— 77


Setelah mengantar sang mama dan Nayla ke mobilnya untuk pulang, padahal Utara sudah menyuruh keduanya menginap di apartemennya meski masih berantakan dan Nayla menolak karena besok ia masih harus bekerja dan malas bangun terlalu pagi untuk mengejar waktu sampai kantornya, dan mamanya tak tahan melihat berantakannya tempat tinggal Utara sedangkan ia tak boleh menyentuh apa pun dengan alasan Utara sudah membayar orang untuk membereskan itu semua hari Minggu nanti.

Utara kembali naik ke unitnya, namun belum benar-benar sampai di unitnya, Utara sudah menghentikan langkah, tepat di depan pintu unit Arion Janardana yang sedikit mengingatkan kembali pada apa yang terjadi malam itu, ketika ia menerobos masuk ke dalam, mengira itu pintu unit apartemennya, yang memulai situasi rumit ini sekarang.

Ia ingin kembali melangkah, lalu teringat pesan teks yang mereka lakukan siang tadi, saat Arion mengatakan bahwa ia sedang mengantar Elea berobat karena bocah itu panasnya semakin tinggi di pagi hari ketika bangun tidur. Setelah itu tak ada kabar lagi. Utara penasaran apakah Arion ada di dalam atau tidak, mengingat setelah berobat, katanya cowok itu mengantar Elea ke tempat neneknya karena ia harus kembali bekerja.

Tanpa berpikir panjang lagi, Utara menekan bel, menunggu respons.

Dua sampai tiga kali, tak ada respons, mengira kalau Arion juga mungkin ada ada di tempat mamanya dan tak pulang agak sedikit membuatnya kecewa. Tapi saat ia baru akan melangkah pergi dari sana, pintu tiba-tiba terbuka dan Arion bersama ponsel di telinganya muncul, tersenyum melihat Utara di sana.

“Hai,” sapa Arion tanpa suara, ia terlihat begitu serius menyimak percakapan di ujung telepon sana.

Utara membalas dengan senyum kikuk. “Lagi sibuk?” bisiknya.

Cowok itu menggeleng, lalu begitu saja menarik lembut tangan Utara seraya berujar tanpa suara, “Ayo masuk.” Dan Utara tak memberi perlawanan untuk menolak.

Ketika pintu di belakang tubuh Utara tertutup, tiba-tiba saja ia merinding, seperti baru saja mengambil keputusan untuk masuk ke kandang singa yang kelaparan, membuatnya takut tapi anehnya antusias menunggu. Agak gila, namun begitulah yang ia rasakan. Utara membiarkan Arion menyentuh punggungnya dengan santai ketika menuntunnya masuk ke dalam sementara cowok itu terus mengobrol dengan seseorang di balik ponselnya.

“Iya, Pak. Nanti coba saya cek lagi proposal. Kemarin saya dan tim udah coba cek data, semua aman. Tapi barangkali saya kelewatan satu hal, jadi akan saya cek lagi.” Dengan pakaian kasualnya, celana pendek dan kaus lengan pendek, Arion berbicara serius tentang pekerjaan, Utara nyaris kehilangan akan sehat karena dengan begitu pun ia bisa melihat aura seksi dan berkarisma seorang Arion Janardana. Bagaimana jika dengan pakaian rapi dengan kemeja, dasi, jas, serta sepatu pantofel mengilap yang hampir setiap hari dikenakan itu? Berbicara dengan serius di hadapan para klien pentingnya. Utara pasti sudah meneteskan air liur dengan membayangkan bisa memakan lelaki itu di ruang kerjanya.

“Ada jus mangga sama pizza di kulkas. Angetin aja pizza-nya di microwave, aku mau cek berkas dulu,” bisik Arion tepat di sebelah telinga Utara, menjauhkan sebentar ponselnya dari telinganya sebelum ia yang menjauh dari Utara dengan masuk ke salah satu ruangan yang Utara yakini dijadikan ruang kerja.

Utara membuang napas. Entah kenapa melihat Arion yg sibuk dan ia datang kemudian dicuekin merasa sebal, padahal ia datang pun hanya untuk sekadar menanyakan kabar Elea yang tak ia lihat keberadaannya sejak masuk ke sana, juga untuk membuktikan apakah Arion benar-benar merindukannya seperti yang lelaki itu katakan semalam.

Karena tak tahu harus apa, ia jadi mengikuti ucapan Arion untuk mengambil jus mangga dan pizza di dalam kulkas, menghangatkannya menggunakan microwave dan menuangkan ke dalam gelas serta menambahkan es batu pada jus mangga itu.

Setelah semuanya siap, ia membawanya menggunakan nampan ke ruangan di mana Arion belum juga keluar selama ia melakukan semuanya itu pada pizza dan jus mangga. Pintunya tak ditutup rapat, Utara mengetuknya dua kali sebelum melangkah masuk, dan Arion sedang duduk di kursinya, di hadapan meja bersama laptopnya dan ponselnya yang belum lepas dari telinganya. Lelaki itu berjengit melihat Utara masuk membawa nampan berisi piring dengan pizza dan gelas dengan jus mangga yang disodorkan padanya di atas meja.

Ruang tidur Arion sangat bernuansa maskulin yang siapa pun pasti bisa menebak hanya dengan sekali melihat desainnya kalau itu kamar tidur seorang lelaki. Tapi ruang kerja ini cukup berbeda, lebih cerah, dan banyak warna. Seperti ada dua dunia di sana. Satu sisi berisi buku koleksi Arion, dan sisi lainnya berisi tumpukan buku serta mainan milik Elea. Bocah itu pun punya mejanya sendiri, berwarna pink lengkap dengan segala pernak-pernik lucu lainnya. Utara menebak bahwa di ruangan inilah dua orang itu lebih banyak menghabiskan waktu. Elea yang belajar dan Arion yang mengatasinya sembari mengurus pekerjaan, mungkin dengan tatapan galak jika Elea menolak untuk belajar dan memilih bermain.

Utara menelusuri rak berisi buku milik Arion yang sebagian besar tentang bisnis dan keuangan, yang sangat tidak Utara ketahui. Ada beberapa buku tentang parenting juga yang membuat Utara diam-diam tersenyum dan hatinya menghangat. Ketika ia menoleh kembali pada Arion, lelaki itu masih sibuk dengan laptop dan ponselnya.

“Aku pulang, ya,” ujar Utara pelan, menghampiri lelaki itu.

“Nanti,” Arion membalas tanpa suara. Ia kembali fokus pada laptopnya, lalu berbicara pada ponselnya, Utara berniat pergi tanpa meminta persetujuan lelaki itu, namun belum sempat ia melakukannya, Arion tiba-tiba menariknya, membuatnya seketika duduk di pangkuan lelaki itu, dan tangan besar itu mendekapnya, membawa punggungnya rebah ke tubuh bagian depan Arion, sementara Arion menumpukan dagu di pundak Utara.

Utara menahan napas sejenak, jantungnya langsung berdegup kencang. Ia gugup. Mereka sudah melakukan lebih dari sekadar itu, tapi rasanya sentuhan seperti ini pun bisa membuatnya seperti tersengat listrik. Dan tangan Arion yang melingkar di pinggangnya perlahan membuat darahnya mendidih.

“Sebentar, nanti kita ngobrol. Aku kangen,” bisik lelaki itu di telinga Utara, membuat Utara merinding.

Arion masih terus berbicara pada ponselnya dan terlihat sangat serius. Sesekali memainkan laptop untuk melihat sederet angka dan huruf yang membuat Utara pusing. Dan selama melakukan itu, Utara benar-benar duduk di pangkuan Arion seolah itu bukan masalah besar. Tangannya berpindah dari pinggang Utara ke laptop, lalu bergantian dengan tangan yang lain untuk memegang ponsel, kemudian pulpen dan buku agenda, dan terakhir paha Utara yang terbuka karena kebetulan ia memakai celana pendek.

Lelaki itu mengusapnya lembut, membuat bulu kuduk Utara terasa meremang, fokus Utara yang entah pada apa pun ikut buyar. Utara bertanya-tanya bagaimana Arion masih bisa dengan baik berbicara pada orang penting di teleponnya itu dan masih bisa dengan fokus memainkan laptop, menggulirkan fail-fail di sana, mencatat ini dan itu di buku agendanya ketika tangannya terus mengusap paha Utara dan sesekali mencium tengkuk Utara membuat deru napas yang terasa hangat itu menggelitiknya di sana.

Baby …,” suara Arion terdengar lembut membelai telinganya. “Hei …, wake up ….”

Ah!

Utara sampai tertidur!

Suara mengobrol Arion dengan si penelepon bisa-bisanya jadi dongeng pengantar tidurnya. Dan berapa lama ia tertidur?

Utara mengerjap, berusaha untuk mencerna keadaan. Ia tersentak, bangkit dari pangkuan Arion lalu panik sendiri, membuat lelaki itu terkekeh.

“Berapa lama aku tidur?” tanya Utara, berbalik menatap Arion yang masih duduk di kursinya.

“Sini, duduk lagi.”

Utara menggeleng, ia mundur, tapi di belakangnya ada meja.

“Tara ….”

Utara masih diam.

Please ….” Arion benar-benar memohon. Ia meraih tangan Utara, dan dengan perlahan kembali berhasil membawa Utara ke pangkuannya dan ia kembali memeluk perempuan itu.

“Aku tidurnya lama?”

“Nggak. Mungkin … setengah jam?”

Mata Utara melebar. “Itu lumayan lama.”

“Iya? Kayaknya cuma sebentar.”

“Kamu udah selesai teleponnya?”

“Teleponnya udah, tapi kerjaannya belum. Masih ada yang harus aku cek.”

“Ya udah kalau gitu aku pulang—”

“Aku masih kangen,” potong Arion, semakin erat mendekap tubuh Utara, menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Utara.

Utara berusaha tetap tenang agar tak terlalu terlihat bahwa sejatinya ia sedang gugup. Ke mana keberaniannya di hadapan Erika yang suka berbicara ingin melahap Arion jika sekali disentuh pun ia sudah lembek?

“Elea?” tanya Utara, menangkup punggung tangan Arion di depan perutnya.

“Lea di tempat neneknya, nggak mau pulang tadi pas sore aku jemput.”

“Udah nggak apa-apa? Demamnya gimana?”

“Udah lumayan turun, udah mau makan juga walau dipaksa,” jawab Arion. “Di sana ada suster yang biasa jagain Mama, jadi aku agak tenang walau biasanya dia kalau sakit itu selalu penginnya tidur sama aku.”

“Kenapa kamu nggak nginep di sana aja kalau gitu?”

“Tadinya mau gitu, tapi aku banyak kerjaan yang harus aku urus. Berkasku di sini semua. Takut mau ngecek apa-apa, nanti ribet sendiri.”

Utara mendesah. Ia mendongak kala bibir Arion semakin maju untuk mengecup lehernya. Ia sampai memejamkan mata.

“Kamu sendiri gimana? Jadi nge-date sama mama kamu?”

Susah payah Utara menjawab, “Jadi …. Habis check up tadi ngajak jalan-jalan ke mal bentar, soalnya Mama udah ngeluh capek kalau diajak jalan kelamaan.”

Arion terkekeh, dan Utara begitu merasakannya di lehernya, sapuan hangat napas Arion menggelitiknya di sana, membuatnya melenguh pelan tertahan. Dan Arion puas karena hal itu.

“Nginep di sini, oke?”

Seketika Utara membuka mata, tubuhnya menegak meski tak langsung bangkit, membuat Arion juga menjauhkan bibirnya dari leher Utara. “Nginep?” Ia menoleh ke belakang untuk menatap Arion.

Arion mengangguk. “Besok kita berangkat ke kantor bareng, aku anterin.”

“Aku bisa berangkat sendiri.”

I know,” balas lelaki itu. “Tapi udah bilang, kan? Let me in, Tara. Biarin aku terlibat sama kehidupan kamu, meski itu cuma hal kecil kayak nganter jemput kamu, atau sekadar beliin makanan.”

“Aku bisa lakuin itu semua sendiri, Mas.”

“Tara—”

“Aku takut terbiasa,” sela Utara. “Terbiasa sama kehadiran kamu, terbiasa sama bantuan kamu, terbiasa sama apa yang kamu lakuin. Aku takut. Aku takut kalau aku udah terbiasa, kamu pergi, dan aku kebingungan sendiri harus apa dan gimana sama hidup aku. Kamu nggak akan tahu—”

“Aku tahu,” kali ini Arion yang memotong. “Aku tahu rasanya gimana. Sangat tahu. Aku pernah berpisah, aku pernah ditinggalin, aku pernah ngerasain kebingungan atas hidup aku sendiri. Aku rasa kamu juga pernah lihat aku di titik itu. Iya, kan?”

Utara tak menjawab. Ia diam, menatap tepat di mata Arion, kedua tangannya terkepal di atas bahu Arion sementara tangan Arion melingkar di pinggang Utara.

“Dan karena aku tahu, aku nggak akan lakuin itu ke kamu,” sambung Arion. “Oke, aku nggak bisa kasih apa pun ke kamu sebagai jaminan, tapi kamu harus percaya sama perasaan aku. Bahwa aku tulus dan serius suka sama kamu.”

Utara menggeleng. “Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak percaya sama apa pun yang kamu bilang suka, sayang, apalagi cinta itu. Semuanya beneran cuma kedengeran omong kosong di telinga aku. Kamu justru bikin aku semakin takut ….”

Tangan Arion terulur untuk mengusap wajah Utara, merapikan helai rambut itu, menyelipkannya ke belakang telinga ketika tatapannya masih terus lurus menatap Utara dengan sangat lembut. “Relax, Baby …. Aku nggak maksa kamu buat terburu-buru percaya aku, buat cepet-cepet suka sama kamu. Pelan-pelan, lakuin semuanya pelan-pelan. Aku baru lakuin sedikit ke kamu soal perasaan aku, masih banyak hal yang belum aku tunjukin, yang bakal bikin kamu percaya sama yang namanya cinta lagi.”

“Kalau aku tetep nggak percaya?”

“Berarti aku belum penuh tunjukin hal itu ke kamu.”

“Kalau aku—”

“Tara, listen to me,” Arion memotong, “yang perlu kamu cari tahu pertama soal diri kamu adalah, apakah kamu nggak percaya soal cinta karena seseorang atau karena diri kamu sendiri? Barangkali kamu yang bikin diri kamu nggak percaya soal cinta. Jadi, kita bisa perbaiki dari diri kamu dulu.”

“Maksud kamu, aku nggak cinta sama diri aku sendiri?” Utara tiba-tiba terdengar marah.

No, Baby. Aku nggak bilang gitu. Hati kamu sakit karena seseorang, makanya bikin kamu nggak percaya lagi sama cinta dan sama cowok. Right? Dan barangkali, apa yang kamu rasain sekarang bukan cuma karena cowok brengsek yang udah nyakitin kamu, tapi karena luka yang ada di hati kamu itu belum sepenuhnya sembuh, makanya kamu takut buat tambah terluka, bukan karena takut buat terluka lagi.”

Utara kembali diam.

“Aku udah pernah gagal, Tara. Tapi bukan kayak yang kamu bilang, karena aku udah pernah gagal dan kamu nggak percaya cinta, kita nggak bisa bersama. Tapi justru karena aku pernah gagal, aku bisa paham sama apa yang terjadi sama perasaanku dan bikin aku lebih kenal diriku sendiri. Dan aku akan berbagi itu sama kamu. Aku percaya diri sama diriku sendiri, aku pernah bilang itu, kan?” Ia tersenyum.

“Terus aku harus gimana, Mas?” tanya Utara dengan suara pelan.

“Pura-pura aja cinta sama aku, biar aku yang bikin kamu lupa kalau kamu lagi pura-pura.”

Utara berpikir, namun belum sempat ia mendapat kesimpulan atas kalimat itu, Arion sudah tiba-tiba menciumnya. Mencium bibirnya dengan lembut sebelum akhirnya menjadi lumayan kasar ketika Utara membuka mulutnya tanpa disuruh, seolah mempersilakan Arion untuk kembali makannya meski ia sebenarnya sudah menunggu agar bisa balik memakan Arion—mungkin ia perlu menunggu lebih sabar lagi. Tak apa, toh dimakan pun ia akan tetap puas dan kenyang.

I need extra dopamine, Baby,” bisik Arion di tengah ciuman mereka. “Aku harus lanjutin kerjaan aku nanti, tapi aku butuh itu sekarang biar bisa tetap waras.”

“Setelah aku kasih itu, emangnya kamu yakin bisa tetap terus waras?”

Arion mendengus. “Oke, aku lupa kalau semua tentang kamu bikin aku gila. Tapi kalau aku nggak makan kamu sekarang aku bakal lebih gila.”

“Laper banget? Aku udah angetin pizza tadi.”

“Aku nggak butuh pizza, aku butuh kamu. I need your juice.” Arion menjilat lidahnya sendiri. Kerongkongannya terasa begitu kering sekarang.

“Tapi tadi jus mangganya udah—”

Your juice, Baby,” potong Arion.

“Laper dan haus banget, ya?”

Arion mengangguk. “Please …,” ia memohon, membuat Utara terkekeh.

Call me Mommy, not Baby.”

Yes, Mommy,” balas Arion cepat.

“Oke. Makan aku.”

Dengan cepat Arion langsung bangkit dari tempat duduknya dan menggendong Utara, membuat perempuan itu menjerit kecil. “Aku pengin banget makan kamu di sini, tapi ini tempat belajarnya Lea juga. Jadi … kita harus ke kamar,” katanya. “You ready, Mommy?”

Utara terkikik, lalu membalas dengan suara yang dibuat lebih sensual, “Yes, Daddy.”

Ketika apa yang Arion ucapkan perihal cinta dan percaya itu mulai mengubah cara berpikir Utara, membuat Utara sedikit tergerak untuk mengikuti apa yang Arion katakan padanya, bahwa mungkin selama ini ia yang salah dalam cara melihat dan merasa terhadap cinta karena luka yang sebelumnya tertoreh, dan berniat memperbaikinya pelan-pelan bersama Arion.

Di saat yang sama pula, satu pesan singkat yang dikirim Erika membuat pemikiran itu kembali pecah lalu hilang.