— 94


Ada banyak hal yang membuat Kiara kehilangan kata-katanya saat berhadapan dengan Gladys. Pertama, Gladys tahu soal hubungan gilanya dengan Rion Lantai 2, dan ia tak punya pembelaan apa pun soal itu. Kedua, ucapan menusuk Gladys yang meski membuatnya sakit hati tetap tidak bisa ia balas karena yang berada di pihak yang bersalah adalah dia sendiri. Ketiga, meski menyebalkan, urakan, berisik, dan ceroboh, Kiara sadar bahwa ada titik-titik di mana Gladys sejatinya adalah orang yang paling perhatian dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan mungkin pada orang yang tak terlalu dikenalnya.

Siapa yang setiap sampai di kantor menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyapa satpam, OB, bahkan para barista di Under Coffee? Itu Gladys. Apa pun situasinya, perempuan itu seperti punya banyak energi untuk berinteraksi dengan banyak orang, seperti tak punya rasa lelah.

Dan yang ketiga, untuk hari ini, Gladys benar soal Kiara yang akan berkencan. Juga benar soal orangnya.

Di ujung gang, Kiara janjian dengan lelaki itu. Ia sendiri yang meminta dijemput di sana, sebab tak ingin membuat kehebohan dengan Gladys yang mengenal betul siapa lelaki yang mengajaknya kencan ini.

Ya, Narga.

Ia setuju untuk kencan dengan Narga hari ini. Entah apa yang sudah direncanakan lelaki itu untuk hari ini, Kiara hanya akan menurut dan mengikutinya. Seperti kesepakatan mereka, Kiara tidak akan menjadi pihak yang menolak pendekatan Narga selama satu bulan ini.

Selama sebulan, ia akan membiarkan Narga berusaha untuk merebut hatinya yang sejatinya tidak dimiliki siapa-siapa, pun tidak Rion Lantai 2 yang menjadi ancaman terbesar bagi Narga. Sejatinya pula, Narga bukan sekadar merebut hati, melainkan merebut kepercayaan Kiara untuk berhubungan dengannya, untuk mencari bahagia dengannya, untuk mengabaikan apa yang saat ini membuatnya tertekan.

Narga sudah sampai. Bersandar di badan motornya, menatap dirinya sendiri di pantulan kaca spion seraya memainkan rambutnya yang terlihat lebih rapi daripada yang biasa Kiara lihat di kantor. Dan ketika Kiara mendekat, Narga tercium lebih wangi dari biasanya. Bukan berarti selama ini bau, tapi dari beberapa kali Kiara dekat dengan Narga, ia tak terlalu mencium aroma parfum yang digunakan lelaki itu, lebih sering aroma kopi karena mereka hampir selalu ketemu di kedai kopi, yang waktu itu adalah yang pertama kali mereka bertemu dan mengobrol di luar, bahkan dengan pembahasan besar.

“Hai,” sapa Narga setelah berbalik dan menemukan Kiara sudah berdiri di belakangnya. Dalam hati ia berteriak memuji Kiara yang cantik luar biasa saat ini—perempuan itu memang selalu cantik. Dalam benaknya, Narga memuja, bahkan bertekuk lutut di hadapan perempuan itu hanya untuk menyampaikan satu kata; cantik. Kalau tidak buru-buru sadar diri, ia mungkin sudah ambruk tak berdaya karena kecantikan tersebut.

Dalam hati, Narga bertanya, kapan kiranya ia bisa mencium perempuan itu?

“Udah nunggu lama?” tanya Kiara, membuyarkan lamunan Narga.

Narga nyengir. “Oh …, nggak. Barusan.” Ya …, sekitar lima belas menit, lha.

“Ya udah, yuk.”

Sebelum Narga memberikan helm yang sengaja ia bawa untuk dipakai Kiara, ia menatap kembali perempuan itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, tiba-tiba membuat Kiara bingung.

“Kenapa?”

“Eum ….” Narga membuka jaket jins yang dikenakannya, lalu melangkah mendekat. “Gue suka cewek pakai rok, sih. Tapi …, perlu diingat, kalau lo jalannya sama gue yang pakai motor, bukan sama cowok itu yang pakai mobil.”

Kiara seketika melebarkan matanya saat Narga memakainya jaket itu di pinggangnya, mengikat bagian tangannya di punggung tanpa menyuruh Kiara memutar tubuhnya terlebih dahulu, jadi posisinya sekarang ini seperti Narga memeluk Kiara. Dan dari jarak yang sedekat itu, ia bisa menghirup lebih dalam parfum yang Narga kenakan. Citrus, floral, fruity, musk. Aroma-aroma itu masuk ke hidungnya, membelainya dengan lembut, dan membuatnya ingin terus menghirup karena terasa begitu harum dan segar.

Sorry, ya …, gue ngajak jalannya pakai motor.” Narga nyengir, selesai memakaikan jaket di pinggang Kiara.

“Apaan, sih?” Perempuan itu berdecak. Ia bukan dengan sengaja memakai dress agar Narga merasa bersalah karena pakaian semacam itu kurang cocok dipakai naik motor. Ini murni kesalahannya karena tak mempertimbangkan hal itu. Saat sedang memilih baju mana yang harus ia pakai hari ini, ia tak memikirkan banyak hal selain … ingin tampil cantik.

Narga hanya membalas dengan senyum. Lalu ia memberikan helm untuk dipakai Kiara, namun sebelum Kiara mengambil helm tersebut, tangan Narga lebih cepat bergerak untuk memasangkannya langsung ke kepala Kiara, juga bantu memasangkan pengaitnya.

Untuk beberapa alasan, perlakuan semacam ini memang sudah mampu membuat wanita meleleh. Kiara juga merasakannya. Bagaimana Narga lebih dekat dengannya saat memasangkan jaket dan helm, bagaimana Narga melakukan hal itu tanpa diminta lebih dulu, bagaimana Narga setelahnya langsung tersenyum manis ke arahnya. Semuanya sudah mampu membuat Kiara menahan napas sejenak dan sudut hatinya terasa berdenyut dengaan aneh.

Hubungannya dengan Rion Lantai 2 bukan jenis hubungan manis khas remaja yang sedang dimabuk asmara, yang penuh bunga dan penuh kupu-kupu di perut. Tapi lebih kepada hubungan timbal balik antara dua orang dewasa. Rion mendapatkan perhatian yang tidak ia dapatkan dari istrinya karena istrinya merupakan wanita gila kerja yang selalu sibuk di luar rumah, dan Kiara mendapatkan uang sebagai imbalannya.

Rion mungkin menganggap itu cinta, tapi sejujurnya, tak pernah ada cinta yang Kiara rasakan sejak ia memulai hubungan gila itu. Semuanya hanya demi utang sang papa yang harus ia lunasi.

Kiara hampir selalu menangis setiap Rion Lantai 2 selesai menyentuhnya bahkan meski hanya sekadar diberi kalimat yang mengarah kepada perhatian rasa sayang. Lalu kemudian tersadar bahwa untuk apa ia menangis ketika ini semua ia sendiri yang memulainya.

“Pegangan yang bener, Kak,” ujar Narga saat mereka sudah sama-sama naik ke atas motor dan Kiara di belakang hanya menyentuh sedikit ujung kaus yang Narga kenakan sebagai pegangan.

“Ini udah bener,” balas Kiara.

Narga mendengus. “Yang bener tuh gini,” lalu menarik tangan Kiara sampai tubuh itu merapat ke arahnya dan kedua tangan itu melingkar di pinggang dan tertaut di depan perut Narga.

Kiara sudah akan menarik diri, tapi Narga menahannya untuk terus dalam posisi seperti itu, yang bukan hanya sekadar pegangan, tapi juga pelukan.

Narga tersenyum saat Kiara tak lagi berontak dan memilih pasrah dalam posisinya. Dalam hati ia bersorak menang karena kalau naik mobil seperti yang biasa Rion Lantai 2 lakukan, ia tak mungkin dapat modus pelukan begini.

Dan kalau begini caranya, rencananya untuk menonton film sepertinya harus diubah jadi jalan-jalan keliling naik motor saja seharian sampai malam. Narga taak peduli harus isi bensin berkali-kali kalau jaminannya dipeluk Kiara begini. Atau ia bisa cari tempat nonton yang jauh banget, yang melewati puluhan lampu merah supaya bisa mengulur waktu untuk dipeluk Kiarra lebih lama.

Di atas motor, Narga nyengir-nyengir sendiri kayak orang gila.

Atau mungkin dia memang sudah gila.

Gila karena Kiara.

“Lo bilang ke Gladys kalau kita mau jalan?” tanya Kiara dengan suara pelan yang tak begitu Narga dengar.

“Hah!? Apa, Kak?”

“Ih!” perempuan itu mengeluh.

“Majuan sin biar kedengeran,” ujar Narga.

Kiara semula enggan, tapi kalau begitu terus mereka terancam tidak bisa mengobrol sepanjang jalan, jadi ia memutuskan untuk mengalah, mencondongkan lebih dekat lagi tubuhnya sampai benar-benar menempel di punggung Narga, lalu menaruh dagunya di atas pundak lelaki itu agar suaranya yang keluar dari mulut bisa langsung masuk ke telinga Narga tanpa harus sampai teriak-teriak.

Cengiran Narga ssemakin lebar. Ia semakin terlihat seperti orang gila—gila karena Kiara. Napasnya kembang kempis merasakan kalau saat ini Kiara benar-benar memeluknya secara penuh. Ia hanya sedang berharap perjalanan ini tak pernah menemukan ujung. Narga ingin merasakan hal ini selamanya.

“Lo bilang ke Gladys kalau kita mau jalan?” tanya Kiara lagi saat dirasa Narga sudah bisa menangkap suaranya dengan lebih baik.

“Maksudnyaa nge-date?”

Kiara hanya berdeham kecil.

“Nggak sih. Cuma semalem dia nanya aja gue libur kapan, terus gue bilang, besok gue libur. Kenapa? Tadi pas berangkat ketemu dia?”

“Iya. Pagi-pagi buta dia udah bangun, plus bangunin orang sekostan gara-gara nyetel lagu dangdut kenceng banget.”

Narga terkeekehh. “Lagi bikin kue ya dia?”

“Kok lo tahu?”

“Ya, semalem itu dia nyuruh gue ke kostan, dia bilang mau bikin kukis. Jadi gue kalau mau nyobain harus ke kostan, terus gue bilang gue ada acara.”

“Nggak bilang kalau kita mau pergi?”

“Nge-date,” ralat Narga sekali lagi. “Nggak, Kakak Cantik. Gue nggak bilang.”

“Tapi dia tahu kalau kita mau … eum … nga-date.”

“Itu dia nebak aja kali, terus kebetulan tebakannya bener. Gladys tuh orangnya pekaan. Walaupun gak nyebelin, dia tuh perhaatiaan banget sama orang di sekitar dia.”

Kiara tak membalas, ia malah mengingat hal-hal menyebalkan yang Gladya lakukan padanya yang sebenarnya itu adalah bentuk perhatian dari perempuan itu untuknya.

Pertama kali datang ke kostan itu, Kiara sangat tidak suka dengan segala sifat urakan yang Gladys lakukan. Bahkan iara sendiri nyaris membenci perempuan itu, apalagi begitu tahu kalau Gladys malah mengambil tempat magang di kantornya dan ia sendiri ditunjuk sebagai pembimbingnya. Yang ia heran, justru ketika itu Reza terlihat tidak mempermasalahkan apa pun yang Gladys lakukaan di kostan, bahkan Idah terlihat begitu menyukai Gladys sebagai penghuni kostan.

Sampai detik ini Kiara baru menyadarinya bahwa seseorang memang punya caranya sendiri-sendiri untuk memperlihatkan perhatian terhadap orang lain. Yang orang lain itu perlukan hanya menyadarinya. Kalau tidak sadar terhadap perhatian itu, sudah pasti akan membenci sifat orang seperti Gladys.

“Dia kayaknya nggak suka sama gue,” gumam Kiara kemudian.

“Nggak suka gimana?”

“Ya, nggak suka,” jawab Kiara. “Kelihatan benci.”

Narga tertawa, membuat Kiara bingung.

“Kenapa?” tanya perempuan itu.

“Kak, lo tahu nggak orang yang pengin banget gue deketin lo sampai maksa gue buat bikin lo jatuh cinta sama gue?”

“Siapa? Bukan lo sendiri?”

“Ya …, gue juga sih. Gue kan suka sama lo,” Narga terkekeh. “Tapi Gladys tuh orang yang beneran maksa gue buat berani deketin lo sampai ngancem kalau gue gaga bikin lo jatuh cinta sama gue. Dia beneran sepengin itu lihat lo berubah, lihat lo lepas dari hubungan gila itu. Karena ya …, daripada sama cowok gendut dan jelek, mending juga sama gue kan, Kak? Gue ganteng, tinggi semampai, wangi, dan yang penting masih muda. Lo sukaa berondong kayaak gue, kan?”

Kiara memukul perut Narga pelan, tapi membuat lelaki itu mengeluh dengan lebay.

“Apa sih, Kak, yang lo cari dari si jelek itu?” tanya Narga dengan nada serius.

Kiara diam, tak menjawab, dan Narga puun tak menuntut jawaban meski penasaran. Ia hanya berusahaa yaakin bahwa alasan apa puun itu pasti sesuatu yang secara terpaksa ia lakukan walau sejatinya tetap saja hal yang menyebalkan. Bagi Narga alasan paling menyebalkan dari sejuta alasan yang ada di dunia ini adalah kalau ternyata alasan Kiara adalah menyukai lelaki jelek itu, mencintai lelaki jelek itu, dan menemukan kebahagiaannya di lelaki jelek itu.

Maka jika itu benar-benar terjadi, Narga bukan hanya harus melangkah mundur, tapi dia harus benar-benar menghilang.

***

Kiara ternyata sudah curiga saat mereka tak kunjung sampai ke tempat di mana mereka akan menonton film. Makanya dengan sangat amat terpaksa, Narga menyudah kesenangannya dipeluk Kiara dan melipir ke mal untuk segera ke bioskop. Ya …, nggak apa-apa, dia tinggal menyusun rencana modus lain agar Kiara bisa dengan cepat jatuh cinta dengannya.

“Mau nonton apa?” tanya Kiara, menatap deretan posster film di bioskop yang sedang tayang.

Sejujurnya Narga juga tak punya ide soal itu. Semalam ia sudah mencari tahu soal film-film yang sedang tayang, tapi tak ada yang menarik perhatiannya. Belum lagi, ia juga penggemar film di bioskop gini. Ia lebih suka nonton anime di kontrakannya kalau memang sedang ada waktu senggang.

Tapi nonton bioskop masih jadi pilihan kegiatan kencan paling populer saat ini. Sebelum memutuskan untuk mengajak nontoon film, ia punya beberapaa pilihan lain, salah satunya museum date yang juga lagi populer. Tapi kemudian berpikir kalau Kiara bukan tipe orang yang suka mengenal sejarah, belum lagi nanti obrolan mereka yang akan membosankan.

Jadi nonton bioskop jadi satu-satunya pilihan teraman saat ini. Mereka bisa melanjutkaan dengaan makan baareng setelah nonton.

“Itu aja gimana?” Narga menunjuk salah satu film horor yang sedang tayang. “Kebetulan udah mau mulai tuh.”

“Lo suka nonton film horor?”

“Nggak juga, sih. Tapi kalau lo nggak maau, kita bisa pilih film lain.”

Kiara bingung. Ia suka nonton film, tapi bisa dihitung jari jumlah iaa menonton film horor. Bukan tak suka apalagi tak bisa, tapi selagi ada pilihan film lain, kenapa harus horor kan?

Masalahnya, saat ini tak ada pilihan lain dari film-film yang hari ini ditayangkan. Mereka harus menunggu sampai satu jam lebih kalau memang maau menonton film laain.

Ada film animasi yang sekitar dua puluh menit lagi akan mulai. Tapi apa menonton film animasi hewan ketika kencan itu dianjurkan?

“Ya udah, itu aja,” akhirnya Kiara menjatuhkan pilhan.

“Beneran film horor nggak apa-apa?” Narga meyakinkan.

“Ya, nggak apa-apa. Gue nggak sepenakut itu kok. Atau jangan-jangan … lo yang penakut?” Mata Kiara memicing.

“Enak aja.” Narga mendengus tak terima, membuat Kiara tertawa. “Ya udah, tunggu sini, gue beli tiketnya dulu. Siapa tahu masih ada yang di pojok atas.” Lalu nyengir sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kiara.

Kiara membalas dengan senyum kecil. Kemudian menyebarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada orang lain yang mengenalinya. Entah kenapa itu membuatnya was-was. Setelah itu baru melangkah ke konter pembelian makanan dan minuman.

“Kok nggak bilang kalau mau beli itu?” tanya Narga setelah mereka kembali bertemu dengan lelaki itu yang sudah memegang dua tiket, sedangkan Kiara bersama satu wadah besar popcorn dan dua cup minuman yang dipeluknya, membuat Narga dengan sigap mengambil dua cup minuman itu dari Kiara.

“Emangnya harus bilang?”

“Maksud gue, kan biar gue yang beli gitu.”

“Kalau lo udah beli tiketnya, biarin gue beli makanan sama minumannya.”

“Iya, tapi—”

“Nggak usah tapi-tapi. Next time bisa gantian, gue beli tiketnya, lo beli makanan sama minumannya. Biar sama-sama enak.”

Walau Narga sudah menyiapkan uang untuk membiayai seluruh pengeluaran kencan hari ini sebagai seorang lelaki, ia senang Kiara mengatakan hal itu. Bukan berarti sedikit uangnya bisa selamat keluar dari dompet gara-gara Kiara yang ikut membiayai kencan mereka, tapi ucapan Kiara seolah memberitahu bahwa mereka akan ada kencan-kencan selanjutnya. Itu membuat Narga senang.

Narga gagal mendapatkan kursi di bagian pojok belakang, ia mendapatkan di bagian tengah agak ke depan. Ia hanya beruntung karena sampai pertengahan film, kursi di sampingnya dan samping Kiara tak terisi. Jadi mereka tak terganggu oleh keberadaan orang lain—Narga yang lebih merasa senang karena tak terganggu berduaan dengan Kiara.

Seperti film horor pada umumnya, banyak hal yang mengejutkan yang ditayangkan, yang sekadar hanya membuat mata melebar, mulut menjerit, atau sampai membuat tubuh terlonjak. Saat itu terjadi, Narga sesekali melirik ke arah samping untuk melihat situasi, mencari-cari waktu di mana ia bisa kembali melayangkan modus mendekati Kiara. Sebelumnya, ia berharap Kiara orang yang penakut, jadi ia bisa modus memeluk perempuan itu di pertengahan film, nyatanya tak begitu. Ia kecewa. Pada dirinya sendiri dan juga pada film itu.

Film sampah! Masa nggak bisa bikin orang yang nonton pelukan, sih!?

Sampai film selesai pun hasilnya tetap kentang! Jangankan pelukan, pegangan tangan pun nggak. Kiara terlihat begitu menikmati filmnya dengan sesekali memakan popcorn, lalu menyedot minumannya.

“Seru deh tadi filmnya,” komentar perempuan itu saat keluar dari studio. “Ya …, walau jumpscare-nya beneran bisa bikin jantung copot, tapi story line-nya bagus.”

Narga semakin merasa kentang. Ia menatap datar sambil memaksakan untuk tersenyum. “Iya, bagus,” katanya.

“Habis ini mau ke mana?” Tapi setidaknya, film itu jadi membuat Kiara terlihat antusias, padahal semalam Narga sendiri khawatir kalau mungkin hanya dia yang akan menikmati kencan ini sementara Kiara hanya mengikuti secara terpaksa. Tapi melihat wajah cerah itu saat keluar dari bioskop—sedikit tegang akibat film horor yang ditonton, Narga masih tetap bernapas lega. Tidak benar-benar menjadi kentang. Misi utamanya di kencan pertama adalah membuat Kiara nyaman bersamanya. Kalau sudah begitu, ia yakin ke sananya akan lancar jaya seperti jalan bebas hambatan.

“Mau jalan-jalan dulu? Sambil lihat-lihat mungkin? Siapa tahu ada sesuatu yang mau lo beli.”

Kiara tersenyum kecil. “Boleh. Ke toko buku?”

“Lo suka baca buku?” Narga menggamit tangan Kiara tanpa permisi.

Kiara menatap tangannya sejenak. Di satu sisi ingin melepaskan, tapi di sisi lain ada perasaan baik-baik saja saat Narga menggenggam tangannya. Perasaan tenang, lega, tapi juga khawatir. Namun alih-alih egois, Kiara memilih memenangkan perasaan tenang itu dengan membiarkan Narga menggenggam tangannya lebih lama. “Nggak terlalu, sih. Cuma sesekali aja kalau lagi bosen dan nggak tahu mau ngapain.”

Narga mengangguk. Dalam hati kembali bersorak saat Kiara tak menarik tangannya dari genggamannya. Ia dengan susah payah menahan senyuman semu itu. “Suka baca buku apa?”

“Eum …, novel.” Kiara nyengir. “Genre-nya apa aja, tapi mostly romance.”

“Kalau kita itu buku, gue harap genre-nya juga romance happy ending.”

“Apa sih, Ga!?” Kiara mendengus sebelum tertawa.

Narga meringis. “Menyedihkan ya gombalan gue?”

“Iya, jangan ngegombal lagi!”

“Habisnya pengin langsung cium lo takut digaplok.” Lelaki terkekeh.

“Beneran gue gaplok nih, ya?” Kiara pura-pura melayangkan sebelah tangannya, dan Narga pura-pura akan menghindar sebelum keduanya tertawa bersama saat kaki mereka melangkah memasuki toko buku.

Karena sudah tahu buku seperti apa yang Kiara sukai, Narga langsung melangkahkan kakinya, menuntun Kiara untuk ke bagian novel dari toko buku tersebut. Ia sudah membayangkan akan membahas perihal buku yang Kiara sukai lebih banyak meski ia sendiri tidak suka baca buku dan lebih suka baca komik online di ponsel, ketika bayangan itu seketika hancur saat ia bertemu dengan seseorang di sana. Menatapnya dengan sama terkejutnya.

“Kak Narga …,” panggil perempuan itu dengan lirih. Rambutnya terlihat begitu berbeda dari yang terakhir Narga temui, dipotong lebih pendek.

Kiara menoleh bingung. Ia ingin melepaskan genggaman tangan mereka karena berpikir itu mungkin mengganggu, tapi Narga justru semakin mempererat genggaman tersebut, membuat Kiara semakin bertanya-tanya.

***

“Papa gimana kabarnya?” tanya Narga ketika pada akhirnya mereka memutuskan untuk mencari tempat mengobrol di luar toko buku. Di sebuah kedai kopi yang masih ada di dalam mal tersebut. Membuat Kiara untuk duduk sendirian lebih dulu, padahal Narga memaksa perempuan itu untuk ikut duduk dengannya, tapi Kiara juga menolak keras karena tahu Narga butuh ruang pribadi untuk bicara dengan perempuan berambut pendek itu yang juga terpaksa memisahkan diri dengan kedua teman lainnya.

“Baik,” jawab perempuan itu. “Kakak gimana kabarnya? Baik, kan?”

“Ya …, gitu.”

Perempuan itu menunduk. Bingung harus berbicara apa ketika keduanya berhenti bicara sejak berbulan-bulan lalu.

“Kamu sendiri, gimana sekolahnya?” Narga memutuskan untuk bertanya lagi.

“Kak, ayo pulang.” Namanya Naya, adik perempuan Narga, yang kini sedang menatap sang kakak dengan perasaan campur aduk. Sedih, marah, senang, bahkan bingung. “Emangnya Kakak nggak kangen sama aku?” Mengabaikan pertanyaan sang kakak, Naya justru mengungkapkan apa yang ia rasakan selama Narga memutuskan pergi dari rumah. Ia rindu.

“Kakak udah bilang, kakak bakal pulang kalau Papa nggak akan nikah sama perempuan itu.” Narga menatap tegas.

“Aku udah nggak pernah lihat Papa berhubungan sama Tante Dilla kok.”

“Nggak pernah lihat belum tentu bener-bener selesai, Nay. Kamu suka lihat Instagram-nya cewek itu? Kamu bakal tahu jawabannya kalau kamu suka stalk.”

“Kak ….” Naya nyaris menangis. “Aku tahu Kakak tinggal di mana, dan Kakak kerja di mana.”

“Kakak juga tahu kalau kamu tahu.” Ia tidak pergi ke luar kota atau luar pulau, atau bahkan minggat ke luar negeri. Ia hanya pergi dari rumah, mencari kehidupan sendiri sebagai bentuk amarahnya pada sang papa.

“Papa juga tahu soal itu,” balas Naya.

“Iya, Kakak juga tahu. Sampai detik ini Papa masih suka kirim uang buat Kakak, nggak tahu apa maksudnya.”

“Terus kenapa Kakak nggak pulang? Papa pasti masih peduli sama Kakak, masih sayang sama Kakak.”

Narga mendesah. “Nay, permasalahannya nggak semudah yang kamu kira. Bukan cuma tentang Papa yang mau nikah lagi, tapi hal lain juga.”

“Apa?”

“Kamu nggak perlu tahu.”

“Bilang aja Kakak mau bebas pacaran makanya pergi dari rumah, biar nggak diatur-atur sama Papa.” Naya melirik ke arah Kiara.

Narga juga mengikuti sorot pandang itu. “Astaga …, nggak, Nay.”

“Terus apa dong?”

“Kakak nggak bisa bilang sekarang.”

“Kak—”

“Kakak akan pulang ke rumah kalau Papa bilang sendiri sama Kakak kalau dia udah putus sama cewek itu.” Juga membebaskan Narga pada setiap tuntutan yang sang papa berikan padanya, yang membuatnya terasa tercekik, yang membuatnya tertekan.

“Kalau gitu, aku boleh—”

“Nggak,” potong Narga. “Kalaupun kamu tahu di mana Kakak tinggal, di mana Kakak kerja sekarang, jangan sekali-kali dateng. Kakak nggak mau kamu terlibat sama masalah Kakak sama Papa. “

“Kak ….” Naya nyaris menangis.

“Kamu ke sini naik apa?”

“Mobil. Aku sekarang udah bisa nyetir sendiri.”

Narga diam, menatap sang adik yang meski baru ditinggal beberapa bulan, ia terlihat meninggalkan banyak hal. “Hati-hati.”

“Aku ada rencana kuliah di Bandung atau Jogja,” sambung Naya lagi.

“Ya …, bagus. Belajar yang bener.”

“Sebelum aku berangkat kuliah, apa Kakak bakal udah pulang?”

Tak ada jawaban dari Narga. Sebab ia sendiri tak tahu. Ia sendiri tak yakin kapan perang dingin dengan sang papa berakhir. Ia tak mau mengalah, dan meski sang papa masih mengirimkan uang bulanan padanya, ia juga tak yakin papanya akan mengalah. Jadi, Narga hanya diam.

Kenapa tiba-tiba rencana kencan ini jadi berakhir begini?