— 05


Utara nyaris terjatuh karena langkahnya tersandung boks-boks berisi barang-barangnya yang sama sekali belum ia bongkar semenjak datang ke apartemen itu seminggu lalu dan ia baru resmi menempatinya kemarin. Ia benar-benar tak punya waktu untuk merapikan semuanya, hanya berusaha mengingat di mana ia menaruh barang yang sedang diperlukannya, dan mengambilnya segera di sana, membuatnya semakin berantakan.

Setelah ini ia harus segera merapikan semuanya sebelum stres akibat menumpuknya pekerjaan membuatnya tambah stres akibat tempat tinggal yang mirip kapal pecah. Setidaknya ia harus mencari orang untuk merapikan ini semua kalau ia benar-benar tak punya waktu untuk melakukannya. Erika mungkin kenal seseorang yang bisa dipekerjakan paruh waktu untuk bantu membereskan seluruh ruangan dan isi boks-boks yang Utara punya ini.

Utara terpaksa pindah dari apartemennya yang lama karena terlalu banyak yang menyebalkan di sana. Mulai dari lift yang sering eror, air yang kecil, dan juga sempit untuk menampung barang-barangnya yang ternyata sudah banyak.

Butuh waktu hampir setengah jam untuk mencari sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah yang akan ia pakai hari ini ke acara syukuran tujuh bulanan sepupunya, anak dari tantenya yang paling menyebalkan.

Mengingat apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, Utara berniat tak datang. Toh, daripada datang ke acara yang membuat dirinya stres, lebih baik membongkar boks pindahan dan mulai merapikannya sedikit-sedikit. Tapi, mamanya memaksa. Dan karena paksaan itu Utara berniat untuk sengaja membuat mulut para saudaranya di sana—bukan hanya Tante Sal—kepanasan hingga tak tahan untuk berbicara pedas padanya. Utara menantikan hal itu. Kira-kira apa yang akan dilontarkan kali ini?

Usianya yang sudah 33 dan tak kunjung menikah?

Mementingkan karier daripada cari pacar atau suami?

Membandingkan Utara dengan sepupunya yang lain, yang sudah menikah dan sudah punya anak?

Utara sudah biasa.

Hari ini ia sengaja memakai dress ketat berwarna hitam yang memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan sangat baik, mengekspos bagian bahunya, bahkan memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Makeup-nya dibuat mencolok dengan lipstick merah seksi, belum lagi heels merah, dan tas bermerek yang ia sengaja pamerkan. Tapi tenang, Utara membawa sebuah blazer yang nanti akan ia pakai terlebih dahulu ketika sudah sampai di sana, kalau mulut para saudaranya mulai memanas, ia terpaksa membuka kembali blazernya demi membuat suasana semakin membara.

Ketika ia keluar dari dalam unit apartemennya, hal pertama yang menyambutnya adalah suara tangis seorang anak perempuan yang berasal dari ujung sana. Ia keluar dari dalam unitnya, dan anak itu dalam gendongan sang ayah keluar dari dalam lift, berjalan berlawanan arah dengan Utara hingga akhirnya mereka bertemu tepat di depan pintu unit lelaki yang sedang menggendong anaknya yang sedang menangis itu.

Sejenak Utara terkejut, baru semalam mereka bertemu, kini sudah bertemu lagi. Lalu tersenyum kaku ketika mata mereka saling bertemu.

“Hai, Mas,” sapa Utara, berusaha terlihat ramah.

“Hai, Tara,” Arion Janardana yang tengah memeluk putri semata wayangnya yang sedang menangis dalam gendongannya, balik menyapa Utara dengan senyum ramah seperti yang ia perlihatkan semalam ketika mereka bertemu kembali setelah kasus perceraiannya tiga tahun lalu. “Mau pergi?”

“Eum …, iya.” Utara memperlihatkan senyum terbaiknya, agak tak fokus karena wajah tampan Arion yang rasanya bertambah sejak pertemuan terakhirnya tiga tahun lalu, juga otot lengan yang menyembul dari balik kaus kerah yang dikenakan lelaki itu. Bahkan tak mengurangi auranya meski sedang menggendong anak dan menyampirkan sebuah tas punggung kecil berwarna pink—OH! Atau itu justru yang menambah aura seorang Arion Janardana saat ini?

“Oh, oke. Hati-hati.”

Niatnya, Utara ingin segera pergi, tapi suara tangisan yang tak kunjung berhenti itu menahannya sedikit lebih lama lagi. Biasanya ia tak begini. Ia suka anak kecil, sebagaimana ia menyukai anak-anak Erika, tapi kalau sedang menangis apalagi sampai tantrum …. Utara akan angkat tangan dan lebih memilih menjauh.

“Eum …,” Utara mencoba berbicara pada bocah itu, membuat Arion berjengit sesaat. “Hai …. Elea, kan?” tanyanya.

Suara tangis Elea berhenti sejenak, kepalanya yang sejak tadi dikubur di pundak sang papa bergerak untuk menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya, menatap Utara di sana dengan mata basah, hidung merah, dan wajah bingung. Bocah itu tak menjawab.

“Masih inget sama aku nggak?” tanya Utara lagi, dengan nada yang ceria.

Elea mengerjap, berusaha mengingat. Siapa gerangan tante seksi di hadapannya ini?

“Inget nggak, Lea?” Arion ikut bicara. Tersenyum saat sang anak menatapnya untuk menuntut jawaban. “Tante Tara. Inget nggak?”

Elea menatap tante seksi itu lagi.

“Lupa, ya?” si tante seksi pura-pura cemberut. “Kecewa deh, Tante.”

Arion terkekeh. “Kalau gitu, ayo kenalan lagi sama Tante Tara.”

Elea kembali mengerjap, menatap bergantian Arion dan Utara sebelum kemudian kembali menenggelamkan wajahnya ke pundak Arion dan kembali menangis. Melihat itu, Utara agak panik.

“Lho, lho …, kenapa?” tanya Utara. “Kenapa, Mas?”

Cowok itu tertawa. “Nggak apa-apa. Dia emang lagi ngambek aja, lagi nggak nurut.”

Dan ucapan itu membuat tangisan Elea kembali membesar.

“Dia minta beli es krim tadi, padahal semalem udah ngabisin satu cup gede sendirian. Jadinya, ya …, begini,” jelas Arion, tersenyum. Seolah tangisan semacam itu bukan apa-apa untuknya, tak akan mengguncangnya, tak bisa membuatnya stres.

Utara ingat semalam di minimarket Arion memang membeli es krim, dan ternyata itu untuk anaknya. Ia meringis sebelum mengingat sesuatu yang ada di dalam tasnya—selalu ada di dalam tasnya. “Kalau gitu …, Elea mau ini nggak? Tante punya sesuatu.”

Elea berhenti menangis lagi. Ia mengangkat wajahnya, menoleh dan menatap penasaran Utara yang sedang mengaduk-aduk isi tasnya—agak kesusahan karena ia sambil memegang blazernya yang belum dipakai itu.

“Tada!!!” seru Utara sembari menunjukkan permen gagang rasa susu pada Elea. “Karena papa kamu nggak bolehin makan es krim, semoga dibolehin makan ini.” Ia memberikannya pada bocah itu. “Is it okay, Mas?” bisiknya seraya melirik ke arah Arion.

Arion tersenyum. “Ternyata kamu masih suka makanin permen susu itu, ya?”

Utara meringis. Tak menyangka kalau Arion mengingatnya, bahkan setelah tiga tahun berlalu. Kebiasaan, atau mungkin kegemaran Utara mengemut permen susu itu kalau sedang berpikir, dan ketika sedang menyelesaikan kasus perceraiannya Arion tiga tahun lalu, Arion jelas melihat Utara berkali-kali dengan mulutnya yang sedang mengemut permen itu.

“Ya, nggak apa-apa,” sambung Arion setelah Elea menoleh ke arahnya, menatapnya penuh permohonan.

Senyum Utara mengembang. Ia merasa bangga ketika Elea mengambil permen dari tangannya dan setelahnya Arion menurunkan Elea dari gendongannya.

“Bilang apa sama Tante Tara?” ujar Arion pada anaknya.

Elea yang sedang berusaha membuka bungkus permen itu mendongak untuk menatap Utara. “Makasih, Tante,” katanya dengan suara pelan.

Utara kembali tersenyum, senyum bangga. “Sama-sama.”

“Makasih, Tara,” Arion ikut berujar, tersenyum pada Utara. Setelah menurunkan Elea, Utara jadi bisa melihat penuh bagaimana proporsi badan Arion di hadapannya saat ini—semalam ia tak melakukan hal itu karena terlalu terkejut bisa bertemu kembali dengan Arion yang bahkan tiba-tiba menjadi tetangganya. Oh, atau ia yang menjadi tetangga Arion? Karena sejatinya Utara yang penghuni baru di apartemen ini.

Kaus kerah yang bagian lengannya agak ketat karena otot bisepnya yang besar—tidak benar-benar besar seperti binaragawan, tapi mungkin cukup keras dan kencang jika dipegang. Dada bidangnya yang membuat kaus itu terlihat bagus saat dipakai. Rambut hitam legam yang ditata rapi. Celana sebatas lutut yang memperlihatkan otot betis yang kuas. Dan tentu saja wajah tampan.

Tunggu!

Utara tak sadar sudah memperhatikan Arion sebegitunya sampai ia tersentak ketika ponselnya di dalam tas berbunyi dan kontak Nayla muncul di layar, membuatnya mendengus.

“Kamu kayaknya lagi buru-buru,” ujar Arion, membuat Utara menatap lelaki itu. “Maaf aku jadi bikin nahan kamu agak lama.”

Utara terkekeh kecil, menolak panggilan telepon yang sudah bia ia tebak akan berujar apa adiknya di ujung sana, pasti akan mengomel. “Bukan salah kamu kok, Mas.” Ia tersenyum. “Ya udah, kalau gitu aku permisi dulu.”

“Oh, ya, Tara,” Arion memanggil, sesaat setelah Utara melangkah meninggalkannya. “Kebetulan aku masih save nomor kamu, tapi kayaknya ….” Ia menggantung kalimat itu, merasa Utara sudah tahu apa maksudnya.

“Oh! Aku ganti nomor, Mas. Sebentar.” Ia lalu mengaduk-aduk tasnya lagi, mencari dompet untuk mengeluarkan kartu namanya. “Ini nomorku ada di sana.”

Arion menerima kartu nama itu dengan senyuman. Menatapnya sekilas sebelum mengembalikan pandangan pada wajah cantik Utara di hadapannya. Sulit sekali rasanya untuk benar-benar fokus pada wajah Utara dan tak jelalatan ke tempat lain seperti bajingan sinting. “Oke. Makasih. Aku izin simpan, ya.”

“Nanti langsung chat aku aja, Mas, biar aku save nomor kamu juga. Kebetulan waktu itu hape aku hilang, dan kontaknya ikutan hilang juga, makanya ganti nomor.”

“Iya, oke …. Nanti aku chat.”

Setelah kembali berpamitan dengan Arion dan Elea yang sudah memakan permennya, Utara pergi dari sana sembari menggerutu karena Nayla kembali meneleponnya dan ia terpaksa mengangkatnya.

“Iya, iya …, ini gue berangkat nih. Bawel banget,” katanya pada Nayla di seberang sana, sembari menekan tombol lift dan sebelum masuk ke dalamnya, ia menoleh ke arah Arion yang ternyata masih menatapnya, tersenyum singkat, lalu masuk dan benar-benar pergi.