— 75
Meski bukan yang pertama kali datang ke kostan Gladys, tapi ini yang pertama kali bagi Narga masuk ke dalam kamar perempuan itu.
Kostan Reza Rahardian bukan tipe kostan banyak aturan yang menyebalkan. Boleh bawa masuk siapa saja, asal tahu waktu, tahu batasan, dan tentu saja tahu diri untuk tidak membuat keributan. Namun selama ini, dari dua penghuninya—Kiara dan Gladys, mereka tak pernah sekalipun mengundang teman atau pacar untuk datang apalagi sampai menginap. Bahkan sejak awal kemunculannya, Reza atau Idah tak pernah melihat Kiara bersama orang lain datang ke kostan, pun tidak dengan keluarganya.
Malam ini, Narga menjadi satu-satunya orang selain keluarga Gladys yang masuk ke kamar perempuan itu setelah dis kost di sana.
Karena sudah beberapa kali mengantar Gladys pulang, Idah yang kebetulan sedang berada di depan rumahnya, menyapa singkat Narga yang datang dengan motornya. Lelaki itu juga menyapa ramah, bertanya apa Gladys ada di kostan atau tidak, dan minta izin untuk masuk.
Setelah diizinkan dan diberitahu di mana letak kamar Gladys, Narga bergegas naik ke lantai atas, menggelar pintu kamar itu sampai sang penghuninya keluar.
“Berisik, Setan!” umpat Gladys saat melihat Narga berdiri di depan pintu kamarnya. Tanpa mempersilakan, lelaki itu begitu saja masuk ke dalam. “Lo mau apa sih?” tanyanya pada Narga yang semula hendak langsung ngomel tapi teralihkan pada pelbagai benda yang ada di kamar perempuan itu.
“Lo maniak bulan, ya?” Narga bertanya ketika matanya menangkap pelbagai aksesoris berbentuk bulan di setiap sudut kamar tersebut.
Stiker dinding berbentuk bulan, bantal berbentuk bulan, lampu meja berbentuk bulan, pernak-pernik berbentuk bulan yang tersusun rapi di atas meja, poster besar bergambar bulan, bahkan Gladys punya teropong jarak jauh yang dia gunakan untuk melihat bukan dari dalam kamarnya melalui jendela, atau kalau tak terlihat dari kamarnya, dia akan keluar dan naik ke rooftop untuk melihat benda luar angkasa tersebut.
“Cita-cita lo terbang ke bulan atau gimana?” Narga berjalan ke meja belajar, dan ketika tangannya baru akan menyentuh sebuah foto lama yang menempel di sana, Gladys langsung menghadangnya, dia duduk di meja tersebut.
“Kalau iya, kenapa?” Gladys melipat kedua tangannya di depan dada, menyenangkan kakinya, menggoyang-goyangkannya salah satunya sampai hampir menyentuh selangkangan Narga yang berdiri tepat di depannya, membuat lelaki itu mundur tanpa disuruh.
“Kenapa lo nggak kuliah astronomi aja kalau gitu?”
“Jadi ahli astronomi pun belum tentu bisa bawa gue ke bulan.”
“Ya, tapi kan seenggaknya—”
“Lo mau ngapain sih ke sini?” potong Gladys cepat.
“Kakak Cantik ada?”
“Mana gue tahu. Gue nggak peduli dia ada atau nggak, bukan urusan gue.”
“Dys, please ….” Narga agak memohon. “Lo udah tahu soal ini, kan?”
“Tahu soal apa, sih?”
“Dys, soal Kakak Cantik sama Pak Rion Lantai 2!?” suara Narga agak meninggi.
“Berisi, bego! Di sini dilarang berisik. Di depan kamar gue noh, ada Pak Guru, dia suka marah-marah kalau ada orang berisik. Mau lo diomelin sama Pak Guru?”
Narga mendesah. “Bisa nggak lo jujur aja sama gue? Kalau kemarin-kemarin tuh pas lo nyuruh gue deketin Kakak Cantik, lo udah tahu soal hubungannya dia. Dan lo pengin gue ngedeketin dia biar dia udahan sama Pak Rion Lantai 2.”
“Kalau iya, lo mau apa?”
Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gerak kasar. “Kenapa lo nggak bilang sama gue, sih?”
“Emangnya bakal ada yang berubah?” suara Gladys pun ikut meninggi. “Mau lo tahu dari awal atau nggak, nggak akan ada yang berubah. Mbak Kiul tetep pacaran sampai sekarang sama Pak Rion. Dan lo nggak jelas mau deketin dia atau nggak.”
“Ya, tapi—”
“Jujur aja, gue juga nggak suka. Gue benci, gue jijik, gue sebel banget sama Mbak Kiul pas baru tahu dia jadi simpenan orang yang udah nikah. Tapi gue bisa apa? Gue nyuruh dia buat berhenti pun dia nggak mungkin denger, yang ada gue malah dicaci maki karena ngurusin urusan dia. Makanya gue nyuruh lo. Gue nyuruh lo buat deketin Mbak Kiul bener-bener, bikin dia jatuh cinta sama lo, bikin dia lupa sama Pak Rion, bikin dia tobat. Karena kalau lo berhasil, lo bisa nyelametin satu keluarga dari kehancuran, lo bisa nyelametin satu orang dari kebusukan. Dan lo bisa nyelametin ….” Gladys tak melanjutkan kalimatnya, matanya tiba-tiba perih, dadanya sesak, bernapas terasa sulit dilakukan ketika dia mengingat satu nama dan satu kejadian.
“Dys ….”
“Lo dateng ke sini, berarti lo udah tahu perasaan kayak apa yang lo punya buat Mbak Kiul,” suara Gladys sudah lebih pelan.
“Tapi gue takut, Dys. Gimana kalau gue gagal?”
“Ya, makanya lo serius!”
Narga tiba-tiba tertawa, membuat Gladys bingung. “Lucu nggak sih? Lo nyuruh gue ngerebut pacar orang yang ngerebut suami orang.”
Gladys masih bingung.
“Ah, lemot banget lu!”
“Brengsek ya lu!”
“Dys, sekarang jujur sama gue—”
“Gue disuruh jujur mulu! Lo pikir gue lagi confess cinta ke orang apa?”
Lelaki itu meringis. “Kenapa lo pengin banget gue bikin Kakak Cantik lepas dari Pak Rion Lantai 2? Maksud gue, lo nggak kelihatan kayak orang yang peduli soal itu. Tapi kenapa lo peduli banget soal ini?”
Gladys diam. Matanya tertuju pada poster bulan di belakang tubuh Narga yang duduk di sisi tempat tidurnya. Narga jadi ikut menoleh ke sana, tapi dia tak mengerti.
“Nggak penting alesan gue apa,” balas Gladys pada akhirnya. “Lagian, lo nggak mau Mbak Kiul berubah dan akhirnya jadi milik lo?”
“Ya, pengin sih ….” Narga menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. “Tapi, gue juga penasaran deh, kira-kira Kakak Cantik gue itu beneran suka sama Pak Rion Lantai 2 atau emang ada maksud lain, ya? Soalnya gue denger-denger dari orang, banyak yang bilang kalau Kakak Cantik cuma ngincer duit sama jabatan aja, tapi nggak bener-bener suka.”
“Nah, itu bagus. Makin gampang bikin Mbak Kiul jatuh cinta sama lo, soalnya dia nggak suka sama Pak Rion.”
“Tapi masalahnya, gue nggak punya banyak uang kayak Pak Rion Lantai 2, Dys. Apalagi jabatan bagus.”
Gladys mendesah. “Itu tantangannya. Buktiin dong kalau cinta itu nggak memandang harta, dan cinta itu buta. Kalau Mbak Kiul udah klepek-klepek sama lo, dia bakal ninggalin Pak Rion dengan segudang hartanya, dan milih hidup sama lo. Ya …, kalau buat penampilan, lo lebih oke dari Pak Rion pastinya. Lo ngomong aja sama Mbak Kiul, lo lebih bisa diajak dan dipamerin pas kondangan, daripada Pak Rion karena statusnya harus sembunyi-sembunyi, belum lagi Pak Rion itu jelek!”
Narga tertawa.
“Gue nggak habis pikir, kok Mbak Kiul bisa sih tahan ciuman sama Pak Rion yang jelek!?” Perempuan itu bergidik.
Mendengar ucapan itu membuat Narga bangkit lagi dan kembali duduk, dia menatap Gladys serius. “Ngebayangin mereka ciuman bikin gue sebel, anjir!”
“Nah, bayangin terus! Bayangin terus! Bayangin kalau ternyata mereka nggak cuma ciuman, tapi tidur bareng. Bayangin!!! Lo harus marah! Lo harus penuh amarah! Biar semangat buat dapetin Mbak Kiul!” Tawa Gladys pecah seketika melihat wajah kesal Narga.
“Tapi, Dys—”
“Apalagi sih, buset!? Lo dari tadi tapi-tapi mulu perasaan.”
Narga mendengus. “Gue pernah baca kutipan gitu, katanya selingkuh itu penyakit, susah diobatinnya.”
“Emangnya Mbak Kiul selingkuh? Dia yang jadi selingkuhan. Beda.”
“Sama aja intinya. Suka sama punya orang, cuma beda sisi aja.”
“Iya, sih ….”
“Gimana kalau gue berhasil dapetin Kakak Cantik, tapi setelah itu dia selingkuh dari gue?”
Gladys membuang napas berat. “Nargay, gue nggak cuma minta lo buat bikin Mbak Kiul jatuh cinta sama lo, tapi bikin dia tobat. Lo ngerti tobat nggak?”
Narga diam.
“Gue juga pernah baca kutipan, 'ketemu lo, gue berhenti nakal'. NAH! JADIIN ITU LO! LO HARUS BIKIN DIA BERHENTI NAKAL!!!” suara Gladys menggema ke seluruh ruangan, sampai membuat Narga tutup telinga.
“Berisik, anjing! Lo bilang tadi di sini nggak boleh berisik. Bentar lagi Pak Jidan ngetok pintu lo, gue nggak tanggung jawab.”
“Tenang, Pak Guru jinak kalau sama gue.”
“Najis.”
“Udah, sana lo pergi! Gue mau lanjut nonton drakor. Lo ganggu gue aja deh.”
Narga berdicih. Ogah-ogahan dia bangkit dan berjalan ke arah pintu. Namun sebelum itu, Gladys kembali berbicara.
“Gue nggak tahu lo mikir gini juga atau nggak, tapi gue sama sekali nggak pernah berpikir kalau Mbak Kiul suka sama Pak Rion—maksud gue … cinta.”
Lelaki itu menatap serius.
“Mungkin orang-orang bener soal Mbak Kiul ngincer harta atau jabatan, tapi gue juga nggak yakin itu buat dirinya sendiri.”
“Maksudnya?”
“Gue nggak pernah lihat Mbak Kiul belanja hedon kayak ani-ani kebanyakan. Punya mobil, barang branded, ya … walaupun dia kayaknya anti makanan pinggir jalan kayak kita, tapi itu udah cukup bikin gue yakin ada alasan tersendiri kenapa Mbak Kiul ngelakuin hal ini.” Gladys membuka pintu, mempersilakan Narga untuk keluar.
Dan sebelum lelaki itu benar-benar pergi, dia berujar, “Dys, lo kayaknya harus berhenti sok cuek dan nggak peduli sama Kakak Cantik gue. Soalnya, lo tuh … sebenernya sebegitu pedulinya sama dia.” Narga tersenyum, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutnya bagian depan Gladys.
Berbarengan dengan itu, pintu kamar depan terbuka, Jidan melihat apa yang baru saja Narga lakukan. Dia menatap canggung, ingin kembali masuk tapi telanjur bersitatap dengan keduanya.
“Nggak usah sok tahu tentang gue!” Gladys menepis tangan Narga yang masih ada di atas kepalanya, lalu menendang pelan bokong lelaki itu sampai mengaduh. “Pergi sana!”
“Kampret ya lu, Dys!”
Gladys menjulurkan lidahnya.
Narga ingin langsung pergi, tapi tatapannya kembali bertabrakan dengan Jidan, membuatnya tersenyum canggung dan menyapa singkat sebelum mendekat untuk berbisik, “Pak Jidan, nggak stres tinggal deket orang gila?” Dia melirik ke arah Galdys.
Jidan tak menjawab, dia hanya menatap Gladys dalam diam.
“Kalau saya jadi Pak Jidan, saya udah masuk rumah sakit jiwa gara-gara ini bocah setan,” sambung Narga lagi. “Kalau Pak Jidan diapa-apain, teriak aja nggak apa-apa, atau langsung lapor polisi. Yang kayak gini pantes dilaporin.”
“Brengsek ya lo!” Gladys baru akan menghampiri Narga saat lelaki itu berlari menghindari ke belakang tubuh Jidan.
Narga menjulurkan lidahnya, meledek.
“Sini nggak lo!” Gladys bergerak ke kanan dan ke kiri di depan tubuh Jidan untuk mencari celah menggapai Narga yang kelihatan mudah, tapi ternyata sulit. “Pak Guru! Minggir! Pak Guru, minggir!!!!” seru perempuan itu.
Tapi apa yang bisa Jidan lakukan saat di depannya ada Gladys dan di belakangnya ada Narga? Dia tak bisa bergerak. Dua orang itu seolah mengepungnya. Perlahan tapi pasti, kepalanya mulai pening. Dia mulai stres.
“Pak Jidan, saya mau pergi. Dalam itungan ke tiga, Pak Jidan pegangin Gladys, oke?” bisik Narga pelan.
“Nggak mau,” balas Jidan.
“Please ….”
“Nggak.”
“Pokoknya oke.”
“Ngomongin apa lo berdua?” tanya Gladys dengan tatapan tajam.
“Kepo.” Narga menjulurkan lidahnya lagi. “Urusan lelaki.”
“Jangan macem-macem ya lo! Jangan ngeracunin Pak Guru sama dunia perbokepan lo yang menjijikan itu.”
“Pak Jidan, siap-siap,” bisik Narga lagi, tak mempedulikan ucapan Gladys.
Jidan tak menjawab, menatap Gladys yang tepat di depan matanya.
“Satu …, dua …, TIGA!!!” Narga berlari sebisanya untuk pergi dari sana meninggalkan keduanya, dan Jidan …, meski menolak, tepat dalam hitungan ketiga, dia menarik tangan Gladys yang baru akan mengejar Narga, dan secara tak sengaja membawanya ke dalam pelukannya.
Gladys awalnya berontak, namun saat sadar dia berada di pelukan Jidan, tangannya tanpa menunggu aba-aba langsung melingkar di tubuh lelaki itu, dan wajahnya dengan senang hati tenggelam di dada lelaki itu. “Eum …, Pak Guru wangi deh,” ujarnya saat menghirup aroma tubuh Jidan yang wangi.
Jidan menahan napas, memejamkan mata, berusaha melepaskan tangan Gladys yang melingkari tubuhnya, namun sangat sulit. Jari-jemari itu saling bertaut di punggungnya, seolah mengunci posisi. “Gadis ….” Dia masih berusaha untuk melepaskan, tapi saat itu juga Gladys berusaha mempertahankan posisinya.
Sekarang, tidak peduli Narga sudah pergi atau nyungsep di ujung tangga, Gladys tetap harus mempertahankan posisi memeluk itu. Kapan lagi bisa begitu kalau bukan saat ini?
“Pak Guru mau ke mana? Kok wangi banget sih malem-malem gini?” Dia mendongak tanpa melepaskan tautan tangannya.
Jidan menunduk sebelum buru-buru menoleh ke samping karena wajahnya mereka terasa begitu dekat. “Gadis, lepasin ….”
“Nggak. Jawab dulu pertanyaan gue. Mau ke mana?” Gladys kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Jidan. “Mau ketemu pacar, ya? Cieeee punya pacar.”
“Saya mau beli makan ke depan.”
“Udah malem gini baru mau cari makan? Emangnya masih ada yang buka?”
“Ya …, nggak tahu. Makanya mau cari.”
“Mau gue masakin aja nggak?” Gladys kembali mendongak dan Jidan menunduk, tapi sedetik setelahnya langsung menoleh lagi.
“Nggak usah. Saya mau cari aja.”
“Bener? Masakan gue enak lho.”
“Nggak ada yang bilang masakan kamu nggak enak.”
“Jadi, mau?” Gladys mengerjap centil.
“Iya, tapi … ini … lepasin dulu ….” Jidan masih berusaha kuat untuk melepaskan tubuh Gladys darinya. Dia ingin mengeluarkan seluruh tenaganya tapi masih sedikit waras untuk tidak sampai menyakiti perempuan itu.
“Nggak mau ….” Gladys kembali menempelkan telinganya di dada Jidan, kembali mendengarkan degup jantung lelaki itu yang semula pelan dan teratur, berubah menjadi lebih keras dan cepat. Dia terkikik. “Pak Guru deg-degan di deket gue, ya?”
“Gadis …, tolong ….”
“Cium dulu dong guenya.” Tiba-tiba Gladys berjinjit dan memajukan bibirnya ke depan wajah Jidan.
Lelaki itu panik. Dia masih belum bisa melepaskan kaitan tangan Gladys, malah kini muncul masalah baru. Dia terus menggeleng, kepalanya bergerak mundur seiring dengan bibir Gladys yang mendekat, dan saat hanya tinggal sedikit lagi bibir itu menyentuh bibirnya, Jidan terpaksa mendorong Gladys dengan kekuatan penuh sampai akhirnya pelukan itu terlepas dan Gladys terpelanting jauh.
“AW!!!” seru kencang perempuan itu saat dalam sekejap mata, bokongnya sudah menyentuh keras dan dinginnya lantai akibat dorongan Jidan padanya. “ANJING YA LO!” tunjuknya pada Jidan sambil terus mengusap-usap bokongnya sendiri.
“Gadis, saya ….” Jidan berusaha menghampiri dengan raut panik.
Gladys masih berusaha menggerakkan bokongnya yang rasanya begitu kebas untuk sesaat. Dia mengusap-usapnya seraya terus meringis, lalu memberi tatapan menyalak pada Jidan yang membuat lelaki itu seketika meringis takut dan khawatir.
“Bantuin gue berdiri.” Dia menjulurkan kedua tangannya dan Jidan tanpa pikir panjang meraihnya, membantunya untuk berdiri.
“Awwww ….” Gladys masih terus meringis, kembali mengusap-usap bokongnya.
“Gadis, kami nggak apa-apa—”
“Nggak apa-apa … nggak apa-apa,” Gladys mencibir. “Nggak lihat apa ini pantat gue kayak yang bolong.”
“Pantat kan emang bolong ….”
“BUKAN ITU MAKSUD GUE!!!” bentak Gladys membuat Jidan terperanjat dan memejamkan mata takut. “Dasar GuSi!”
“Gusi? Gigi maksudnya?”
“GURU SINTING!”
“Saya minta maaf …. Saya nggak maksud ….” Jidan melirik ke arah bokong Gladys yang masih diusap-usap oleh tangan. Tapi tatapan nyalang Gladys langsung membuatnya menghindar.
“Kalau habis ini gue nggak bisa berak, gue laporin polisi.”
“Tapi kayaknya nggak ada korelasinya deh ….”
“DIEM!”
“Iya, maaf ….”
“Hhhhh …. Pantat gue jadi tepos, nggak semok mentok lagi,” gumamnya pelan, tapi masih bisa Jidan dengar.
“Gadis, saya minta maaf ….” Jidan menunduk dalam-dalam, melihat itu membuat Gladys kasihan.
“Jadi nggak nyari makan?” tanyanya.
“Hah?” Jidan mendongak, menatap Gladys dengan bingung. “Eum … saya kayaknya mau masak mi aja deh.”
“Keriting nanti itu usus kalau kebanyakan makan mi.”
“Nggak ada hubungannya—”
“DIEM!”
“Iya, maaf ….”
“Punya telur nggak?”
“Telur ayam?”
“Iya lha! Masa telur itu ….” Pandangan Gladys tertuju pada selangkangan Jidan, dia tersenyum miring, lali saat Jidan menyadarinya, tangannya secara otomatis bergerak menutupi bagian tersebut. Gladys tertawa.
“Jangan macem-macem,” ujar Jidan.
“Pak Guru aja udah macem-macemin gue. Nih, buktinya pantat gue panas gini, perih. Kasar banget sih mainnya.”
Kenapa rasanya ada yang salah dengan kalimat itu? Jidan ingin protes, tapi Gladys kembali berbicara.
“Mana sini telurnya, gue buatan sesuatu,” katanya. “Telur ayam, ya. Bukan telur burung.” Dia terkikik lagi.
“Tapi ayam sama burung sama-sama unggas.”
“PAK GURU!” bentak Gladys. “Bisa nggak, nggak ngoreksi apa yang gue ucapin. Nggak gue bikinin makanan nih.”
“Saya kan nggak minta.”
“Ya udah, gue balik aja ke kamar. Mau ngademin pantat sambil bikin cuitan di Twitter, ada guru yang barusan melakukan kekerasan pantat sama seorang mahasiswi cantik, seksi, dan hot.”
“Gadis ….” Jidan meraih tangan Gladys saat perempuan itu hendak melangkah pergi meninggalkannya, lalu melepaskan secepat kilat saat Gladys sudah kembali menatapnya. “Bentar, saya ambil dulu telurnya. Tinggal sisa dua kayaknya.”
“Nah, bagus. Bawa ke sini semua.”
“Kamu di sini aja,” ujar Jidan ketika Gladys ingin ikut masuk ke kamarnya. Perempuan itu langsung tersenyum bete. Dia bahkan memberi gesture hendak memukul saat pintu di depannya tertutup kembali ketika Jidan sudah masuk ke kamar tersebut.
Setelah Jidan memberi dua butir telur ayam terakhir yang dimilikinya pada Gladys, perempuan itu menuruni anak tangga sembari terus mengusap bokongnya menggunakan telur tersebut dengan Jidan mengekor di belakangnya.
“Emang ada nasi?” tanya Jidan.
“Ada, sisa gue masak sore tadi.”
“Oh ….” Saat pertama pindah, Reza dan Idah memberitahu Jidan untuk tidak terlalu sering beli nasi di luar, lebih baik beli lauknya saja dan masak nasi sendiri di kostan. Karena Idah, selaku pemilik kost, suka memberi sekarung beras untuk penghuni kostnya yang termasuk anaknya sendiri. Bahkan setelah tahu Gladys pintar masak, Idah beberapa kali memberikan bahan masakan dan juga bumbu untuk Gladys masak dan dimakan seluruh penghuni kost.
“Suka tomat nggak?” tanya Gladys ketika membuka kulkas untuk melihat apa yang sekiranya bisa dia sajikan dengan dua butir telur milik Jidan—telur ayam maksudnya.
“Tomat? Suka.”
“Gue bikinin telur tomat aja kalau gitu, ya? Udah pernah makan belum?”
Jidan menggeleng.
Gladys membuang napas panjang. “Pak Guru umurnya berapa, sih? Masa belum pernah coba telur tomat. Ini makanan simple yang enak banget. Coba sekarang sebutin makanan apa aja yang belum pernah dicoba, biar gue bantu masakin.”
Tepat saat itu, Reza muncul membawa kotak besar di tangannya, menghampiri dua orang yang sedang berada di dapur. “Dys,” panggilnya seraya menggoyang-goyangkan kotak tersebut.
“Lho, ada paket?”
“Ya, mana gue tahu. Lo yang belanja. Emangnya lo nggak ngecek?”
“Gue nggak ada belanja apa-apa tuh.” Gladys menerima paket tersebut dan melihat resi yang tertempel di atasnya.
“Tapi di situ nama penerimaan Mak Idah dalam kurung Gladys. Punya lo, kan?”
“Oh …, iya, punya gue.” Gladys nyengir. “Paket manual. Bukan e-commerce, jadi nggak tahu.”
“Yeuu …, udah nyampe dari siang kata Mak juga.”
“Thanks ya, Bang. Nanti gue kasih Mak kalau udah jadi.”
“Wihhhh …, paket apaan tuh.”
“Bahan kue.” Gladys berbinar saat menatap paket tersebut.
“Oh, pantes Mak tadi bilang lo pinjem oven.”
Gladys terkikik. “Listrik bulan ini agak mahal sorry, ya ….” Dia menatap dua lelaki di hadapannya.
“Paling Kia ngomel.” Reza terkekeh. “Kalau gue sih yang penting stok kue aman.”
“Tenang …,” Gladys berseru saat Reza mulai melangkah menjauh.
“Za, udah makan?” tanya Jidan. “Gadis mau bikin tomat telur katanya.”
“Telur tomat,” ralat Gladys. “Udah nyebut nama gue salah, nama makanan juga salah.”
Jidan hanya mendengus.
“Udah, tadi,” jawabnya setelah terkekeh. “Eh, Dys. Temen lo belum pulang?”
“Temen?”
“Iya, temen lo yang cowok itu. Tadi Mak bilang ada temen lo yang cowok yang suka nganterin lo itu. Gue pikir Mas Rion, tapi ternyata bawa motor.”
“Oh, si setan. Udah kok.”
“Itu, motornya masih di luar.”
“Hah?” Gladys langsung bergerak ke luar untuk memastikan bahwa memang benar, motor Narga masih ada di depan.
“Mungkin dia lupa bawa motornya,” ujar Jidan yang ikut keluar juga.
“Gue tahu dia sinting dan agak bego sih, tapi ….” Mulutnya langsung diam terkunci saat Kiara masuk ke dalam melewati pintu gerbang dengan raut wajah yang sulit ditebak, melewati dua orang yang berdiri di ambang pintu tanpa mengatakan apa pun.
Lalu tak lama, disusul Narga setelahnya. Terkejut saat melihat dua orang itu menatapnya, lalu tersenyum kikuk.
“Eh, Gladys …,” katanya dengan senyum canggung. “Eh, Pak Jidan ….” Lalu menatap Jidan dengan nyengir pahit.
Gladys tak mengatakan apa pun saat Narga naik ke motornya, memakai helm, dan menyalakan mesin motor. Hanya terus menatap tajam seraya melipat tangan di atas dada, membuat Narga jadi serba salah.
“Mari, Pak …,” katanya pada Jidan sebelum pergi keluar dari halaman kostan.
“Nggak jelasin apa-apa ke gue, gue doain titit lo nggak pernah berdiri lagi!” seru Gladys dengan lantang.
Dan yang terkejut bukan hanya Narga, tapi Jidan yang berdiri tepat di sampingnya. Dia kembali menutupi selangkangannya dengan tangan sebelum diam-diam pergi dari sana dna kembali ke dapur.