masuk ke dalam mobil, menatap Arion, dan Arion membalas dengan senyum singkat. “Sekarang udahan dulu teleponnya, handphone-nya kasih ke Kak Mia, terus makan siang, habis itu tidur.”

“Elea?” tanya Utara tanpa suara.

Arion mengangguk.

“Papa udah makan siang?” tanya Elea.

“Udah. Ini Papa baru selesai makan.”

“Makan sama siapa? Tante Sandra? Om Bara? Atau temen kantor Papa yang lain? Ramai-ramai?”

Arion terkekeh. “Bukan, bukan sama mereka. Tapi sama orang lain.”

“Sama siapa?”

Cowok itu menoleh ke samping, menatap Utara yang sedang memainkan ponselnya. “Sama Tante … Seksi.”

Dan ucapan itu berhasil membuat Utara seketika menatap Arion. Menatap cowok itu seolah ia tak pernah mendengar Arion menegur Elea karena memanggilnya dengan sebutan Tante Seksi. Sekarang lihat cowok hot ini! Dia ikut-ikutan!

Ya, kalau dipikir-pikir, Elea memang benar. Semua orang juga pasti akan mengakui kalau Utara Pradita adalah perempuan seksi meski tubuhnya tak terlalu pakaian minimalis. Dengan celana panjang dan blouse yang juga lengan panjang, Utara Pradita masih bisa mengeluarkan aura keseksian itu. Arion harus mengakuinya meski dengan menyetujui panggilan yang Elea buat.

“Papa lagi sama Tante Seksi!?” seru Elea.

“Iya. Mau bicara?”

“Mau!”

Lalu Arion menyodorkan ponselnya ke hadapan Utara. “Lea mau ngomong sama kamu katanya.”

Utara menatap ragu, meski ia tetap menerima ponsel itu dan menempelkannya ke telinga. “Halo,” sapanya.

“Tante Seksi?”

“Iya. Ini Tante.” Utara terkekeh.

“Tante habis makan siang sama Papa?”

Utara menoleh, menatap Arion yang sedang fokus mengeluarkan mobil dari tempat parkir, terlihat sangat berkarisma meski hanya duduk di balik kemudi, memutar-putar kemudi seperti seorang ahli—memang beneran ahli, dan dan pandangannya fokus ke sana-sini agar mobil bisa keluar dengan mulus dari tempat parkir yang rapat. Utara berharap bisa duduk di pangkuan lelaki itu saat ini juga.

“Iya. Kamu udah makan belum?” tanya Utara, mengalihkan pandangannya ke jalanan, ke tempat lain selain pangkuan Arion, karena itu bisa membuatnya gila.

“Kak Mia lagi bikinin aku sup telur sama ayam kecap. Nanti aku makan kalau udah mateng.”

“Oh, gitu. Makan yang banyak, ya. Biar cepet tambah tinggi.”

“Iya, Tante Seksi,” jawab Elea dengan ceria. “Tante Seksi udah suka sama Papa belum?”

Utara diam, menahan napasnya untuk sejenak, ia melirik Arion yang sudah fokus menyetir di jalanan, menoleh ke arahnya dan memberi tatapan bertanya. “Eum … nggak,” jawab Utara kemudian.

Lalu terdengar embusan napas kecewa di seberang sana. “Berarti masih belum bisa kasih aku adik kayak Devan?”

“Iya ….”

“Ya udah, deh. Nanti aku tanya ke Papa. Soalnya kemarin Papa bilang kalau Papa nanti bakal kasih aku adik kayak Devan.”

“Nanti itu bisa kapan aja. Bisa jadi besok, lusa, minggu depan, atau bulan depan, atau bahkan tahun depan.”

“Jadi, lama, ya?”

“Bisa jadi.”

“Ya udah, nggak apa-apa, aku bakal nunggu buat Papa sama Tante Seksi kasih aku adik kayak Devan,” balas Elea.

“Elea, maksud Tante—”

“Kak Mia udah manggil, Tante,” potong Elea. “Makanannya udah jadi.”

“Oh, oke.” Utara tersenyum pahit. “Selamat makan, Elea.”

Setelah itu sambungan telepon dimatikan, menyisakan gelenyar aneh dalam diri Utara.

“Ini, Mas,” Utara memberikan ponsel itu pada pemiliknya. “Dia mau makan, katanya.”

Arion tak langsung menerima ponsel tersebut. “Pegang dulu sama kamu, aku lagi nyetir,” ucapnya. “Bilang apa lagi dia?”

Utara menatap serius Arion di sampingnya. “Sesuatu tentang … adik.”

Lelaki itu membuang napas panjang. “Maaf, Tara. Nggak usah dipikirin. Habis dari rumahnya Erika kemarin itu dia memang beberapa kali bahas soal itu, tapi pasti nggak akan lama, nanti juga lupa sendiri, ganti sama pembahasan lain.”

“Iya, mungkin …,” balas Utara.

“Kenapa?” tanya Arion.

“Mungkin kamu emang udah harus cari istri, dan kasih adik buat Elea.”

Arion tertawa, seolah itu sesuatu yang lucu yang baru pertama kali didengarnya, padahal mungkin sudah ratusan kali Arion mendengar kalimat semacam itu selama tiga tahun terakhir ini, terutama dari mulut Bara dan juga orangtuanya sendiri.

“Aku serius, Mas ….”

“Cari istri dan kasih Lea adik emang perkara serius. Iya, kan?” Arion berjengit.

“Iya …. Tapi maksud aku, kamu harus mulai serius mempertimbangkan keputusan sama satu perempuan yang dirasa cocok buat jadi istri dan mamanya Elea.”

“Iya, ini aku lagi ngelakuin.”

Utara menatap tak paham.

“Aku lagi ngelakuin hal itu,” ulangnya. “Mempertimbangkan keputusan sama satu perempuan yang dirasa cocok buat jadi istri dan mamanya Lea.”

“Oh, ya? Siapa? Apa aku boleh tahu orangnya?”

Arion tersenyum. “Ada. Seseorang yang dulu pernah menyelamatkan aku dari keputusasaan buat milikin Lea tiga tahun lalu.”

Utara diam.

Lama perbincangan itu terjeda karena Utara tak kunjung menyahut, Arion kembali membuka mulutnya. “Mungkin kamu harus mulai panggil Lea dengan Lea, bukan Elea.”

— 31


Utara benar-benar menunda mobilnya di kantor dan ikut pulang bersama Arion naik mobil cowok itu. Arion menjemputnya, dan Utara harus mengakui bahwa itu adalah pertama kalinya lagi setelah sekian lama ada cowok yang menjemputnya di kantor sepulang kerja. Terakhirnya dua tahun lalu, dengan mantan pacarnya yang bernama Nino, yang putus dengan Utara karena setelah setahun berpacaran baru ketahuan kalau selama itu Utara ternyata dijadikan selingkuhan.

Nino ternyata sudah bertunangan dengan seorang perempuan di kampung halamannya di Medan sana, mengaku kalau itu perjodohan dan Nino tak suka, makanya memacari Utara yang pada akhirnya membuat Utara semakin tak percaya dengan yang namanya cinta. Ia bahkan sudah tak punya niat untuk dekat lagi dengan seorang lelaki secara serius seperti yang diharapkan Erika atau banyak orang di sekelilingnya. Ia sudah muak.

Jika ia bisa bersenang-senang dengan cowok tanpa punya ikatan serius dan itu membuatnya senang, kenapa tidak?

Arion menjemputnya, masih dengan pakaian kantor yang sama; kemeja lengan panjang dan celana panjang yang masih rapi, sepatu pantofel yang mengilap, tapi rambutnya sudah lebih berantakan dibandingkan ketika Utara bertemu dengan cowok itu siang tadi. Wajahnya pun sudah lebih lelah. Di kursi belakang, tertumpuk tas dan blazer milik Arion, ia menyuruh Utara untuk menaruh tas laptopnya di sana juga, tapi Utara menolak, memilih memanggilnya sepanjang perjalanan.

Mereka mampir ke minimarket untuk membeli buah tangan seperti yang direncanakan dengan Arion yang memberikan seluruh pilihannya pada Utara dengan beralasan kalau Utara yang lebih tahu apa yang disuka Erika dan anak-anaknya.

“Terserah. Kamu pilih aja, aku nggak tahu apa yang bagus buat mereka,” begitu katanya.

Lalu menjemput Elea saat langit sudah hampir gelap, dan mama Erika menyuruh mereka untuk mampir dan makan malam dulu, tapi menolak.

“Papa, neneknya Alya kepangin aku rambut!” seru Elea sesaat setelah memeluk Arion yang datang menjemputnya, menunjukkan rambut panjangnya yang dikepang dengan cantik.

“Cantik banget. Nanti Papa belajar ngepang deh, biar bisa kepangin kamu.”

“Tante Seksi bisa ngepang juga loh, Lea,” sahut Erika. Kenapa juga ikut-ikutan panggil Utara dengan Tante Seksi? Utara menggerutu dalam hati.

“Iya?” Elea menatap Utara.

Utara mengerjap sesaat, menatap Erika dengan sebal. “Iya, bisa. Itu sih gampang.” Ia menjentikkan jarinya.

“Wah, Tante Seksi keren!”

Arion terkekeh, Utara meringis.

“Nanti kapan-kapan kepangin rambut aku, ya?”

“Boleh. Nanti Tante kepangin.” Utara tersenyum.

Setelah itu mereka berpamitan untuk pulang. Alya kelihatan keberatan karena Elea harus pergi, begitu juga Elea, yang mengatakan berkali-kali kalau ia harus main lagi bersama Alya kapan-kapan. Di perjalanan, bocah itu sibuk mengoceh ini dan itu tentang harinya bermain bersama Alya dan Devan.

“Kalau aku pengin adik cowok kayak Devan, boleh nggak, Papa?”

Itu pertanyaan yang terlontar dari mulut Elea di tengah ceritanya tentang Devan yang katanya imut dan penurut meski suka nangis.

Saat itu Utara langsung melirik canggung Arion di sampingnya. Arion juga langsung menegang seketika. Dari sekian banyak pertanyaan yang sulit dijawab setelah ia berpisah dengan Rania, itu adalah pertanyaan yang paling sulit. Tentang adik. Bagaimana caranya menjelaskan pada bocah kecil seperti Elea kalau memberinya adik bukan semudah membuat kue dengan tepung dan telut? Tapi harus ada lelaki dan perempuan yang bersatu dalam kegiatan panas—

Oke. Cukup.

Arion susah payah mengukir senyum di bibirnya, menatap Elea di belakang dari kaca spion.

“Lea itu—”

“Boleh,” potong Utara cepat. Tak tahu ia punya keberanian dari mana dan mungkin sudah gila karena sepertinya Arion juga tak punya jawaban terbaik untuk menjawab pertanyaan itu selain dengan berbohong atau memberi percikan fantasi dongeng di dalamnya.

Arion menatap Utara.

“Boleh?” Elea berseru antusias.

“Tapi kamu tahu nggak gimana adik itu bisa muncul?” tanya Utara.

Elea menggeleng. “Pakai tepung sama telur?”

Utara terkekeh. “Ya …, nggak salah sih. Tapi kalau diibaratkan kue, emang perlu tepung dan telur. Adik atau anak juga gitu, harus ada tepung dan telur, alias laki-laki dewasa dan perempuan dewasa.”

“Kayak Papa sama Tante Seksi?”

Oke itu di luar perkiraan, tapi Utara mencoba tetap tenang dan tersenyum. “Iya. Papa adalah laki-laki dewasa dan Tante adalah perempuan dewasa. Tapi nggak cuma itu. Laki-laki dan perempuan itu harus saling suka, harus saling jatuh cinta, harus menikah, harus jadi pasangan suami istri. Nah setelah itu baru deh mereka bisa kasih adik buat kamu.”

“Papa sama Tante Seksi bisa nggak kasih aku adik kayak Devan?”

Arion sudah akan menjawab, tapi Utara lebih dulu bersuara.

“Nggak bisa,” jawab Utara. “Soalnya Tante sama papa kamu bukan pasangan suami-istri. Suami istri itu, suami bakal jadi papa buat anak-anaknya, kayak papa kamu ke kamu. Dan istri bakal jadi mama buat anak-anaknya.”

“Tapi mama aku …,” Elea menggantung ucapannya untuk melirik papanya, “Nenek bilang Mama jahat sama Papa, terus mereka pisah. Jadi gak bisa kasih aku adik, ya, Tante Seksi?”

“Bener. Nggak bisa. Karena mereka bukan suami istri lagi namanya,” jawab Utara, masih dengan nada lembut yang sama.

“Jadi, aku harus gimana biar bisa dapet adik kayak Devan?”

“Harus cari istri buat papa kamu, sekaligus mama baru buat kamu.”

Elea cemberut sesaat. Ia berpikir sejenak sebelum kemudian kembali berujar, “Tante Seksi nggak mau jadi istri Papa? Jadi mama baru aku.”

Utara terbatuk, tersedak air liurnya sendiri.

“Lea …,” tegur Arion, sampai memutar tubuhnya sebentar untuk menatap anak itu secara langsung.

“Tante nggak suka sama papa kamu,” ujar Utara, membuat Arion menoleh ke arahnya. “Inget, kan? Syarat jadi pasangan suami istri adalah saling suka, saling jatuh cinta, setelah itu menikah.”

Elea mendesah, ia cemberut. “Kalau Papa …, suka juga nggak sama Tante Seksi?”

Kali ini Utara yang menoleh pada Arion, menatap lelaki itu yang fokus mengemudi dengan perasaan yang tegang, dengan gelenyar aneh yang mendadak menggelitik perasaannya.

Arion membuang napas panjang sebelum berujar untuk mengalihkan, “Tadi kamu main apa aja sama Alya? Papa belum denger ceritanya.”

Dan Elea menjawabnya dengan semangat, begitu mudah untuk dialihkan.

Saking semangatnya bercerita ini dan itu, ia sampai tertidur, bahkan tak bangun saat mobil sudah berhenti.

“Kayaknya dia kecapekan main deh, pules banget gitu kelihatannya,” Utara terkekeh canggung. Setelah percakapan tadi itu, mereka tak banyak bicara lagi sepanjang sisa perjalanan. Utara hanya sesekali menyimak obrolan ringan antara anak dan papanya sebelum si anak tertidur, sisanya ia hanya sibuk memainkan ponsel.

Ia mulai menyesali apa yang dilakukannya, tapi tak bisa untuk memutar waktu. Pepatah benar, diam adalah emas. Utara seharusnya diam.

“Nggak belajar deh diam malem ini,” balas Arion seraya merunduk untuk melepas sabuk pengaman di tubuh Elea, dan menggendong bocah itu, juga mencoba mengambil barang-barang mereka. “Mudah-mudahan gurunya nggak ngasih PR. Karena kalau ngasih, bisa repot banget nanti pagi harus ngurusin PR-nya dulu.”

“Sini, Mas. Biar aku bantu bawain.” Utara mengambil alih tas Arion dan Elea, juga blazer Arion yang kelihatannya lelaki itu kesulitan membawanya karena sembari menggendong Elea yang tidur.

“Makasih.”

Utara mengekori Arion sampai ke lantai unit apartemen mereka berada, membawa kembali kenangan mengerikan malam itu, sedikit membuat Utara sesak napas. Ia ingin segera masuk ke unitnya sendiri, tapi sesaat setelah Arion berhasil membuka pintu, cowok itu malah menyuruh Utara ikut serta masuk ke dalam, dan Utara tak punya waktu untuk protes karena Arion langsung masuk.

“Sebentar, aku taruh Lea di kamarnya dulu.” Lalu Arion menghilang dari pandangan Utara, masuk ke sebuah kamar dan kembali tak lama dengan menjinjing sepatu milik Elea yang tadi dipakai, berjalan melewati Utara untuk menaruh sepatu itu rak sepatu depan, lalu kembali menghampiri Utara sembari menggulung lengan kemejanya sampai batas siku.

Oke.

That's kinda hot.

“Tara.”

Dan Utara sampai melamun, tak sadar Arion sudah ada di depannya. “Oh, maaf ….”

“Maaf untuk?” Arion menatap bingung. Ia mengambil alih barang bawaan Utara yang masih ada di tangan perempuan itu, lalu menaruhnya di sofa belakang tubuh Utara tanpa mencoba bergeser lebih banyak, karena gerakan itu jujur saja terlalu dekat dengan Utara sampai ia harus mundur sedikit hingga bokongnya menyentuh sandaran sofa.

Utara tak berniat menjawab pertanyaan itu. Ia akan lebih memilih diam, karena bagaimana mungkin ia akan menjawab dengan mengatakan kalau ia meminta maaf karena telah memperhatikan Arion sebegitunya sampai nyaris menelanjangi lelaki itu di pikirannya yang kotor ini.

“Kalau gitu, aku pulang, ya, Mas.” Ia sudah ingin beranjak, tapi Arion menahan tangannya, membuatnya kembali diam di sana untuk waktu lebih lama lagi.

“Sebentar, biar aku ambilin tas sama sepatu kamu yang ketinggalan kemarin.”

Tas dan sepatu sialan!

Utara nyaris mengumpat.

Matanya mengikuti langkah kaki Arion menuju kamar utama sialan yang Utara yakini menyimpan momen memalukan baginya, lalu kembali dengan membawa sebuah paper bag berisi sepatu dan tas milik Utara.

Kenapa selama momen itu Utara tak mencoba kabur?

Untuk membuat Arion kembali berdiri di depannya dan ia mengagumi ketampanan lelaki itu? Atau untuk menelanjangi lelaki itu di pikirannya dengan mudah? Karena bagaimana ia mampu bertahan dengan segala pahatan nyaris sempurna yang dimiliki seorang Arion Janardana? Lihat otot itu! Lihat urat yang menonjol di tangannya! Lihat jakun yang bergerak turun naik itu! Lihat bibir yang pasti lembab dan mungkin manis candu itu!

Utara ingin melahapnya.

“Bajunya masih di-laundry. Blazer kamu juga walau nggak kena muntahan, sekalian soalnya. Mungkin besok atau lusa baru selesai. Is it okay?” Arion memberikan paper bag tersebut.

“Ya, nggak apa-apa, Mas.” Utara menunduk. “Makasih juga. Dan …, maaf.”

“Maaf untuk?”

“Ya, maaf ….” Utara masih menunduk.

“Tara, lihat aku. Yang lagi bicara sama kamu tuh di sini lho, bukan di bawah.” Arion mendengus.

Dengan keberanian yang dikumpulkan, Utara mendongak, kembali menatap Arion yang entah kenapa rasanya lebih dekat dari yang sebelumnya. Rasanya tak banyak ruang tersisa untuk mereka saling menempel satu sama lain.

DAN APAKAH UTARA BARU SAJA BERPIKIR MEREKA AKAN SALING MENEMPEL SATU SAMA LAIN?

Oke, Utara Pradita mulai sinting.

“Kalau kamu kepikiran soal malem itu, nggak apa-apa lupain aja. Kamu boleh minta aku buat anggap malem itu nggak terjadi apa-apa. Kayak kata kamu,” Arion bicara setelah ia berhasil menatap bola mata Utara di depannya.

Utara tak segera membalas. Ia diam, menatap Arion—mengagumi setiap jengkel keindahan lelaki itu di depan matanya. Kapan kiranya ia mulai menyadari hal ini? Mungkin sejak tiga tahun lalu, sejak ia masih mengurusi kasus perceraian Arion dengan perempuan yang kini sudah jadi mantan istrinya, saat ia tengah tergila-gila dengan bajingan Nino.

“Ayo, aku buatin kamu makan malam. Kita makan bareng.” Arion sudah akan beranjak, namun kali ini Utara yang mencegah dengan meraih lengan lelaki itu meski sesaat kemudian melepasnya.

“Emangnya apa yang aku lakuin malem itu?” tanya Utara. Terdengar sungguh-sungguh, terlihat penasaran.

Arion berjengit. “Kamu penasaran?”

Utara mengangguk pelan, agak ragu, meski ia memang harus jujur kalau di sudut hatinya di dalam sana, ia penasaran, walau mungkin memalukan.

“Aku rasa, lebih baik kamu simpen rasa penasaran kamu. Aku nggak mau bikin kamu—”

“Kamu bilang gini malah tambah bikin aku penasaran, Mas.”

Arion mendengus, terkekeh pelan. “Kamu beneran nggak inget, ya?”

Kali ini Utara menggeleng. “Aku inget soal salah ngira unit apart, masukin pin unit apartemenku di unit apartemen kamu.”

“Terus?”

“Soal muntah juga ….”

“Itu nggak lama setelah aku buka pintu dan kamu masuk ke sini.”

Utara mendesah. “Aku minta maaf ….”

“Udah aku bilang, nggak apa-apa.”

“Terus aku nggak inget apa-apa lagi ….”

“Gitu, ya?” Ada nada kecewa di sana, Utara bisa merasakannya.

“Kamu … yang … gantiin … baju … aku …?” Utara merasakan wajahnya memanas saat ini, membayangkan Arion membuka pakaiannya yang penuh muntahan dan menggantinya dengan pakaian bersih miliknya. Dan sialnya ia merasakan kedutan sinting di pangkal pahanya.

“Itu susah,” jawab Arion agak tercekat, dan Utara tak mengerti maksudnya. “Lumayan nyiksa juga.”

“Jadi …, bener?” Utara berusaha menahan malu. “Terus apa lagi?”

Arion tak langsung menjawab, ia mengendurkan sedikit dasinya, lalu melepas kancing teratas kemejanya. Ia agak gerah. Dan bukan hanya malam itu yang menyiksanya, tapi saat ini pun ia tersiksa. Pertanyaan Utara berhasil membuatnya membayangkan, mengingat kembali apa yang terjadi malam itu.

Utara menelan air liurnya melihat adegan nyata di depannya. Ia menahan napas sejenak. Tidak berhenti dari otot, urat, jakun, dan bibir. Arion berhasil membuatnya terlihat lebih gila dengan melakukan dua hal bersama dasi dan kemejanya.

“Aku nggak bisa ceritain detailnya gimana. Terlalu susah,” ucap Arion, sudah mengembalikan pandangannya pada Utara.

“Kalau gitu, tunjukin aja. Tunjukin gimana. Tunjukin apa yang terjadi malem itu.”

Untuk sesaat, Arion membeku. Ia menatap Utara dengan mata yang mendadak berubah gelap. Dan rasanya sebuah tali besar mengikatnya, membuatnya tercekat dan sesak di sana-sini.

Sial!

Ia tiba-tiba ingat dengan ucapan Bara siang tadi. Tentang puasa tiga tahun. Selama tiga tahun ini Arion memang tak pernah dekat dengan perempuan mana pun, tidak pernah berusaha dekat. Perempuan yang bukan keluarganya, yang sering berkomunikasi dengannya adalah Mia, pengasuh Elea, juga Sandra, sekretarisnya. Sisanya tentu pegawai kantor.

Ini pertama kalinya setelah tiga tahun Arion berada sangat dekat dengan perempuan. Dan perempuan itu adalah yang membantunya mendapatkan hak asuh anak dalam perceraiannya tiga tahun lalu.

Membuatnya tersiksa. Membuat kepalanya berdenyut. Membuat gelenyar aneh di sudut hatinya. Dan kedut aneh di beberapa bagian tubuhnya, terutama di sana. Di ujung sana.

Arion berusaha mengontrol diri. Ia membuang napas berat dan panjang, menunduk untuk mengatakan bahwa dirinya kalah.

“Mas, lihat aku. Yang kamu ajak ngomong tuh di sini, bukan di bawah,” Utara membalikan ucapan Arion, membuat lelaki itu tertawa.

“Dasar.”

“Tapi aku serius. Soal yang tadi. Tunjukin ke aku kalau kata-kata terlalu sulit buat kamu lakuin.” Utara menatap Arion sungguh-sungguh.

Dan Arion berhasil masuk ke dalam mata indah itu. Ia mungkin benar-benar kalah telak, tapi dengan cara yang berbeda.

Arion maju satu langkah, membuat mereka semakin dekat, nyaris bersinggungan. Utara hendak mundur, tapi tak bisa, ia sudah menyentuh sofa di belakang sana. Dan ia tak merasa kalau ia siap untuk mendapat jawaban yang dipintanya.

“Sini, biar aku tunjukin apa yang kamu lakuin malem itu.” Arion meraih pinggang Utara, dan mereka sekelas menempel, tas laptop, totebag, dan paper bag yang ada di tangannya jatuh ke bawah, menimpa kaki keduanya, tapi tak satu pun dari mereka bergerak menjauh.

“Aku ngelakuin ini?” tanya Utara ketika Arion menelusuri wajahnya dengan mata.

Arion tak menjawab, ia justru berujar, “Kamu tahu sesusah apa gantiin kamu baju?”

Utara menggeleng.

“Susah banget.” Ia nyaris menyerah. Menyentuh tubuh perempuan untuk yang pertama kali lagi setelah tiga tahun.

“Ritsleting baju aku susah?”

Arion mendengus.

“Atau muntahannya terlalu banyak? Jadi bikin kamu mau ikutan muntah juga?”

Arion tertawa. “Aku nggak berpikir kamu nggak ngerti maksud aku,” balasnya. “Kamu pengacara perceraian pinter yang berhasil bikin aku milikin Lea. Jadi aku rasa kamu ngerti.”

Utara diam.

Ya.

Dia memang mengerti.

Sangat paham.

Saking pahamnya sampai rasanya tubuhnya saat ini terasa sangat panas dan bulu kuduknya meremang.

“Kamu juga pinter ngejelasin sesuatu yang aku sendiri nggak tahu gimana jelasinnya ke orang sekecil Lea. Aku berterima kasih soal itu,” Arion berbicara lagi.

“Kamu nggak marah, Mas?”

“Kenapa aku harus marah?”

“Karena coba ngomongin sesuatu yang bukan kapasitas anak kecil?”

“Tapi kamu bicara gitu pasti udah ngerti kalau hal-hal semacam itu emang udah seharusnya dikasih tahu sejak kecil, walaupun kata-katanya yang susah buat dipilih, karena dia masih kecil. Makanya aku berterima kasih.” Arion tersenyum. “Sampai sekarang aku masih belum bisa ngomong kenapa aku dan mamanya Lea bisa pisah, kenapa mamanya itu jahat sama papanya, apa yang dilakuin mamanya, dan kenapa-kenapa yang lain.”

“Pelan-pelan, Mas. Elea pasti bakal ngerti. Gimanapun Mbak Rania tetep mamanya. Walau dia nyakitin kamu, dia tetep harus jadi mama yang hebat buat anaknya.”

“Gimana kalau aku pengin orang lain yang jadi mama yang hebat buat Lea? Bukan Rania.”

Utara mengerjap. Tak mengerti arah perbincangan mereka ke mana. Ia hanya mencengkeram sisi kemeja yang Arion kenakan di saat rasanya tubuh mereka semakin rapat, Arion seperti terus menarik tubuhnya mendekat.

“Mas,” panggilnya. “Terus apa lagi yang aku lakuin?” Ia mengalihkan.

Arion tersenyum kecil, ia menatap mata Utara sejenak sebelum kepalanya tiba-tiba bergerak lebih mendekat dan miring untuk mendekat ke arah leher Utara. Dengan refleks yang entah gimana, Utara mendongak.

“Begini,” ujar Arion. Utara bisa merasakan napas berat lelaki itu di lehernya, membuatnya semakin erat mencengkeram kemeja Arion.

“Terus?” katanya dengan nada tercekat.

“Begini.” Kini wajah Arion berpindah ke depan wajah Utara. Kepalanya masih agak miring, dan bibirnya nyaris menyentuh bibir Utara. Mereka hanya perlu bergerak sedikit untuk membuat bibir itu saling bersinggungan.

Utara menahan napasnya, ia menelan ludah susah payah. Lalu berujar dengan agak tercekat, “Begitu doang?”

Astaga!

Utara bisa melihat seringai Arion setelah ia bertanya begitu!

Seringai yang membuat Utara merinding.

Benar-benar merinding.

“Mau aku tunjukin beneran?”

Utara membeku. Apa ia sungguh-sungguh mencium Arion malam itu?

Mencium bibir lembab dan yang rasanya kelihatan mansi candu?

Mereka berciuman?

Utara ingin berteriak.

Bukan karena merasa malu, tapi karena menyesal kenapa ia tak ingat momen itu.

Kenapa ia harus lupa? Di saat sekarang ini ia nyaris gila menahan diri agar tak maju lebih dulu menyambar bibir itu.

Arion mendengus, lalu bergerak menjauh. Melepas pinggang Utara, menatap Utara dalam jarak yang kembali agak jauh—meski itu masih bisa dibilang dekat. “Kapan-kapan aku tunjukin keseluruhannya,” ucapnya, lalu mengambil seluruh tas milik Utara yang jatuh, membawanya ke pantri.

“Aku buatin pasta. Kamu suka?”

Ya.

Suka.

— 27


“Mas, kenalin ini temenku, Erika. Terus ini anaknya, Devan. Dan ini Rizal, atau panggil aja Ijal, dia paralegal di kantor,” Utara memperkenalkan orang-orang yang bersamanya saat ini saat Arion menghampiri mejanya bersama Elea.

“Arion.” Cowok itu mengulurkan tangannya ke hadapan Erika dan Rizal secara bergantian. Kemudian menoleh pada Elea yang ada di gendongannya, yang memang sejak ia membawanya berkumpul bersama para pegawai kantornya, bocah itu ngambek, cemberut dan tak mau bicaranya padanya.

“Hai …, kamu pasti yang namanya Elea, ya,” Erika berusaha mengambil perhatian bocah itu. “Kamu mau main nggak sama anak Tante. Dia seumuran sama kamu lho, namanya Alya.”

Berhasil.

Elea mengalihkan tatapannya pada Erika, lalu pada Devan yang duduk di kursi khusus anak kecil, sedang memakan biskuitnya. “Tapi dia cowok.”

Erika tertawa. “Oh, bukan yang ini. Tante masih punya satu anak lagi di rumah, lagi main sama neneknya. Mau nggak main sama dia di rumah? Dia punya boneka Barbie sama rumah-rumahannya lho. Ada mobilnya juga. Ada masak-masakan juga.”

“Apa ini nggak terlalu ngerepotin?” tanya Arion, menatap Utara dan Erika secara bergantian.

Sejujurnya ia tak terlalu setuju dengan saran yang Utara berikan, yaitu menitipkan Elea di rumah Erika. Utara mengatakan, Elea pasti nggak akan bosan apalagi bete sampai ngambek kayak sekarang karena di sana Elea akan bertemu dengan Alya, teman sebayanya, dan mereka bisa bermain bersama.

Tapi setelah dipikir ulang lagi, tak ada pilihan lain yang bisa dijadikan alternatif selain saran dadi Utara. Elea sudah kepalang bete dan ngambek sama papanya, dan membawanya ke tempat ia rapat pun akan tambah membuat anaknya itu marah. Belum lagi kesan buruk yang akan Arion terima dari kliennya ini kalau benar-benar akan membawa Elea.

Di sisi lain, Utara juga awalnya agak bingung menyampaikan hal ini pada Erika. Bagaimanapun Erika sendiri sudah pasti lelah dengan mengurus dua anaknya sendiri, belum lagi ia sedang hamil. Tapi saat Utara menyampaikan rencana tersebut, Erika justru sangat bersemangat.

“Nggak apa-apa, Tar. Suruh aja dia ke sini, nanti gue bantu ngomong deh. Alya kalau ada temennya gitu justru malah gampang dibilanginnya. Paling juga mereka bakal main bareng, nggak akan ngerepotin sama sekali. Lagian, ada nyokap gue di rumah. Tenang aja.”

Begitu katanya.

“Menurut lo gimana, Jal?” Utara meminta pendapat Rizal.

“Eum …, ya …, terserah sih, Mbak. Emangnya ada pilihan lain?”

“Nggak ada, sih.” Utara nyengir.

“Tapi, Mbak. Sejak kapan Mbak deket sama Pak Ari? Dia klien Mbak dulu, kan? Waktu saya belum kerja sama Mbak.”

Utara tak menjawab. Ia memilih bungkam. Kalau boleh memilih pun, ia tak mau bertemu dengan Arion lagi kalau caranya dengan muntah di depan cowok itu dan mengotori bajunya. Tapi melihat wajah bete Elea di bangku sana, Utara mencoba mengesampingkan rasa malunya dan misteri malam itu di kamar Arion.

“Nggak ngerepotin sama sekali, Mas,” suara Erika kembali terdengar. Saya di rumah nggak sendirian kok, ada mama saya juga yang nemenin. Kebetulan suami lagi dinas ke luar kota.” Ia tersenyum kecil, membuat Utara meringis. “Lagian nggak sampai seharian ini, kan? Sore udah pulang, kan?”

“Iya. Saya sore langsung pulang,” jawab Arion.

“Nah, nggak apa-apa. Hitung-hitung nambah temen baru buat anak saya sama Elea.”

Arion menatap Elea. “Gimana? Mau nggak main sama anaknya Tante Erika?”

“Sama Tante Seksi juga?” Elea menatap Utara.

Erika menahan tawa. Rizal membelalak kaget. Arion mendesah berat.

“Lea, kan, Papa udah bilang, panggil Tante Tara yang bener. Tante Tara.”

“Tapi dia Tante Seksi.”

Utara meringis. “Nggak apa-apa, Mas. Jangan diomelin.”

“Iya, kan? Dia seksi, kan? Emang bener panggilannya. Tante Seksi.” Erika terkikik pada Elea, mencoba mengambil hati bocah itu.

“Tapi Tante Seksi nggak ikut,” Utara berujar. “Tante harus ke kantor lagi buat kerja.”

Elea agak cemberut.

“Tapi Tante punya permen buat Elea kalau mau ikut main sama Alya.” Utara tersenyum.

“Permen susu?” Elea menatap antusias.

Utara mengangguk. Lalu mengambil tasnya, mengaduk-aduk isi di dalamnya untuk mengambil permen di dalam sana. Dua buah. “Yang satu buat kamu, satu lagi kasih ke Alya. Oke?”

Elea mengambil permen itu dan mengangguk kecil. Lalu menatap papanya untuk memberikan jawaban.

“Pak Ari,” Sandra tiba-tiba menghampiri, menatap Erika, Utara, dan Rizal sekilas, lalu tersenyum dan mengangguk sopan sebelum mengembalikan tatapannya pada Arion. “Kami semua udah selesai.”

“Oh, udah?” Arion menatap ke mejanya di belakang sana. “Sebentar. Jangan pakai kartu perusahaan, pakai punya saya aja.” Ia merogoh saku belakang celananya, lalu agak susah payah mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya—ia masih menggendong Elea. “Sekalian meja yang ini. Belum dibayar, kan?” Ia menatap Utara. “Pinnya tanggal ulang tahun Lea. Tahu, kan?”

Sandra mengangguk patuh. Lalu pergi sebelum Utara sempat memprotes.

“Mas, kok dibayarin segala?” Utara protes.

“Nggak apa-apa, sekalian. Hitung-hitung traktir karena udah ngasih solusi buat aku.” Arion tersenyum.

“Ya, tapi—”

“Makasih, Mas Ari,” potong Erika cepat, menengahi perdebatan.

“Makasih, Mas.” Rizal juga ikutan, membuat Utara mendesah pasrah.

Tak lama setelah itu, Sandra kembali dengan mengembalikan kartu kredit milik Arion, juga membawa tas sekolah milik Elea, disusul dengan para pegawainya yang mengantre untuk mengucapkan terima kasih karena sudah ditraktir makan siang, dan Arion menyuruh mereka segera kembali ke kantor karena ia dan Sandra akan langsung pergi ke tempat rapat dengan perusahaan lain.

Sandra mengikuti Arion sampai ke parkiran untuk mengantar Elea ke mobil Erika.

“Kalau gitu, kamu sama Ijal biar aku dan Sandra yang anter ke kantor. Biar Erika nggak harus bolak-balik nganterin,” ujar Arion yang mengetahui kalau Erika yang menjemput Utara dan Rizal di kantornya sebelum mereka datang bersama-sama ke resto ini.

“Iya, Tar, gitu aja,” Erika setuju dengan cepat. “Lagian mobil gue nggak muat. Sempit.” Ia menepuk mobil sedan putihnya yang memang cuma muat untuk 4 orang dewasa. Jika Devan di kursi belakang bersama car seat tambahannya, dan Elea di depan. Maka Erika cuma bisa membawa satu orang dewasa lagi. Ya, bisa sih, dengan merangkul Elea. Tapi membuat Utara dan Arion bersama lebih baik daripada hal lain.

“Emangnya searah?” tanya Utara.

“Nggak, sih. Tapi muter dikit nggak apa-apa.” Arion tersenyum.

Utara mengembuskan napas pasrah.

“Lea, lihat Papa.” Arion berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Elea. “Di rumah Tante Erika nanti, jangan nakal, oke? Main yang baik sama anaknya Tante Erika. Jangan berantem, jangan ngerepotin orang lain, pokoknya jangan nakal. Nanti Papa jemput sore pulang dari kantor. Iya?”

Elea mengangguk, memeluk sang papa seolah itu pertemuan terakhir mereka, membuat Arion tertawa.

“Kalau di sana pinter, nanti pulangnya kita beli es krim.”

“Beneran?” Elea menatap antusias.

“Iya.” Arion mengulurkan jari kelingkingnya, dan disambut dengan semangat oleh Elea yang langsung mengaitkan jari kelingkingnya yang kecil ke kelingking Arion yang besar. Setelah itu Arion mencium kedua pipi anaknya.

Tanpa sadar Utara memperhatikan adegan itu dengan sangat baik, membuat hatinya bergetar. Membuat iri sekaligus senang karena ternyata di luar sana masih ada seorang papa yang sayang anaknya, yang tak malu memperlihatkan cintanya di hadapan banyak orang. Erika menyenggol lengan Utara, membuatnya tersentak pelan.

“Kalau lo nggak suka sama brondong seksi, mungkin lo lebih suka sama hot daddy kayak gini, Tar. He's truly the best father,” bisik Erika sangat pelan, tapi masih bisa Utara dengar dengan baik.

“Apaan, sih?”

Erika mencibir, terkikik meledek.

“Ada handphone-nya Lea di tasnya. Kalau ada apa-apa bisa langsung hubungin saya pake hape itu. Nomor saya ada di panggilan darurat nomor satu,” Arion bicara pada Erika.

Erika mengangguk paham. Ia lalu membantu Elea untuk naik ke mobilnya, memakaikan sabuk pengaman, kemudian berjalan menuju kursi pengemudi, dan Utara menyusul untuk bicara.

“Hati-hati. Bawa mobilnya pelan aja. Inget, lo lagi bunting, bawa anak kecil juga. Kabarin gue kalau udah sampai. Kalau nggak ngabarin, gue nggak mau ketemu lo lagi.”

Erika terkekeh. “Iya, Baby, iya …. Bawel banget buset.”

Utara cemberut, ia merunduk untuk menatap ke dalam mobil. “Elea, jangan berantemin Alya, ya. Dia anak Tante juga, tahu?”

“Anak Tante Seksi juga? Alya punya dua mama?”

“Iya. Alya punya dua mama.”

“Kok aku cuma punya satu?”

Utara berdeham. Ia tak bisa menjawab, ia langsung berdiri tegak dan tatapannya bersirobok canggung dengan Arion di seberang mobil sana.

Setelah itu Erika langsung pergi dari sana, menyisakan Sandra yang sudah masuk ke mobil Arion dan duduk di kursi pengemudi, Arion yang masih menatap Utara, Utara yang berdiri canggung, dan Rizal yang sibuk dengan ponselnya. Tanpa berdebat—lebih tepatnya tidak punya waktu untuk protes, Rizal mengambil tempat duduk di kursi depan samping pengemudi, membuat Utara duduk di belakang bersama Arion, membawa ingatan soal muntah itu, yang membuat Utara merinding.

Lalu pertanyaan soal apa yang sebenarnya Utara lakukan malam itu kembali menyelimutinya.

Utara benar-benar cuma tidur, kan?

Maksudnya tidur setelah muntah.

Lalu … bagaimana pakaiannya bisa terganti?

Benar-benar Elea yang melakukannya, kan?

Memangnya bocah sekecil itu bisa?

Utara ingin kabur saat ini juga.

— 05


Utara nyaris terjatuh karena langkahnya tersandung boks-boks berisi barang-barangnya yang sama sekali belum ia bongkar semenjak datang ke apartemen itu seminggu lalu dan ia baru resmi menempatinya kemarin. Ia benar-benar tak punya waktu untuk merapikan semuanya, hanya berusaha mengingat di mana ia menaruh barang yang sedang diperlukannya, dan mengambilnya segera di sana, membuatnya semakin berantakan.

Setelah ini ia harus segera merapikan semuanya sebelum stres akibat menumpuknya pekerjaan membuatnya tambah stres akibat tempat tinggal yang mirip kapal pecah. Setidaknya ia harus mencari orang untuk merapikan ini semua kalau ia benar-benar tak punya waktu untuk melakukannya. Erika mungkin kenal seseorang yang bisa dipekerjakan paruh waktu untuk bantu membereskan seluruh ruangan dan isi boks-boks yang Utara punya ini.

Utara terpaksa pindah dari apartemennya yang lama karena terlalu banyak yang menyebalkan di sana. Mulai dari lift yang sering eror, air yang kecil, dan juga sempit untuk menampung barang-barangnya yang ternyata sudah banyak.

Butuh waktu hampir setengah jam untuk mencari sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah yang akan ia pakai hari ini ke acara syukuran tujuh bulanan sepupunya, anak dari tantenya yang paling menyebalkan.

Mengingat apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, Utara berniat tak datang. Toh, daripada datang ke acara yang membuat dirinya stres, lebih baik membongkar boks pindahan dan mulai merapikannya sedikit-sedikit. Tapi, mamanya memaksa. Dan karena paksaan itu Utara berniat untuk sengaja membuat mulut para saudaranya di sana—bukan hanya Tante Sal—kepanasan hingga tak tahan untuk berbicara pedas padanya. Utara menantikan hal itu. Kira-kira apa yang akan dilontarkan kali ini?

Usianya yang sudah 33 dan tak kunjung menikah?

Mementingkan karier daripada cari pacar atau suami?

Membandingkan Utara dengan sepupunya yang lain, yang sudah menikah dan sudah punya anak?

Utara sudah biasa.

Hari ini ia sengaja memakai dress ketat berwarna hitam yang memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan sangat baik, mengekspos bagian bahunya, bahkan memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Makeup-nya dibuat mencolok dengan lipstick merah seksi, belum lagi heels merah, dan tas bermerek yang ia sengaja pamerkan. Tapi tenang, Utara membawa sebuah blazer yang nanti akan ia pakai terlebih dahulu ketika sudah sampai di sana, kalau mulut para saudaranya mulai memanas, ia terpaksa membuka kembali blazernya demi membuat suasana semakin membara.

Ketika ia keluar dari dalam unit apartemennya, hal pertama yang menyambutnya adalah suara tangis seorang anak perempuan yang berasal dari ujung sana. Ia keluar dari dalam unitnya, dan anak itu dalam gendongan sang ayah keluar dari dalam lift, berjalan berlawanan arah dengan Utara hingga akhirnya mereka bertemu tepat di depan pintu unit lelaki yang sedang menggendong anaknya yang sedang menangis itu.

Sejenak Utara terkejut, baru semalam mereka bertemu, kini sudah bertemu lagi. Lalu tersenyum kaku ketika mata mereka saling bertemu.

“Hai, Mas,” sapa Utara, berusaha terlihat ramah.

“Hai, Tara,” Arion Janardana yang tengah memeluk putri semata wayangnya yang sedang menangis dalam gendongannya, balik menyapa Utara dengan senyum ramah seperti yang ia perlihatkan semalam ketika mereka bertemu kembali setelah kasus perceraiannya tiga tahun lalu. “Mau pergi?”

“Eum …, iya.” Utara memperlihatkan senyum terbaiknya, agak tak fokus karena wajah tampan Arion yang rasanya bertambah sejak pertemuan terakhirnya tiga tahun lalu, juga otot lengan yang menyembul dari balik kaus kerah yang dikenakan lelaki itu. Bahkan tak mengurangi auranya meski sedang menggendong anak dan menyampirkan sebuah tas punggung kecil berwarna pink—OH! Atau itu justru yang menambah aura seorang Arion Janardana saat ini?

“Oh, oke. Hati-hati.”

Niatnya, Utara ingin segera pergi, tapi suara tangisan yang tak kunjung berhenti itu menahannya sedikit lebih lama lagi. Biasanya ia tak begini. Ia suka anak kecil, sebagaimana ia menyukai anak-anak Erika, tapi kalau sedang menangis apalagi sampai tantrum …. Utara akan angkat tangan dan lebih memilih menjauh.

“Eum …,” Utara mencoba berbicara pada bocah itu, membuat Arion berjengit sesaat. “Hai …. Elea, kan?” tanyanya.

Suara tangis Elea berhenti sejenak, kepalanya yang sejak tadi dikubur di pundak sang papa bergerak untuk menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya, menatap Utara di sana dengan mata basah, hidung merah, dan wajah bingung. Bocah itu tak menjawab.

“Masih inget sama aku nggak?” tanya Utara lagi, dengan nada yang ceria.

Elea mengerjap, berusaha mengingat. Siapa gerangan tante seksi di hadapannya ini?

“Inget nggak, Lea?” Arion ikut bicara. Tersenyum saat sang anak menatapnya untuk menuntut jawaban. “Tante Tara. Inget nggak?”

Elea menatap tante seksi itu lagi.

“Lupa, ya?” si tante seksi pura-pura cemberut. “Kecewa deh, Tante.”

Arion terkekeh. “Kalau gitu, ayo kenalan lagi sama Tante Tara.”

Elea kembali mengerjap, menatap bergantian Arion dan Utara sebelum kemudian kembali menenggelamkan wajahnya ke pundak Arion dan kembali menangis. Melihat itu, Utara agak panik.

“Lho, lho …, kenapa?” tanya Utara. “Kenapa, Mas?”

Cowok itu tertawa. “Nggak apa-apa. Dia emang lagi ngambek aja, lagi nggak nurut.”

Dan ucapan itu membuat tangisan Elea kembali membesar.

“Dia minta beli es krim tadi, padahal semalem udah ngabisin satu cup gede sendirian. Jadinya, ya …, begini,” jelas Arion, tersenyum. Seolah tangisan semacam itu bukan apa-apa untuknya, tak akan mengguncangnya, tak bisa membuatnya stres.

Utara ingat semalam di minimarket Arion memang membeli es krim, dan ternyata itu untuk anaknya. Ia meringis sebelum mengingat sesuatu yang ada di dalam tasnya—selalu ada di dalam tasnya. “Kalau gitu …, Elea mau ini nggak? Tante punya sesuatu.”

Elea berhenti menangis lagi. Ia mengangkat wajahnya, menoleh dan menatap penasaran Utara yang sedang mengaduk-aduk isi tasnya—agak kesusahan karena ia sambil memegang blazernya yang belum dipakai itu.

“Tada!!!” seru Utara sembari menunjukkan permen gagang rasa susu pada Elea. “Karena papa kamu nggak bolehin makan es krim, semoga dibolehin makan ini.” Ia memberikannya pada bocah itu. “Is it okay, Mas?” bisiknya seraya melirik ke arah Arion.

Arion tersenyum. “Ternyata kamu masih suka makanin permen susu itu, ya?”

Utara meringis. Tak menyangka kalau Arion mengingatnya, bahkan setelah tiga tahun berlalu. Kebiasaan, atau mungkin kegemaran Utara mengemut permen susu itu kalau sedang berpikir, dan ketika sedang menyelesaikan kasus perceraiannya Arion tiga tahun lalu, Arion jelas melihat Utara berkali-kali dengan mulutnya yang sedang mengemut permen itu.

“Ya, nggak apa-apa,” sambung Arion setelah Elea menoleh ke arahnya, menatapnya penuh permohonan.

Senyum Utara mengembang. Ia merasa bangga ketika Elea mengambil permen dari tangannya dan setelahnya Arion menurunkan Elea dari gendongannya.

“Bilang apa sama Tante Tara?” ujar Arion pada anaknya.

Elea yang sedang berusaha membuka bungkus permen itu mendongak untuk menatap Utara. “Makasih, Tante,” katanya dengan suara pelan.

Utara kembali tersenyum, senyum bangga. “Sama-sama.”

“Makasih, Tara,” Arion ikut berujar, tersenyum pada Utara. Setelah menurunkan Elea, Utara jadi bisa melihat penuh bagaimana proporsi badan Arion di hadapannya saat ini—semalam ia tak melakukan hal itu karena terlalu terkejut bisa bertemu kembali dengan Arion yang bahkan tiba-tiba menjadi tetangganya. Oh, atau ia yang menjadi tetangga Arion? Karena sejatinya Utara yang penghuni baru di apartemen ini.

Kaus kerah yang bagian lengannya agak ketat karena otot bisepnya yang besar—tidak benar-benar besar seperti binaragawan, tapi mungkin cukup keras dan kencang jika dipegang. Dada bidangnya yang membuat kaus itu terlihat bagus saat dipakai. Rambut hitam legam yang ditata rapi. Celana sebatas lutut yang memperlihatkan otot betis yang kuas. Dan tentu saja wajah tampan.

Tunggu!

Utara tak sadar sudah memperhatikan Arion sebegitunya sampai ia tersentak ketika ponselnya di dalam tas berbunyi dan kontak Nayla muncul di layar, membuatnya mendengus.

“Kamu kayaknya lagi buru-buru,” ujar Arion, membuat Utara menatap lelaki itu. “Maaf aku jadi bikin nahan kamu agak lama.”

Utara terkekeh kecil, menolak panggilan telepon yang sudah bia ia tebak akan berujar apa adiknya di ujung sana, pasti akan mengomel. “Bukan salah kamu kok, Mas.” Ia tersenyum. “Ya udah, kalau gitu aku permisi dulu.”

“Oh, ya, Tara,” Arion memanggil, sesaat setelah Utara melangkah meninggalkannya. “Kebetulan aku masih save nomor kamu, tapi kayaknya ….” Ia menggantung kalimat itu, merasa Utara sudah tahu apa maksudnya.

“Oh! Aku ganti nomor, Mas. Sebentar.” Ia lalu mengaduk-aduk tasnya lagi, mencari dompet untuk mengeluarkan kartu namanya. “Ini nomorku ada di sana.”

Arion menerima kartu nama itu dengan senyuman. Menatapnya sekilas sebelum mengembalikan pandangan pada wajah cantik Utara di hadapannya. Sulit sekali rasanya untuk benar-benar fokus pada wajah Utara dan tak jelalatan ke tempat lain seperti bajingan sinting. “Oke. Makasih. Aku izin simpan, ya.”

“Nanti langsung chat aku aja, Mas, biar aku save nomor kamu juga. Kebetulan waktu itu hape aku hilang, dan kontaknya ikutan hilang juga, makanya ganti nomor.”

“Iya, oke …. Nanti aku chat.”

Setelah kembali berpamitan dengan Arion dan Elea yang sudah memakan permennya, Utara pergi dari sana sembari menggerutu karena Nayla kembali meneleponnya dan ia terpaksa mengangkatnya.

“Iya, iya …, ini gue berangkat nih. Bawel banget,” katanya pada Nayla di seberang sana, sembari menekan tombol lift dan sebelum masuk ke dalamnya, ia menoleh ke arah Arion yang ternyata masih menatapnya, tersenyum singkat, lalu masuk dan benar-benar pergi.

— 101


Jam belajar mengajar Bina Bakti selesai pukul setengah dua siang, tapi biasanya para guru baru akan pulang setengah atau bahkan satu jam kemudian. Dan hari ini mereka pulang lebih lama karena begitu selesai jam pelajaran terakhir, mereka harus melanjutkan rapat untuk pelaksanaan PTS minggu depan.

Hari Senin ini jadwal mengajar Jidan penuh dari pagi sampai siang, makanya ia terlihat yang paling loyo di ruang rapat tersebut di antara guru-guru yang lain. Tidak pernah juga ia berada di posisi di mana guru-guru rela menambah jam di sekolah untuk rapat dibandingkan memotong jam mengajar di kelas. Biasanya, kalau ada rapat begini, murid dibiarkan belajar sendiri di kelas atau bahkan pulang lebih awal karena guru-guru yang mengajar harus rapat. Tapi Bina Bakti punya peraturan yang berbeda. Ya …, itu memang sebanding dengan upah yang diberikan. Jidan tidak boleh mengeluh.

Tapi energinya benar-benar terkuras habis begitu keluar dari ruang rapat yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu.

“Pak Jidan!?” seru seseorang saat Jidan baru akan melangkah melewati gerbang sekolah untuk pulang. Saat energinya habis pun ia masih harus jalan kaki pulang ke kostan.

Jidan menoleh, mendapati Sabria dengan motornya mendekat ke arahnya.

“Yuk, ikut sama saya,” tawar perempuan itu.

Jidan mengerjap. “Eh …, nggak usah, nggak apa-apa. Saya deket kok.”

“Iya, tahu. Ke kostannya Eza, kan?”

“Mau sekalian ke sana? Ketemu Eza?”

“Eum …, nggak sih. Lagian Eza kan nggak ada, ada meeting ke pusat dia, ngomongnya sih dua atau tiga hari gitu.” Sabria nyengir. “Udah, ayo nggak apa-apa, daripada pingsan di jalan.”

Jidan tersenyum kaku. Ternyata kelihatan ya kalau ia begitu lelah sekarang ini.

Sabria kembali memberi isyarat agar Jidan segera naik ke motornya. Dan karena ia memang sudah sangat lelah, tak punya tenaga untuk menolak lagi, akhirnya Jidan naik ke atas motor tersebut dan Sabria lanjut menjalankan motornya.

“Capek banget ya, Pak, ngajar di Bina Bakti?” tanya Sabria saat mereka sudah ada di atas motor.

Jidan hanya terkekeh kecil.

“Nggak apa-apa, Pak, habis ini bisa langsung tidur kok sampai besok pagi.”

“Saya masih harus nyiapin bahan mengajar besok.”

“Oh, iya ….” Sabria nyengir. “Lupa, walaupun sama-sama di guru Bina Bakti, kita beda.” Lalu dia tertawa. “Tapi saya kadang kalau lagi mau ujian gini sibuk juga kok, Pak, di rumah. Apalagi pas udah mulai rekap nilai.”

“Semua pasti punya kesibukannya masing-masing,” balas Jidan.

“Iya, bener …. Saya harap Pak Jidan betah deh di Bina Bakti. Sampai semester-semester selanjutnya.”

“Emangnya kenapa kalau saya berhenti?”

“Nyari penggantinya susah, Pak. Kriteria kepala sekolah sama kepala yayasan tinggi banget, kalau buat guru yang ngajar kayak Bapak nih, nggak mau mereka nerima yang belum punya pengalaman, harus udah pernah ngajar sebelumnya.”

“Oh …, pantes saya lolos, ya.”

Sabrina tertawa. “Bukan cuma karena pengalaman kok, Pak. Dinilai dari aspek lain juga. Urusan internal itu, saya juga nggak paham-paham amat. Tapi ya …, selama nunggu guru baru, guru-guru yang lain suka pada ngeluh karena harus jadi guru pengganti dadakan. Kayak waktu pas Pak Jidan belum masuk itu. Jadi jadwalnya pada nambah.”

“Tenang, buat sekarang, saya nggak ada niat buat berhenti kok, baru juga masuk.” Jidan tersenyum kecil.

Tak lama setelah itu, motor Sabria sampai di depan kostan yang kebetulan Idah sedang ada di depan warungnya. Jadi saat Jidan turun dan berterima kasih pada Sabria karena sudah mengantarnya, Sabria yang kenal dekat dengan Idah memutuskan untuk mampir dulu ke rumah Idah untuk berbincang sementara Jidan langsung masuk ke kamarnya dan tak memikirkan apa-apa lagi selain tidur.

Ia bahkan tak melepas pakaiannya, begitu saja menghempaskan tubuhnya ke kasur dan tak lama terlelap. Ia tak yakin tidur berapa lama, tapi sepertinya tak begitu lama karena begitu bangun, langit di luar masih terang. Kepalanya begitu sakit dan tenggorokannya kering. Air di dalam botol minumnya sudah habis, jadi ia perlu ke bawah untuk mengisi kembali botol tersebut. Namun, baru juga keluar dari kamar, ia melihat pintu balkon terbuka dan Gladys sedang berdiri di sana bersama seorang anak kecil yang entah siapa.

Ia penasaran, tapi nyatanya belum benar-benar terkumpul untuk menghadapi Gladys saat ini. Jadi, ia memutuskan untuk tak peduli. Tapi semesta memang selalu tak berbaik hati padanya, karena ketika ia baru akan berbalik melangkah menuju tangga, suara Gladys terdengar memanggilnya.

“Pak Guruuuuu!!!???” seru perempuan itu dengan suara yang nyaring dan lantang, membuat kepala Jidan semakin pening.

Jidan berbalik, menatap perempuan itu yang sudah melangkah sembari menuntun anak kecil yang bersamanya.

“Mau minum, ya?” tanya Gladys, melirik pada botol minum milik Jidan.

“Iya,” jawab Jidan dengan suara yang pecah, serak, dan berat, membuatnya langsung berdeham.

“Uuuuu …. Seksinya.” Mata Gladys memicing. “Coba bilang, 'Are you lost, Baby Girl?'. Cepet!!!” tiba-tiba antusias.

“Om ini siapa, Tante?” bocah perempuan kecil yang dibawa Gladys bertanya, merujuk pada Jidan berdiri menjulang di depannya.

“Kok Tante, sih. Mama …. Coba bilang, mama ….”

Bocah itu tak membalas.

“Ini Pak Guru, Rui. Ayo salim sama Pak Guru.”

Rui menurut cepat, menyalami tangan Jidan.

“Anak … kamu?” tanya Jidan dengan nada percaya.

Gladys mengangguk. “Calon anak gue,” jawabnya. “Iya, kan, Rui?” Ia menoleh ke arah Rui lagi. “Coba panggil 'mama', Ma … ma ….”

Rui tetap diam.

Jidan ingin tak percaya, tapi wajah Gladys terlihat serius. Tapi juga dalam kondisi apa pun wajahnya memang begitu, tidak bisa ditebak mana yang serius dan mana yang cuma sekadar bercanda. Ia ingin tak peduli, tapi hal itu cukup mengganggunya.

“Rui!?” suara lelaki dewasa di lantai bawah terdengar memanggil si bocah, membuat tangan yang semula digenggam oleh Gladys itu meminta dilepas dan ia berlari menuju tangga.

“Ayah!”

“Jangan lari-lari, nanti jatuh!” seru Gladys, mengejar Rui.

Jidan yang memang semula berniat ke lantai bawah, mengekori keduanya. Selain karena ingin ke dapur mengambil air minum, ada dorongan rasa penasaran juga di dalam hatinya mengenai lelaki yang Rui panggil sebagai ayah. Kalau benar, apa lelaki itu pacar Gladys? Selama ini Gladys punya pacar? Seorang duda? Punya anak? Dan bisa-bisanya perempuan itu melayangkan kalimat rayuan yang cenderung tak senonoh pada Jidan di saat ia punya pacar dan akan jadi seorang mama? Jidan tahu Gladys gila, tapi ia tak tahu kalau perempuan itu ternyata segila itu.

Dan bisa-bisanya ia nyaris teriakan rayuan si perempuan gila?

Jadi, siapa sebenarnya yang gila di sini?

Kepala Jidan semakin sakit.

“Ayo kita pulang, udah mau malem.” Rion mengusap kepala Rui yang datang langsung memeluknya.

“Udah diskusinya, Mas?” tanya Gladys kemudian, menatap Rion dan Diana di sana secara bergantian.

“Udah kok, thanks ya,” jawab Rion sebelum mengalihkan pandangannya pada lelaki di belakang Gladys.

“Itu Pak Guru,” bisik Rui yang mengerti arti raut wajah sang ayah.

“Oh, ngekost di sini juga?” Rion tersenyum lebar, menghampiri Jidan untuk mengulurkan tangannya. “Yang ngajar di Bina Bakti, kan?”

“Iya.” Jidan menyambut uluran tangan itu dengan tersenyum kaku. “Jidan,” katanya.

“Oh, saya Rion. Eum—”

“Calon suami gue,” potong Gladys, seolah tahu kalau Rion akan memperkenalkan diri sebagai seseorang yang kerja di kantor yang sama dengan tempat Gladys magang.

Rion tertawa, tak menyangkal atau mengiakan. Ia sudah terlalu paham dengan sifat Gladys, jadi tak pusing untuk membalas ucapan itu.

“Coba panggil mama …,” Gladys kembali bicara pada Rui, dan Rui kembali tak menjawab.

“Kalau gitu, gue pulang ya, Dys.” Rion mengambil tas Rui dan menyampirkannya di sebelah pundak. “Diana, nanti saya kabarin, ya. Makasih udah nyempetin buat ketemu,” ujarnya pada Diana. “Rui, ayo salaman dulu sama Tante Diana.”

Rui menyalami tangan Diana tanpa protes, lalu berujar, “Tante Princess.”

Gladys tertawa.

“Pasti ajaran lo,” gumam Diana.

“Anak gue tuh.”

Rion terkekeh. “Kamu mau pulang ke rumah atau gimana? Kalau mau pulang, biar sekalian saya anter—”

“Oh, nggak usah, Mas.” Diana mengibaskan tangannya. “Saya ke sini bawa motor kok.”

“Oh, gitu. Oke …. Nanti kita ketemu lagi.”

Setelah berpamitan sekali lagi, juga berpamitan dengan Idah yang merupakan saudara Diana itu sendiri, Rion pergi dari sana dan Diana pun pergi ke rumah Idah, meninggalkan Gladys dan Jidan yang sudah berhasil mendapatkan air minumnya di dapur.

“Ganteng nggak calon suami gue?” tanya Gladys, mendekati Jidan yang duduk di kursi meja makan setelah meneguk satu gelas besar air mineral.

“Siapa?”

“Ya, Mas Rion dong, Pak Guru. Masa elo.”

“Oh ….”

“Gimana? Ganteng nggak? Duda kaya raya dia.”

“Ganteng,” jawab Jidan singkat tanpa ekspresi.

“Habis lulus, mau langsung gue ajak kawin.”

“Nikah maksudnya?”

“Iya, itu.” Gladys tersenyum masam.

“Emang dia mau nikah sama kamu?”

“Dih, jangan salah. Pelet gue kenceng gini-gini juga.”

“Tapi dia senyum dia kelihatan lebih tulus ke Diana daripada ke kamu.”

Gladys menatap tak percaya. “Diana itu calon pengasuhnya Rui, kalau gue calon istrinya Mas Rion sekaligus mamanya Rui. Beda.”

“Saya nggak lagi ngomongin kamu siapa, dan Diana siapa. Saya ngomongin cara menatap Mas Rion ke kamu sama Diana.”

Mata Gladys memicing. “Bilang aja Pak Guru cemburu, iya, kan? Ngaku deh!”

“Ngapain saya cemburu?”

“Alah! Bilang aja. Ngapain juga ngelihatin Mas Rion sebegitunya kalau nggak penasaran sama hubungan gue sama Mas Rion.” Gladys terkikik.

Jidan mengerjap, tak bisa menjawab. Kalau dipikir-pikir, iya juga. Kenapa tadi ia memperhatikan Rion sebegitunya? Menatap lelaki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha menebak parfum yang dikenakan karena masih terendus aromanya. Dan lebih gilanya, membandingkan dengan dirinya sendiri. Kemeja kusut berantakan karena belum sempat berganti pakaian dari pagi, dan datang-datang ke kostan langsung tidur. Rambutnya yang acak-acakan. Wajah lelah. Juga aroma parfumnya yang sudah hilang entah sejak kapan karena pasti harganya tak semahal dengan aroma parfum milik Rion yang bisa bertahan seharian.

Dan kenapa juga Jidan melakukan hal itu?

Secara tak sadar, Jidan memang sudah jadi gila.

Ia memang pernah mendatangi rumah sakit jiwa, tapi bukan gila itu yang dimaksud. Ini … lebih dari gila. Kenapa juga perasaannya jadi aneh begitu Gladys mengatakan kalau Rion adalah suaminya? Dan kenapa perasaannya jadi lebih aneh saat Rion tidak menyangkal hal itu?

Lebih gila.

“Pak Guru suka, kan, sama gue?” Salah satu sudut bibir Gladys terangkat, ia berjalan mendekati Jidan. “Iya, kan? Ngaku deh.”

“Nggak!” Gila kalau ia merasakan hal itu.

“Cinta?”

Jidan berdiri, hendak pergi. Ia bisa gila terlalu lama di sana.

“Kalau gitu—”

“Saya nggak suka sama kamu, Gadis!” suara Jidan tiba-tiba meninggi, memotong ucapan Gladys. “Saya nggak cemburu, nggak suka, dan nggak cinta!”

Gladys mengerjap, agak terkejut dengan suara Jidan yang seperti membentaknya. “Ya …, ya udah. Bagus …,” katanya dengan terbata. “Emang jangan suka sama gue, apalagi cinta. Gue orang jahat soalnya.”

Jidan menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya sebelum pergi dari sana meninggalkan Gladys, tanpa perempuan itu cegah.

Gladys bengong sejenak. Tangannya kemudian meraba dada, diam merasakan degup jantungnya. Terasa … sakit.

— 94


Ada banyak hal yang membuat Kiara kehilangan kata-katanya saat berhadapan dengan Gladys. Pertama, Gladys tahu soal hubungan gilanya dengan Rion Lantai 2, dan ia tak punya pembelaan apa pun soal itu. Kedua, ucapan menusuk Gladys yang meski membuatnya sakit hati tetap tidak bisa ia balas karena yang berada di pihak yang bersalah adalah dia sendiri. Ketiga, meski menyebalkan, urakan, berisik, dan ceroboh, Kiara sadar bahwa ada titik-titik di mana Gladys sejatinya adalah orang yang paling perhatian dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan mungkin pada orang yang tak terlalu dikenalnya.

Siapa yang setiap sampai di kantor menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyapa satpam, OB, bahkan para barista di Under Coffee? Itu Gladys. Apa pun situasinya, perempuan itu seperti punya banyak energi untuk berinteraksi dengan banyak orang, seperti tak punya rasa lelah.

Dan yang ketiga, untuk hari ini, Gladys benar soal Kiara yang akan berkencan. Juga benar soal orangnya.

Di ujung gang, Kiara janjian dengan lelaki itu. Ia sendiri yang meminta dijemput di sana, sebab tak ingin membuat kehebohan dengan Gladys yang mengenal betul siapa lelaki yang mengajaknya kencan ini.

Ya, Narga.

Ia setuju untuk kencan dengan Narga hari ini. Entah apa yang sudah direncanakan lelaki itu untuk hari ini, Kiara hanya akan menurut dan mengikutinya. Seperti kesepakatan mereka, Kiara tidak akan menjadi pihak yang menolak pendekatan Narga selama satu bulan ini.

Selama sebulan, ia akan membiarkan Narga berusaha untuk merebut hatinya yang sejatinya tidak dimiliki siapa-siapa, pun tidak Rion Lantai 2 yang menjadi ancaman terbesar bagi Narga. Sejatinya pula, Narga bukan sekadar merebut hati, melainkan merebut kepercayaan Kiara untuk berhubungan dengannya, untuk mencari bahagia dengannya, untuk mengabaikan apa yang saat ini membuatnya tertekan.

Narga sudah sampai. Bersandar di badan motornya, menatap dirinya sendiri di pantulan kaca spion seraya memainkan rambutnya yang terlihat lebih rapi daripada yang biasa Kiara lihat di kantor. Dan ketika Kiara mendekat, Narga tercium lebih wangi dari biasanya. Bukan berarti selama ini bau, tapi dari beberapa kali Kiara dekat dengan Narga, ia tak terlalu mencium aroma parfum yang digunakan lelaki itu, lebih sering aroma kopi karena mereka hampir selalu ketemu di kedai kopi, yang waktu itu adalah yang pertama kali mereka bertemu dan mengobrol di luar, bahkan dengan pembahasan besar.

“Hai,” sapa Narga setelah berbalik dan menemukan Kiara sudah berdiri di belakangnya. Dalam hati ia berteriak memuji Kiara yang cantik luar biasa saat ini—perempuan itu memang selalu cantik. Dalam benaknya, Narga memuja, bahkan bertekuk lutut di hadapan perempuan itu hanya untuk menyampaikan satu kata; cantik. Kalau tidak buru-buru sadar diri, ia mungkin sudah ambruk tak berdaya karena kecantikan tersebut.

Dalam hati, Narga bertanya, kapan kiranya ia bisa mencium perempuan itu?

“Udah nunggu lama?” tanya Kiara, membuyarkan lamunan Narga.

Narga nyengir. “Oh …, nggak. Barusan.” Ya …, sekitar lima belas menit, lha.

“Ya udah, yuk.”

Sebelum Narga memberikan helm yang sengaja ia bawa untuk dipakai Kiara, ia menatap kembali perempuan itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, tiba-tiba membuat Kiara bingung.

“Kenapa?”

“Eum ….” Narga membuka jaket jins yang dikenakannya, lalu melangkah mendekat. “Gue suka cewek pakai rok, sih. Tapi …, perlu diingat, kalau lo jalannya sama gue yang pakai motor, bukan sama cowok itu yang pakai mobil.”

Kiara seketika melebarkan matanya saat Narga memakainya jaket itu di pinggangnya, mengikat bagian tangannya di punggung tanpa menyuruh Kiara memutar tubuhnya terlebih dahulu, jadi posisinya sekarang ini seperti Narga memeluk Kiara. Dan dari jarak yang sedekat itu, ia bisa menghirup lebih dalam parfum yang Narga kenakan. Citrus, floral, fruity, musk. Aroma-aroma itu masuk ke hidungnya, membelainya dengan lembut, dan membuatnya ingin terus menghirup karena terasa begitu harum dan segar.

Sorry, ya …, gue ngajak jalannya pakai motor.” Narga nyengir, selesai memakaikan jaket di pinggang Kiara.

“Apaan, sih?” Perempuan itu berdecak. Ia bukan dengan sengaja memakai dress agar Narga merasa bersalah karena pakaian semacam itu kurang cocok dipakai naik motor. Ini murni kesalahannya karena tak mempertimbangkan hal itu. Saat sedang memilih baju mana yang harus ia pakai hari ini, ia tak memikirkan banyak hal selain … ingin tampil cantik.

Narga hanya membalas dengan senyum. Lalu ia memberikan helm untuk dipakai Kiara, namun sebelum Kiara mengambil helm tersebut, tangan Narga lebih cepat bergerak untuk memasangkannya langsung ke kepala Kiara, juga bantu memasangkan pengaitnya.

Untuk beberapa alasan, perlakuan semacam ini memang sudah mampu membuat wanita meleleh. Kiara juga merasakannya. Bagaimana Narga lebih dekat dengannya saat memasangkan jaket dan helm, bagaimana Narga melakukan hal itu tanpa diminta lebih dulu, bagaimana Narga setelahnya langsung tersenyum manis ke arahnya. Semuanya sudah mampu membuat Kiara menahan napas sejenak dan sudut hatinya terasa berdenyut dengaan aneh.

Hubungannya dengan Rion Lantai 2 bukan jenis hubungan manis khas remaja yang sedang dimabuk asmara, yang penuh bunga dan penuh kupu-kupu di perut. Tapi lebih kepada hubungan timbal balik antara dua orang dewasa. Rion mendapatkan perhatian yang tidak ia dapatkan dari istrinya karena istrinya merupakan wanita gila kerja yang selalu sibuk di luar rumah, dan Kiara mendapatkan uang sebagai imbalannya.

Rion mungkin menganggap itu cinta, tapi sejujurnya, tak pernah ada cinta yang Kiara rasakan sejak ia memulai hubungan gila itu. Semuanya hanya demi utang sang papa yang harus ia lunasi.

Kiara hampir selalu menangis setiap Rion Lantai 2 selesai menyentuhnya bahkan meski hanya sekadar diberi kalimat yang mengarah kepada perhatian rasa sayang. Lalu kemudian tersadar bahwa untuk apa ia menangis ketika ini semua ia sendiri yang memulainya.

“Pegangan yang bener, Kak,” ujar Narga saat mereka sudah sama-sama naik ke atas motor dan Kiara di belakang hanya menyentuh sedikit ujung kaus yang Narga kenakan sebagai pegangan.

“Ini udah bener,” balas Kiara.

Narga mendengus. “Yang bener tuh gini,” lalu menarik tangan Kiara sampai tubuh itu merapat ke arahnya dan kedua tangan itu melingkar di pinggang dan tertaut di depan perut Narga.

Kiara sudah akan menarik diri, tapi Narga menahannya untuk terus dalam posisi seperti itu, yang bukan hanya sekadar pegangan, tapi juga pelukan.

Narga tersenyum saat Kiara tak lagi berontak dan memilih pasrah dalam posisinya. Dalam hati ia bersorak menang karena kalau naik mobil seperti yang biasa Rion Lantai 2 lakukan, ia tak mungkin dapat modus pelukan begini.

Dan kalau begini caranya, rencananya untuk menonton film sepertinya harus diubah jadi jalan-jalan keliling naik motor saja seharian sampai malam. Narga taak peduli harus isi bensin berkali-kali kalau jaminannya dipeluk Kiara begini. Atau ia bisa cari tempat nonton yang jauh banget, yang melewati puluhan lampu merah supaya bisa mengulur waktu untuk dipeluk Kiarra lebih lama.

Di atas motor, Narga nyengir-nyengir sendiri kayak orang gila.

Atau mungkin dia memang sudah gila.

Gila karena Kiara.

“Lo bilang ke Gladys kalau kita mau jalan?” tanya Kiara dengan suara pelan yang tak begitu Narga dengar.

“Hah!? Apa, Kak?”

“Ih!” perempuan itu mengeluh.

“Majuan sin biar kedengeran,” ujar Narga.

Kiara semula enggan, tapi kalau begitu terus mereka terancam tidak bisa mengobrol sepanjang jalan, jadi ia memutuskan untuk mengalah, mencondongkan lebih dekat lagi tubuhnya sampai benar-benar menempel di punggung Narga, lalu menaruh dagunya di atas pundak lelaki itu agar suaranya yang keluar dari mulut bisa langsung masuk ke telinga Narga tanpa harus sampai teriak-teriak.

Cengiran Narga ssemakin lebar. Ia semakin terlihat seperti orang gila—gila karena Kiara. Napasnya kembang kempis merasakan kalau saat ini Kiara benar-benar memeluknya secara penuh. Ia hanya sedang berharap perjalanan ini tak pernah menemukan ujung. Narga ingin merasakan hal ini selamanya.

“Lo bilang ke Gladys kalau kita mau jalan?” tanya Kiara lagi saat dirasa Narga sudah bisa menangkap suaranya dengan lebih baik.

“Maksudnyaa nge-date?”

Kiara hanya berdeham kecil.

“Nggak sih. Cuma semalem dia nanya aja gue libur kapan, terus gue bilang, besok gue libur. Kenapa? Tadi pas berangkat ketemu dia?”

“Iya. Pagi-pagi buta dia udah bangun, plus bangunin orang sekostan gara-gara nyetel lagu dangdut kenceng banget.”

Narga terkeekehh. “Lagi bikin kue ya dia?”

“Kok lo tahu?”

“Ya, semalem itu dia nyuruh gue ke kostan, dia bilang mau bikin kukis. Jadi gue kalau mau nyobain harus ke kostan, terus gue bilang gue ada acara.”

“Nggak bilang kalau kita mau pergi?”

“Nge-date,” ralat Narga sekali lagi. “Nggak, Kakak Cantik. Gue nggak bilang.”

“Tapi dia tahu kalau kita mau … eum … nga-date.”

“Itu dia nebak aja kali, terus kebetulan tebakannya bener. Gladys tuh orangnya pekaan. Walaupun gak nyebelin, dia tuh perhaatiaan banget sama orang di sekitar dia.”

Kiara tak membalas, ia malah mengingat hal-hal menyebalkan yang Gladya lakukan padanya yang sebenarnya itu adalah bentuk perhatian dari perempuan itu untuknya.

Pertama kali datang ke kostan itu, Kiara sangat tidak suka dengan segala sifat urakan yang Gladys lakukan. Bahkan iara sendiri nyaris membenci perempuan itu, apalagi begitu tahu kalau Gladys malah mengambil tempat magang di kantornya dan ia sendiri ditunjuk sebagai pembimbingnya. Yang ia heran, justru ketika itu Reza terlihat tidak mempermasalahkan apa pun yang Gladys lakukaan di kostan, bahkan Idah terlihat begitu menyukai Gladys sebagai penghuni kostan.

Sampai detik ini Kiara baru menyadarinya bahwa seseorang memang punya caranya sendiri-sendiri untuk memperlihatkan perhatian terhadap orang lain. Yang orang lain itu perlukan hanya menyadarinya. Kalau tidak sadar terhadap perhatian itu, sudah pasti akan membenci sifat orang seperti Gladys.

“Dia kayaknya nggak suka sama gue,” gumam Kiara kemudian.

“Nggak suka gimana?”

“Ya, nggak suka,” jawab Kiara. “Kelihatan benci.”

Narga tertawa, membuat Kiara bingung.

“Kenapa?” tanya perempuan itu.

“Kak, lo tahu nggak orang yang pengin banget gue deketin lo sampai maksa gue buat bikin lo jatuh cinta sama gue?”

“Siapa? Bukan lo sendiri?”

“Ya …, gue juga sih. Gue kan suka sama lo,” Narga terkekeh. “Tapi Gladys tuh orang yang beneran maksa gue buat berani deketin lo sampai ngancem kalau gue gaga bikin lo jatuh cinta sama gue. Dia beneran sepengin itu lihat lo berubah, lihat lo lepas dari hubungan gila itu. Karena ya …, daripada sama cowok gendut dan jelek, mending juga sama gue kan, Kak? Gue ganteng, tinggi semampai, wangi, dan yang penting masih muda. Lo sukaa berondong kayaak gue, kan?”

Kiara memukul perut Narga pelan, tapi membuat lelaki itu mengeluh dengan lebay.

“Apa sih, Kak, yang lo cari dari si jelek itu?” tanya Narga dengan nada serius.

Kiara diam, tak menjawab, dan Narga puun tak menuntut jawaban meski penasaran. Ia hanya berusahaa yaakin bahwa alasan apa puun itu pasti sesuatu yang secara terpaksa ia lakukan walau sejatinya tetap saja hal yang menyebalkan. Bagi Narga alasan paling menyebalkan dari sejuta alasan yang ada di dunia ini adalah kalau ternyata alasan Kiara adalah menyukai lelaki jelek itu, mencintai lelaki jelek itu, dan menemukan kebahagiaannya di lelaki jelek itu.

Maka jika itu benar-benar terjadi, Narga bukan hanya harus melangkah mundur, tapi dia harus benar-benar menghilang.

***

Kiara ternyata sudah curiga saat mereka tak kunjung sampai ke tempat di mana mereka akan menonton film. Makanya dengan sangat amat terpaksa, Narga menyudah kesenangannya dipeluk Kiara dan melipir ke mal untuk segera ke bioskop. Ya …, nggak apa-apa, dia tinggal menyusun rencana modus lain agar Kiara bisa dengan cepat jatuh cinta dengannya.

“Mau nonton apa?” tanya Kiara, menatap deretan posster film di bioskop yang sedang tayang.

Sejujurnya Narga juga tak punya ide soal itu. Semalam ia sudah mencari tahu soal film-film yang sedang tayang, tapi tak ada yang menarik perhatiannya. Belum lagi, ia juga penggemar film di bioskop gini. Ia lebih suka nonton anime di kontrakannya kalau memang sedang ada waktu senggang.

Tapi nonton bioskop masih jadi pilihan kegiatan kencan paling populer saat ini. Sebelum memutuskan untuk mengajak nontoon film, ia punya beberapaa pilihan lain, salah satunya museum date yang juga lagi populer. Tapi kemudian berpikir kalau Kiara bukan tipe orang yang suka mengenal sejarah, belum lagi nanti obrolan mereka yang akan membosankan.

Jadi nonton bioskop jadi satu-satunya pilihan teraman saat ini. Mereka bisa melanjutkaan dengaan makan baareng setelah nonton.

“Itu aja gimana?” Narga menunjuk salah satu film horor yang sedang tayang. “Kebetulan udah mau mulai tuh.”

“Lo suka nonton film horor?”

“Nggak juga, sih. Tapi kalau lo nggak maau, kita bisa pilih film lain.”

Kiara bingung. Ia suka nonton film, tapi bisa dihitung jari jumlah iaa menonton film horor. Bukan tak suka apalagi tak bisa, tapi selagi ada pilihan film lain, kenapa harus horor kan?

Masalahnya, saat ini tak ada pilihan lain dari film-film yang hari ini ditayangkan. Mereka harus menunggu sampai satu jam lebih kalau memang maau menonton film laain.

Ada film animasi yang sekitar dua puluh menit lagi akan mulai. Tapi apa menonton film animasi hewan ketika kencan itu dianjurkan?

“Ya udah, itu aja,” akhirnya Kiara menjatuhkan pilhan.

“Beneran film horor nggak apa-apa?” Narga meyakinkan.

“Ya, nggak apa-apa. Gue nggak sepenakut itu kok. Atau jangan-jangan … lo yang penakut?” Mata Kiara memicing.

“Enak aja.” Narga mendengus tak terima, membuat Kiara tertawa. “Ya udah, tunggu sini, gue beli tiketnya dulu. Siapa tahu masih ada yang di pojok atas.” Lalu nyengir sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kiara.

Kiara membalas dengan senyum kecil. Kemudian menyebarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada orang lain yang mengenalinya. Entah kenapa itu membuatnya was-was. Setelah itu baru melangkah ke konter pembelian makanan dan minuman.

“Kok nggak bilang kalau mau beli itu?” tanya Narga setelah mereka kembali bertemu dengan lelaki itu yang sudah memegang dua tiket, sedangkan Kiara bersama satu wadah besar popcorn dan dua cup minuman yang dipeluknya, membuat Narga dengan sigap mengambil dua cup minuman itu dari Kiara.

“Emangnya harus bilang?”

“Maksud gue, kan biar gue yang beli gitu.”

“Kalau lo udah beli tiketnya, biarin gue beli makanan sama minumannya.”

“Iya, tapi—”

“Nggak usah tapi-tapi. Next time bisa gantian, gue beli tiketnya, lo beli makanan sama minumannya. Biar sama-sama enak.”

Walau Narga sudah menyiapkan uang untuk membiayai seluruh pengeluaran kencan hari ini sebagai seorang lelaki, ia senang Kiara mengatakan hal itu. Bukan berarti sedikit uangnya bisa selamat keluar dari dompet gara-gara Kiara yang ikut membiayai kencan mereka, tapi ucapan Kiara seolah memberitahu bahwa mereka akan ada kencan-kencan selanjutnya. Itu membuat Narga senang.

Narga gagal mendapatkan kursi di bagian pojok belakang, ia mendapatkan di bagian tengah agak ke depan. Ia hanya beruntung karena sampai pertengahan film, kursi di sampingnya dan samping Kiara tak terisi. Jadi mereka tak terganggu oleh keberadaan orang lain—Narga yang lebih merasa senang karena tak terganggu berduaan dengan Kiara.

Seperti film horor pada umumnya, banyak hal yang mengejutkan yang ditayangkan, yang sekadar hanya membuat mata melebar, mulut menjerit, atau sampai membuat tubuh terlonjak. Saat itu terjadi, Narga sesekali melirik ke arah samping untuk melihat situasi, mencari-cari waktu di mana ia bisa kembali melayangkan modus mendekati Kiara. Sebelumnya, ia berharap Kiara orang yang penakut, jadi ia bisa modus memeluk perempuan itu di pertengahan film, nyatanya tak begitu. Ia kecewa. Pada dirinya sendiri dan juga pada film itu.

Film sampah! Masa nggak bisa bikin orang yang nonton pelukan, sih!?

Sampai film selesai pun hasilnya tetap kentang! Jangankan pelukan, pegangan tangan pun nggak. Kiara terlihat begitu menikmati filmnya dengan sesekali memakan popcorn, lalu menyedot minumannya.

“Seru deh tadi filmnya,” komentar perempuan itu saat keluar dari studio. “Ya …, walau jumpscare-nya beneran bisa bikin jantung copot, tapi story line-nya bagus.”

Narga semakin merasa kentang. Ia menatap datar sambil memaksakan untuk tersenyum. “Iya, bagus,” katanya.

“Habis ini mau ke mana?” Tapi setidaknya, film itu jadi membuat Kiara terlihat antusias, padahal semalam Narga sendiri khawatir kalau mungkin hanya dia yang akan menikmati kencan ini sementara Kiara hanya mengikuti secara terpaksa. Tapi melihat wajah cerah itu saat keluar dari bioskop—sedikit tegang akibat film horor yang ditonton, Narga masih tetap bernapas lega. Tidak benar-benar menjadi kentang. Misi utamanya di kencan pertama adalah membuat Kiara nyaman bersamanya. Kalau sudah begitu, ia yakin ke sananya akan lancar jaya seperti jalan bebas hambatan.

“Mau jalan-jalan dulu? Sambil lihat-lihat mungkin? Siapa tahu ada sesuatu yang mau lo beli.”

Kiara tersenyum kecil. “Boleh. Ke toko buku?”

“Lo suka baca buku?” Narga menggamit tangan Kiara tanpa permisi.

Kiara menatap tangannya sejenak. Di satu sisi ingin melepaskan, tapi di sisi lain ada perasaan baik-baik saja saat Narga menggenggam tangannya. Perasaan tenang, lega, tapi juga khawatir. Namun alih-alih egois, Kiara memilih memenangkan perasaan tenang itu dengan membiarkan Narga menggenggam tangannya lebih lama. “Nggak terlalu, sih. Cuma sesekali aja kalau lagi bosen dan nggak tahu mau ngapain.”

Narga mengangguk. Dalam hati kembali bersorak saat Kiara tak menarik tangannya dari genggamannya. Ia dengan susah payah menahan senyuman semu itu. “Suka baca buku apa?”

“Eum …, novel.” Kiara nyengir. “Genre-nya apa aja, tapi mostly romance.”

“Kalau kita itu buku, gue harap genre-nya juga romance happy ending.”

“Apa sih, Ga!?” Kiara mendengus sebelum tertawa.

Narga meringis. “Menyedihkan ya gombalan gue?”

“Iya, jangan ngegombal lagi!”

“Habisnya pengin langsung cium lo takut digaplok.” Lelaki terkekeh.

“Beneran gue gaplok nih, ya?” Kiara pura-pura melayangkan sebelah tangannya, dan Narga pura-pura akan menghindar sebelum keduanya tertawa bersama saat kaki mereka melangkah memasuki toko buku.

Karena sudah tahu buku seperti apa yang Kiara sukai, Narga langsung melangkahkan kakinya, menuntun Kiara untuk ke bagian novel dari toko buku tersebut. Ia sudah membayangkan akan membahas perihal buku yang Kiara sukai lebih banyak meski ia sendiri tidak suka baca buku dan lebih suka baca komik online di ponsel, ketika bayangan itu seketika hancur saat ia bertemu dengan seseorang di sana. Menatapnya dengan sama terkejutnya.

“Kak Narga …,” panggil perempuan itu dengan lirih. Rambutnya terlihat begitu berbeda dari yang terakhir Narga temui, dipotong lebih pendek.

Kiara menoleh bingung. Ia ingin melepaskan genggaman tangan mereka karena berpikir itu mungkin mengganggu, tapi Narga justru semakin mempererat genggaman tersebut, membuat Kiara semakin bertanya-tanya.

***

“Papa gimana kabarnya?” tanya Narga ketika pada akhirnya mereka memutuskan untuk mencari tempat mengobrol di luar toko buku. Di sebuah kedai kopi yang masih ada di dalam mal tersebut. Membuat Kiara untuk duduk sendirian lebih dulu, padahal Narga memaksa perempuan itu untuk ikut duduk dengannya, tapi Kiara juga menolak keras karena tahu Narga butuh ruang pribadi untuk bicara dengan perempuan berambut pendek itu yang juga terpaksa memisahkan diri dengan kedua teman lainnya.

“Baik,” jawab perempuan itu. “Kakak gimana kabarnya? Baik, kan?”

“Ya …, gitu.”

Perempuan itu menunduk. Bingung harus berbicara apa ketika keduanya berhenti bicara sejak berbulan-bulan lalu.

“Kamu sendiri, gimana sekolahnya?” Narga memutuskan untuk bertanya lagi.

“Kak, ayo pulang.” Namanya Naya, adik perempuan Narga, yang kini sedang menatap sang kakak dengan perasaan campur aduk. Sedih, marah, senang, bahkan bingung. “Emangnya Kakak nggak kangen sama aku?” Mengabaikan pertanyaan sang kakak, Naya justru mengungkapkan apa yang ia rasakan selama Narga memutuskan pergi dari rumah. Ia rindu.

“Kakak udah bilang, kakak bakal pulang kalau Papa nggak akan nikah sama perempuan itu.” Narga menatap tegas.

“Aku udah nggak pernah lihat Papa berhubungan sama Tante Dilla kok.”

“Nggak pernah lihat belum tentu bener-bener selesai, Nay. Kamu suka lihat Instagram-nya cewek itu? Kamu bakal tahu jawabannya kalau kamu suka stalk.”

“Kak ….” Naya nyaris menangis. “Aku tahu Kakak tinggal di mana, dan Kakak kerja di mana.”

“Kakak juga tahu kalau kamu tahu.” Ia tidak pergi ke luar kota atau luar pulau, atau bahkan minggat ke luar negeri. Ia hanya pergi dari rumah, mencari kehidupan sendiri sebagai bentuk amarahnya pada sang papa.

“Papa juga tahu soal itu,” balas Naya.

“Iya, Kakak juga tahu. Sampai detik ini Papa masih suka kirim uang buat Kakak, nggak tahu apa maksudnya.”

“Terus kenapa Kakak nggak pulang? Papa pasti masih peduli sama Kakak, masih sayang sama Kakak.”

Narga mendesah. “Nay, permasalahannya nggak semudah yang kamu kira. Bukan cuma tentang Papa yang mau nikah lagi, tapi hal lain juga.”

“Apa?”

“Kamu nggak perlu tahu.”

“Bilang aja Kakak mau bebas pacaran makanya pergi dari rumah, biar nggak diatur-atur sama Papa.” Naya melirik ke arah Kiara.

Narga juga mengikuti sorot pandang itu. “Astaga …, nggak, Nay.”

“Terus apa dong?”

“Kakak nggak bisa bilang sekarang.”

“Kak—”

“Kakak akan pulang ke rumah kalau Papa bilang sendiri sama Kakak kalau dia udah putus sama cewek itu.” Juga membebaskan Narga pada setiap tuntutan yang sang papa berikan padanya, yang membuatnya terasa tercekik, yang membuatnya tertekan.

“Kalau gitu, aku boleh—”

“Nggak,” potong Narga. “Kalaupun kamu tahu di mana Kakak tinggal, di mana Kakak kerja sekarang, jangan sekali-kali dateng. Kakak nggak mau kamu terlibat sama masalah Kakak sama Papa. “

“Kak ….” Naya nyaris menangis.

“Kamu ke sini naik apa?”

“Mobil. Aku sekarang udah bisa nyetir sendiri.”

Narga diam, menatap sang adik yang meski baru ditinggal beberapa bulan, ia terlihat meninggalkan banyak hal. “Hati-hati.”

“Aku ada rencana kuliah di Bandung atau Jogja,” sambung Naya lagi.

“Ya …, bagus. Belajar yang bener.”

“Sebelum aku berangkat kuliah, apa Kakak bakal udah pulang?”

Tak ada jawaban dari Narga. Sebab ia sendiri tak tahu. Ia sendiri tak yakin kapan perang dingin dengan sang papa berakhir. Ia tak mau mengalah, dan meski sang papa masih mengirimkan uang bulanan padanya, ia juga tak yakin papanya akan mengalah. Jadi, Narga hanya diam.

Kenapa tiba-tiba rencana kencan ini jadi berakhir begini?

— 93


Tahu apa yang akan orang lakukan ketika hari libur? Pasti yang pertama bangun siang, lalu dilanjut dengan malas-malasan seharian. Sebab Jidan pun berencana melakukan itu sambil menunggu Sadewa datang berkunjung.

Tapi pagi-pagi sekali, dari kamarnya, Jidan sudah mendengar suara musik diputar cukup keras. Iaa sdah paham siapa pelakunya kareena ini bukan yang pertama kali, tapi setelah mendengar lebih teliti lagi, musik itu bukan berasal dari kamar Gladys seperti tebakannya, melainkan dari lantai bawah.

Jidan ingin menebak itu ulah Reza, tapi seperti tak mungkin, seperti bukan Reza yang sejauh ini Jidan kenal, yang mementingkan kenyamanan penghuni kostan di atas apa pun.

Dan setelah memasang telinga lebih jelas lagi, mendengar lagu dangdut yang diputar, juga suara-suara alat masak yang beradu, Jidan akhirnya bisa meyakini siapa yang tidak menggunakan hari liburnya untuk banngun sianng dan bermalas-malasan.

Gladys. Orang yang sejauh ini sebenarnya sangat tidak mungkin untuk melewatkan kesempatan itu. Namun Jidan berpikir lagi, kalau beberapa kali, Gladys juga rela bangun lebih pagi untuk membuat sarapan yang bukan hanya untuknya, tapi untuk orang-orang di sekitarnya membuat Jidan kembali teringat pada ucapan Sadewa beberapa waktu lalu.

“Dia kayaknya suka banget sama masak.”

Dan Jidan tak tahu apa yang mendorongnya untuk memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar setelah membasuh wajah dan sikat gigi. Mungkin rasa bersalahnya yang masih tersisa meski sudah meminta maaf, atau hal lain yang tidak Jidan ketahui. Yang jelas, ia datang menghampiri Galdys di dapur yang terlihat begitu bersemangat mengadoni bahan kue sembari berjoget ria mengikuti dentuman musik yang bergema.

“Pak Guru!!!” serunya begitu melihat Jidan sudah ada di dekat dapur, berdiri menatapnya.

Sesaat Jidan sedikit menyesali apa yang dilakukannya untuk turun ke bawah. Tapi jika dipikir lagi, ia sendiri juga pasti tak bisa melanjutkan tidur meski dipaksakan. Terbiasa bangun pagi, dan suara lagu dangdut itu terlalu mengganggunya.

Gladys menghampiri Jidan dengan riang. Tanktop bergarisnya, celana pendek, rambut cepol asalnya, dan tepung yang mengotori pipinya, lengannya, bahkan tanktop-nya itu. Kenapa juga dia tidak suka pakai celemek ketika sedang memasak?

“Kok udah bangun, sih? Mau bantuin gue, ya?” Gladys tersenyum menggoda.

“Ngapain juga saya bantuin kamu?”

“Terus???” Mata Gladys menyipit curiga.

“Musik kamu berisik, saya jadi kebangun.”

“Oh …,” perempuan itu mengangguk, “sengaja.” Lalu terkikik menyebalkan.

“Bisa dimatiin nggak?”

“Nggak.”

Jidan membuang napas. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi, maka dari itu memilih berbalik saja, namun sebelum ia melangkah pergi, Gladys menahannya dengan kedua tangan.

“Karena Pak Guru udah di sini, mending sekalian bantuin gue.”

“Hah? Bantuin ap—”

Gladys langsung menarik tangan Jidan untuk ikut ke dapur, bertemu dengan adonan kue yang ternyata sudah jadi dan siap untuk dibentuk saja. Entah kenapa rasanya terlalu banyak. Dua loyang besar itu hampir penuh oleh adonan kue. Jidan agak terkejut melihatnya. Ini dia mau buat kue untuk sendiri atau untuk dijual kembali?

“Lihatin gue dulu, oke?” Gladys memberi contoh. Mengambil adonan kue itu menggunakan scoop es krim, meletakkannya ke atas loyang berbentuk nampan yang sudah diberi alas kertas, lalu mengulanginya terus sampai satu baris itu terisi oleh tiga gundukan adonan kue. “Jangan rapet-rapet, dikasih jarak agak jauh.”

Suatu keajaiban bahwa Jidan memperhatikan itu dengan seksama.

“Nah, kalau udah penuh semua,” Gladys menatap loyang nampan itu yang sudah penuh dengan gundukan adonan kue, “tinggal dikasih choco chips.” Lalu ia menaburkan beberapa buah choco chips ke setiap gundukan adonan tersebut, satu per satu dengan sangat teratur.

“Habis itu ….” Kemudian membawa loyang nampan itu dan memasukkannya ke dalam oven yang sebelumnya sudah dipanaskan. “Tinggal tunggu deh.” Dia tersenyum dengan sangat lebar, seolah itu memang sesuatu yang sangat ia banggakan dan sangat senang ia bisa melakukannya serta menunjukkannya pada orang lain.

Jidan tersenyum kecil karena hal itu.

“Bisa, kan?” tanya Gladys.

Lelaki itu berdeham, menjaga kembali raut wajahnya agar tetap datar.

“Bisa.” Jidan sudah akan mengambil scoop es krim itu tapi Gladys lebih dulu meraihnya, membuat Jidan bingung.

“Pertama-tama, cuci tangan dulu,” ujarnya. “Gue nggak mau kukis-kukis gue yang berharga ini penuh kuman nggak jelas.”

Jidan membuang napas, tak bisa membantah.

“Dan kedua,” sambung Gladys saat Jidan sudah mencuci tangannya, “kita tunggu kukis yang itu mateng dulu buat tes rasa sama tekstur, jadi bisa diperbaiki kalau ada yang kurang.”

“Lama?” tanya Jidan.

Mata Gladys memicing. “Kenapa? Udah nggak sabar buat nyobain kukis gue yang enak itu, ya?”

“Dari mana saya tahu kalau kukis kamu itu enak kalau saya belum nyobain?”

“Dibilangin, jangan meragukan masakan gue. Gue ini ahlinya.” Dan senyum jumawa itu tercetak kemudian. “Gue yakin, yang kali ini nilainya pasti seratus!”

“Saya juga udah pernah bilang, saya nggak pernah ngasih nilai seratus.”

“Ya, itu kan ke murid. Sedangkan gue, bukan murid Pak Guru.” Gladys bersikeras soal itu.

“Tapi tetep aja, kalau saya kasih kamu nilai seratus, ternyata besoknya saya nyobain makanan yang sama dan rasanya lebih enak, gimana?”

Gladys sudah membuka mulut untuk membalas ucapan itu, tapi mendadak tak ada kalimat yang pas untuk membantah hal itu hingga ia kembali menutup mulutnya dan berdecak sebal. “Ya udah! Nggak usah nyobain kukis gue! Sana balik ke kamar aja!”

Seharusnya ini jadi kesempatan Jidan untuk pergi dari sana daripada capek-capek melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, apalagi bersama dengan perempuan yang selalu membuat ia sakit kepala sampai stres. Tapi seperti saat ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah alih-alih berdiam diri di kamar meski Gladys memutar musik dangdut koplo yang menyebalkan, ia juga tak tahu kenapa ia saat ini memutuskan untuk diam saja di sana, duduk berhadapan dengan dua loyang berisi adonan kue yang masih menggunung itu.

“Kok nggak pergi?” tanya Gladys dengan sewot.

“Emangnya nggak boleh saya di sini? Saya juga ngekost di sini.”

“Oh, sekarang udah pinter jawab, ya.”

“Kan tadi kamu nanya, jadi saya jawab.”

Gladys mencelus mendengar jawaban Jidan barusan. Ini kenapa jadi berbalik dia yang kesal pada lelaki itu? Padahal kemarin-kemarin ia yang gencar membuat Jidan kesal. Lelaki itu kelihatan lebih tenang, sudah lebih bisa menerima setiap kata atau perlakuan yang Gladys lakukan, makanya bisa berbalik membuat hal tak terduga yang bikin Gladys sebal.

Tapi bukan Gladys namanya kalau tak punya seribu cara untuk membuat seseorang sebal padanya, khususnya saat ini Jidan Gunadhya.

Perempuan itu tersenyum miring saat menatap wajah Jidan, ia kemudian melirik pada tepung yang sengaja ia taruh di piring, sebelumnya digunakan untuk menambahi adonan kue yang teksturnya belum sampai pada kepadatan yang ia inginkan. Dan tanpa pikir panjang lagi, Gladys menepukkan salah satu tangannya ke tepung tersebut, kemudian membawa tangan itu ke wajah Jidan yang sedang diam. Tanpa menunggu lama, Jidan berhasil Gladys buat murka.

“GADIS!!!” seru lelaki itu dengan mata membelalak dan wajah menahan amarah, merasakan tepung terigu menempel di sebagian wajahnya.

Gladys terbahak-bahak melihat wajah cemong Jidan. Berbeda dengan ia yang hanya segaris dua garis karena tak sadar mengusap wajah saat tangannya sendiri penuh tepung, wajah Jidan benar-benar sebagiannya berwarna putih, membentuk telapak tangan yang tak sempurna. Persis seperti bocah yang main di sore hari setelah mandi, yang bedaknya acak-acakan.

“Apa-apaan, sih?” Jidan sampai berdiri dari tempat duduknya saking kesalnya.

Gladys masih tertawa-tawa seraya menunjuk ke arah wajah cemong Jidan yang bukan hanya membuatnya puas karena akhirnya Jidan kesal padanya, tapi juga memang wajah itu jadi lucu. “Eh, mau ke mana?” Ia menahan Jidan yang hendak pergi dari sana meninggalkannya. Sangat tidak seru kalau Jidan pergi begitu saja.

“Tadi kamu minta saya pergi.” Iya, itu tadi. Sayangnya, kali ini sudah berbeda.

“Sini, gue bantu bersihin,” balas Gladys. “Duduk.” Ia menekan bahu Jidan sampai lelaki itu kembali duduk di kursi.

Semua orang percaya, guru itu pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkin mengajar orang untuk jadi pintar. Iya, kan? Jidan pun sampai menempuh pendidikan master untuk sampai menjadi tenaga pengajar yang meski semula diremehkan karena orang-orang tahunya guru itu gajinya kecil, tapi nyatanya Jidan selalu berhasil masuk ke sekolah yang memberikannya upah yang sangat layak, yang lebih dari cukup. Itu semua berkat kemampuannya mengajar.

Namun sepertinya, kemampuannya itu seketika hilang jika berhadapan dengan Gladys. Meski perempuan itu memanggilnya 'Pak Guru', Jidan merasa ia menjadi bodoh saat berurusan dengan Gladys. Ya, sebab seharusnya ia tak mudah percaya saat Gladys mengatakan akan bantu membersihkan tepung di wajahnya, sebab belum juga lima detik Jidan kembali duduk di kursinya dan percaya pada ucapan Gladys, perempuan itu kembali beraksi.

Jika tadi wajah bagian kanan, maka kini giliran wajah bagian kiri yang Gladys buat cemong dengan tepukan tangannya yang masih berlumur tepung, membuat Jidan semakin tak bisa berkata-kata.

Sekarang, sempurna sudah bocah yang sedang main di sore hari setelah mandi, yang bedaknya acak-acakan. Semakin membuat Gladys terpingkal.

Jidan menatap Gladys dengan marah. Perempuan itu sampai terbungkuk-bungkuk ketika tertawa. Tapi alih-alih memutuskan untuk pergi dari sana seperti sebelumnya, Jidan justru punya dapat ide yang lebih bagus daripada pergi begitu saja dengan wajah penuh tepung ini.

Ia harus balas dendam dengan segera.

Lantas, tangannya yang besar itu masuk ke dalam piring berisi tepung saat Gladys masih sibuk tertawa. Dan saat perempuan itu lengah, Jidan tak pikir panjang lagi untuk menempelkan tangannya yang sudah penuh tepung ke wajah Gladys, bukan hanya sebagian, tapi seluruhnya karena tangan Jidan bergerak cepat dengan pola memutar agar tepung di tangannya merata mengenai wajah Gladys.

Sekarang wajah perempuan itu juga penuh dengan tepung.

“PAK GURUUUUU!!!” teriak Gladys dengan suara yang sangat menggelegar, mengalahkan suara musik dangdut koplo yang masih mengalun.

Jidan terkekeh, tiba-tiba saja rasa kesal, sebal, marah, dan menyesal karena memutuskan datang ke dapur sirna seketika. Digantikan rasa senang, puas, bahkan semangat. Jidan tak pernah merasa sesemangat ini dalam dua minggu terakhir tinggal di kostan ini dan kenal dengan Gladys. Dan anehnya, ia sendiri tak tahu apa yang membuatnya bersemangat sampai rasanya tidur dan bermalas-malasan di akhir pekan bukan lagi sesuatu yang menyenangkan.

Kali ini Gladys yang menatap marah, tawanya langsung hilang, tertekan begitu saja saat menyadari kalau kondisi wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah Jidan saat ini, bahkan lebih parah karena jelas-jelas Jidan bukan hanya sekadar menepuk sekali tangannya di wajah Gladys, tapi mengaduk-aduk tepung tersebut di atas wajahnya. Belum lagi perbedaan ukuran wajah dan tangan keduanya yang membuat satu tangan Jidan sudah bisa merangkum seluruh wajah Gladys yang kecil.

Dengan emosi penuh, tangan Gladys kembali terulur ke piring tepung itu. Kali ini bukan hanya melumuri telapak tangannya, tapi dia langsung menggenggam tepung tersebut. Jidan yang sudah mengantisipasi datangnya serangan lain dari tamparan tepung Gladys, tak bisa berkutik saat Gladys ternyata bukan lagi sekadar menempelkan telapak tangannya di wajahnya, tapi melempar tepung yang ada di genggamannya itu ke tubuh Jidan, seolah itu bola salju. Ya …, meski sama-sama berwarna putih, bola salju terdengar lebih oke dibanding tepung terigu, karena jelas lebih mengotori pakaian daripada salju yang sejatinya hanya air yang beku.

Jidan melongo mendapati kaus berwarna hitamnya terdapat bercak putih dari tepung yang baru saja Gladys lemparkan padanya. Ini mungkin jawaban dari pertanyaan kenapa ia merasa sangat bersemangat saat ini, sebab tak seperti sebelumnya yang pasrah lebih dulu, kali ini Jidan bergerak cepat untuk memberi balasan. Ia juga mengambil segenggam tepung terigu itu dan melemparkannya pada Gladys, mengenai kening dan rambutnya.

Gladys tak terima. Tadi ia hanya mengenai kaus, tapi Jidan membalas dengan mengenai rambutnya. Jelas ini penghinaan! Ia memutuskan untuk memberi balasan lagi.

Begitu terus sampai dapur itu kemudian berubah jadi ladang tepung dan mereka berlumur tepung. Berlatar lagi dangdut koplo yang masih menyala, mereka terus beradu lempar tepung. Perang yang semula penuh amarah dan sorot mata tajam, berubah menjadi tawa renyah dan gembira dari keduanya seperti dua anak kecil yang baru dibelikan mainan baru oleh orangtuanya.

Hal itu menjadikan Gladys untuk yang pertama kalinya melihat Jidan tertawa lepas. Ia sempat termangu beberapa saat. Sedikit tercengang bahwa Jidan yang sejauh ini ia kenal seperti tak punya banyak ekspresi yang menyenangkan, saat ini Gladys melihat lelaki itu tertawa tanpa beban. Bersamaan dengan tepung yang berhamburan, beban yang selama ini Jidan pikul seolah ikut terlepas. Dan melihat hal itu membuat Gladys merasa … senang. Entah kenapa ia ingin terus menyaksikan hal itu, mendengar tawa renyah itu.

Saat Gladys ingin kembali melempar tepung, dan melangkah lebih dekat dengan Jidan, lantai dapur yang sudah dipenuhi tepung ini jadi lebih licin, membuat Gladys nyaris terpeleset kalau tangan Jidan tak bergerak cepat menarik Gladys untuk kembali berdiri tegak. Sayangnya, tarikan itu membuat tubuh Gladys meluncur tepat ke arah tubuhnya, membuat mereka seketika merapat dengan posisi Jidan yang terpojok, punggungnya menyentuh kulkas, dan keberadaan Gladys yang menghimpit tubuhnya membuat ia tak bisa bergerak banyak. Dan ia sudah bisa menebak bahwa Gladys tidak akan dengan mudah menjauh.

“Gadis …,” suara Jidan tertahan, ia berusaha menjauhkan kepalanya dari Gladys yang seakan terus mendekat, meski sebenarnya itu sia-sia, sebab ia sudah tidak bisa mundur lagi karena kulkas di belakangnya.

Gladys tersenyum miring. Seperti yang Jidan pikirkan, perempuan itu semakin mendesaknya, menempelkan tubuhnya, dan tatapan itu seolah menggodanya. Ini akan jadi puncak permainan yang seru.

“Saya … kayaknya … mau—” suara Jidan yang sudah terputus-putus, menggambarkan bahwa ia begitu tersiksa, langsung dipotong oleh Gladys yang menggebrak kulkas di belakangnya menggunakan salah satu tangannya, menggebrak di samping kepala Jidan seperti adegan drama Korea di mana biasanya pemeran utama lelaki yang melakukan hal ini dan adegan selanjutnya pemeran utama lelaki itu akan mencium pemeran utama perempuannya.

Mata Jidan memejam seketika. Ia tak berani untuk sekadar mengintip, hanya bisa membayangkan wajah Gladys yang semakin mendekat ke arah wajahnya. Dan kabar buruknya, itu bukan hanya sekadar bayangan, tapi Jidan juga bisa merasakan tubuh Gladys yang bergerak semakin mendekat. Meski sejatinya tubuh Jidan lebih tinggi dan lebih besar dari Gladys, dalam kondisi seperti ini Jidan merasa tak punya kekuatan apa pun untuk melawan, semuanya seolah terkunci di tempat. Belum lagi kejadian Gladys yang terpental karena dorongan kerasnya beberapa waktu lalu masih menghantuinya, ia juga merasa bersalah karena hal itu, sebab ia bisa melihat betul Gladys yang kesakitan di bagian bokongnya.

Jika sekarang Jidan melakukan hal itu lagi, Gladys tidak akan terpelanting langsung ke lantai, melainkan menabrak meja makan lebih dulu yang berada tak jauh dari punggung Gladys, sebelum akhirnya melorot dengan dramatis ke lantai. Membuat kali ini bukan hanya bokongnya yang akan jadi korban, tapi juga punggung dan mungkin kepalanya.

Jidan tidak akan setega itu.

Bagaimanapun juga, ia heran, kenapa ia bisa hampir selalu berada di posisi seperti ini saat sedang bersama Gladys? Apa semesta benar-benar ingin membuatnya tersiksa?

Merasa Jidan sulit dicapai karena perbedaan tinggi mereka dan Jidan yang sudah jinjit, Gladys melepas tangannya yang bertumpu di kulkas, menggunakan kedua tangan untuk melingkar di tengkuk lelaki itu. Dan di saat yang sama, mata Jidan kembali terbuka, matanya melebar sempurna saat Gladys dengan sekuat tenaga menekan tengkuknya agar ia mau merunduk hingga Gladys bisa meraihnya dengan mudah.

Ini …, beneran nggak, sih?

Jidan bertanya-tanya sendiri. Apa Gladys benar-benar akan menciumnya? Atau perempuan itu hanya ingin menggodanya? Melihatnya tersiksa untuk menolaknya mungkin sesuatu yang sebenarnya Gladys inginkan alih-alih benar-benar ciuman seperti yang selama ini Jidan pikirkan.

Jidan menatap Gladys di sisa-sisa jarak mereka yang semakin mengecil, mencari tahu sebuah jawaban. Dan tatapan menggoda Gladys seketika berubah saat Jidan menaruh tangan di punggungnya, menekan punggung Gladys dengan gerak seakan membawanya untuk lebih mendekat. Matanya membulat ketika ia merasa tengkuk Jidan bergerak lebih rendah bukan lagi karena tekanan dari kedua tangannya, melainkan dari Jidan sendiri yang melakukannya.

Kakinya yang semula jinjit kini sudah kembali menapaki lantai. Mendadak Jidan tak lagi melawan, justru lelaki itu terlihat akan melakukannya. Jadi, saat jarak antar bibir mereka tinggal dua senti lagi, ketika Gladys merasa jantungnya seolah berhenti berdetak dan jatuh ke perut, ketika Gladys merasakan sekujur tubuhnya kaku dan memberi, ketika Gladys merasa sudut-sudut hatinya berdenyut, ketika itu Jidan berhenti mendekat, lalu tanpa menatapnya bertanya dengan suara yang rendah dan berat, menandakan sebuah kegugupan yang berusaha ditepisnya,

“Saya harus cium kamu atau nggak?”

Napas Gladys jelas sudah tertahan. Ia tidak benar-benar ingin melakukannya ketika tadi memaksa Jidan untuk lebih dekat dengannya. Jadi saat Jidan tiba-tiba mengambil alih posisinya, Gladys mendadak gugup. Dan kenapa juga ia menatap bibir lembab Jidan yang jaraknya sangat dekat itu dengan kegugupan berlebih sampai ia meneguk air liurnya sendiri?

Jangan bilang, kalau ia menginginkannya juga.

Tidak mungkin ….

Ia hanya bercanda.

Tahu, kan? Menggoda orang-orang seperti Jidan itu menyenangkan. Responsnya yang berlebih membuat Gladys semakin bersemangat untuk melakukannya.

Tapi kalau sudah seperti ini ….

Jidan melepas tangannya dari punggung Gladys, bertepatan dengan bunyi denting kecil pertanda kukis di dalam oven itu sudah matang. Ia menjauhkan wajahnya, menatap Gladys sekilas sebelum memilih untuk pergi dari sana meninggalkan Gladys sendirian, dan Gladys tak menahannya seperti yang sebelum-sebelumnya ia lakukan, sebab begitu punggung Jidan menghilang menaiki anak tangga, saat itu kaki Gladys berubah menjadi jelly, ia ambruk ke lantai dengan embusan napas yang memburu.

Shit! Shit! Shit!” umpatnyanya pelan, memegangi dadanya yang terasa aneh dengan degup jantung gila-gilaan itu. “Guru sinting!”

“Kenapa juga gue malah lihat bibirnya kayak tadi? WHY? WHY? WHY?” dia menggerutu diri sendiri. “Tapi …, jago ciuman nggak sih dia? Gue jadi penasaran.” Lalu memegang bibirnya sendiri. “Tampangnya sih good kisser, tapi kalau dilihat dari kelakuannya, jangankan ciuman, deket sama cewek aja kayaknya nggak pernah.”

“ANJING!” Gladys tiba-tiba bangkit dan melepas tangannya yang memegangi bibir. Tanpa sadar, ia baru saja membayangkan bibirnya dicium oleh Jidan. Bukan hanya sekadar kecupan biasa, tapi beneran ciuman!!! Kepala lelaki itu bahkan sampai miring ke kanan dan ke kiri mengikuti tempo lumatan bibir mereka.

ARGHHHH!!!!

WHAT THE—” suara Reza tambah membuyarkan Gladys dari pikiran tak senonohnya. Lelaki itu masuk ke dalam rumah setelah olahraga pagi yang dilakukan berbarengan dengan Gladys memulai membuat adonan kukis. Mata Reza membulat, bola matanya bergetar menatap dapur yang penuh dengan tepung seperti donat yang ditaburi gula halus.

“Galdys, lo berantem sama siapa? Setan?” tanya lelaki itu lagi, mendekat ke arah dapur, tapi tidak benar-benar masuk ke sana karena tepung di mana-mana.

“Iya, sama setan. Setan sinting.” Saking sintingnya bikin dia juga keikut sinting.

***

Sadewa menelusuri titik demi titik meja kerja Jidan. Membongkar tumpukan buku, mangaduk-aduk laci, tabung alat tulis, sampai tempat-tempat yang memungkinkan Jidan menyembunyikan sesuatu. Ia beralih ke kasur, ke lemari, ke nakas, kamar mandi, tong sampah, boks yang dijadikan tempat menyimpan persediaan makanan, ke mana saja ia bisa lakukan. Berharap tak menemukan apa yang ia takutkan.

“Tangan lo.” Sadewa berdiri di depan Jidan yang sejak adiknya itu melakukan pemeriksaan, ia duduk dengan tenang di kursi.

Jidan membuang napas, memperlihatkan pergelangan tangannya yang bersih, yang membuat Sadewa bernapas lega.

“Segitu nggak percayanya sama gue?” tanya Jidan, mengikuti Sadewa yang sudah kembali memeriksa napas untuk mengambil botol-botol obat milik Jidan, memeriksa isi di dalamnya. “Gue minum obat tiap hari, Wew.”

Sadewa mengangguk percaya, isi dalam botol itu berkurang dari terakhir kali ia periksa saat Jidan baru pertama pindah. Kondisi kakaknya saat ini juga tidak membuktikan bahwa obat-obat itu berkurang karena Jidan membuangnya ke dalam kloset seperti yang dulu pernah lelaki itu lakukan.

“Oke, percaya.” Sadewa memasukkan botol obat itu ke dalam laci nakas. “Terus gimana lo sama Gladys? Nggak ada apa-apa, kan?”

“Kenapa nanyain Gadis, sih? Lo ke sini buat ketemu gue atau ketemu Gadis?”

Sadewa terkikik melihat ekspresi Jidan. “Ngaku sama gue, lo udah suka sama dia, ya?”

Mata Jidan membulat. “Apa, sih!? Kenapa tiba-tiba ke sana?”

“Ya …, nebak aja. Lo bukan tipe orang yang peduli sama perasaan orang lain kecuali lo emang ada interest sama dia.”

Jidan berdecak, tiba-tiba saja memorinya memutar kembali apa yang terjadi pagi tadi bersama Gladys di dapur, yang membuat wajahnya terasa panas, jantung seperti akan meledak, napasnya tercekat, pusing nggak jelas, dan sudut hatinya terasa ada yang berbeda.

Kenapa juga ia begitu? Dan apa itu artinya? Selama ia belajar di bangku pendidikan bertahun-tahun, tak ada guru atau dosen yang menjelaskan perihal itu. Apa ia harus mengambil jurusan lain buat belajar soal itu? Tentang anatomi bahasa tubuh?

“Jangan ninggalin cewek lo kelamaan,” ujar Jidan, mengalihkan pembicaraan dengan keluar dari kamar.

“Bukan cewek gue!” Sadewa mengikuti, turun ke lantai bawah, kembali bertemu dengan Radin yang sempat ia tinggalkan begitu sampai di kostan untuk mengecek kamar kakaknya.

“Bang Jidan!” seru Radin yang ternyata sudah berada di dapur—dapur yang sudah bersih dari tepung, tentu itu karena Gladys yang membersihkan, Jidan sedikit merasa bersalah karena tidak ikut bekerja, padahal ia juga ikut andil dalam mengacak-acak keadaan dapur dengan tepung. Radin sedang duduk di kursi meja makan, berhadapan dengan setumpuk kukis yang masih menguarkan aroma lembut dan manis yang menggugah selera.

Saat Sadewa datang bersama Radin setengah jam yang lalu, Gladys tidak ada di dapur meski oven masih terus bekerja. Perempuan itu baru mandi setelah menyelesaikan seluruh adonan kukisnya. Dan turun kembali ke dapur setelah selesai mandi saat Jidan dan Sadewa sedang ada di kamar. Ia menyapa Radin, menggoda Radin setelah tahu ia datang dengan siapa dan untuk apa, lalu mengajaknya ke dapur untuk mencicipi kukis buatannya yang sudah hampir seluruhnya selesai, tinggal menunggu satu loyang terakhir yang baru saja dimasukkan ke dalam oven.

“Wa, lo harus coba! Ini enak banget!!!” puji Radin secara berlebihan terhadap kukis buatan Gladys.

“Boleh nih, gue coba?” Sadewa sudah memegang satu buah kukis di tangannya, menoleh pada Gladys untuk meminta persetujuan.

“Coba aja. Awas kalau ketagihan!”

Sadewa terkekeh sejenak sebelum ia mencoba kukis kering itu dengan sekali suapan. Dan benar apa yang dikatakan Radin, ini luar biasa! Begitu renyah, namun tetap lembut. Manis, tapi tak sampai bikin enek, sangat pas. Belum lagi aroma harum butter dan vanila yang membuat siapa pun tidak akan berani menolak kukis ini.

“Wahhhh ….” Mata Sadewa melebar sempurna, takjub pada setiap sudut mulutnya yang merasakan kukis nikmat itu. “Bang, lo udah cobain?” Ia mencari-cari Jidan yang ternyata malah sibuk membuka kulkas untuk mencari apa saja yang bisa membuatnya tak dilibatkan dalam pembicaraan kukis itu. Tapi ya …, mana bisa ketika ia masih ada di sana?

Jidan menutup pintu kulkas, menatap pasang mata tiga orang yang sedang menatapnya, satu per satu sampai yang terakhir berhenti di Gladys. DAN KENAPA JUGA IA MALAH FOKUS KE BIBIR ITU? Mendadak membuatnya gerah.

“Pak Guru nggak doyan katanya, alergi,” sahut Gladys, memutus kontak mata dengan Jidan.

Sadewa yang mendengar itu, tertawa. “Alergi? Abang gue mana ada alergi. Dia nggak punya alergi apa-apa, dia doyan apa aja, pemakan segala.”

“Nggak apa-apa, nggak—”

“Nih, cobain!” Gladys menyodorkan satu buat kukis ke hadapan Jidan. “Awas kalau nggak dikasih nilai 100.”

“Ini nilainya 101 satu, Dys. Enak banget!” Sadewa tak berhenti memuji kukis buatan Gladys.

Jidan menerima kukis tersebut. Sebenarnya, tanpa mencoba pun ia sudah percaya kalau kukis itu enak meski hanya dengan mencium aromanya. Apalagi selama ini, selama Gladys memasak dan ia selalu diberi kesempatan untuk menikmati masakannya, tak ada yang tidak enak, semuanya pasti memuaskan. Nasi goreng yang menjadi makanan pertama buatan Gladys yang Jidan makan, membuat Jidan ingin nambah, terlebih saat itu ia juga sedang lapar-laparnya. Terus telur tomat yang baru pertama kali ia coba, ternyata sangat enak.

Jadi mulai dari gigitan pertama kukis renyah itu yang meleleh di dalam mulutnya, Jidan sudah tahu berapa nilai yang harus ia berikan. Jika tidak bisa memberi 100 dan paling mentok 98, maka Jidan akan memberikan nilai 99. Rasa dan teksturnya sangat pas, berpadu jadi satu di rongga mulutnya, membelainya dengan begitu mesra, berbisik untuk memintanya lagi dan lagi.

“Enak, kan, Bang?” tanya Sadewa.

Jidan berdeham kecil. “Enak,” jawabnya datar, dan sudah mampu membuat Gladys berdecih.

“Enak banget itu berarti, Dys,” Sadewa menjelaskan. “Gue boleh bawa pulang nggak? Kan banyak banget nih. Ya …, lumayan lah buat di jalan. Iya, kan, Din?” Ia meminta suara Radin.

Radin mengangguk, dan ketika Gladys baru akan mengiakan permintaan itu, matanya lebih dulu menangkap Kiara yang turun dari tangga dan berjalan menuju pintu depan.

“Mbak Kiul!?” panggilnya, dan ia menghampiri tanpa pikir panjang.

Kiara menatap datar. Ia terus berjalan menuju pintu untuk memakai sepatunya, sebuah flatshoes berwarna hitam.

“Mau ke mana?” tanya Gladys, menatap Kiara dari atas sampai bawah. Rambutnya diurai dengan dicatok sedemikian rupa agar berbentuk indah. Dress sebatas lutut yang dipadukan lagi dengan blazer.

“Ngapain nanya-nanya?”

Mata Gladys memicing. “Nge-date?” tebaknya dengan senyum miring yang mengintimidasi.

Kiara agak terkejut, tapi tetap berusaha cuek.

“Sama siapa? Yang di lantai dua atau yang di coffee shop?” Gladys terkikik.

Kiara semakin tak bisa berkata-kata.

“Narga? Kemarin dia bilang sama gue kalau hari ini dia libur. Wihhh …, jarang-jarang tuh dapet libur weekend.”

“Nggak ada urusannya—”

Good luck deh kalau beneran sama Narga,” potong Gladys cepat. “Tapi kalau sama si gendut jelek, semoga lo yang cepet waras.”

Kiara menganga. Walau itu kalimat yang sangat menusuk, sayangnya dia tak bisa membela diri dengan kalimat apa pun.

“Bilangin sama si Narga gila, masa nge-date nggak berani jemput depan pager. Lo juga mau-mauan aja dijemput depan gang. Kayak hubungan terlarang aja.” Gladys kembali terkikik.

Kiara masih tak bisa mengatakan apa-apa. Ia begitu saja pergi dari sana meninggalkan Gladys yang melambai ke arahnya.

Good luck, Mbak Kiul! Semoga cepet waras!”

Bukan tentang kalimat yang menyakitkan, tapi tentang kalimat yang menyadarkan, yang membuat hal itu terlihat bahwa seseorang telah melayangkan kepedulian dengan tanpa sadar.

— 86


Setengah jam lebih Jidan menunggu balasan pesan teks dari Gladys, namun tak kunjung datang. Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan menonton drama Korea yang beberapa waktu lalu Sadewa rekomendasikan padanya, tapi tak bisa, Jidan terus-menerus mengecek ponselnya untuk melihat apakah perempuan itu sudah membalas pesannya atau belum.

Dia semakin cemas, semakin merasa bersalah juga. Dia tahu, dia salah, apa yang dilakukannya sore tadi itu memang berlebihan—Sadewa juga mengatakan begitu ketika Jidan menelepon setelah dia membersihkan pecahan piring dan bakso goreng yang berserakan di kamarnya. Walau yang ditanyakan pertama kali oleh adiknya itu adalah kondisinya, Sadewa tetap memperingati Jidan untuk segera berbicara dengan Gladys, meminta maaf dan meluruskan masalah. Sadewa tahu sifat kakaknya yang tidak bisa diganggu jika dalam mode serius saat tengah bekerja, apalagi juga dikejar-kejar tenggat waktu pengumpulan pekerjaan, namun dia tetap tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan Jidan. Dia hanya berusaha untuk tenang, karena itu juga akan bantu menenangkan Jidan.

Sayangnya, meski Jidan mengatakan pada Sadewa bahwa tidak ada masalah apa-apa dengannya, seperti yang Sadewa khawatirkan. Kenyataannya, sampai saat ini Jidan terus memikirkan Gladys. Dia belum pernah melihat sorot mata marah yang seperti itu dari Gladys, belum pernah melihat raut sebal yang seperti itu, dia belum pernah melihat Gladys yang seperti itu, dan harus Jidan akui, bahwa itu mengganggunya.

Meski masih dengan perasaan kesal setelah apa yang terjadi, namun sudah bercampur dengan perasaan resah, Jidan sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk membuat soal PTS, dia juga sudah mengirimkan dokumennya pada Sabria. Ketika dia berpikir akan baik-baik saja karena mungkin bukan masalah besar, Jidan justru memikirkan segala raut, ekspresi, dan sorot mata yang Gladys berikan padanya sebelum pergi dari kamarnya dan masuk ke kamarnya sendiri dengan membanting pintu cukup keras, belum lagi ucapan Sadewa di telepon yang membuatnya semakin terganggu.

“Dia pasti kesel banget, Bang.”

Selama dua minggu tinggal di kost tersebut, ini pertama kalinya Jidan merasa gundah dan resah tak karuan. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menemui Gladys secara langsung.

Jidan menutup laptopnya dengan gerak kasar, meraih ponselnya, lalu membuka pintu kamar. Sejenak berdiri di ambang pintu, menatap pintu kamar di seberangnya yang tertutup rapat. Sejam lalu dia mendengar Gladys keluar dari kamarnya dan pergi entah ke mana, namun dia tak mendengar Gladys kembali setelah itu—bukan berarti perempuan itu belum kembali, barangkali hanya Jidan yang melewatkan suaranya.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Jidan melangkah ke kamar seberang, mengetuk pintunya secara perlahan sambil mencuri dengar ke arah dalam kamar apakah sang penghuninya ada di sana atau tidak.

Jidan mencoba mengetuk beberapa kali, dan beberapa kali itu pula dia tak mendapat jawaban apa pun sampai tiba-tiba Kiara mengejutkannya.

“Mas?”

Jidan nyaris terlonjak kalau saja tidak dengan cepat mengontrol diri. Kenapa juga dia harus terkejut? Padahal dia tidak sedang ingin mencuri sesuatu atau diam-diam masuk ke kamar seorang perempuan seperti lelaki mesum yang gila.

“Nyari Gladys?” tanya Kiara yang baru muncul dari arah tangga. Di tangannya ada sebuah goodie bag berlogo salah satu restoran ayam, yang menandakan bahwa Kiara baru saja mengambil makanan pesanannya dari ojek online yang mengantarnya.

“Iya ….”

“Kayaknya tadi keluar deh. Udah agak lama sih, sekitar … eum … sejam yang lalu kali, ya. Tadi gue kebetulan lagi di warungnya Mak Idah, terus kebetulan lihat dia keluar. Belum balik kayaknya, ya?”

“Oh, gitu ….”

“Coba aja di telepon kalau penting, Mas. Dia nggak bisa ditebak pergi ke mana, sama siapa, dan pulang kapan soalnya.” Kiara nyengir kecil.

Masalahnya …, pesan teks pun tak dibalas. Apalagi telepon, perempuan itu pasti akan mengabaikannya. Jidan mendesah. “Oh, ya udah kalau gitu. Makasih.”

“Mau ke mana, Mas?” tanya Kiara melihat Jidan tak kembali ke kamarnya, melainkan melangkah ke arah tangga. “Nyari Gladys?”

Jidan bingung. “Eum … nggak, saya mau … eum … ke warung Mak Idah. Mau beli sesuatu.”

“Oh …. Udah makan?” tanya Kiara dengan nada ragu. Dia tahu, di antara penghuni lainnya, dia sendiri yang paling tidak bisa mengakrabkan diri dengan orang lain. Rasanya sulit untuk sekadar berbincang ringan dengan Reza yang notabenenya adalah anak pemilik kost. Mereka hanya bicara seperlunya. Belum lagi Gladys yang lebih dulu tinggal di kost ini sebelum dirinya, yang tiba-tiba, entah sudah direncanakan atau tidak sebelumnya, magang di kantornya dan dia ditunjuk sebagai pembimbingnya. Kiara semakin tak ingin dekat dengan siapa pun.

Sampai kemudian Jidan datang, mengisi kamar kosong di sebelahnya, yang baru beberapa hari tinggal di sana sudah mendapatinya—secara tak langsung—menangis di kamar. Kiara semakin tak ingin orang-orang dekat dengannya. Hingga kemudian Narga dengan berita mengerikan itu beserta kesepakatan aneh mereka muncul di kehidupannya, berkata, “Kak, lo tuh nggak akrab ya sama Gladys? Sama anak kost yang lain? Coba deh akrab, minimal biar lo punya orang buat nemenin makan kalau malem. Emangnya enak makan sendirian? Gue aja kalau lagi shift pagi suka rela nungguin Gladys pulang biar punya temen makan malem.”

Tapi kali ini dia tidak benar-benar ingin makan berdua dengan Jidan. Hanya sekadar basa-basi, berusaha mencoba untuk akrab lebih dulu. Mungkin setelah ini … mereka bisa benar-benar makan bersama. Dengan Jidan, atau dengan Reza, atau mungkin dengan Gladys yang selama ini sangat berusaha dia hindari.

“Saya udah makan tadi,” jawab bohong Jidan. Apanya yang sudah makan? Ketika bakso goreng yang jatuh dengan piring pecah itu bikin dia tidak bernafsu untuk makan apa pun. Perasaannya masih sangat mengganjal.

“Oh, gitu …. Oke kalau gitu.”

“Iya, selamat makan, Kia.”

“Iya, Mas ….” Senyum Kiara memutus percakapan mereka dengan cepat. Jidan melangkah menuruni anak tangga, dan Kiara masuk ke kamarnya.

Ada satu tempat yang Jidan tahu biasa Kiara datangi kalau malam hari, apalagi ketika sedang cerah dan langit sedang bertabur bintang dan bulan sedang terang, yaitu rooftop.

Pernah satu hari di minggu pertama dia tinggal di kost itu Jidan yang baru pulang dari membeli makan di luar, melihat dari arah jalan Gladys yang duduk di rooftop menggunakan kursi plastik yang entah dia dapatkan dari mana, mendongak menatap langit dengan begitu serius, lalu sesekali menggunakan teropong yang dimilikinya untuk melihat ke arah bulan yang ketika itu baru berbentuk setengah lingkaran. Jidan tidak tahu apa asyiknya memandang langit sampai sebegitunya, tapi Gladys terlihat benar-benar menikmatinya. Dia juga tidak tahu berapa lama Gladys berada di atas sana, tapi sepertinya sangat lama.

Sayangnya, malam ini Jidan tidak menemukan Gladys di atas sana padahal malam ini bulan sedang bulat sempurna dan bersinar cukup terang meski kemarin sempat hujan seharian.

Ke mana perempuan itu pergi?

Jidan benar-benar tak punya ide. Dia hanya mengikuti kemauan kakinya melangkah menuju jalanan besar di depan sana. Di tangannya tergenggam ponsel yang beberapa saat lalu dia gunakan untuk menghubungi Gladys. Namun seperti tebakannya, perempuan itu tidak mengangkatnya, membuatnya agak khawatir jika dia berhasil menemukan Gladys, tapi Gladys justru tidak sedikit pun mau dia temui. Jangankan untuk bicara, untuk menatap pun sudah enggan.

Jidan sudah sampai di jalan raya besar. Kendaraan masih berlalu-lalang dengan sangat ramai meski sudah cukup malam. Perutnya tiba-tiba bunyi, dia lapar. Dia hanya sarapan nasi dengan ayam goreng sisa kemarin malam, dan makan siang di sekolah menu yang sudah disediakan, setelah itu belum terisi apa-apa lagi, jadi agaknya wajar jika dia merasa lapar saat ini.

Kakinya terus melangkah menuju JPO halte, barangkali warung makan di sana belum tutup walau sebenarnya dia sendiri yakin kalau makanan yang disajikan di sana sudah habis dari berjam-jam lalu. Jidan sudah nyaris menyerah untuk mencari Gladys, karena benar-benar tidak tahu harus ke mana, dan tidak mungkin juga dia berkeliling satu kota untuk menemukan perempuan itu, jadi dia berniat berbicara besok saat mereka bertemu di kostan. Namun di tengah lalu lintas yang ramai, perutnya yang lapar, rasa bersalahnya yang memuncak, perasaannya yang resah, niatnya yang hampir bulat, saat itu pula takdir berkata lain.

Matanya secara tak sengaja menatap Gladys di atas sana, di JPO. Berdiri termenung mengangkat salah satu tangannya ke atas, jari-jarinya membentuk huruf O untuk melingkarkan sesuatu di atas sana, mengabaikan orang-orang yang melewatinya di JPO itu, yang menatapnya aneh. Jidan mengembuskan napas lega, dia tersenyum kecil sebelum ikut mendongak dan melihat apa yang kiranya sedang Gladys tatap dengan begitu serius sampai menandainya dengan tangan.

Bulan purnama.

Kali ini kaki Jidan melangkah mantap dengan tujuan yang jelas, melupakan warung makan di bawah tangga JPO yang memang sudah tutup, dia menaiki anak tangga itu satu per satu, kemudian berjalan perlahan ketika dia sudah melihat Gladys dengan lebih dekat.

Tiba-tiba gugup dan khawatir. Bagaimana jika perempuan itu menghindar? Bagaimana jika perempuan itu mencacinya karena masih marah? Bagaimana jika perempuan itu mengabaikannya? Bagaimana jika perempuan itu benar-benar marah dan tak ingin lagi berbicara dengannya?

Bukankah itu yang selama ini Jidan inginkan? Tidak ingin lagi Gladys mengganggunya. Mungkin itu salah satu cara semesta mengabulkan permintaannya meski dengan cara yang tidak mengenakan. Tapi mengapa rasanya ada yang salah? Mengapa rasanya tak sesuai harapannya?

Jidan memikirkan itu di setiap langkah yang dia buat saat mendekati Gladys. Ada sesuatu yang aneh tentang dirinya. Dia banyak menyakiti orang di sekitarnya selama ini dengan sikap cuek dan tidak pedulinya, tapi satu-satunya orang yang membuatnya tak nyaman hingga resah berlebih saat dia melakukan hal itu adalah Sadewa. Bagaimana dia pada akhirnya tidak ingin lagi menyakiti perasaan adiknya, bagaimana dia pada akhirnya tidak ingin lagi membuat adiknya bersedih.

Mungkin ini hanya karena perasaan bersalah yang berlebih.

Iya, pasti itu.

Saat Jidan sudah yakin dengan perasaannya, saat itu pula Gladys tiba-tiba berbalik ke arahnya, dan tak perlu waktu lama untuk bertemu tatap dengannya. Jidan seketika mematung, dia semakin gugup, takut, dan khawatir.

Gladys juga diam. Memastikan diri apa yang dia lihat bukanlah orang yang salah. Jidan di ujung sana, melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan yang seolah menguncinya di tempat. Tak bisa menebak untuk apa dan bagaimana lelaki itu bisa menemuinya, Gladys hanya bisa diam sampai Jidan sudah berdiri tepat di hadapannya, membuatnya kembali mengulang apa yang terjadi sore tadi, yang membuatnya dongkol tak karuan.

“Ngapain?” tanya Gladys ketus. Tak ada sapaan cempreng dan melengking yang menyebalkan itu, tak ada raut cerah yang seolah tak pernah luntur dari wajahnya. Yang ada hanya tatapan dengki, sorot mata tajam, dan aura ketidaksukaan yang begitu tebal, juga suara menusuk yang rasanya lebih menyebalkan.

Jidan kehilangan kata-katanya. Lebih tepatnya …, dia memang tak menyiapkan kata-kata untuk berbicara dengan Gladys. Entah kenapa, dia sendiri tak mengerti. Yang jelas, ketika di kamar kost tadi, dia hanya ingin bertemu, ingin meluruskan masalah namun tak mengerti bagaimana memulainya.

“Nggak jelas banget, Anjing!” umpatnya pelan, namun masih terdengar jelas oleh Jidan meski bercampur dengan riuhnya kendaraan di bawah sana. Gladys hendak melangkah pergi, tapi Jidan dengan cepat meraih tangannya dan membiarkannya tetap berada di sana. “Ngapain sih, Gila!?” Matanya membesar tak terima.

“Gadis,” ucap Jidan dengan lembut. “Bisa nggak, nggak usah pakai kata-kata kasar?”

“Yeu …, kenapa? Suka-suka gue lah. Emangnya lo siapa?”

“Saya Jidan.”

Gladys melongo mendengar balasan Jidan, lalu mendengus tak peduli. Hendak kembali pergi, tapi Jidan masih menahannya. “Lepasin nggak?”

“Nggak.”

“Gue bilang, lepasin!”

“Nggak.”

“Gue teriak nih.”

“Silakan.”

“TOLONG! ADA COWOK MESUM—”

Jidan langsung membungkam mulut Gladys dengan tangannya, dia lupa bahwa perempuan itu sejatinya memang bisa melakukan semua hal yang Jidan sendiri anggap gila. Lelaki itu dengan panik menoleh ke sekitarnya, takut ada yang mendengar. Beruntung, JPO sedang sepi, kini hanya ada mereka berdua di sana.

Gladys berontak, berusaha melepaskan tangan Jidan dari mulutnya dengan susah payah. Karena tak kunjung berhasil, Jidan masih terus membekap mulutnya, akhirnya dia terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya; memuncratkan air liurnya yang tentu saja tanpa hitungan detik membuat Jidan melepaskan tangannya dan melangkah mundur.

“Mampus!”

Lelaki itu menatap jijik telapak tangannya sendiri. Belum pernah ada yang melakukan hal ini padanya, bahkan Sadewa sekalipun. Dia tidak percaya ini terjadi, membuatnya seketika pening bukan main. Sepertinya dia akan menarik kembali kata-katanya perihal perasaannya yang kecewa saat membayangkan Gladys tidak lagi mengganggunya, sebab yang baru saja perempuan itu lakukan padanya kembali membuat dia stres.

Saat Jidan sedang meratapi nasib telapak tangannya, Gladys tiba-tiba sudah tak ada di hadapannya, perempuan itu sudah berjalan beberapa langkah meninggalkannya. Tanpa pikir panjang, melupakan air liur yang ada di telapak tangan, yang terpaksa dia usap ke celana yang dia kenakan, Jidan melangkah panjang-panjang untuk mengejar Gladys. Meraih kembali tangan perempuan itu dan memojokkannya ke besi pembatas JPO, mengurungnya dengan kedua tangannya.

Gladys tersentak, matanya membelalak sempurna, seketika tubuhnya membeku. Kalau di drama Korea yang dia tonton, ini seharusnya jadi adegan romantis di mana pemeran utama pria nantinya akan perlahan mendekat sebelum akhirnya akan mencium mesra pemeran utama wanitanya. Tapi yang terjadi dengan Gladys jelas jauh dari kata romantis. Sangat jauh. Namun kenapa perasaannya aneh begitu?

Agaknya dia gila.

“Minggir nggak?” Gladys membentak lagi. “Kalau nggak, gue teriak lagi nih.”

“Saya bakal tutup mulut kamu lagi.”

“Gue ludahin lagi.”

Jidan menelan air liurnya. “Kalau gitu, saya cium kamu.”

Benar-benar gila.

“Sinting!” Gladys berusaha mendorong tubuh Jidan dengan kedua tangannya, namun tak berhasil. Kenapa juga JPO ini jadi tiba-tiba sepi? Padahal sebelumnya ada orang yang berlalu-lalang. “Mau ngapain, sih!?”

“Saya mau bicara.”

“Bicara apa? Tinggal ngomong doang susah banget.”

Jidan mengembuskan napas berat. Dia menunduk. Gladys sudah tidak lagi berontak, tapi Jidan tidak kunjung melepaskan kurungannya, dan dia juga tidak kunjung menemukan kata-kata yang pas untuk memulainya.

“Ya elah, keburu lebaran monyet!” Gladys mengeluh.

“Kamu nggak bales chat saya.” Akhirnya yang diucapkan Jidan adalah kalimat itu.

“Hah?” Gladys bingung. “Gue emang nggak bawa hape.”

“Oh ….” Oke, pertama perihal pesan teks yang tak dibalas dan sambungan telepon yang tak diangkat sudah jelas, bukan karena Gladys tidak ingin melakukannya, melainkan karena perempuan itu memang tak membawa ponselnya.

“Udah? Gitu doang?” Gladys tak percaya ketika Jidan kembali diam. “Idih, najis. Nggak jelas.”

“Bisa nggak, kamu nggak ngomong kasar?”

“Gue nggak ngomong kasar.”

“Itu tadi kamu ngomong kasar. Najis, sinting, gila, anjing, terus bego, dan banyak lagi.”

Gladys berdecih. “Itu bukan ngomong kasar. Ngomong kasar tuh …, 'kasar, kasar, kasar, kasar, terus kasar, kasar lagi, dan kasar'. Itu baru ngomong kasar.”

“Bukan itu maksud saya ….” Jidan geram.

“Ya, terus?”

“Ngomong pakai kata-kata yang kasar. Mengumpat—”

“Gue nggak ngumpet. Nih, buktinya lo lihat gue. Gue nggak ngumpet, kan?”

“Bukan itu juga maksud saya, Gadis.”

“Ya, terus apa dong, Pak Guruuuuu??? Yang jelas dong kalau ngomong, jangan muter-muter gitu. Gue pusing. Langsung aja ke intinya.”

Jidan merasa semakin terdesak, padahal yang posisinya jelas-jelas mendesak adalah dia, tapi entah mengapa, Jidan merasa didesak. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan suara yang cukup pelan, “Saya minta maaf ….”

“Hah?” Gladys meminta untuk Jidan mengulangnya.

“Saya minta maaf,” ulang JIdan sekali lagi, masih dengan nada suara yang sama.

“Ngomong apa sih, Pak Guru? Nggak kedengeran sama telinga gue. Berisik di sini.”

Jidan mendesah padahal jelas-jelas kini kendaraan sudah mulai sepi di jalanan, orang-orang pun sudah tidak ada yang lewat di JPO. Jadi dia memilih diam, membuat Gladys geram.

“Hadah! Niat minta maaf nggak, sih!?”

“Itu kamu tahu kalau saya minta maaf.”

“Emangnya salah kalau ue minta buat diulang ngomongnya? Lagian kayak nggak niat gitu minta maafnya. Males!”

“Bukaan nggak niat.”

“Kalau nggak niat, namanya apa dong?”

“Ya … eum ….” Jidan kebingungan.

“Tuh, kan, emang nggak niat.” Gladys berdecih. malas.

“Niat kok.”

“Kalau gitu, coba diulang lagi.”

Sebelum mengatakannya, Jidan mengambil jeda yang cukup panjang sampai Gladys kembali geram. Lelaki itu akhirnya melepaskan kedua tangannya dari sisi tubuh Gladys, berhenti mengurung perempuan itu, berdiri tegak dengan dan agak berjarak. Dia mengulurkan tangannya, sempat membuat Gladys bingung sampai tiga kata yang Jidan ucapkan keluar dengan begitu jelas dan lugas. “Saya minta maaf.”

Gladys mengerjap, menatap uluran tangan tersebut di hadapannya. Dia akui, dia memang sempat kesal, marah, juga sakit hati atas segala perlakuan yang Jidan berikan padanya sore hari tadi. Tapi saat dia ingin membenci lelaki itu, dia kembali berpikir bahwa ini semua sebenarnya salahnya juga. Sadewa sudah memperingatkan beberapa kali padanya untuk tidak mengganggu Jidan ketika lelaki itu sedang fokus bekerja, sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya, tapi Gladys lupa akan hal itu, membuat Jidan akhirnya meledak.

Tapi, kan, tetap saja, bagaimanapun juga Jidan melakukan kekerasannya padanya. Lelaki itu menariknya secara paksa, membuat pergelangan tangannya memerah. Belum lagi lelaki itu juga membanting piring berisi bakso goreng yang dibuatnya. Tidak tahu, kah, Jidan kalau masakan adalah hatinya Gladys? Jadi, ketika lelaki itu membuat masakannya berjatuhan ke bawah dengan cara yang kasar, itu sama saja menyakiti perasaannya. Gladys tidak bisa menerima hal itu.

Dia sedang menimbang-timbang, apakah dia langsung menerima permintaan maaf itu karena sejatinya mereka sama-sama salah? Atau lebih baik membuat hal ini jadi arena bermain yang menyenangkan?

“Emangnya punya salah apa?” tanya Gladys, belum mau menerima uluran tangan tersebut.

Jidan ingin mengeluh. Kenapa dia juga tidak sampai memikirkan bahwa Gladys bisa mempersulit permintaan maaf yang seharusnya sangat sederhana ini? Dia memejamkan mata sejenak, lalu berujar, “Soal tadi sore …, yang saya kasar ke kamu …, terus nggak sengaja nyenggol piring—”

“NGGAK SENGAJA!?” Gladys melotot tak terima. “Lo bilang, nggak sengaja? Itu jelas-jelas sengaja banget.”

“Itu nggak sengaja.”

“Gue lihat pakai mata kepala gue sendiri, lo nyenggol piringnya sampai jatuh dan pecah, terus bakso goreng buatan gue … WAAHHH!!! Diingetin lagi, bikin gue emosi lagi.” Gladys sampai mendongak dan memegangi leher bagian belakangnya.

“Nggak sengaja kesenggol, Gadis,” ujar Jidan lagi. “Saya beneran nggak berniat dengan sengaja nyenggol sampai pecahin piringnya, apalagi bikin bakso gorengnya jatuh dan nggak bisa dimakan.”

Gladys kembali menatap Jidan dengan sorot tajam.

“Saya minta maaf ….” Jidan kembali memfokuskan pada uluran tangannya yang sampai detik itu belum juga disambut. “Saya bener-bener minta maaf sama kamu.”

Tatapan Gladys tiba-tiba berubah menjadi sendu. Tiba-tiba tak tega jika harus memainkan permainan di tengah rasa tulus yang dipancarkan lelaki di hadapannya ini saat meminta maaf. Hingga akhirnya dia mendesah, dan membalas, “Bukan gitu caranya minta maaf.”

Jidan menatap bingung.

“Tapi gini.” Bukan dengan balasan uluran tangan, melainkan dengan bergerak memeluk tubuh Jidan dengan hangat. Gladys menautkan kedua tangannya di punggung Jidan, membuat tubuh mereka rapat, dan wajahnya tenggelam di dada lelaki itu. Memang hangat dan rasanya sangat nyaman. Kenapa juga dia jadi menyukai hal itu?

Lagi-lagi ini di luar rencana Jidan, di luar prediksi Jidan. Dia mematung seketika. Dia ingin bergerak mendorong tubuh Gladys agar melepas pelukannya, tapi mengingat apa yang pernah dia lakukan sampai membuat perempuan itu terpelanting sampai bokongnya nyeri, membuatnya urung. Masalahnya, yang ada di hadapannya kini bukan lantai kost, melainkan jalan raya yang berada beberapa meter di bawahnya, belum lagi kendaraan yang melintas, belum lagi suasananya bukan untuk membuat masalah baru saat masalah yang ini pun agaknya belum benar-benar kelar.

Gladys mendongak, menatap Jidan tanpa sedikit pun memberi jarak pada tubuh mereka yang melekat. “Katanya mau minta maaf, masa nggak bales pelukan gue.”

“Hah?” Jidan menunduk, tapi langsung mengalihkan pandangan saat mereka wajah mereka terlalu dekat.

“Cepet peluk gue, atau nggak gue maafin,” paksanya.

Benar-benar dengan sangat terpaksa, Jidan membalas pelukan tersebut dengan cukup canggung. Tangannya bahkan bisa dikatakan masih agak mengambang, tidak benar-benar menyentuh tubuh Gladys. Bukan jijik, tapi dia tidak terbiasa menyentuh perempuan. Rasanya canggung dan aneh.

Mereka hanya diam selama beberapa saat, tanpa ada yang berusaha berkata, tanpa ada yang berusaha memisahkan, sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Tubuh Jidan rasanya memanas, wajahnya mungkin saja memerah, apalagi ketika Gladys bergerak mencari tempat lebih nyaman dalam pelukan itu, seolah tengah menumpahkan segala beban, meluruhkan segala rasa lelah, dan menghancurkan segala tekanan. Jidan beberapa kali mendengar Gladys mengembuskan napas berat. Dan rasanya, itu pertama kalinya Jidan melihat Gladys begitu tenang saat ada di dekatnya.

Tapi Jidan tak membiarkan mereka lebih lama untuk saling memeluk, dengan halus dan lembut, Jidan mendorong tubuh Gladys untuk melepaskan pelukan mereka. Dan ajaib! Tidak butuh tenaga ekstra seperti waktu itu untuk membuat Gladys melepaskan tautan tangannya. Jidan bisa mundur dengan baik, memberi jarak untuk melihat setelah itu Gladys menunduk begitu dalam, dan … Jidan tidak tidak terlalu yakin soal ini, tapi dia melihat ada air mata yang menetes yang langsung diusap dengan cepat oleh Gladys menggunakan tangannya sebelum mendongak dan menatap kembali Jidan.

Jidan ingin bertanya kenapa dan ada apa, barangkali dia menyakiti Gladys lebih banyak dari yang dia sendiri kira, jadi dia ingin meluruskan segalanya saat ini juga. Namun Gladys lebih dulu berbicara, “Belum makan, ya? Gue denger suara perut lo berisi banget.”

Jidan membelalak, tidak bisa mengelak.

“Nah, itu akibat buang makanan yang gue bikin.”

“Udah saya bilang, saya nggak—”

“Sengaja,” potong Gladys dengan nada mengejek.

Jidan hanya bisa mendesah, malas berdebat. “Saya udah dimaafin, kan?” lalu dia bertanya dengan nada ragu.

Gladys tersenyum miring. “Siapa yang bilang!?”

“Loh, kan tadi kita udah … pelukan ….”

“Tapi kita belum ciuman.” Perempuan itu melangkah maju, membuat Jidan seketika mundur sampai punggungnya menyentuh besi pembatas JPO di belakangnya.

Kini situasi berbalik. Gladys dengan kedua tangannya berhasil mengurung tubuh Jidan yang meski lebih besar darinya, kini terasa kecil dengan raut ketakutan itu.

Gladys semakin membara, dia merapatkan tubuh mereka, berjinjit untuk menyetarakan posisi wajah mereka. “Kok takut, sih? Padahal tadi berani banget tuh ngomong mau ciam-cium.”

“Yang tadi bukan saya.” Karena iya, masalahnya, Jidan juga tak mengerti mengapa mulutnya ini spontan mengatakan hal itu tadi. Dia menyesalinya saat ini.

“Terus siapa dong, Pak Guru? Hantu?”

“Kayaknya iya.”

“Sinting!”

“Jangan ngomong kasar.”

“Itu sinting, bukan kasar.”

Jidan tak membalas, dia berusaha mempertahankan kakinya yang juga ikut berjinjit agar Gladys tak bisa menyetarakan tinggi badan mereka meski perempuan itu berusaha menekan bahunya dengan kuat.

“Sini deh biar gue kasih tahu arti kasar,” bisiknya. “Gue cium dengan brutal. Gue jago ciuman lho ….” Lalu terkikik dengan sangat menyebalkan.

Astaga! Rasanya Jidan ingin kembali ke beberapa waktu lalu untuk tidak buru-buru berdamai dengan perempuan ini. Dia sudah kembali stres.

“Gadis, tolong ….” Jidan menahan wajah Gladys dengan menekan keningnya menggunakan jari telunjuk, membuat perempuan itu setengah mendongak dengan bibir yang maju, bersiap untuk mencium.

“Argh!” Gladys mencebik. Akhirnya dia melangkah mundur dengan sebal. Tapi bukan Gladys namanya kalau mengenal kata menyerah. Dia kembali mendekat, kembali menimbulkan trauma untuk Jidan sampai lelaki yang belum selesai mengatur napasnya itu harus kembali menahan napas. “Sekarang pilih, mending ciuman brutal sama gue, atau kita pacaran? Pak Guru mau nggak jadi pacar gue?” Dia mengedipkan sebelah matanya.

Jidan tersentak, nyaris tersedak air liurnya sendiri. “Pilihannya nggak ada yang lain?”

“Nggak ada. Cuma itu.”

“Tapi kalau soal pilihan ganda biasanya pilihannya sampai D, ada empat.”

“EMANG INI UJIAN!?”

“Ujian … hidup.” Jidan meringis kecil.

Gladys mencelus mendengarnya, sangat di luar perkiraannya. Dia kemudian membuang napas panjang, lalu memilih menyerah. Tersenyum ke arah Jidan yang berhasil membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri seketika, lalu memeluk tangan Jidan dengan kuat, sebelum menariknya untuk pergi dari sana. Dan Jidan tidak bisa menarik diri, dia pasrah saja mengikuti langkah kaki Gladys yang menyeretnya pergi dari JPO dan pulang ke kostan.

“Ini karena gue kasian sama Pak Guru, jadi ujiannya kita tunda dulu. Gue harus ngasih makan Pak Guru,” katanya saat mereka sudah berjalan di trotoar, masih belum melepas tangan Jidan, dia malah menautkan jari-jari tangan mereka. “Lagian, kenapa sih kebiasaan banget jam segini baru makan!?” Tiba-tiba dia mirip Sadewa.

“Baru inget kalau belum makan.” Jidan berbohong lagi soal makan.

“Emang dasar GuSi! Guru Sinting! Bisa-bisanya nggak inget sama makan.”

Jidan mendesah, ingin mengomel sial kata-kata kasar yang barusan Gladys ucapkan, tapi rasanya dia sudah tidak punya tenaga lagi. Dia sudah lemas dan sekarang hanya ingin tidur di kasurnya. Dia kembali heran pada Gladys yang seolah stok energinya melimpah, tidak pernah mengenal lelah, tidak pernah capek, selalu bersemangat untuk membuat orang di sekitarnya stres berat.

“Mau gue masakin apa?” tawar Gladys.

“Nggak tahu.”

“Ih, kok nggak tahu!?” dia ngomel.

“Ya …, nggak tahu. Terserah kamu aja.”

“Hmmm …, enaknya masak apa, ya??” dia berpikir sendiri. Sudah mengeluarkan banyak energi untuk ngomel-ngomel pun dia masih bisa berpikir. “Gue bikinin nasi goreng aja, deh. Kayaknya masih ada sisa nasi. Mau nggak?”

“Terserah.”

“Terserah mulu, kayak nggak punya pendirian,” omelnya lagi. “Nanti sekalian gue gorengin bakso yang gue bikin itu, masih ada stoknya, jangan dibuang lagi.”

“Saya nggak pernah ngebuang bakso goreng buatan kamu, itu nggak sengaja.”

“Ya, terserah.”

“Tuh, kamu juga bilang terserah. Berarti kamu nggak punya pendirian.”

Mata Gladys melebar. “Sekarang udah pinter balikin omongan gue, ya.” Dia mencubit pinggang Jidan.

“Sakit …,” keluh lelaki itu.

“Bodo!” Gladys menjulurkan lidahnya sembari membuat ekspresi wajah konyol.

Dan tanpa sadar Jidan tersenyum karena hal itu.