— 31
Utara benar-benar menunda mobilnya di kantor dan ikut pulang bersama Arion naik mobil cowok itu. Arion menjemputnya, dan Utara harus mengakui bahwa itu adalah pertama kalinya lagi setelah sekian lama ada cowok yang menjemputnya di kantor sepulang kerja. Terakhirnya dua tahun lalu, dengan mantan pacarnya yang bernama Nino, yang putus dengan Utara karena setelah setahun berpacaran baru ketahuan kalau selama itu Utara ternyata dijadikan selingkuhan.
Nino ternyata sudah bertunangan dengan seorang perempuan di kampung halamannya di Medan sana, mengaku kalau itu perjodohan dan Nino tak suka, makanya memacari Utara yang pada akhirnya membuat Utara semakin tak percaya dengan yang namanya cinta. Ia bahkan sudah tak punya niat untuk dekat lagi dengan seorang lelaki secara serius seperti yang diharapkan Erika atau banyak orang di sekelilingnya. Ia sudah muak.
Jika ia bisa bersenang-senang dengan cowok tanpa punya ikatan serius dan itu membuatnya senang, kenapa tidak?
Arion menjemputnya, masih dengan pakaian kantor yang sama; kemeja lengan panjang dan celana panjang yang masih rapi, sepatu pantofel yang mengilap, tapi rambutnya sudah lebih berantakan dibandingkan ketika Utara bertemu dengan cowok itu siang tadi. Wajahnya pun sudah lebih lelah. Di kursi belakang, tertumpuk tas dan blazer milik Arion, ia menyuruh Utara untuk menaruh tas laptopnya di sana juga, tapi Utara menolak, memilih memanggilnya sepanjang perjalanan.
Mereka mampir ke minimarket untuk membeli buah tangan seperti yang direncanakan dengan Arion yang memberikan seluruh pilihannya pada Utara dengan beralasan kalau Utara yang lebih tahu apa yang disuka Erika dan anak-anaknya.
“Terserah. Kamu pilih aja, aku nggak tahu apa yang bagus buat mereka,” begitu katanya.
Lalu menjemput Elea saat langit sudah hampir gelap, dan mama Erika menyuruh mereka untuk mampir dan makan malam dulu, tapi menolak.
“Papa, neneknya Alya kepangin aku rambut!” seru Elea sesaat setelah memeluk Arion yang datang menjemputnya, menunjukkan rambut panjangnya yang dikepang dengan cantik.
“Cantik banget. Nanti Papa belajar ngepang deh, biar bisa kepangin kamu.”
“Tante Seksi bisa ngepang juga loh, Lea,” sahut Erika. Kenapa juga ikut-ikutan panggil Utara dengan Tante Seksi? Utara menggerutu dalam hati.
“Iya?” Elea menatap Utara.
Utara mengerjap sesaat, menatap Erika dengan sebal. “Iya, bisa. Itu sih gampang.” Ia menjentikkan jarinya.
“Wah, Tante Seksi keren!”
Arion terkekeh, Utara meringis.
“Nanti kapan-kapan kepangin rambut aku, ya?”
“Boleh. Nanti Tante kepangin.” Utara tersenyum.
Setelah itu mereka berpamitan untuk pulang. Alya kelihatan keberatan karena Elea harus pergi, begitu juga Elea, yang mengatakan berkali-kali kalau ia harus main lagi bersama Alya kapan-kapan. Di perjalanan, bocah itu sibuk mengoceh ini dan itu tentang harinya bermain bersama Alya dan Devan.
“Kalau aku pengin adik cowok kayak Devan, boleh nggak, Papa?”
Itu pertanyaan yang terlontar dari mulut Elea di tengah ceritanya tentang Devan yang katanya imut dan penurut meski suka nangis.
Saat itu Utara langsung melirik canggung Arion di sampingnya. Arion juga langsung menegang seketika. Dari sekian banyak pertanyaan yang sulit dijawab setelah ia berpisah dengan Rania, itu adalah pertanyaan yang paling sulit. Tentang adik. Bagaimana caranya menjelaskan pada bocah kecil seperti Elea kalau memberinya adik bukan semudah membuat kue dengan tepung dan telut? Tapi harus ada lelaki dan perempuan yang bersatu dalam kegiatan panas—
Oke. Cukup.
Arion susah payah mengukir senyum di bibirnya, menatap Elea di belakang dari kaca spion.
“Lea itu—”
“Boleh,” potong Utara cepat. Tak tahu ia punya keberanian dari mana dan mungkin sudah gila karena sepertinya Arion juga tak punya jawaban terbaik untuk menjawab pertanyaan itu selain dengan berbohong atau memberi percikan fantasi dongeng di dalamnya.
Arion menatap Utara.
“Boleh?” Elea berseru antusias.
“Tapi kamu tahu nggak gimana adik itu bisa muncul?” tanya Utara.
Elea menggeleng. “Pakai tepung sama telur?”
Utara terkekeh. “Ya …, nggak salah sih. Tapi kalau diibaratkan kue, emang perlu tepung dan telur. Adik atau anak juga gitu, harus ada tepung dan telur, alias laki-laki dewasa dan perempuan dewasa.”
“Kayak Papa sama Tante Seksi?”
Oke itu di luar perkiraan, tapi Utara mencoba tetap tenang dan tersenyum. “Iya. Papa adalah laki-laki dewasa dan Tante adalah perempuan dewasa. Tapi nggak cuma itu. Laki-laki dan perempuan itu harus saling suka, harus saling jatuh cinta, harus menikah, harus jadi pasangan suami istri. Nah setelah itu baru deh mereka bisa kasih adik buat kamu.”
“Papa sama Tante Seksi bisa nggak kasih aku adik kayak Devan?”
Arion sudah akan menjawab, tapi Utara lebih dulu bersuara.
“Nggak bisa,” jawab Utara. “Soalnya Tante sama papa kamu bukan pasangan suami-istri. Suami istri itu, suami bakal jadi papa buat anak-anaknya, kayak papa kamu ke kamu. Dan istri bakal jadi mama buat anak-anaknya.”
“Tapi mama aku …,” Elea menggantung ucapannya untuk melirik papanya, “Nenek bilang Mama jahat sama Papa, terus mereka pisah. Jadi gak bisa kasih aku adik, ya, Tante Seksi?”
“Bener. Nggak bisa. Karena mereka bukan suami istri lagi namanya,” jawab Utara, masih dengan nada lembut yang sama.
“Jadi, aku harus gimana biar bisa dapet adik kayak Devan?”
“Harus cari istri buat papa kamu, sekaligus mama baru buat kamu.”
Elea cemberut sesaat. Ia berpikir sejenak sebelum kemudian kembali berujar, “Tante Seksi nggak mau jadi istri Papa? Jadi mama baru aku.”
Utara terbatuk, tersedak air liurnya sendiri.
“Lea …,” tegur Arion, sampai memutar tubuhnya sebentar untuk menatap anak itu secara langsung.
“Tante nggak suka sama papa kamu,” ujar Utara, membuat Arion menoleh ke arahnya. “Inget, kan? Syarat jadi pasangan suami istri adalah saling suka, saling jatuh cinta, setelah itu menikah.”
Elea mendesah, ia cemberut. “Kalau Papa …, suka juga nggak sama Tante Seksi?”
Kali ini Utara yang menoleh pada Arion, menatap lelaki itu yang fokus mengemudi dengan perasaan yang tegang, dengan gelenyar aneh yang mendadak menggelitik perasaannya.
Arion membuang napas panjang sebelum berujar untuk mengalihkan, “Tadi kamu main apa aja sama Alya? Papa belum denger ceritanya.”
Dan Elea menjawabnya dengan semangat, begitu mudah untuk dialihkan.
Saking semangatnya bercerita ini dan itu, ia sampai tertidur, bahkan tak bangun saat mobil sudah berhenti.
“Kayaknya dia kecapekan main deh, pules banget gitu kelihatannya,” Utara terkekeh canggung. Setelah percakapan tadi itu, mereka tak banyak bicara lagi sepanjang sisa perjalanan. Utara hanya sesekali menyimak obrolan ringan antara anak dan papanya sebelum si anak tertidur, sisanya ia hanya sibuk memainkan ponsel.
Ia mulai menyesali apa yang dilakukannya, tapi tak bisa untuk memutar waktu. Pepatah benar, diam adalah emas. Utara seharusnya diam.
“Nggak belajar deh diam malem ini,” balas Arion seraya merunduk untuk melepas sabuk pengaman di tubuh Elea, dan menggendong bocah itu, juga mencoba mengambil barang-barang mereka. “Mudah-mudahan gurunya nggak ngasih PR. Karena kalau ngasih, bisa repot banget nanti pagi harus ngurusin PR-nya dulu.”
“Sini, Mas. Biar aku bantu bawain.” Utara mengambil alih tas Arion dan Elea, juga blazer Arion yang kelihatannya lelaki itu kesulitan membawanya karena sembari menggendong Elea yang tidur.
“Makasih.”
Utara mengekori Arion sampai ke lantai unit apartemen mereka berada, membawa kembali kenangan mengerikan malam itu, sedikit membuat Utara sesak napas. Ia ingin segera masuk ke unitnya sendiri, tapi sesaat setelah Arion berhasil membuka pintu, cowok itu malah menyuruh Utara ikut serta masuk ke dalam, dan Utara tak punya waktu untuk protes karena Arion langsung masuk.
“Sebentar, aku taruh Lea di kamarnya dulu.” Lalu Arion menghilang dari pandangan Utara, masuk ke sebuah kamar dan kembali tak lama dengan menjinjing sepatu milik Elea yang tadi dipakai, berjalan melewati Utara untuk menaruh sepatu itu rak sepatu depan, lalu kembali menghampiri Utara sembari menggulung lengan kemejanya sampai batas siku.
Oke.
That's kinda hot.
“Tara.”
Dan Utara sampai melamun, tak sadar Arion sudah ada di depannya. “Oh, maaf ….”
“Maaf untuk?” Arion menatap bingung. Ia mengambil alih barang bawaan Utara yang masih ada di tangan perempuan itu, lalu menaruhnya di sofa belakang tubuh Utara tanpa mencoba bergeser lebih banyak, karena gerakan itu jujur saja terlalu dekat dengan Utara sampai ia harus mundur sedikit hingga bokongnya menyentuh sandaran sofa.
Utara tak berniat menjawab pertanyaan itu. Ia akan lebih memilih diam, karena bagaimana mungkin ia akan menjawab dengan mengatakan kalau ia meminta maaf karena telah memperhatikan Arion sebegitunya sampai nyaris menelanjangi lelaki itu di pikirannya yang kotor ini.
“Kalau gitu, aku pulang, ya, Mas.” Ia sudah ingin beranjak, tapi Arion menahan tangannya, membuatnya kembali diam di sana untuk waktu lebih lama lagi.
“Sebentar, biar aku ambilin tas sama sepatu kamu yang ketinggalan kemarin.”
Tas dan sepatu sialan!
Utara nyaris mengumpat.
Matanya mengikuti langkah kaki Arion menuju kamar utama sialan yang Utara yakini menyimpan momen memalukan baginya, lalu kembali dengan membawa sebuah paper bag berisi sepatu dan tas milik Utara.
Kenapa selama momen itu Utara tak mencoba kabur?
Untuk membuat Arion kembali berdiri di depannya dan ia mengagumi ketampanan lelaki itu? Atau untuk menelanjangi lelaki itu di pikirannya dengan mudah? Karena bagaimana ia mampu bertahan dengan segala pahatan nyaris sempurna yang dimiliki seorang Arion Janardana? Lihat otot itu! Lihat urat yang menonjol di tangannya! Lihat jakun yang bergerak turun naik itu! Lihat bibir yang pasti lembab dan mungkin manis candu itu!
Utara ingin melahapnya.
“Bajunya masih di-laundry. Blazer kamu juga walau nggak kena muntahan, sekalian soalnya. Mungkin besok atau lusa baru selesai. Is it okay?” Arion memberikan paper bag tersebut.
“Ya, nggak apa-apa, Mas.” Utara menunduk. “Makasih juga. Dan …, maaf.”
“Maaf untuk?”
“Ya, maaf ….” Utara masih menunduk.
“Tara, lihat aku. Yang lagi bicara sama kamu tuh di sini lho, bukan di bawah.” Arion mendengus.
Dengan keberanian yang dikumpulkan, Utara mendongak, kembali menatap Arion yang entah kenapa rasanya lebih dekat dari yang sebelumnya. Rasanya tak banyak ruang tersisa untuk mereka saling menempel satu sama lain.
DAN APAKAH UTARA BARU SAJA BERPIKIR MEREKA AKAN SALING MENEMPEL SATU SAMA LAIN?
Oke, Utara Pradita mulai sinting.
“Kalau kamu kepikiran soal malem itu, nggak apa-apa lupain aja. Kamu boleh minta aku buat anggap malem itu nggak terjadi apa-apa. Kayak kata kamu,” Arion bicara setelah ia berhasil menatap bola mata Utara di depannya.
Utara tak segera membalas. Ia diam, menatap Arion—mengagumi setiap jengkel keindahan lelaki itu di depan matanya. Kapan kiranya ia mulai menyadari hal ini? Mungkin sejak tiga tahun lalu, sejak ia masih mengurusi kasus perceraian Arion dengan perempuan yang kini sudah jadi mantan istrinya, saat ia tengah tergila-gila dengan bajingan Nino.
“Ayo, aku buatin kamu makan malam. Kita makan bareng.” Arion sudah akan beranjak, namun kali ini Utara yang mencegah dengan meraih lengan lelaki itu meski sesaat kemudian melepasnya.
“Emangnya apa yang aku lakuin malem itu?” tanya Utara. Terdengar sungguh-sungguh, terlihat penasaran.
Arion berjengit. “Kamu penasaran?”
Utara mengangguk pelan, agak ragu, meski ia memang harus jujur kalau di sudut hatinya di dalam sana, ia penasaran, walau mungkin memalukan.
“Aku rasa, lebih baik kamu simpen rasa penasaran kamu. Aku nggak mau bikin kamu—”
“Kamu bilang gini malah tambah bikin aku penasaran, Mas.”
Arion mendengus, terkekeh pelan. “Kamu beneran nggak inget, ya?”
Kali ini Utara menggeleng. “Aku inget soal salah ngira unit apart, masukin pin unit apartemenku di unit apartemen kamu.”
“Terus?”
“Soal muntah juga ….”
“Itu nggak lama setelah aku buka pintu dan kamu masuk ke sini.”
Utara mendesah. “Aku minta maaf ….”
“Udah aku bilang, nggak apa-apa.”
“Terus aku nggak inget apa-apa lagi ….”
“Gitu, ya?” Ada nada kecewa di sana, Utara bisa merasakannya.
“Kamu … yang … gantiin … baju … aku …?” Utara merasakan wajahnya memanas saat ini, membayangkan Arion membuka pakaiannya yang penuh muntahan dan menggantinya dengan pakaian bersih miliknya. Dan sialnya ia merasakan kedutan sinting di pangkal pahanya.
“Itu susah,” jawab Arion agak tercekat, dan Utara tak mengerti maksudnya. “Lumayan nyiksa juga.”
“Jadi …, bener?” Utara berusaha menahan malu. “Terus apa lagi?”
Arion tak langsung menjawab, ia mengendurkan sedikit dasinya, lalu melepas kancing teratas kemejanya. Ia agak gerah. Dan bukan hanya malam itu yang menyiksanya, tapi saat ini pun ia tersiksa. Pertanyaan Utara berhasil membuatnya membayangkan, mengingat kembali apa yang terjadi malam itu.
Utara menelan air liurnya melihat adegan nyata di depannya. Ia menahan napas sejenak. Tidak berhenti dari otot, urat, jakun, dan bibir. Arion berhasil membuatnya terlihat lebih gila dengan melakukan dua hal bersama dasi dan kemejanya.
“Aku nggak bisa ceritain detailnya gimana. Terlalu susah,” ucap Arion, sudah mengembalikan pandangannya pada Utara.
“Kalau gitu, tunjukin aja. Tunjukin gimana. Tunjukin apa yang terjadi malem itu.”
Untuk sesaat, Arion membeku. Ia menatap Utara dengan mata yang mendadak berubah gelap. Dan rasanya sebuah tali besar mengikatnya, membuatnya tercekat dan sesak di sana-sini.
Sial!
Ia tiba-tiba ingat dengan ucapan Bara siang tadi. Tentang puasa tiga tahun. Selama tiga tahun ini Arion memang tak pernah dekat dengan perempuan mana pun, tidak pernah berusaha dekat. Perempuan yang bukan keluarganya, yang sering berkomunikasi dengannya adalah Mia, pengasuh Elea, juga Sandra, sekretarisnya. Sisanya tentu pegawai kantor.
Ini pertama kalinya setelah tiga tahun Arion berada sangat dekat dengan perempuan. Dan perempuan itu adalah yang membantunya mendapatkan hak asuh anak dalam perceraiannya tiga tahun lalu.
Membuatnya tersiksa. Membuat kepalanya berdenyut. Membuat gelenyar aneh di sudut hatinya. Dan kedut aneh di beberapa bagian tubuhnya, terutama di sana. Di ujung sana.
Arion berusaha mengontrol diri. Ia membuang napas berat dan panjang, menunduk untuk mengatakan bahwa dirinya kalah.
“Mas, lihat aku. Yang kamu ajak ngomong tuh di sini, bukan di bawah,” Utara membalikan ucapan Arion, membuat lelaki itu tertawa.
“Dasar.”
“Tapi aku serius. Soal yang tadi. Tunjukin ke aku kalau kata-kata terlalu sulit buat kamu lakuin.” Utara menatap Arion sungguh-sungguh.
Dan Arion berhasil masuk ke dalam mata indah itu. Ia mungkin benar-benar kalah telak, tapi dengan cara yang berbeda.
Arion maju satu langkah, membuat mereka semakin dekat, nyaris bersinggungan. Utara hendak mundur, tapi tak bisa, ia sudah menyentuh sofa di belakang sana. Dan ia tak merasa kalau ia siap untuk mendapat jawaban yang dipintanya.
“Sini, biar aku tunjukin apa yang kamu lakuin malem itu.” Arion meraih pinggang Utara, dan mereka sekelas menempel, tas laptop, totebag, dan paper bag yang ada di tangannya jatuh ke bawah, menimpa kaki keduanya, tapi tak satu pun dari mereka bergerak menjauh.
“Aku ngelakuin ini?” tanya Utara ketika Arion menelusuri wajahnya dengan mata.
Arion tak menjawab, ia justru berujar, “Kamu tahu sesusah apa gantiin kamu baju?”
Utara menggeleng.
“Susah banget.” Ia nyaris menyerah. Menyentuh tubuh perempuan untuk yang pertama kali lagi setelah tiga tahun.
“Ritsleting baju aku susah?”
Arion mendengus.
“Atau muntahannya terlalu banyak? Jadi bikin kamu mau ikutan muntah juga?”
Arion tertawa. “Aku nggak berpikir kamu nggak ngerti maksud aku,” balasnya. “Kamu pengacara perceraian pinter yang berhasil bikin aku milikin Lea. Jadi aku rasa kamu ngerti.”
Utara diam.
Ya.
Dia memang mengerti.
Sangat paham.
Saking pahamnya sampai rasanya tubuhnya saat ini terasa sangat panas dan bulu kuduknya meremang.
“Kamu juga pinter ngejelasin sesuatu yang aku sendiri nggak tahu gimana jelasinnya ke orang sekecil Lea. Aku berterima kasih soal itu,” Arion berbicara lagi.
“Kamu nggak marah, Mas?”
“Kenapa aku harus marah?”
“Karena coba ngomongin sesuatu yang bukan kapasitas anak kecil?”
“Tapi kamu bicara gitu pasti udah ngerti kalau hal-hal semacam itu emang udah seharusnya dikasih tahu sejak kecil, walaupun kata-katanya yang susah buat dipilih, karena dia masih kecil. Makanya aku berterima kasih.” Arion tersenyum. “Sampai sekarang aku masih belum bisa ngomong kenapa aku dan mamanya Lea bisa pisah, kenapa mamanya itu jahat sama papanya, apa yang dilakuin mamanya, dan kenapa-kenapa yang lain.”
“Pelan-pelan, Mas. Elea pasti bakal ngerti. Gimanapun Mbak Rania tetep mamanya. Walau dia nyakitin kamu, dia tetep harus jadi mama yang hebat buat anaknya.”
“Gimana kalau aku pengin orang lain yang jadi mama yang hebat buat Lea? Bukan Rania.”
Utara mengerjap. Tak mengerti arah perbincangan mereka ke mana. Ia hanya mencengkeram sisi kemeja yang Arion kenakan di saat rasanya tubuh mereka semakin rapat, Arion seperti terus menarik tubuhnya mendekat.
“Mas,” panggilnya. “Terus apa lagi yang aku lakuin?” Ia mengalihkan.
Arion tersenyum kecil, ia menatap mata Utara sejenak sebelum kepalanya tiba-tiba bergerak lebih mendekat dan miring untuk mendekat ke arah leher Utara. Dengan refleks yang entah gimana, Utara mendongak.
“Begini,” ujar Arion. Utara bisa merasakan napas berat lelaki itu di lehernya, membuatnya semakin erat mencengkeram kemeja Arion.
“Terus?” katanya dengan nada tercekat.
“Begini.” Kini wajah Arion berpindah ke depan wajah Utara. Kepalanya masih agak miring, dan bibirnya nyaris menyentuh bibir Utara. Mereka hanya perlu bergerak sedikit untuk membuat bibir itu saling bersinggungan.
Utara menahan napasnya, ia menelan ludah susah payah. Lalu berujar dengan agak tercekat, “Begitu doang?”
Astaga!
Utara bisa melihat seringai Arion setelah ia bertanya begitu!
Seringai yang membuat Utara merinding.
Benar-benar merinding.
“Mau aku tunjukin beneran?”
Utara membeku. Apa ia sungguh-sungguh mencium Arion malam itu?
Mencium bibir lembab dan yang rasanya kelihatan mansi candu?
Mereka berciuman?
Utara ingin berteriak.
Bukan karena merasa malu, tapi karena menyesal kenapa ia tak ingat momen itu.
Kenapa ia harus lupa? Di saat sekarang ini ia nyaris gila menahan diri agar tak maju lebih dulu menyambar bibir itu.
Arion mendengus, lalu bergerak menjauh. Melepas pinggang Utara, menatap Utara dalam jarak yang kembali agak jauh—meski itu masih bisa dibilang dekat. “Kapan-kapan aku tunjukin keseluruhannya,” ucapnya, lalu mengambil seluruh tas milik Utara yang jatuh, membawanya ke pantri.
“Aku buatin pasta. Kamu suka?”
Ya.
Suka.