— 86


Setengah jam lebih Jidan menunggu balasan pesan teks dari Gladys, namun tak kunjung datang. Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan menonton drama Korea yang beberapa waktu lalu Sadewa rekomendasikan padanya, tapi tak bisa, Jidan terus-menerus mengecek ponselnya untuk melihat apakah perempuan itu sudah membalas pesannya atau belum.

Dia semakin cemas, semakin merasa bersalah juga. Dia tahu, dia salah, apa yang dilakukannya sore tadi itu memang berlebihan—Sadewa juga mengatakan begitu ketika Jidan menelepon setelah dia membersihkan pecahan piring dan bakso goreng yang berserakan di kamarnya. Walau yang ditanyakan pertama kali oleh adiknya itu adalah kondisinya, Sadewa tetap memperingati Jidan untuk segera berbicara dengan Gladys, meminta maaf dan meluruskan masalah. Sadewa tahu sifat kakaknya yang tidak bisa diganggu jika dalam mode serius saat tengah bekerja, apalagi juga dikejar-kejar tenggat waktu pengumpulan pekerjaan, namun dia tetap tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan Jidan. Dia hanya berusaha untuk tenang, karena itu juga akan bantu menenangkan Jidan.

Sayangnya, meski Jidan mengatakan pada Sadewa bahwa tidak ada masalah apa-apa dengannya, seperti yang Sadewa khawatirkan. Kenyataannya, sampai saat ini Jidan terus memikirkan Gladys. Dia belum pernah melihat sorot mata marah yang seperti itu dari Gladys, belum pernah melihat raut sebal yang seperti itu, dia belum pernah melihat Gladys yang seperti itu, dan harus Jidan akui, bahwa itu mengganggunya.

Meski masih dengan perasaan kesal setelah apa yang terjadi, namun sudah bercampur dengan perasaan resah, Jidan sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk membuat soal PTS, dia juga sudah mengirimkan dokumennya pada Sabria. Ketika dia berpikir akan baik-baik saja karena mungkin bukan masalah besar, Jidan justru memikirkan segala raut, ekspresi, dan sorot mata yang Gladys berikan padanya sebelum pergi dari kamarnya dan masuk ke kamarnya sendiri dengan membanting pintu cukup keras, belum lagi ucapan Sadewa di telepon yang membuatnya semakin terganggu.

“Dia pasti kesel banget, Bang.”

Selama dua minggu tinggal di kost tersebut, ini pertama kalinya Jidan merasa gundah dan resah tak karuan. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menemui Gladys secara langsung.

Jidan menutup laptopnya dengan gerak kasar, meraih ponselnya, lalu membuka pintu kamar. Sejenak berdiri di ambang pintu, menatap pintu kamar di seberangnya yang tertutup rapat. Sejam lalu dia mendengar Gladys keluar dari kamarnya dan pergi entah ke mana, namun dia tak mendengar Gladys kembali setelah itu—bukan berarti perempuan itu belum kembali, barangkali hanya Jidan yang melewatkan suaranya.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Jidan melangkah ke kamar seberang, mengetuk pintunya secara perlahan sambil mencuri dengar ke arah dalam kamar apakah sang penghuninya ada di sana atau tidak.

Jidan mencoba mengetuk beberapa kali, dan beberapa kali itu pula dia tak mendapat jawaban apa pun sampai tiba-tiba Kiara mengejutkannya.

“Mas?”

Jidan nyaris terlonjak kalau saja tidak dengan cepat mengontrol diri. Kenapa juga dia harus terkejut? Padahal dia tidak sedang ingin mencuri sesuatu atau diam-diam masuk ke kamar seorang perempuan seperti lelaki mesum yang gila.

“Nyari Gladys?” tanya Kiara yang baru muncul dari arah tangga. Di tangannya ada sebuah goodie bag berlogo salah satu restoran ayam, yang menandakan bahwa Kiara baru saja mengambil makanan pesanannya dari ojek online yang mengantarnya.

“Iya ….”

“Kayaknya tadi keluar deh. Udah agak lama sih, sekitar … eum … sejam yang lalu kali, ya. Tadi gue kebetulan lagi di warungnya Mak Idah, terus kebetulan lihat dia keluar. Belum balik kayaknya, ya?”

“Oh, gitu ….”

“Coba aja di telepon kalau penting, Mas. Dia nggak bisa ditebak pergi ke mana, sama siapa, dan pulang kapan soalnya.” Kiara nyengir kecil.

Masalahnya …, pesan teks pun tak dibalas. Apalagi telepon, perempuan itu pasti akan mengabaikannya. Jidan mendesah. “Oh, ya udah kalau gitu. Makasih.”

“Mau ke mana, Mas?” tanya Kiara melihat Jidan tak kembali ke kamarnya, melainkan melangkah ke arah tangga. “Nyari Gladys?”

Jidan bingung. “Eum … nggak, saya mau … eum … ke warung Mak Idah. Mau beli sesuatu.”

“Oh …. Udah makan?” tanya Kiara dengan nada ragu. Dia tahu, di antara penghuni lainnya, dia sendiri yang paling tidak bisa mengakrabkan diri dengan orang lain. Rasanya sulit untuk sekadar berbincang ringan dengan Reza yang notabenenya adalah anak pemilik kost. Mereka hanya bicara seperlunya. Belum lagi Gladys yang lebih dulu tinggal di kost ini sebelum dirinya, yang tiba-tiba, entah sudah direncanakan atau tidak sebelumnya, magang di kantornya dan dia ditunjuk sebagai pembimbingnya. Kiara semakin tak ingin dekat dengan siapa pun.

Sampai kemudian Jidan datang, mengisi kamar kosong di sebelahnya, yang baru beberapa hari tinggal di sana sudah mendapatinya—secara tak langsung—menangis di kamar. Kiara semakin tak ingin orang-orang dekat dengannya. Hingga kemudian Narga dengan berita mengerikan itu beserta kesepakatan aneh mereka muncul di kehidupannya, berkata, “Kak, lo tuh nggak akrab ya sama Gladys? Sama anak kost yang lain? Coba deh akrab, minimal biar lo punya orang buat nemenin makan kalau malem. Emangnya enak makan sendirian? Gue aja kalau lagi shift pagi suka rela nungguin Gladys pulang biar punya temen makan malem.”

Tapi kali ini dia tidak benar-benar ingin makan berdua dengan Jidan. Hanya sekadar basa-basi, berusaha mencoba untuk akrab lebih dulu. Mungkin setelah ini … mereka bisa benar-benar makan bersama. Dengan Jidan, atau dengan Reza, atau mungkin dengan Gladys yang selama ini sangat berusaha dia hindari.

“Saya udah makan tadi,” jawab bohong Jidan. Apanya yang sudah makan? Ketika bakso goreng yang jatuh dengan piring pecah itu bikin dia tidak bernafsu untuk makan apa pun. Perasaannya masih sangat mengganjal.

“Oh, gitu …. Oke kalau gitu.”

“Iya, selamat makan, Kia.”

“Iya, Mas ….” Senyum Kiara memutus percakapan mereka dengan cepat. Jidan melangkah menuruni anak tangga, dan Kiara masuk ke kamarnya.

Ada satu tempat yang Jidan tahu biasa Kiara datangi kalau malam hari, apalagi ketika sedang cerah dan langit sedang bertabur bintang dan bulan sedang terang, yaitu rooftop.

Pernah satu hari di minggu pertama dia tinggal di kost itu Jidan yang baru pulang dari membeli makan di luar, melihat dari arah jalan Gladys yang duduk di rooftop menggunakan kursi plastik yang entah dia dapatkan dari mana, mendongak menatap langit dengan begitu serius, lalu sesekali menggunakan teropong yang dimilikinya untuk melihat ke arah bulan yang ketika itu baru berbentuk setengah lingkaran. Jidan tidak tahu apa asyiknya memandang langit sampai sebegitunya, tapi Gladys terlihat benar-benar menikmatinya. Dia juga tidak tahu berapa lama Gladys berada di atas sana, tapi sepertinya sangat lama.

Sayangnya, malam ini Jidan tidak menemukan Gladys di atas sana padahal malam ini bulan sedang bulat sempurna dan bersinar cukup terang meski kemarin sempat hujan seharian.

Ke mana perempuan itu pergi?

Jidan benar-benar tak punya ide. Dia hanya mengikuti kemauan kakinya melangkah menuju jalanan besar di depan sana. Di tangannya tergenggam ponsel yang beberapa saat lalu dia gunakan untuk menghubungi Gladys. Namun seperti tebakannya, perempuan itu tidak mengangkatnya, membuatnya agak khawatir jika dia berhasil menemukan Gladys, tapi Gladys justru tidak sedikit pun mau dia temui. Jangankan untuk bicara, untuk menatap pun sudah enggan.

Jidan sudah sampai di jalan raya besar. Kendaraan masih berlalu-lalang dengan sangat ramai meski sudah cukup malam. Perutnya tiba-tiba bunyi, dia lapar. Dia hanya sarapan nasi dengan ayam goreng sisa kemarin malam, dan makan siang di sekolah menu yang sudah disediakan, setelah itu belum terisi apa-apa lagi, jadi agaknya wajar jika dia merasa lapar saat ini.

Kakinya terus melangkah menuju JPO halte, barangkali warung makan di sana belum tutup walau sebenarnya dia sendiri yakin kalau makanan yang disajikan di sana sudah habis dari berjam-jam lalu. Jidan sudah nyaris menyerah untuk mencari Gladys, karena benar-benar tidak tahu harus ke mana, dan tidak mungkin juga dia berkeliling satu kota untuk menemukan perempuan itu, jadi dia berniat berbicara besok saat mereka bertemu di kostan. Namun di tengah lalu lintas yang ramai, perutnya yang lapar, rasa bersalahnya yang memuncak, perasaannya yang resah, niatnya yang hampir bulat, saat itu pula takdir berkata lain.

Matanya secara tak sengaja menatap Gladys di atas sana, di JPO. Berdiri termenung mengangkat salah satu tangannya ke atas, jari-jarinya membentuk huruf O untuk melingkarkan sesuatu di atas sana, mengabaikan orang-orang yang melewatinya di JPO itu, yang menatapnya aneh. Jidan mengembuskan napas lega, dia tersenyum kecil sebelum ikut mendongak dan melihat apa yang kiranya sedang Gladys tatap dengan begitu serius sampai menandainya dengan tangan.

Bulan purnama.

Kali ini kaki Jidan melangkah mantap dengan tujuan yang jelas, melupakan warung makan di bawah tangga JPO yang memang sudah tutup, dia menaiki anak tangga itu satu per satu, kemudian berjalan perlahan ketika dia sudah melihat Gladys dengan lebih dekat.

Tiba-tiba gugup dan khawatir. Bagaimana jika perempuan itu menghindar? Bagaimana jika perempuan itu mencacinya karena masih marah? Bagaimana jika perempuan itu mengabaikannya? Bagaimana jika perempuan itu benar-benar marah dan tak ingin lagi berbicara dengannya?

Bukankah itu yang selama ini Jidan inginkan? Tidak ingin lagi Gladys mengganggunya. Mungkin itu salah satu cara semesta mengabulkan permintaannya meski dengan cara yang tidak mengenakan. Tapi mengapa rasanya ada yang salah? Mengapa rasanya tak sesuai harapannya?

Jidan memikirkan itu di setiap langkah yang dia buat saat mendekati Gladys. Ada sesuatu yang aneh tentang dirinya. Dia banyak menyakiti orang di sekitarnya selama ini dengan sikap cuek dan tidak pedulinya, tapi satu-satunya orang yang membuatnya tak nyaman hingga resah berlebih saat dia melakukan hal itu adalah Sadewa. Bagaimana dia pada akhirnya tidak ingin lagi menyakiti perasaan adiknya, bagaimana dia pada akhirnya tidak ingin lagi membuat adiknya bersedih.

Mungkin ini hanya karena perasaan bersalah yang berlebih.

Iya, pasti itu.

Saat Jidan sudah yakin dengan perasaannya, saat itu pula Gladys tiba-tiba berbalik ke arahnya, dan tak perlu waktu lama untuk bertemu tatap dengannya. Jidan seketika mematung, dia semakin gugup, takut, dan khawatir.

Gladys juga diam. Memastikan diri apa yang dia lihat bukanlah orang yang salah. Jidan di ujung sana, melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan yang seolah menguncinya di tempat. Tak bisa menebak untuk apa dan bagaimana lelaki itu bisa menemuinya, Gladys hanya bisa diam sampai Jidan sudah berdiri tepat di hadapannya, membuatnya kembali mengulang apa yang terjadi sore tadi, yang membuatnya dongkol tak karuan.

“Ngapain?” tanya Gladys ketus. Tak ada sapaan cempreng dan melengking yang menyebalkan itu, tak ada raut cerah yang seolah tak pernah luntur dari wajahnya. Yang ada hanya tatapan dengki, sorot mata tajam, dan aura ketidaksukaan yang begitu tebal, juga suara menusuk yang rasanya lebih menyebalkan.

Jidan kehilangan kata-katanya. Lebih tepatnya …, dia memang tak menyiapkan kata-kata untuk berbicara dengan Gladys. Entah kenapa, dia sendiri tak mengerti. Yang jelas, ketika di kamar kost tadi, dia hanya ingin bertemu, ingin meluruskan masalah namun tak mengerti bagaimana memulainya.

“Nggak jelas banget, Anjing!” umpatnya pelan, namun masih terdengar jelas oleh Jidan meski bercampur dengan riuhnya kendaraan di bawah sana. Gladys hendak melangkah pergi, tapi Jidan dengan cepat meraih tangannya dan membiarkannya tetap berada di sana. “Ngapain sih, Gila!?” Matanya membesar tak terima.

“Gadis,” ucap Jidan dengan lembut. “Bisa nggak, nggak usah pakai kata-kata kasar?”

“Yeu …, kenapa? Suka-suka gue lah. Emangnya lo siapa?”

“Saya Jidan.”

Gladys melongo mendengar balasan Jidan, lalu mendengus tak peduli. Hendak kembali pergi, tapi Jidan masih menahannya. “Lepasin nggak?”

“Nggak.”

“Gue bilang, lepasin!”

“Nggak.”

“Gue teriak nih.”

“Silakan.”

“TOLONG! ADA COWOK MESUM—”

Jidan langsung membungkam mulut Gladys dengan tangannya, dia lupa bahwa perempuan itu sejatinya memang bisa melakukan semua hal yang Jidan sendiri anggap gila. Lelaki itu dengan panik menoleh ke sekitarnya, takut ada yang mendengar. Beruntung, JPO sedang sepi, kini hanya ada mereka berdua di sana.

Gladys berontak, berusaha melepaskan tangan Jidan dari mulutnya dengan susah payah. Karena tak kunjung berhasil, Jidan masih terus membekap mulutnya, akhirnya dia terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya; memuncratkan air liurnya yang tentu saja tanpa hitungan detik membuat Jidan melepaskan tangannya dan melangkah mundur.

“Mampus!”

Lelaki itu menatap jijik telapak tangannya sendiri. Belum pernah ada yang melakukan hal ini padanya, bahkan Sadewa sekalipun. Dia tidak percaya ini terjadi, membuatnya seketika pening bukan main. Sepertinya dia akan menarik kembali kata-katanya perihal perasaannya yang kecewa saat membayangkan Gladys tidak lagi mengganggunya, sebab yang baru saja perempuan itu lakukan padanya kembali membuat dia stres.

Saat Jidan sedang meratapi nasib telapak tangannya, Gladys tiba-tiba sudah tak ada di hadapannya, perempuan itu sudah berjalan beberapa langkah meninggalkannya. Tanpa pikir panjang, melupakan air liur yang ada di telapak tangan, yang terpaksa dia usap ke celana yang dia kenakan, Jidan melangkah panjang-panjang untuk mengejar Gladys. Meraih kembali tangan perempuan itu dan memojokkannya ke besi pembatas JPO, mengurungnya dengan kedua tangannya.

Gladys tersentak, matanya membelalak sempurna, seketika tubuhnya membeku. Kalau di drama Korea yang dia tonton, ini seharusnya jadi adegan romantis di mana pemeran utama pria nantinya akan perlahan mendekat sebelum akhirnya akan mencium mesra pemeran utama wanitanya. Tapi yang terjadi dengan Gladys jelas jauh dari kata romantis. Sangat jauh. Namun kenapa perasaannya aneh begitu?

Agaknya dia gila.

“Minggir nggak?” Gladys membentak lagi. “Kalau nggak, gue teriak lagi nih.”

“Saya bakal tutup mulut kamu lagi.”

“Gue ludahin lagi.”

Jidan menelan air liurnya. “Kalau gitu, saya cium kamu.”

Benar-benar gila.

“Sinting!” Gladys berusaha mendorong tubuh Jidan dengan kedua tangannya, namun tak berhasil. Kenapa juga JPO ini jadi tiba-tiba sepi? Padahal sebelumnya ada orang yang berlalu-lalang. “Mau ngapain, sih!?”

“Saya mau bicara.”

“Bicara apa? Tinggal ngomong doang susah banget.”

Jidan mengembuskan napas berat. Dia menunduk. Gladys sudah tidak lagi berontak, tapi Jidan tidak kunjung melepaskan kurungannya, dan dia juga tidak kunjung menemukan kata-kata yang pas untuk memulainya.

“Ya elah, keburu lebaran monyet!” Gladys mengeluh.

“Kamu nggak bales chat saya.” Akhirnya yang diucapkan Jidan adalah kalimat itu.

“Hah?” Gladys bingung. “Gue emang nggak bawa hape.”

“Oh ….” Oke, pertama perihal pesan teks yang tak dibalas dan sambungan telepon yang tak diangkat sudah jelas, bukan karena Gladys tidak ingin melakukannya, melainkan karena perempuan itu memang tak membawa ponselnya.

“Udah? Gitu doang?” Gladys tak percaya ketika Jidan kembali diam. “Idih, najis. Nggak jelas.”

“Bisa nggak, kamu nggak ngomong kasar?”

“Gue nggak ngomong kasar.”

“Itu tadi kamu ngomong kasar. Najis, sinting, gila, anjing, terus bego, dan banyak lagi.”

Gladys berdecih. “Itu bukan ngomong kasar. Ngomong kasar tuh …, 'kasar, kasar, kasar, kasar, terus kasar, kasar lagi, dan kasar'. Itu baru ngomong kasar.”

“Bukan itu maksud saya ….” Jidan geram.

“Ya, terus?”

“Ngomong pakai kata-kata yang kasar. Mengumpat—”

“Gue nggak ngumpet. Nih, buktinya lo lihat gue. Gue nggak ngumpet, kan?”

“Bukan itu juga maksud saya, Gadis.”

“Ya, terus apa dong, Pak Guruuuuu??? Yang jelas dong kalau ngomong, jangan muter-muter gitu. Gue pusing. Langsung aja ke intinya.”

Jidan merasa semakin terdesak, padahal yang posisinya jelas-jelas mendesak adalah dia, tapi entah mengapa, Jidan merasa didesak. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan suara yang cukup pelan, “Saya minta maaf ….”

“Hah?” Gladys meminta untuk Jidan mengulangnya.

“Saya minta maaf,” ulang JIdan sekali lagi, masih dengan nada suara yang sama.

“Ngomong apa sih, Pak Guru? Nggak kedengeran sama telinga gue. Berisik di sini.”

Jidan mendesah padahal jelas-jelas kini kendaraan sudah mulai sepi di jalanan, orang-orang pun sudah tidak ada yang lewat di JPO. Jadi dia memilih diam, membuat Gladys geram.

“Hadah! Niat minta maaf nggak, sih!?”

“Itu kamu tahu kalau saya minta maaf.”

“Emangnya salah kalau ue minta buat diulang ngomongnya? Lagian kayak nggak niat gitu minta maafnya. Males!”

“Bukaan nggak niat.”

“Kalau nggak niat, namanya apa dong?”

“Ya … eum ….” Jidan kebingungan.

“Tuh, kan, emang nggak niat.” Gladys berdecih. malas.

“Niat kok.”

“Kalau gitu, coba diulang lagi.”

Sebelum mengatakannya, Jidan mengambil jeda yang cukup panjang sampai Gladys kembali geram. Lelaki itu akhirnya melepaskan kedua tangannya dari sisi tubuh Gladys, berhenti mengurung perempuan itu, berdiri tegak dengan dan agak berjarak. Dia mengulurkan tangannya, sempat membuat Gladys bingung sampai tiga kata yang Jidan ucapkan keluar dengan begitu jelas dan lugas. “Saya minta maaf.”

Gladys mengerjap, menatap uluran tangan tersebut di hadapannya. Dia akui, dia memang sempat kesal, marah, juga sakit hati atas segala perlakuan yang Jidan berikan padanya sore hari tadi. Tapi saat dia ingin membenci lelaki itu, dia kembali berpikir bahwa ini semua sebenarnya salahnya juga. Sadewa sudah memperingatkan beberapa kali padanya untuk tidak mengganggu Jidan ketika lelaki itu sedang fokus bekerja, sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya, tapi Gladys lupa akan hal itu, membuat Jidan akhirnya meledak.

Tapi, kan, tetap saja, bagaimanapun juga Jidan melakukan kekerasannya padanya. Lelaki itu menariknya secara paksa, membuat pergelangan tangannya memerah. Belum lagi lelaki itu juga membanting piring berisi bakso goreng yang dibuatnya. Tidak tahu, kah, Jidan kalau masakan adalah hatinya Gladys? Jadi, ketika lelaki itu membuat masakannya berjatuhan ke bawah dengan cara yang kasar, itu sama saja menyakiti perasaannya. Gladys tidak bisa menerima hal itu.

Dia sedang menimbang-timbang, apakah dia langsung menerima permintaan maaf itu karena sejatinya mereka sama-sama salah? Atau lebih baik membuat hal ini jadi arena bermain yang menyenangkan?

“Emangnya punya salah apa?” tanya Gladys, belum mau menerima uluran tangan tersebut.

Jidan ingin mengeluh. Kenapa dia juga tidak sampai memikirkan bahwa Gladys bisa mempersulit permintaan maaf yang seharusnya sangat sederhana ini? Dia memejamkan mata sejenak, lalu berujar, “Soal tadi sore …, yang saya kasar ke kamu …, terus nggak sengaja nyenggol piring—”

“NGGAK SENGAJA!?” Gladys melotot tak terima. “Lo bilang, nggak sengaja? Itu jelas-jelas sengaja banget.”

“Itu nggak sengaja.”

“Gue lihat pakai mata kepala gue sendiri, lo nyenggol piringnya sampai jatuh dan pecah, terus bakso goreng buatan gue … WAAHHH!!! Diingetin lagi, bikin gue emosi lagi.” Gladys sampai mendongak dan memegangi leher bagian belakangnya.

“Nggak sengaja kesenggol, Gadis,” ujar Jidan lagi. “Saya beneran nggak berniat dengan sengaja nyenggol sampai pecahin piringnya, apalagi bikin bakso gorengnya jatuh dan nggak bisa dimakan.”

Gladys kembali menatap Jidan dengan sorot tajam.

“Saya minta maaf ….” Jidan kembali memfokuskan pada uluran tangannya yang sampai detik itu belum juga disambut. “Saya bener-bener minta maaf sama kamu.”

Tatapan Gladys tiba-tiba berubah menjadi sendu. Tiba-tiba tak tega jika harus memainkan permainan di tengah rasa tulus yang dipancarkan lelaki di hadapannya ini saat meminta maaf. Hingga akhirnya dia mendesah, dan membalas, “Bukan gitu caranya minta maaf.”

Jidan menatap bingung.

“Tapi gini.” Bukan dengan balasan uluran tangan, melainkan dengan bergerak memeluk tubuh Jidan dengan hangat. Gladys menautkan kedua tangannya di punggung Jidan, membuat tubuh mereka rapat, dan wajahnya tenggelam di dada lelaki itu. Memang hangat dan rasanya sangat nyaman. Kenapa juga dia jadi menyukai hal itu?

Lagi-lagi ini di luar rencana Jidan, di luar prediksi Jidan. Dia mematung seketika. Dia ingin bergerak mendorong tubuh Gladys agar melepas pelukannya, tapi mengingat apa yang pernah dia lakukan sampai membuat perempuan itu terpelanting sampai bokongnya nyeri, membuatnya urung. Masalahnya, yang ada di hadapannya kini bukan lantai kost, melainkan jalan raya yang berada beberapa meter di bawahnya, belum lagi kendaraan yang melintas, belum lagi suasananya bukan untuk membuat masalah baru saat masalah yang ini pun agaknya belum benar-benar kelar.

Gladys mendongak, menatap Jidan tanpa sedikit pun memberi jarak pada tubuh mereka yang melekat. “Katanya mau minta maaf, masa nggak bales pelukan gue.”

“Hah?” Jidan menunduk, tapi langsung mengalihkan pandangan saat mereka wajah mereka terlalu dekat.

“Cepet peluk gue, atau nggak gue maafin,” paksanya.

Benar-benar dengan sangat terpaksa, Jidan membalas pelukan tersebut dengan cukup canggung. Tangannya bahkan bisa dikatakan masih agak mengambang, tidak benar-benar menyentuh tubuh Gladys. Bukan jijik, tapi dia tidak terbiasa menyentuh perempuan. Rasanya canggung dan aneh.

Mereka hanya diam selama beberapa saat, tanpa ada yang berusaha berkata, tanpa ada yang berusaha memisahkan, sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Tubuh Jidan rasanya memanas, wajahnya mungkin saja memerah, apalagi ketika Gladys bergerak mencari tempat lebih nyaman dalam pelukan itu, seolah tengah menumpahkan segala beban, meluruhkan segala rasa lelah, dan menghancurkan segala tekanan. Jidan beberapa kali mendengar Gladys mengembuskan napas berat. Dan rasanya, itu pertama kalinya Jidan melihat Gladys begitu tenang saat ada di dekatnya.

Tapi Jidan tak membiarkan mereka lebih lama untuk saling memeluk, dengan halus dan lembut, Jidan mendorong tubuh Gladys untuk melepaskan pelukan mereka. Dan ajaib! Tidak butuh tenaga ekstra seperti waktu itu untuk membuat Gladys melepaskan tautan tangannya. Jidan bisa mundur dengan baik, memberi jarak untuk melihat setelah itu Gladys menunduk begitu dalam, dan … Jidan tidak tidak terlalu yakin soal ini, tapi dia melihat ada air mata yang menetes yang langsung diusap dengan cepat oleh Gladys menggunakan tangannya sebelum mendongak dan menatap kembali Jidan.

Jidan ingin bertanya kenapa dan ada apa, barangkali dia menyakiti Gladys lebih banyak dari yang dia sendiri kira, jadi dia ingin meluruskan segalanya saat ini juga. Namun Gladys lebih dulu berbicara, “Belum makan, ya? Gue denger suara perut lo berisi banget.”

Jidan membelalak, tidak bisa mengelak.

“Nah, itu akibat buang makanan yang gue bikin.”

“Udah saya bilang, saya nggak—”

“Sengaja,” potong Gladys dengan nada mengejek.

Jidan hanya bisa mendesah, malas berdebat. “Saya udah dimaafin, kan?” lalu dia bertanya dengan nada ragu.

Gladys tersenyum miring. “Siapa yang bilang!?”

“Loh, kan tadi kita udah … pelukan ….”

“Tapi kita belum ciuman.” Perempuan itu melangkah maju, membuat Jidan seketika mundur sampai punggungnya menyentuh besi pembatas JPO di belakangnya.

Kini situasi berbalik. Gladys dengan kedua tangannya berhasil mengurung tubuh Jidan yang meski lebih besar darinya, kini terasa kecil dengan raut ketakutan itu.

Gladys semakin membara, dia merapatkan tubuh mereka, berjinjit untuk menyetarakan posisi wajah mereka. “Kok takut, sih? Padahal tadi berani banget tuh ngomong mau ciam-cium.”

“Yang tadi bukan saya.” Karena iya, masalahnya, Jidan juga tak mengerti mengapa mulutnya ini spontan mengatakan hal itu tadi. Dia menyesalinya saat ini.

“Terus siapa dong, Pak Guru? Hantu?”

“Kayaknya iya.”

“Sinting!”

“Jangan ngomong kasar.”

“Itu sinting, bukan kasar.”

Jidan tak membalas, dia berusaha mempertahankan kakinya yang juga ikut berjinjit agar Gladys tak bisa menyetarakan tinggi badan mereka meski perempuan itu berusaha menekan bahunya dengan kuat.

“Sini deh biar gue kasih tahu arti kasar,” bisiknya. “Gue cium dengan brutal. Gue jago ciuman lho ….” Lalu terkikik dengan sangat menyebalkan.

Astaga! Rasanya Jidan ingin kembali ke beberapa waktu lalu untuk tidak buru-buru berdamai dengan perempuan ini. Dia sudah kembali stres.

“Gadis, tolong ….” Jidan menahan wajah Gladys dengan menekan keningnya menggunakan jari telunjuk, membuat perempuan itu setengah mendongak dengan bibir yang maju, bersiap untuk mencium.

“Argh!” Gladys mencebik. Akhirnya dia melangkah mundur dengan sebal. Tapi bukan Gladys namanya kalau mengenal kata menyerah. Dia kembali mendekat, kembali menimbulkan trauma untuk Jidan sampai lelaki yang belum selesai mengatur napasnya itu harus kembali menahan napas. “Sekarang pilih, mending ciuman brutal sama gue, atau kita pacaran? Pak Guru mau nggak jadi pacar gue?” Dia mengedipkan sebelah matanya.

Jidan tersentak, nyaris tersedak air liurnya sendiri. “Pilihannya nggak ada yang lain?”

“Nggak ada. Cuma itu.”

“Tapi kalau soal pilihan ganda biasanya pilihannya sampai D, ada empat.”

“EMANG INI UJIAN!?”

“Ujian … hidup.” Jidan meringis kecil.

Gladys mencelus mendengarnya, sangat di luar perkiraannya. Dia kemudian membuang napas panjang, lalu memilih menyerah. Tersenyum ke arah Jidan yang berhasil membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri seketika, lalu memeluk tangan Jidan dengan kuat, sebelum menariknya untuk pergi dari sana. Dan Jidan tidak bisa menarik diri, dia pasrah saja mengikuti langkah kaki Gladys yang menyeretnya pergi dari JPO dan pulang ke kostan.

“Ini karena gue kasian sama Pak Guru, jadi ujiannya kita tunda dulu. Gue harus ngasih makan Pak Guru,” katanya saat mereka sudah berjalan di trotoar, masih belum melepas tangan Jidan, dia malah menautkan jari-jari tangan mereka. “Lagian, kenapa sih kebiasaan banget jam segini baru makan!?” Tiba-tiba dia mirip Sadewa.

“Baru inget kalau belum makan.” Jidan berbohong lagi soal makan.

“Emang dasar GuSi! Guru Sinting! Bisa-bisanya nggak inget sama makan.”

Jidan mendesah, ingin mengomel sial kata-kata kasar yang barusan Gladys ucapkan, tapi rasanya dia sudah tidak punya tenaga lagi. Dia sudah lemas dan sekarang hanya ingin tidur di kasurnya. Dia kembali heran pada Gladys yang seolah stok energinya melimpah, tidak pernah mengenal lelah, tidak pernah capek, selalu bersemangat untuk membuat orang di sekitarnya stres berat.

“Mau gue masakin apa?” tawar Gladys.

“Nggak tahu.”

“Ih, kok nggak tahu!?” dia ngomel.

“Ya …, nggak tahu. Terserah kamu aja.”

“Hmmm …, enaknya masak apa, ya??” dia berpikir sendiri. Sudah mengeluarkan banyak energi untuk ngomel-ngomel pun dia masih bisa berpikir. “Gue bikinin nasi goreng aja, deh. Kayaknya masih ada sisa nasi. Mau nggak?”

“Terserah.”

“Terserah mulu, kayak nggak punya pendirian,” omelnya lagi. “Nanti sekalian gue gorengin bakso yang gue bikin itu, masih ada stoknya, jangan dibuang lagi.”

“Saya nggak pernah ngebuang bakso goreng buatan kamu, itu nggak sengaja.”

“Ya, terserah.”

“Tuh, kamu juga bilang terserah. Berarti kamu nggak punya pendirian.”

Mata Gladys melebar. “Sekarang udah pinter balikin omongan gue, ya.” Dia mencubit pinggang Jidan.

“Sakit …,” keluh lelaki itu.

“Bodo!” Gladys menjulurkan lidahnya sembari membuat ekspresi wajah konyol.

Dan tanpa sadar Jidan tersenyum karena hal itu.