lautkelabu

— 83


Jidan mengatakan pada Sabria untuk mengirimkan soal PTS yang dibuatnya sebelum akhir pekan, dia juga meminta maaf berkali-kali karena mengerjakan hal itu dengan sangat lambat dibandingkan guru-guru yang lain. Meski Sabria beserta beberapa guru lainnya mengatakan pada Jidan bahwa itu bukan masalah besar sebab mereka paham kondisi Jidan yang baru mulai mengajar, sudah harus diberi tugas membuat soal padahal banyak pekerjaan lain yang harus dikejarnya karena Jidan masuk di pertengahan semester.

Di minggu terakhir mengajar, sepulang sekolah, Jidan yang biasa tidur siang untuk memulihkan energinya yang habis kini langsung membuka kembali laptopnya dan memeriksa ulang soal yang dibuatnya. Soal itu harus sama dengan pelajaran yang sudah diberikan selama beberapa bulan ini, kalau melenceng sedikit saja, biasanya para murid akan melakukan protes yang nantinya berimbas pada kegaduhan orangtua murid di forum terbuka sekolah. Mereka para guru benar-benar harus berhati-hati.

Sebelum di Bina Bakti, Jidan mengajar di sekolah swasta lain sebelum memutuskan berhenti setelah tahun ajaran tersebut habis. Dia menganggur lebih dari satu semester sebelum akhirnya bisa bekerja di Bina Bakti, itu pun berkat dukungan yang tak henti Sadewa dan dokternya berikan.

Tahun lalu, kondisi Jidan memang bisa dikatakan yang terburuk dari tujuh tahun terakhir setelah dokter sudah mengatakan bahwa sudah membaik. Sepuluh tahun berlalu sejak kejadian tersebut, Jidan belum bisa melupakan—memang tidak bisa dilupakan, namun dokter mengatakan bahwa bagaimanapun Jidan harus menerima, harus memaafkan dirinya sendiri, harus bisa berpikir bahwa kematian kedua orangtuanya bukan salahnya.

Jidan membenci dirinya sendiri lebih dari apa pun. Semua hal tentang kejadian itu seolah menghantamnya secara betubi-tubi, tidak kenal kata ampun, tidak kenal waktu, tidak pernah lekang oleh waktu. Dan tahun lalu, hukuman itu kembali menghantuinya. Membuatnya tersekat, seperti kehilangan arah, dipaksa mundur ke belakang, dan yang paling parah kehilangan motivasi untuk tetap hidup lebih lama.

“Jidan, kamu harus pikirkan adik kamu—”

“Adik saya kehilangan orangtuanya karena saya, Dok,” potong Jidan saat untuk yang kesekian kalinya datang menemui seorang dokter psikologi yang menangani kasusnya.

“Tapi, apa kamu nggak pernah memikirkan bagaimana kalau dia kehilangan kamu juga?”

Satu hal yang membuat Jidan berhenti berpikir untuk mati. Lama dia menatap Sadewa setelah itu. Wajah lelahnya, kantung mata yang menggelap, tatapan iba, raut khawatir, semuanya berpadu menjadi satu, berdiri cemas di hadapannya. Dia sudah melihat bagaimana anak itu menangis meraung-raung saat orangtua mereka pergi, tapi dia juga sudah melihat bagaimana anak itu menangis histeris saat harus menemukan sang kakak lemas tak berdaya bersimbah darah.

“Begini saja, bagaimana kalau kita ubah aturannya?”

Jidan menatap sang dokter penuh tanya. “Kalau kamu nggak mau hidup untuk diri kamu sendiri, hiduplah satu hari lagi untuk orang yang kamu sayang.”

“Satu hari?”

“Iya, satu hari. Kalau di hari itu kamu masih sayang sama dia, kamu harus hidup satu hari berikutnya. Begitu terus sampai kamu rasa kamu nggak sayang lagi sama orang tersebut.”

Satu hari itu kini sudah berjalan berbulan-bulan, nyaris satu tahun. Tanpa percobaan bunuh diri, tanpa berpikir untuk mati, tanpa berpikir untuk pergi meninggalkan. Satu hari yang kemudian terkepang rapi menjadi satu untaian yang meski bentuknya jelek, Sadewa akan jadi yang paling mengapresiasi hal tersebut. Sadewa pula yang sangat senang ketika Jidan mengatakan bahwa dia ingin kembali mengajar, meski kemudian melarang karena jarak sekolah tersebut sangat jauh sehingga mereka harus tinggal terpisah.

Tapi apa boleh buat? Sadewa akhirnya menyetujui dengan syarat, Jidan harus memberi kabar setiap hari. Tentang kegiatannya, tentang makanan yang dimakannya, juga tentang obat yang rutin dikonsumsinya. Juga karena pesan dokter padanya, bahwa Jidan memang harus melihat dunia di luar lingkungannya selama ini. Dia harus bertemu dengan lebih banyak orang yang mungkin di antaranya akan berhasil membuat Jidan benar-benar sembuh dari traumanya.

Pintu tiba–tiba diketuk ketika Jidan tengah begitu serius mengecek soal-soal di layar laptopnya. Dan baru juga Jidan menoleh untuk menebak siapa kiranya yang mengetuk pintu kamarnya di sore hari begini, pintu itu sudah langsung terbuka, dam seseorang yang sangat tidak dia harapkan untuk muncul begitu saja menerobos masuk tanpa permisi. Kepalanya langsung sakit.

“Pak Guru!!!” serunya dengan berisik. Ini belum akhir pekan, tapi Jidan sudah menemukan Gladys di kostan saat dia pulang mengajar, padahal biasanya perempuan itu baru tiba saat sore atau malah malam hari. Jidan menemukan Gladys sedang berkutat di dapur, tidak berniat bertanya, tapi dia terlihat sedang membuat sesuatu dan mengatakan kalau dia hari ini tidak ke kantor karena harus ke kampus.

Jidan tidak peduli. Dan untuk apa juga dia peduli?

Jidan benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bertanya atau mengeluh soal kehadiran Gladys di sana. Sebab perempuan itu langsung menyerbu tempatnya, menaruh sebuah piring yang dibawanya, lalu berkeliling dengan tidak sopan.

“Gadis, kamu ngapain?” tanya Jidan, mengikuti langkah kaki Gladys yang mulai menyusuri meja kerjaannya.

“OH, Pak Guru lagi kerja?” dia bertanya saat melihat laptop Jidan yang masih terbuka.

“Gadis ….” Jidan mulai sebal.

“Ini Pak Guru sama Dewa?” Perempuan itu mengambil satu bingkai foto yang ada di atas meja. Foto Jidan dengan Sadewa beberapa tahun lalu ketika Sadewa lulus SMA.

Jidan langsung merebut foto tersebut tanpa pikir panjang, namun Gladys sudah memegang bingkai foto yang lain. Kali ini foto dia dan Sadewa ketika masih kecil. Jidann jug laantas mengambill foto itu dari tangan Gladys, tapi secepat kilat pula Gladys sesudah memegang bingkai foto lain, bingkai foto terakhir yang ada di meja tersebut, foto Sadewa ketika masih balita.

“Ini siapa?” tanya Gladys, seraya menempelkan foto tersebut ke sisi wajah Jidan sebagai perbandingan, untuk mencari tahu jawabannya sendiri. “Nggak mirip,” katanya.

“Gadis, tolong balikin,” pinta Jidan degan amarah yang berusahaa untuk terus diredamnya.

Tapi bukan Gladys namanya jika tidak membuat Jidan kesal. Iya, kaan? Ketika Jidan hendak merebut bingkai foto itu, Gladys dengan cepat menghindar, kembali menatap foto tersebut dengan sangat serius.

“Mirip siapa, ya?’ dia berpikir keras.

“Gadis, tolong ….”

Perempuan itu kemudian menyerah dengan wajah cemberut. Dia mengembalikan bingkai foto tersebut pada Jidan.

Saat Jidan merasa penderitaannya akan berakhir, Gladys justru memegang hal lain sebagai mainannya. Perempuan itu menyentuh–sentuh buku-buku miliki Jidan yang tersusun rapi di sana, dia bahkan tak tanggung-tanggung untuk duduk di kursi putar yang baru sampai kemarin sore. Dibelikan oleh Sadewa dan langsung dikirim ke kostan. Jidan curiga bocah itu mendapat alamat dari Reza karena setiap dia memintanya pada Jidan, Jidan tak memberikannya.

“Uuuu …, kursinya enak banget. Tanyain Dewa dong beli kursinya di mana, gue mau juga.” Dia memutar-putarnya, membuat Jidan seketika pusing.

“Gadis, saya mohon pergi.”

“Kenapa, sih? Gue cuma mau lihat-lihat doang kok.” Perempuan itu cemberut.

“Iya, tapi ….”

“Ya udah, ya udah ….” Gladys bangkit dari kursi itu, nyaris membuat Jidan mengembuskan napas lega kalau saja perempuan itu tidak menemukan tempat bermain lain. “Tapi bohong.” Dengan senyum lebar, dia menghempaskan tubuhnya ke kasur Jidan yang sangat rapi, berguling-guling di sana, mengacak-acak selimut, bantal, dan guling.

Amarah Jidan sudah semakin memuncak. Dia menaruh bingkai foto yang dipegangnya ke atas meja, lalu berjalan menghampiri Galdys. Sekali lagi berujar, “Gadis, sekali lagi saya bilang, tolong keluar dari kamar saya!”

Gladys menatap serius, namun sedetik kemudian tertawa meledek sampai akhirnya kesabaran Jidan hilang, dia menarik paksa perempuan itu untuk pergi dari tempat tidurnya, membuat Gladys berontak, meronta kesakitan.

“Ya, gak usah kasar dong. Bisa nggak!?” suara Gladys melengking tak terima. Dia menatap tajam Jidan di hadapannya setelah lelaki itu melepas pergelangan tangannya yang tadi dia tarik untuk pergi dari tempat tidur itu.

“Saya udah minta kamu secara baik-baik tadi, kamu nggak denger.”

“Tapi nggak usah kasar sama perempuan! Sakit tangan gue, Bego!”

Jidan melongo mendengar kata kasar yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu. Meski bukan pertama kalinya dia mendengar Gladys bercap kata-kata kasar, tapi yang kali ini terasa beda. Benar-benar seperti ditujukan langsung padanya, menghapus hatinya, menyakiti perasaannya. Dia masih punya sedikit kesabaran untuk tidak mendorong perempuan itu sampai benar-benar keluar dari kamarnya.

“Gue tuh cuma mau ngasih ini!” Gladys menunjukkan piring yang dibawanya, berisi bakso goreng yang sangat merekah yang tadi dibuatnya.

“Saya nggak butuh itu, saya cuma butuh kamu keluar dari kamar saya sekarang.”

“Ini gue bikin susah payah, lo tolak juga?”

“Gadis, saya mohon ….”

“Ya, ini ambil dulu. Buat lo ngemil atau—”

“Gadis!” Seperti kehilangan kesadarannya, Jidan menepis piring itu dari tangan Gladys, membuatnya terpelanting ke bawah, menimbulkan suara nyaring pecahan piring keramik yang memekakkan telinga. Piring itu pecah, bakso goreng itu berhamburan di lantai, dan saus pedasnya mengotori sekitar.

Mulut Gladys menganga, dia bahkan sampai menutup telinganya dengan tangan ketika piring itu pecah, kemudian menatap Jidan dengan semburan amarah yang luar biasa. “KALAU NGGAK MAU TUH YA UDAH, NGGAK USAH PAKAI DIBANTING! NGGAK BISA NGEHARGAIN BANGET USAHA ORANG, YA!?”

Jidan panik, seketika dia kembali kepada kewarasannya yang hilang.

“DASAR GURU SINTING! NGGAK BISA NGEHARGAIN ORANG DAN MAINNYA KEKERASAN!” bentaknya sekali lagi sebelum pergi dari sana, berjalan kesal ke arah kamarnya, dan membanting pintu dengan kencang.

Saat itu Jidan hanya bisa mematung di tempatnya.

—76


Kiara langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar kostnya, mengembuskan napas. Dari dalam sana, dia bisa mendengar Gladys meneriaki Narga yang baru akan pergi dengan kencang, mengancam jika tidak menceritakan apa yang terjadi pada lelaki itu yang baru berhadapan dengan Kiara.

Lalu entah apa yang sedang Kiara pikirkan, dia melompat dari tempat tidurnya, kembali keluar dari kamar, dan terburu berjalan ke arah pintu balkon, membuka gordennya sedikit untuk bisa mengintip ke bawah, melihat Narga yang baru keluar melewati gerbang kostan. Lelaki itu berhenti sejenak, dan dia menatap ke atas, tepat ke balkon, dan pandangannya bertubrukkan langsung dengan Kiara yang ketika sadar bahwa Narga juga melihatnya, dia segera menutup rapat-rapat gorden tersebut. Dia bisa melihat bagaimana lelaki itu tersenyum kecil padanya.

Saat keributan di bawah sana kembali terdengar, antara Gladys dan Jidan, Kiara buru-buru kembali ke kamarnya, lalu duduk di hadapan meja rias, menatap pantulan dirinya sendiri di sana. Wajah lelah itu begitu terlihat. Stres, frustrasi, tertekan, dan rasanya dia sendiri lupa kapan terakhir kali merasa bahagia terhadap hidup yang dijalaninya. Lantas, bagaimana Narga bisa begitu yakin dapat membuatnya bahagia sedangkan dia sendiri tak tahu caranya?

Kiara bergeming. Ingatannya kembali memutar kejadian beberapa saat lalu saat dia baru sampai kostan, saat secara kebetulan, Narga yang baru mengunjungi kamar kost Gladys, berhadapan dengannya. Kiara baru akan naik ke atas, dan Narga baru turun ke bawah.

Narga jelas bukan orang asing untuk Kiara. Dia tahu lelaki itu. Selain karena mahasiswa magangnya terkenal akrab dengan salah satu barista Under Coffee yang terletak persis di lobi kantornya, juga karena sejak kemunculannya beberapa bulan lalu di kedai kopi itu, Kiara sudah bisa merasakan tatapan yang berbeda setiap kali dia mampir ke sana untuk membeli minuman atau makanan.

Meski awalnya tak nyaman dan berniat akan menegurnya, Kiara memilih membiarkannya karena sejatinya Narga bukan lelaki pertama yang menatapnya dengan tatapan memuja seperti itu. Yang membedakan, Narga tidak memberi tatapan menjijikan seperti kebanyakan lelaki yang menatap Kiara selama ini. Lelaki itu menatapnya dengan malu-malu, memberi senyuman dengan ragu-ragu, sampai hari ini malu dan ragu itu seolah menjadi semu.

Kiara hendak melewati Narga begitu saja untuk segera naik dan masuk ke kamarnya, namun ketika dia baru mau melangkah, Narga lebih dulu menggapai lengannya dan dengan agak paksa menariknya untuk mengikuti langkah kakinya keluar dari sana.

Kiara berontak. Berusaha melepaskan diri namun tenaga Narga jelas jauh lebih besar darinya, jadi itu tak membantu banyak. Dia bisa saja berteriak, namun bukan tabiatnya untuk membuat keributan seperti yang biasa Gladys lakukan, dan Kiara merasa Narga bukan untuk menyakitinya.

“Apa-apan, sih!?” bentak Kiara saat Narga sudah melepas tangannya dan dia sudah membawanya ke sebuah tempat sepi di bawah pohon mangga di samping rumah warga yang tak jauh dari kostan. Dia hendak pergi dari sana, tapi Narga tak kalah cepat untuk menahannya, membuatnya lebih merapat ke dinding rumah dan Narga lebih mendekat ke arahnya, membuat Kiara kini lebih merasa terkurung.

Mana Narga yang malu-malu ketika mencuri tatap ke arahnya? Mana juga Narga yang selalu ragu untuk memberikan senyum manisnya ketika pandangan mereka tak sengaja bertemu? Yang Kiara lihat kini raut kemarahan dan keputusasaan.

“Gue bisa teriak,” ancam Kiara. “Ini rumah Pak RT kalau lo mau tahu.”

“Setahu gue rumah Pak RT di depan gang sana.”

Oke, Kiara kalah.

“Gue mau bicara sebentar,” ujar Narga lagi.

“Ya, kenapa harus—”

“Harus begini,” potong lelaki itu sebelum Kiara menyelesaikan pertanyaannya yang sudah bisa ditebak. “Kalau nggak gini, gue nggak tahu kapan lagi punya kesempatan buat bicara, dan punya keberanian kayak sekarang.” Sebab faktanya, Narga memang melawan rasa malu dan takutnya dengan amarah yang sudah mulai memupuk saat dia tahu tentang berita itu.

Bisa-bisanya kemarin dia merasa terancam dengan seorang penghuni baru di kostan yang berstatus sebagai guru, padahal yang sebenarnya menjadi ancaman adalah Kiara itu sendiri.

Perasaan Kiara, status Kiara.

Tanpa melepaskan tangan Kiara, Narga mengembuskan napas, dia menunduk. “Soal berita yang baru gue denger hari ini …, itu bener?” tanyanya dengan suara pelan.

Kiara diam sejenak, menatap lelaki di hadapannya, tak berniat untuk kembali berontak. Dia tahu hari ini kabar tentang hubungannya dengan Rion Lantai 2 kembali menguar setelah yang pertama kali beberapa minggu lalu. Berbeda dari yang waktu itu, yang terdengar hanya sayup-sayup dengan orang yang mendengarnya memilih tidak peduli daripada sibuk bergosip dan membuat kabar itu lebih meluas, hari ini kabar itu merebak dengan lebih luas, lebih berisik, dan lebih menekannya.

Dia tahu, sejak awal memutuskan untuk mengambil jalan tersebut ada konsekuensi berat yang akan dihadapinya, namun detik itu tak ada pilihan lain, semesta seperti tak memberi pilihan lain yang bisa Kiara pilih dengan cepat. Rion memujanya, lelaki itu mendambanya, dan mungkin akan melakukan apa saja untuknya, termasuk menggelontorkan banyak uang untuk sesuatu yang mungkin terdengar sepele.

Tapi itu yang Kiara butuhkan. Uang. Tak ada yang lain.

Rasa jijik, rasa muak, amarah, sedih, semuanya hanya bisa dia paksa telan demi sejumlah uang untuk membayar hutang. Tak peduli apa pun, tak peduli siapa pun, ketika keluarganya saja tak pernah peduli padanya, Kiara terbiasa untuk mati rasa.

Dia hanya perlu main aman, main tenang. Meski sejatinya, tembok kantor itu berbicara, dan serapat-rapatnya menutup bangkai, baunya akan tercium juga.

Hari ini dia berusaha untuk tidak peduli lagi, berusaha untuk bekerja seperti biasa lagi, berusaha untuk mematikan perasaannya lagi. Namun bagaimana dia bisa tahan dengan sayup-sayup orang yang membicarakannya dengan nada cemooh dan menghina itu semakin sering terdengar? Bagaimana dia bisa lebih tahan lama pada tatapan jijik dan hina orang-orang itu yang semakin terang-terangan padanya?

Kiara nyaris tak sanggup. Dia banyak menghabiskan waktu di toilet hari ini, untuk menangis. Berharap itu bisa meredakan sesaknya, tapi kenyataannya orang-orang jauh lebih keras membicarakannya di toilet sana.

“Menurut lo?” Kiara balik bertanya.

Narga mendongak, mempertemukan pandangan mereka. “Kak ….”

“Kalau menurut lo itu bener, ya udah. Gue nggak ada kewajiban apa pun buat ngejelasin itu.”

Lelaki itu ingin protes, tapi untuk apa ketika yang dikatakan Kiara memang benar. Kiara tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun padanya. Memangnya dia siapa? Teman saja bukan. Mereka memulai percakapan singkat lewat pesan teks saja baru beberapa hari yang lalu. Narga benar-benar punya keberanian yang penuh untuk menyeret Kiara ke tempat itu dan menanyakan hal tersebut, ketika mereka bukan siapa-siapa.

Narga akhirnya melepas tangan Kiara, mundur dua langkah sampai mereka kini berjarak. Dia menunduk, membuang napas berat.

Dua ingin menyerah. Memang mungkin sudah seharusnya dia membiarkan perasaan itu berenang di dalam harinya tanpa mencoba untuk muncul ke permukaan dan menyapa. Perasaannya ada hanya untuk dipendam, bukan untuk diungkapkan. Namun ketika dia benar-benar akan menyerah dan membiarkan Kiara pergi, wajah Gladys dengan suara mengomelnya itu muncul dalam ingatan. Bagaimana perempuan itu dengan keras menginginkan Kiara berubah melaluinya, dan bagaimana usahanya bisa saja menyelamatkan bukan hanya satu perasaan, tapi juga banyak perasaan.

Lalu Narga kembali mendongak, menatap perempuan cantik di hadapannya yang ternyata belum ingin bergerak dari tempatnya. “Kalau gitu, biarin gue bikin lo berkewajiban menjelaskan itu ke gue,” ucapnya dengan lugas.

Kiara diam. Dia sudah tahu maksudnya.

“Respons gue,” sambung Narga. “Gue mau deketin lo, bikin lo suka sama gue, bikin lo jatuh cinta sama gue, bikin lo jadi milik gue. Gue mau lo ninggalin laki-laki itu, buang laki-laki itu.”

“Narga—”

“Kak, lo sadar nggak sih apa yang lo lakuin ini salah?” potongnya. “Gue yakin, lo sadar banget. Tapi kenapa? Kenapa tetep lo lakuin? Kenapa tetep lo jalanin?”

Tak ada kalimat yang bisa Kiara lakukan untuk menjawab pertanyaan itu. Dia memilih bungkam.

“Lo suka sama laki-laki itu, Kak?” tanya Narga lagi. “Dia jelek, gendut, udah tua. Mending sama gue. Gue ganteng, tinggi semampai, nggak akan bikin lo malu kalau diajak kondangan, dan gue masih muda.”

Seharusnya Kiara tertawa, tapi dia hanya diam.

“Ya …, gue cuma barista sih, beda sama laki-laki itu yang … punya jabatan bagus di perusahaan. Tapi gue nggak bikin lo kelaperan kalau kita lagi jalan bareng, gue bakal tetep bayarin makan dan tiket nonton. Gue bakal beliin lo hadiah juga. Gue bakal bikin lo bahagia—”

“Lo nggak bisa,” kali ini Kiara yang memotong. “Lo nggak akan bisa bikin gue bahagia. Nggak bisa ….” Terdengar putus asa.

“Gue bisa.”

“Nggak. Nggak ada yang bisa bahagiain gue.”

“Biar gue jadi yang pertama kalau gitu,” balas Narga cepat. Sorot matanya terlihat begitu serius, begitu bersungguh-sungguh dalam mengatakan hal itu.

Kiara menatapnya, nyaris terbuai kalau saja tidak dengan cepat sadar diri bahwa memang tidak pernah ada yang bisa membuatnya bahagia. “Nggak usah terlalu percaya diri.” Dia hendak pergi, namun Narga kembali menahannya, membuat pergelangan tangannya kembali digenggam oleh lelaki itu.

“Gue tahu, lo pasti punya alasan kenapa sampai mau melakukan ini semua, sampai sejauh ini. Tapi jadiin gue juga alasan kenapa lo harus berhenti melakukan ini semua, even udah sejauh ini. Berhenti untuk kehidupan yang lebih baik, yang nggak menyakiti banyak orang.”

“Kalau menyakiti banyak orang bisa bikin gue nggak tersakiti, gue bakal tetep melakukannya.” Kiara nyaris menangis, dia belum pernah sejujur itu.

“Gue bakal bikin lo nggak tersakiti tanpa harus menyakiti orang lain. Gue!”

“Lo nggak akan bisa!” suara Kiara ikut meninggi.

“Makanya, biarin gue nyoba. Izinkan gue untuk mencoba bikin lo bahagia. Respons gue, jangan abaikan gue.”

Kiara menatap Narga cukup dalam. “Lo yang bakal tersakiti, lo yang nggak akan bahagia.”

“Nggak ada yang tahu kalau belum dicoba.” Ada satu hal yang pasti ketika Narga berhasil menatap Kiara cukup lama seperti sekarang, tidak malu-malu dan ragu-ragu seperti sebelumnya, bahwa mungkin yang dikatakan Gladys benar, perempuan itu juga tahu, Kiara tidak benar-benar bahagia dengan hubungan gila yang dijalaninya, dengan keputusan sinting yang diambilnya. Perempuan itu punya alasan cukup dalam yang membuatnya terpaksa mengambil keputusan tersebut sampai membuatnya terlihat tertekan.

Untuk satu alasan, Narga lega. Setidaknya Kaira tidak benar-benar menikmati perannya menjadi seorang racun.

“Satu bulan,” ucap Narga lagi. “Biarin gue coba dalam waktu satu bulan. Buat deketin lo, bahagiain lo, bikin lo ninggalin cowok itu dan jadi milik gue. Satu bulan.”

“Satu minggu,” tawar Kiara.

“Mana bisa!?” Narga protes.

“Katanya bisa.”

“Kalau seminggu ya nggak bisa lha. Minimal sebulan.” Dia cemberut. “Gue bukan lagi deketin jomblo ngenes, tapi ….”

“Cewek gila yang lagi ngejalanin hubungan kotor sama orang lain,” sambung Kiara saat Narga tak sanggup untuk melanjutkan.

Narga mengerjap.

“Oke, satu bulan.”

Lelaki itu tersenyum.

“Kalau lo gagal, pergi jauh-jauh dari hidup gue, jangan pernah muncul lagi di hidup gue, jangan ganggu hidup gue.”

Dia ingin protes, tapi memilih bungkam. Tak terbayang bagaimana dia tidak melihat kakak cantiknya itu setelah ini. Namun ada sesuatu yang sangat menyenangkan menanti jika dia berhasil melakukannya. Narga tak sabar untuk mencapai hal itu. “Kalau gue berhasil?” tanyanya.

Kiara bergumam panjang, bingung mau jawab apa.

“Kalau gue berhasil, jangan sekali-kali lo balik sama cowok itu, atau cari cowok lain. Karena pada saat itu, cowok lo cuma gue. Gue bakal jadi cowok lo.”

Kiara mendengus, tersenyum kecil.

Dan senyum lebar Narga lakukan. Dia melangkah lebih dekat sampai Kiara benar-benar merapatkan punggungnya ke dinding. “Jangan ngehindarin gue,” katanya. “Jangan curang. Kita harus bermain sehat.”

“Lo yang harus hati-hati,” balas Kiara. “Walaupun gila, gue tetep cewek yang lagi ngejalin hubungan sama orang lain. Lo harus hati-hati. Lebih hati-hati dari cara bermain gue.”

“Gimana caranya lo bermain? Kasih tahu gue, biar gue bisa perbaiki.”

“Gue—” Kiara mematung seketika saat dirasa Narga semakin dekat dengannya. Hidung mereka nyaris bersinggungan. Dia bahkan bisa merasakan napas halus dan berat Narga dari jarak dekat.

“Kalau gue maunya main ugal-ugalan, gimana?” tanya Narga, kepalanya berubah miring, bibirnya dibuat sejajar dengan bibir Kiara, membuat perempuan itu semakin tak bisa bergerak dan entah mengapa seolah tak punya kekuatan untuk mendorong Narga menjauh.

Kiara masih belum bisa mengucapkan sesuatu, kini dia menahan napasnya.

“Gue bakal cium lo,” ujar Narga, dia semakin mendekat. Namun berhenti saat jarak mereka benar-benar hanya tinggal beberapa inci saja. Hanya dengan satu gerakan kecil, dia sudah berhasil menyapu bibir Kiara, tapi Narga tak melakukannya. “Gue bakal cium lo kalau gue udah berhasil bikin lo jatuh cinta sama gue,” sambungnya. “Dan kalau udah tiba waktunya, perasaan lo berubah sama gue, kasih tahu gue, pinta gue buat cium lo, gue bakal cium lo saat itu juga. Atau mau sekarang—”

Ketika itu Kiara membawa kembali kekuatan penuhnya. Dia mendorong tubuh Narga sampai lelaki itu mundur beberapa langkah menjauh darinya. Dan tanpa mengatakan apa pun lagi, Kiara memilih pergi dari sana.

“Inget kesepakatan kita!” teriak Narga sebelum perempuan itu benar-benar menjauh darinya. Dan setelahnya Narga membuang napas berkali-kali seperti orang terengah yang baru saja melakukan lari marathon. Memegang dadanya yang jantungnya berdetak gila-gilaan. Kemudian tersenyum, memuji dirinya sendiri bahwa meski gugup dan keberaniannya yang entah datang dari mana, akhirnya dia bisa menyampaikan perasaan itu, walau dengan sedikit amarah dan pemaksaan. Tapi itu baik.

Narga hanya berharap hasilnya juga baik.

— 75


Meski bukan yang pertama kali datang ke kostan Gladys, tapi ini yang pertama kali bagi Narga masuk ke dalam kamar perempuan itu.

Kostan Reza Rahardian bukan tipe kostan banyak aturan yang menyebalkan. Boleh bawa masuk siapa saja, asal tahu waktu, tahu batasan, dan tentu saja tahu diri untuk tidak membuat keributan. Namun selama ini, dari dua penghuninya—Kiara dan Gladys, mereka tak pernah sekalipun mengundang teman atau pacar untuk datang apalagi sampai menginap. Bahkan sejak awal kemunculannya, Reza atau Idah tak pernah melihat Kiara bersama orang lain datang ke kostan, pun tidak dengan keluarganya.

Malam ini, Narga menjadi satu-satunya orang selain keluarga Gladys yang masuk ke kamar perempuan itu setelah dis kost di sana.

Karena sudah beberapa kali mengantar Gladys pulang, Idah yang kebetulan sedang berada di depan rumahnya, menyapa singkat Narga yang datang dengan motornya. Lelaki itu juga menyapa ramah, bertanya apa Gladys ada di kostan atau tidak, dan minta izin untuk masuk.

Setelah diizinkan dan diberitahu di mana letak kamar Gladys, Narga bergegas naik ke lantai atas, menggelar pintu kamar itu sampai sang penghuninya keluar.

“Berisik, Setan!” umpat Gladys saat melihat Narga berdiri di depan pintu kamarnya. Tanpa mempersilakan, lelaki itu begitu saja masuk ke dalam. “Lo mau apa sih?” tanyanya pada Narga yang semula hendak langsung ngomel tapi teralihkan pada pelbagai benda yang ada di kamar perempuan itu.

“Lo maniak bulan, ya?” Narga bertanya ketika matanya menangkap pelbagai aksesoris berbentuk bulan di setiap sudut kamar tersebut.

Stiker dinding berbentuk bulan, bantal berbentuk bulan, lampu meja berbentuk bulan, pernak-pernik berbentuk bulan yang tersusun rapi di atas meja, poster besar bergambar bulan, bahkan Gladys punya teropong jarak jauh yang dia gunakan untuk melihat bukan dari dalam kamarnya melalui jendela, atau kalau tak terlihat dari kamarnya, dia akan keluar dan naik ke rooftop untuk melihat benda luar angkasa tersebut.

“Cita-cita lo terbang ke bulan atau gimana?” Narga berjalan ke meja belajar, dan ketika tangannya baru akan menyentuh sebuah foto lama yang menempel di sana, Gladys langsung menghadangnya, dia duduk di meja tersebut.

“Kalau iya, kenapa?” Gladys melipat kedua tangannya di depan dada, menyenangkan kakinya, menggoyang-goyangkannya salah satunya sampai hampir menyentuh selangkangan Narga yang berdiri tepat di depannya, membuat lelaki itu mundur tanpa disuruh.

“Kenapa lo nggak kuliah astronomi aja kalau gitu?”

“Jadi ahli astronomi pun belum tentu bisa bawa gue ke bulan.”

“Ya, tapi kan seenggaknya—”

“Lo mau ngapain sih ke sini?” potong Gladys cepat.

“Kakak Cantik ada?”

“Mana gue tahu. Gue nggak peduli dia ada atau nggak, bukan urusan gue.”

“Dys, please ….” Narga agak memohon. “Lo udah tahu soal ini, kan?”

“Tahu soal apa, sih?”

“Dys, soal Kakak Cantik sama Pak Rion Lantai 2!?” suara Narga agak meninggi.

“Berisi, bego! Di sini dilarang berisik. Di depan kamar gue noh, ada Pak Guru, dia suka marah-marah kalau ada orang berisik. Mau lo diomelin sama Pak Guru?”

Narga mendesah. “Bisa nggak lo jujur aja sama gue? Kalau kemarin-kemarin tuh pas lo nyuruh gue deketin Kakak Cantik, lo udah tahu soal hubungannya dia. Dan lo pengin gue ngedeketin dia biar dia udahan sama Pak Rion Lantai 2.”

“Kalau iya, lo mau apa?”

Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gerak kasar. “Kenapa lo nggak bilang sama gue, sih?”

“Emangnya bakal ada yang berubah?” suara Gladys pun ikut meninggi. “Mau lo tahu dari awal atau nggak, nggak akan ada yang berubah. Mbak Kiul tetep pacaran sampai sekarang sama Pak Rion. Dan lo nggak jelas mau deketin dia atau nggak.”

“Ya, tapi—”

“Jujur aja, gue juga nggak suka. Gue benci, gue jijik, gue sebel banget sama Mbak Kiul pas baru tahu dia jadi simpenan orang yang udah nikah. Tapi gue bisa apa? Gue nyuruh dia buat berhenti pun dia nggak mungkin denger, yang ada gue malah dicaci maki karena ngurusin urusan dia. Makanya gue nyuruh lo. Gue nyuruh lo buat deketin Mbak Kiul bener-bener, bikin dia jatuh cinta sama lo, bikin dia lupa sama Pak Rion, bikin dia tobat. Karena kalau lo berhasil, lo bisa nyelametin satu keluarga dari kehancuran, lo bisa nyelametin satu orang dari kebusukan. Dan lo bisa nyelametin ….” Gladys tak melanjutkan kalimatnya, matanya tiba-tiba perih, dadanya sesak, bernapas terasa sulit dilakukan ketika dia mengingat satu nama dan satu kejadian.

“Dys ….”

“Lo dateng ke sini, berarti lo udah tahu perasaan kayak apa yang lo punya buat Mbak Kiul,” suara Gladys sudah lebih pelan.

“Tapi gue takut, Dys. Gimana kalau gue gagal?”

“Ya, makanya lo serius!”

Narga tiba-tiba tertawa, membuat Gladys bingung. “Lucu nggak sih? Lo nyuruh gue ngerebut pacar orang yang ngerebut suami orang.”

Gladys masih bingung.

“Ah, lemot banget lu!”

“Brengsek ya lu!”

“Dys, sekarang jujur sama gue—”

“Gue disuruh jujur mulu! Lo pikir gue lagi confess cinta ke orang apa?”

Lelaki itu meringis. “Kenapa lo pengin banget gue bikin Kakak Cantik lepas dari Pak Rion Lantai 2? Maksud gue, lo nggak kelihatan kayak orang yang peduli soal itu. Tapi kenapa lo peduli banget soal ini?”

Gladys diam. Matanya tertuju pada poster bulan di belakang tubuh Narga yang duduk di sisi tempat tidurnya. Narga jadi ikut menoleh ke sana, tapi dia tak mengerti.

“Nggak penting alesan gue apa,” balas Gladys pada akhirnya. “Lagian, lo nggak mau Mbak Kiul berubah dan akhirnya jadi milik lo?”

“Ya, pengin sih ….” Narga menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. “Tapi, gue juga penasaran deh, kira-kira Kakak Cantik gue itu beneran suka sama Pak Rion Lantai 2 atau emang ada maksud lain, ya? Soalnya gue denger-denger dari orang, banyak yang bilang kalau Kakak Cantik cuma ngincer duit sama jabatan aja, tapi nggak bener-bener suka.”

“Nah, itu bagus. Makin gampang bikin Mbak Kiul jatuh cinta sama lo, soalnya dia nggak suka sama Pak Rion.”

“Tapi masalahnya, gue nggak punya banyak uang kayak Pak Rion Lantai 2, Dys. Apalagi jabatan bagus.”

Gladys mendesah. “Itu tantangannya. Buktiin dong kalau cinta itu nggak memandang harta, dan cinta itu buta. Kalau Mbak Kiul udah klepek-klepek sama lo, dia bakal ninggalin Pak Rion dengan segudang hartanya, dan milih hidup sama lo. Ya …, kalau buat penampilan, lo lebih oke dari Pak Rion pastinya. Lo ngomong aja sama Mbak Kiul, lo lebih bisa diajak dan dipamerin pas kondangan, daripada Pak Rion karena statusnya harus sembunyi-sembunyi, belum lagi Pak Rion itu jelek!”

Narga tertawa.

“Gue nggak habis pikir, kok Mbak Kiul bisa sih tahan ciuman sama Pak Rion yang jelek!?” Perempuan itu bergidik.

Mendengar ucapan itu membuat Narga bangkit lagi dan kembali duduk, dia menatap Gladys serius. “Ngebayangin mereka ciuman bikin gue sebel, anjir!”

“Nah, bayangin terus! Bayangin terus! Bayangin kalau ternyata mereka nggak cuma ciuman, tapi tidur bareng. Bayangin!!! Lo harus marah! Lo harus penuh amarah! Biar semangat buat dapetin Mbak Kiul!” Tawa Gladys pecah seketika melihat wajah kesal Narga.

“Tapi, Dys—”

“Apalagi sih, buset!? Lo dari tadi tapi-tapi mulu perasaan.”

Narga mendengus. “Gue pernah baca kutipan gitu, katanya selingkuh itu penyakit, susah diobatinnya.”

“Emangnya Mbak Kiul selingkuh? Dia yang jadi selingkuhan. Beda.”

“Sama aja intinya. Suka sama punya orang, cuma beda sisi aja.”

“Iya, sih ….”

“Gimana kalau gue berhasil dapetin Kakak Cantik, tapi setelah itu dia selingkuh dari gue?”

Gladys membuang napas berat. “Nargay, gue nggak cuma minta lo buat bikin Mbak Kiul jatuh cinta sama lo, tapi bikin dia tobat. Lo ngerti tobat nggak?”

Narga diam.

“Gue juga pernah baca kutipan, 'ketemu lo, gue berhenti nakal'. NAH! JADIIN ITU LO! LO HARUS BIKIN DIA BERHENTI NAKAL!!!” suara Gladys menggema ke seluruh ruangan, sampai membuat Narga tutup telinga.

“Berisik, anjing! Lo bilang tadi di sini nggak boleh berisik. Bentar lagi Pak Jidan ngetok pintu lo, gue nggak tanggung jawab.”

“Tenang, Pak Guru jinak kalau sama gue.”

“Najis.”

“Udah, sana lo pergi! Gue mau lanjut nonton drakor. Lo ganggu gue aja deh.”

Narga berdicih. Ogah-ogahan dia bangkit dan berjalan ke arah pintu. Namun sebelum itu, Gladys kembali berbicara.

“Gue nggak tahu lo mikir gini juga atau nggak, tapi gue sama sekali nggak pernah berpikir kalau Mbak Kiul suka sama Pak Rion—maksud gue … cinta.”

Lelaki itu menatap serius.

“Mungkin orang-orang bener soal Mbak Kiul ngincer harta atau jabatan, tapi gue juga nggak yakin itu buat dirinya sendiri.”

“Maksudnya?”

“Gue nggak pernah lihat Mbak Kiul belanja hedon kayak ani-ani kebanyakan. Punya mobil, barang branded, ya … walaupun dia kayaknya anti makanan pinggir jalan kayak kita, tapi itu udah cukup bikin gue yakin ada alasan tersendiri kenapa Mbak Kiul ngelakuin hal ini.” Gladys membuka pintu, mempersilakan Narga untuk keluar.

Dan sebelum lelaki itu benar-benar pergi, dia berujar, “Dys, lo kayaknya harus berhenti sok cuek dan nggak peduli sama Kakak Cantik gue. Soalnya, lo tuh … sebenernya sebegitu pedulinya sama dia.” Narga tersenyum, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutnya bagian depan Gladys.

Berbarengan dengan itu, pintu kamar depan terbuka, Jidan melihat apa yang baru saja Narga lakukan. Dia menatap canggung, ingin kembali masuk tapi telanjur bersitatap dengan keduanya.

“Nggak usah sok tahu tentang gue!” Gladys menepis tangan Narga yang masih ada di atas kepalanya, lalu menendang pelan bokong lelaki itu sampai mengaduh. “Pergi sana!”

“Kampret ya lu, Dys!”

Gladys menjulurkan lidahnya.

Narga ingin langsung pergi, tapi tatapannya kembali bertabrakan dengan Jidan, membuatnya tersenyum canggung dan menyapa singkat sebelum mendekat untuk berbisik, “Pak Jidan, nggak stres tinggal deket orang gila?” Dia melirik ke arah Galdys.

Jidan tak menjawab, dia hanya menatap Gladys dalam diam.

“Kalau saya jadi Pak Jidan, saya udah masuk rumah sakit jiwa gara-gara ini bocah setan,” sambung Narga lagi. “Kalau Pak Jidan diapa-apain, teriak aja nggak apa-apa, atau langsung lapor polisi. Yang kayak gini pantes dilaporin.”

“Brengsek ya lo!” Gladys baru akan menghampiri Narga saat lelaki itu berlari menghindari ke belakang tubuh Jidan.

Narga menjulurkan lidahnya, meledek.

“Sini nggak lo!” Gladys bergerak ke kanan dan ke kiri di depan tubuh Jidan untuk mencari celah menggapai Narga yang kelihatan mudah, tapi ternyata sulit. “Pak Guru! Minggir! Pak Guru, minggir!!!!” seru perempuan itu.

Tapi apa yang bisa Jidan lakukan saat di depannya ada Gladys dan di belakangnya ada Narga? Dia tak bisa bergerak. Dua orang itu seolah mengepungnya. Perlahan tapi pasti, kepalanya mulai pening. Dia mulai stres.

“Pak Jidan, saya mau pergi. Dalam itungan ke tiga, Pak Jidan pegangin Gladys, oke?” bisik Narga pelan.

“Nggak mau,” balas Jidan.

“Please ….”

“Nggak.”

“Pokoknya oke.”

“Ngomongin apa lo berdua?” tanya Gladys dengan tatapan tajam.

“Kepo.” Narga menjulurkan lidahnya lagi. “Urusan lelaki.”

“Jangan macem-macem ya lo! Jangan ngeracunin Pak Guru sama dunia perbokepan lo yang menjijikan itu.”

“Pak Jidan, siap-siap,” bisik Narga lagi, tak mempedulikan ucapan Gladys.

Jidan tak menjawab, menatap Gladys yang tepat di depan matanya.

“Satu …, dua …, TIGA!!!” Narga berlari sebisanya untuk pergi dari sana meninggalkan keduanya, dan Jidan …, meski menolak, tepat dalam hitungan ketiga, dia menarik tangan Gladys yang baru akan mengejar Narga, dan secara tak sengaja membawanya ke dalam pelukannya.

Gladys awalnya berontak, namun saat sadar dia berada di pelukan Jidan, tangannya tanpa menunggu aba-aba langsung melingkar di tubuh lelaki itu, dan wajahnya dengan senang hati tenggelam di dada lelaki itu. “Eum …, Pak Guru wangi deh,” ujarnya saat menghirup aroma tubuh Jidan yang wangi.

Jidan menahan napas, memejamkan mata, berusaha melepaskan tangan Gladys yang melingkari tubuhnya, namun sangat sulit. Jari-jemari itu saling bertaut di punggungnya, seolah mengunci posisi. “Gadis ….” Dia masih berusaha untuk melepaskan, tapi saat itu juga Gladys berusaha mempertahankan posisinya.

Sekarang, tidak peduli Narga sudah pergi atau nyungsep di ujung tangga, Gladys tetap harus mempertahankan posisi memeluk itu. Kapan lagi bisa begitu kalau bukan saat ini?

“Pak Guru mau ke mana? Kok wangi banget sih malem-malem gini?” Dia mendongak tanpa melepaskan tautan tangannya.

Jidan menunduk sebelum buru-buru menoleh ke samping karena wajahnya mereka terasa begitu dekat. “Gadis, lepasin ….”

“Nggak. Jawab dulu pertanyaan gue. Mau ke mana?” Gladys kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Jidan. “Mau ketemu pacar, ya? Cieeee punya pacar.”

“Saya mau beli makan ke depan.”

“Udah malem gini baru mau cari makan? Emangnya masih ada yang buka?”

“Ya …, nggak tahu. Makanya mau cari.”

“Mau gue masakin aja nggak?” Gladys kembali mendongak dan Jidan menunduk, tapi sedetik setelahnya langsung menoleh lagi.

“Nggak usah. Saya mau cari aja.”

“Bener? Masakan gue enak lho.”

“Nggak ada yang bilang masakan kamu nggak enak.”

“Jadi, mau?” Gladys mengerjap centil.

“Iya, tapi … ini … lepasin dulu ….” Jidan masih berusaha kuat untuk melepaskan tubuh Gladys darinya. Dia ingin mengeluarkan seluruh tenaganya tapi masih sedikit waras untuk tidak sampai menyakiti perempuan itu.

“Nggak mau ….” Gladys kembali menempelkan telinganya di dada Jidan, kembali mendengarkan degup jantung lelaki itu yang semula pelan dan teratur, berubah menjadi lebih keras dan cepat. Dia terkikik. “Pak Guru deg-degan di deket gue, ya?”

“Gadis …, tolong ….”

“Cium dulu dong guenya.” Tiba-tiba Gladys berjinjit dan memajukan bibirnya ke depan wajah Jidan.

Lelaki itu panik. Dia masih belum bisa melepaskan kaitan tangan Gladys, malah kini muncul masalah baru. Dia terus menggeleng, kepalanya bergerak mundur seiring dengan bibir Gladys yang mendekat, dan saat hanya tinggal sedikit lagi bibir itu menyentuh bibirnya, Jidan terpaksa mendorong Gladys dengan kekuatan penuh sampai akhirnya pelukan itu terlepas dan Gladys terpelanting jauh.

“AW!!!” seru kencang perempuan itu saat dalam sekejap mata, bokongnya sudah menyentuh keras dan dinginnya lantai akibat dorongan Jidan padanya. “ANJING YA LO!” tunjuknya pada Jidan sambil terus mengusap-usap bokongnya sendiri.

“Gadis, saya ….” Jidan berusaha menghampiri dengan raut panik.

Gladys masih berusaha menggerakkan bokongnya yang rasanya begitu kebas untuk sesaat. Dia mengusap-usapnya seraya terus meringis, lalu memberi tatapan menyalak pada Jidan yang membuat lelaki itu seketika meringis takut dan khawatir.

“Bantuin gue berdiri.” Dia menjulurkan kedua tangannya dan Jidan tanpa pikir panjang meraihnya, membantunya untuk berdiri.

“Awwww ….” Gladys masih terus meringis, kembali mengusap-usap bokongnya.

“Gadis, kami nggak apa-apa—”

“Nggak apa-apa … nggak apa-apa,” Gladys mencibir. “Nggak lihat apa ini pantat gue kayak yang bolong.”

“Pantat kan emang bolong ….”

“BUKAN ITU MAKSUD GUE!!!” bentak Gladys membuat Jidan terperanjat dan memejamkan mata takut. “Dasar GuSi!”

“Gusi? Gigi maksudnya?”

“GURU SINTING!”

“Saya minta maaf …. Saya nggak maksud ….” Jidan melirik ke arah bokong Gladys yang masih diusap-usap oleh tangan. Tapi tatapan nyalang Gladys langsung membuatnya menghindar.

“Kalau habis ini gue nggak bisa berak, gue laporin polisi.”

“Tapi kayaknya nggak ada korelasinya deh ….”

“DIEM!”

“Iya, maaf ….”

“Hhhhh …. Pantat gue jadi tepos, nggak semok mentok lagi,” gumamnya pelan, tapi masih bisa Jidan dengar.

“Gadis, saya minta maaf ….” Jidan menunduk dalam-dalam, melihat itu membuat Gladys kasihan.

“Jadi nggak nyari makan?” tanyanya.

“Hah?” Jidan mendongak, menatap Gladys dengan bingung. “Eum … saya kayaknya mau masak mi aja deh.”

“Keriting nanti itu usus kalau kebanyakan makan mi.”

“Nggak ada hubungannya—”

“DIEM!”

“Iya, maaf ….”

“Punya telur nggak?”

“Telur ayam?”

“Iya lha! Masa telur itu ….” Pandangan Gladys tertuju pada selangkangan Jidan, dia tersenyum miring, lali saat Jidan menyadarinya, tangannya secara otomatis bergerak menutupi bagian tersebut. Gladys tertawa.

“Jangan macem-macem,” ujar Jidan.

“Pak Guru aja udah macem-macemin gue. Nih, buktinya pantat gue panas gini, perih. Kasar banget sih mainnya.”

Kenapa rasanya ada yang salah dengan kalimat itu? Jidan ingin protes, tapi Gladys kembali berbicara.

“Mana sini telurnya, gue buatan sesuatu,” katanya. “Telur ayam, ya. Bukan telur burung.” Dia terkikik lagi.

“Tapi ayam sama burung sama-sama unggas.”

“PAK GURU!” bentak Gladys. “Bisa nggak, nggak ngoreksi apa yang gue ucapin. Nggak gue bikinin makanan nih.”

“Saya kan nggak minta.”

“Ya udah, gue balik aja ke kamar. Mau ngademin pantat sambil bikin cuitan di Twitter, ada guru yang barusan melakukan kekerasan pantat sama seorang mahasiswi cantik, seksi, dan hot.”

“Gadis ….” Jidan meraih tangan Gladys saat perempuan itu hendak melangkah pergi meninggalkannya, lalu melepaskan secepat kilat saat Gladys sudah kembali menatapnya. “Bentar, saya ambil dulu telurnya. Tinggal sisa dua kayaknya.”

“Nah, bagus. Bawa ke sini semua.”

“Kamu di sini aja,” ujar Jidan ketika Gladys ingin ikut masuk ke kamarnya. Perempuan itu langsung tersenyum bete. Dia bahkan memberi gesture hendak memukul saat pintu di depannya tertutup kembali ketika Jidan sudah masuk ke kamar tersebut.

Setelah Jidan memberi dua butir telur ayam terakhir yang dimilikinya pada Gladys, perempuan itu menuruni anak tangga sembari terus mengusap bokongnya menggunakan telur tersebut dengan Jidan mengekor di belakangnya.

“Emang ada nasi?” tanya Jidan.

“Ada, sisa gue masak sore tadi.”

“Oh ….” Saat pertama pindah, Reza dan Idah memberitahu Jidan untuk tidak terlalu sering beli nasi di luar, lebih baik beli lauknya saja dan masak nasi sendiri di kostan. Karena Idah, selaku pemilik kost, suka memberi sekarung beras untuk penghuni kostnya yang termasuk anaknya sendiri. Bahkan setelah tahu Gladys pintar masak, Idah beberapa kali memberikan bahan masakan dan juga bumbu untuk Gladys masak dan dimakan seluruh penghuni kost.

“Suka tomat nggak?” tanya Gladys ketika membuka kulkas untuk melihat apa yang sekiranya bisa dia sajikan dengan dua butir telur milik Jidan—telur ayam maksudnya.

“Tomat? Suka.”

“Gue bikinin telur tomat aja kalau gitu, ya? Udah pernah makan belum?”

Jidan menggeleng.

Gladys membuang napas panjang. “Pak Guru umurnya berapa, sih? Masa belum pernah coba telur tomat. Ini makanan simple yang enak banget. Coba sekarang sebutin makanan apa aja yang belum pernah dicoba, biar gue bantu masakin.”

Tepat saat itu, Reza muncul membawa kotak besar di tangannya, menghampiri dua orang yang sedang berada di dapur. “Dys,” panggilnya seraya menggoyang-goyangkan kotak tersebut.

“Lho, ada paket?”

“Ya, mana gue tahu. Lo yang belanja. Emangnya lo nggak ngecek?”

“Gue nggak ada belanja apa-apa tuh.” Gladys menerima paket tersebut dan melihat resi yang tertempel di atasnya.

“Tapi di situ nama penerimaan Mak Idah dalam kurung Gladys. Punya lo, kan?”

“Oh …, iya, punya gue.” Gladys nyengir. “Paket manual. Bukan e-commerce, jadi nggak tahu.”

“Yeuu …, udah nyampe dari siang kata Mak juga.”

“Thanks ya, Bang. Nanti gue kasih Mak kalau udah jadi.”

“Wihhhh …, paket apaan tuh.”

“Bahan kue.” Gladys berbinar saat menatap paket tersebut.

“Oh, pantes Mak tadi bilang lo pinjem oven.”

Gladys terkikik. “Listrik bulan ini agak mahal sorry, ya ….” Dia menatap dua lelaki di hadapannya.

“Paling Kia ngomel.” Reza terkekeh. “Kalau gue sih yang penting stok kue aman.”

“Tenang …,” Gladys berseru saat Reza mulai melangkah menjauh.

“Za, udah makan?” tanya Jidan. “Gadis mau bikin tomat telur katanya.”

“Telur tomat,” ralat Gladys. “Udah nyebut nama gue salah, nama makanan juga salah.”

Jidan hanya mendengus.

“Udah, tadi,” jawabnya setelah terkekeh. “Eh, Dys. Temen lo belum pulang?”

“Temen?”

“Iya, temen lo yang cowok itu. Tadi Mak bilang ada temen lo yang cowok yang suka nganterin lo itu. Gue pikir Mas Rion, tapi ternyata bawa motor.”

“Oh, si setan. Udah kok.”

“Itu, motornya masih di luar.”

“Hah?” Gladys langsung bergerak ke luar untuk memastikan bahwa memang benar, motor Narga masih ada di depan.

“Mungkin dia lupa bawa motornya,” ujar Jidan yang ikut keluar juga.

“Gue tahu dia sinting dan agak bego sih, tapi ….” Mulutnya langsung diam terkunci saat Kiara masuk ke dalam melewati pintu gerbang dengan raut wajah yang sulit ditebak, melewati dua orang yang berdiri di ambang pintu tanpa mengatakan apa pun.

Lalu tak lama, disusul Narga setelahnya. Terkejut saat melihat dua orang itu menatapnya, lalu tersenyum kikuk.

“Eh, Gladys …,” katanya dengan senyum canggung. “Eh, Pak Jidan ….” Lalu menatap Jidan dengan nyengir pahit.

Gladys tak mengatakan apa pun saat Narga naik ke motornya, memakai helm, dan menyalakan mesin motor. Hanya terus menatap tajam seraya melipat tangan di atas dada, membuat Narga jadi serba salah.

“Mari, Pak …,” katanya pada Jidan sebelum pergi keluar dari halaman kostan.

“Nggak jelasin apa-apa ke gue, gue doain titit lo nggak pernah berdiri lagi!” seru Gladys dengan lantang.

Dan yang terkejut bukan hanya Narga, tapi Jidan yang berdiri tepat di sampingnya. Dia kembali menutupi selangkangannya dengan tangan sebelum diam-diam pergi dari sana dna kembali ke dapur.

— 35


Di persimpangan jalan menuju gang di mana kostan berada, Gladys sudah berdiri menunggu jemputannya, yaitu Rion. Rion Lantai 7 yang katanya akan datang lebih pagi, tapi terhitung sejak sepuluh menit dia menunggu di sana, Rion tak kunjung datang. Bukan karena lelaki itu sudah pergi meninggalkannya—Gladys percaya, Rion bukan tipe orang yang seperti itu—tapi karena …, ya, memang belum datang saja. Toh, Rion tak membombardirnya dengan pesan teks seperti biasa jika datang lebih dulu san Gladys belum muncul.

Jika biasanya dia sendiri, kali ini ada Reza yang menemani. Tiba-tiba saja lelaki itu saat sedang menyantap nasi goreng buatannya berujar, “Dys, lo berangkat sama Mas Rion, kan?”

Gladys yang sedang memasukkan nasi goreng ke dalam kotak bekal untuk Rion dan Narga menoleh ke arah Reza dengan bingung, kemudian teringat semalam Rion meminta kontak Reza untuk menanyakan sesuatu. Pasti karena itu, pikirnya.

“Gue ikut, ya. Nebeng sekalian.” Reza nyengir. Ya, walaupun gedung kecamatan dan kantor tempat Gladys magang searah, tapi perlu memutar sedikit kalau Rion benar-benar akan mengantar Reza ke gedung kecamatan nantinya.

“Ya …, ngapain ngomong sama gue. Orang gue juga nebeng.”

“Gue ngasih tahu, biar ke depannya bareng.”

“Udah ngomong sama Mas Rion?”

“Belum?”

“Lah!?” Gladys agak melongo. “Kalau Mas Rion nggak mau nganterin ke gedung kecamatan, gimana?”

“Mau lah pasti.”

“Pede banget, dih. Belum tentu juga. Siapa tahu di jalan kita kejebak macet terus nggak punya banyak waktu nganterin lo.”

Reza menggaruk tengkuknya. “Ya udah lah, gampang. Gue bisa sambung naik angkot nanti.”

“Emang mau ngapain, sih? Tumben banget nggak bawa motor sendiri. Mobil lo juga nganggur terus noh.”

“Ada yang mau gue omongin, penting, harus ngomong langsung.”

Gladys mendekat dengan wajah penasaran, meninggalkan sejenak nasi gorengnya. “Ada apa, Bang? Mas Rion beneran minta dicariin istri ke lo?”

Dengan jari telunjuknya, Reza menempelkannya ke kening Gladys sebelum mendorongnya menjauh, karena rasanya terlalu dekat dengan wajahnya. “Kepo ….” Dia menyeringai. “Lagian, emangnya lo doang yang pengin irit ongkos? Gue juga pengin irit bensin kali.”

“Gaji pegawai kecamatan berapa, sih? Sama upah magang gue aja pasti jauh lebih gede lo, belum lagi bonus-bonus dan uang pelicin dari sana-sani.” Gladys membalas dengan seringai yang sama, membuat Reza tak tahan ingin menjitak kepalanya. “AW!” perempuan itu mengaduh seraya memegang keningnya yang rasanya sangat perih.

“Sembarangan lu kalau ngomong. Uang pelicin … uang pelicin …. Lo pikir duitnya disetrika segala pakai pelicin?”

“Ya, terus apa dong penasaran nih? Lo baru juga chatting-an semalem udah langsung minta nebeng aja. Nggak tahu malu!” Gladys kembali berjalan menuju nasi gorengnya. Menutup kotak bekal itu dan memasukkannya masing-masing ke dalam kantong plastik bersama serta sendok dan garpunya.

Ngomong-ngomong, Gladys kelupaan membawakan garpu untuk Jidan. Tapi tak apa, Gladys berpikir penampilan Jidan tak seperti orang kebanyakan yang biasa makan pakai sendok dan garpu, jadi tak masalah.

“Pembicaraan orang dewasa, bocah nggak perlu tahu,” Reza sembari bangkit dari tempat duduknya setelah menghabiskan sepiring nasi goreng yang selalu enak itu meledek Gladys saat berjalan menuju wastafel untuk menaruh piring kotor dan mencucinya—harus segera dicuci kalau tidak ingin notifikasi group chat kostan tiba-tiba muncul karena Kiara memperingatkan soal alat makan bekas pakai harus langsung dicuci.

“Gue bukan bocah!!!”

Ya, meski sudah protes, sampai Rion datang dan memasukkan mereka ke kursi belakang, Reza tak kunjung memberitahu alasan mengapa dia pagi ini ikut nebeng dengan Rion.

Sorry ya, Mas, nggak ngomong dulu.” Reza nyengir. “Kalau nggak mau nganterin sampai kantor, nggak apa-apa kok. Gue bisa nyambung naik angkot bentar.”

“Iya, nggak apa-apa,” jawab Rion seraya melajukan kembali mobilnya. “Rui, ayo disapa dulu Om yang ini. Namanya Om Eza.”

Bocah perempuan yang sedang sibuk memainkan tablet itu menoleh ke belakang, menatap Reza sejenak untuk mendapat lambaian tangan canggung dari lelaki itu. “Halo, Om.”

“Hai ….” Reza meringis kecil, seketika membuat tawa Gladys menyembur dan Rion terkekeh di tempatnya.

“Ini anak kecil, Bang Eza. Lo kayak lihat monster deh,” komentar Gladys. “Rui udah sembuh?” dan dia memutuskan untuk mengambil alih.

“Aku masih pilek sama batuk, tapi Ayah paksa aku sekolah,” bocah itu memalingkan wajahnya dari sang ayah, sepertinya mereka memiliki perdebatan kecil pagi ini.

“Kan udah nggak demam, Rui. Kepalanya udah nggak pusing kayak kemarin, kan?” sang ayah melakukan pembelaan.

“Ya, tetep aja, Ayah. Aku ini masih sakit. Aku maunya tidur sambil nonton kartun, bukan sekolah!”

“Terus Ayah gimana? Masa Ayah nggak berangkat ke kantor lagi hari ini? Nanti kalau Ayah dipecat gara-gara nggak masuk-masuk, Ayah nggak bisa beliin kamu susu dan baju bagus lagi, semalem ngomongnya udah minta mainan baru.”

Perdebatan itu membuat Reza dan Gladys saling pandang dengan situasi canggung. Hingga akhirnya Gladys berusaha mengalihkan situasi dengan nasi goreng yang dibawanya.

“Mas, aku pagi tadi bikin nasi goreng buat lho. Udah sarapan belum?” Gladys menyodorkan kotak bekal terbungkus kantong plastik itu ke kursi depan.

Rion memberi senyuman. “Kebetulan banget, gue emang nggak sempet sarapan. Tadi cuma beli bubur buat sarapannya Rui doang.”

“Kalau gitu, ini dimakan ya, Mas.”

“Gue seneng nih ngasih tebengannya kalau sogokannya makanan enak.”

Gladys tertawa. “Nggak tiap hari, Mas. Boncos aku kalau bikin makanan buat orang tiap hari. Buat sendiri aja masih mendang-mending.”

“Bisa aja lo.”

“Tapi ya …, masih mending sih daripada nggak ada sama sekali.” Gladys melirik ke arah Reza. Dan Reza sadar akan tatapan itu.

“Apa?” tanya lelaki itu sewot. “Gue ikut naik ke sini karena emang ada yang mau diomongin sama Mas Rion, ya.”

“Ngomongin apa, Za?”

“Itu, Mas. Soal yang semalem—”

“Za,” potong Rion seraya memberi lirikan pada Reza dari kaca spion yang mengisyaratkan Rui di sampingnya.

“Oh, oke ….” Reza mengerti, akhirnya dia menunda pembicaraan sampai Rui sampai di daycare-nya dan Rion mengantarnya ke dalam.

Setelah Rion kembali dan mereka melanjutkan perjalanan, barulah pembahasan itu kembali dibuka.

“Kenapa, Za?” tanya Rion.

“Gue semalem langsung nanya sama orangnya, Mas. Langsung gue telepon. Terus gue jelasin lah maksud lo—”

“Mas Rion beneran minta dicariin istri sama Bang Eza!?” potong Gladys dengan suara hebohnya, menatap dua lelaki itu secara bergantian—setelah Rui turun, Gladys secara otomatis pindah ke kursi depan menggantikan Rui seperti biasanya, sebab Rion tidak mau terlihat seperti sopir pribadi yang sedang mengantarkan majikannya karena penumpang mobilnya duduk di belakang.

“Lo bisa diem dulu nggak?” Reza menatap tajam, tapi Gladys cengengesan lalu mendengus.

“Dia pengin banget sih, Mas,” Reza kembali menjelaskan. “Cuma katanya pengin ketemu sama anaknya dulu.”

Mata Gladys kembali melebar mendengar hal itu. “BENERAN, MAS!?” Dia menatap Rion dengan raut tak percaya, lengkap dengan suara hebohnya. “Kenapa Mas nggak minta aku aja buat jadi istri Mas?”

Saat Reza mendesah lelah, Rion terkekeh geli. “Emangnya lo mau sama duda anak satu kayak gue?”

Gladys tiba-tiba bertingkah centil, menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga sembari mengerjap aneh. “Kalau dudanya kayak Mas Rion sih …, aku mau kok. Apalagi duda kan … udah berpengalaman, ya …. Pasti lebih mantep lagi—”

“Apa yang mantep?! Apaan yang mantep?!” Di kursi belakang Reza heboh mengulurkan tangannya untuk membekap mulut Gladys, membungkam perempuan itu agar tak lebih banyak bicara. “Nih, mantep, nih! Mantep!!!” Dia benar-benar membekap mulut Gladys, membuat perempuan itu mengamuk di tempatnya hingga tak punya pilihan lain selain menyemburkan air liurnya.

“GLADYS?!!!!” teriak Reza seraya menjauhkan tangannya dari Gladys, menatap nanar telapak tangannya yang dihiasi air liur Gladys. “Sinting ya lo!”

“Memang,” perempuan itu meledek, menjulurkan lidahnya. “Makanya jangan macem-macem sama gue!” Dia mengabaikan rambutnya, lalu mengeluarkan cermin kecil dari tasnya untuk melihat tataan makeup-nya.

Rion hanya terkekeh. Sembari memberikan beberapa lembar tisu pada Reza, dia hanya geleng-geleng kepala. Meski di rumah sudah pusing dengan kerewelan Rui selama sakit beberapa hari ini, tapi keributan dalam mobil pagi ini justru malah menghiburnya. Selain Rui dan rekan kerjanya di kantor, Rion benar-benar tak punya orang lain untuk diajak bercanda atau sekadar membuat candaan di hadapannya yang membuatnya tertawa.

Jadi, mengenal Gladys yang heboh, berisik, cerewet, tapi suka membawakannya makanan enak buatan sendiri, benar-benar menghibur Rion. Sekarang, ditambah Reza yang sepertinya akan tambah membuat dunia ini tak pernah sepi. Rion mungkin harus bersorak.

“Kalau gue jadi Mas Rion, gue sih beneran ogah punya istri kayak lo. Dih cewek gila,” Reza masih menggerutu.

“Ya udah, maaf …. This is cegil. Cewek Gila.” Gladys terkekeh.

“Jadi, gimana, Mas? Lo mau kontaknya? Nanti biar gue kirimin.” Meski begitu Reza tetap harus melanjutkan pembicaraannya.

“Nggak usah. Lo atur tempat ketemuan aja, nanti biar langsung ketemuan,” balas Rion.

“Aku boleh ikut nggak, Mas? Mau lihat calon istrinya Mas Rion.” Gladys menatap Rion dengan sok sendu.

“Pertemuan ini khusus buat orang waras aja. Cegil dilarang ikut campur.” Reza menyeringai puas.

“Iya deh si paling coting.”

“Apaan coting?” Reza melirik penasaran. “Cowok tinggi?” Dia tersenyum percaya diri. “Ya, emang sih gue tinggi—”

“Cowok sinting,” potong Gladys sebelum menyemburkan tawa dengan sangat puas, dan Rion juga gagal menyembunyikan tawanya, membuat Reza menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan sebal.

***

Rion benar-benar baik mau mengemudi lebih jauh dan agak memutar untuk mengantarkan Reza lebih dulu ke gedung kecamatan. Padahal Gladys sudah berusaha agar Rion mau tega menurunkan Reza di pinggir jalan demi bisa melihat lelaki itu dengan seragam dinas kocekelatannya menyetop angkot jelek untuk menyambung perjalanan sampai kantor.

Dalam perjalanan menuju kantor mereka, Rion akhirnya menjelaskan maksud dari percakapannya dengan Reza, tentang mencari pengasuh untuk Rui dan keluar dari daycare.

“Menurut lo gimana, Dys?” tanya Rion.

“Ya …, eum … eum …. Nggak tahu. Aku belum pernah punya anak dan ngurus anak. Jadi aku nggak tahu mana yang baik.”

Rion terkekeh. “Emang, ya, lo tuh nggak bisa diandelin.”

Gladys meringis. “Tapi, Mas …. Mungkin emang ada baiknya gitu,” dia sedikit memberi tanggapan. “Kalau sama pengasuh kan, Rui bisa diajak jalan-jalan keluar rumah selama Mas kerja. Mungkin ke mal, ke toko buku, jajan es krim, atau malah ke tempat wisata yang tadinya cuma bisa Rui lakuin kalau Mas libur aja. Iya nggak sih, Mas? Cuma ya …, emang agak PR aja buat cari pengasuh yang bener-bener bisa dipercaya.” Dia nyengir.

Rion terdiam, meresapi kalimat itu. Jika mamanya hanya menyenggol sedikit lewat pesan teks, maka ucapan Gladys barusan mampu menyadarkannya bahwa selama empat tahun ini, dia ternyata begitu jahat pada Rui. Tak memberi kebebasan, tak memberi rasa sayang yang cukup meski rasanya dia sudah penuh menyayangi Rui, tak memberi banyak kenangan baik, dan tentunya tak memberi waktu yang banyak. Ketika dia seharusnya bisa memberi kebebasan untuk Rui sebagai penebusan dosa karena terlalu sibuk, dia justru mengurung Rui pada tempat yang mungkin bocah itu merasa bosan karena itu bukan tahun pertamanya, barangkali juga muak.

Daycare bukan tempat yang mengerikan. Rui diajarkan banyak hal, dijaga dengan sepenuh hati, diperhatikan dengan sangat baik. Tapi … mungkin Rui butuh lebih dari itu.

“Kak Princess baik kok, Mas,” Gladys berbicara lagi.

“Kak Princess?” Rion mengerenyit.

“Iya. Diana. Princess, kan?”

Rion tertawa. “Lo tuh ada aja sebutannya, ya.”

“Ya, kan aku cetar!”

“Cetar? Syahrini maksud lo?”

“Cewek Pintar!”

Lalu mereka berdua tertawa.

“Itu nasi goreng buat siapa lagi tuh?” Rion melirik pada goodie bag berisi dua lagi kotak bekal nasi goreng di dalamnya. “Cowok lo yang di coffee shop?”

Gladys menatap tak terima. “Mas, please! Dia bukan cowok aku!”

“Oh, ya? Tapi gosip lo soal anak magang yang pacaran sama barista coffee shop bawah tuh udah sampai ke telinga gue lho.”

“Yeee … bodo amat. Aku nggak peduli,” balas Gladys. “Nih, ya, Mas. Kalau ada gosip tentang kita, entah bilang kalau aku ani-aninya Mas Rion, atau aku ngegodain Mas Rion, aku sih bodo amat, nggak peduli mereka mau ngomong apa. Yang aku pikirin tuh justru Mas Rion. Kalau Mas Rion ngerasa risih soal itu, please …, kasih tahu aku, nanti aku yang ngejauh. Tapi kalau bisa sih, Mas Rion juga bodo amat, biar aku tetep bisa dapet tebengan sampai akhir magang.” Lalu dia nyengir.

“Emang ya …, lo tuh ….” Rion mendesah. “Gue baru aja mau terharu sama kalimat lo lho.”

Gladys membalas dengan cengiran.

Selanjutnya, sisa perjalanan mereka sampai kantor diisi dengan Rion yang bertanya bagaimana keadaan dua kantor selama dua hari dia tak masuk, meski sebenarnya Gladys dan Rion kalau di kantor jarang bertemu karena seperti punya kantor yang berbeda—beda lantai, beda pekerjaan. Cuma …, anak magang kadang bisa ditempatkan di mana saja dan mengerjakan apa saja.

Dan tentu saja Gladys tak ketinggalan menceritakan perihal hari tepatnya yang membuat Rion terpingkal meledek.

Mereka baru benar-benar berpisah saat Rion menurunkan Gladys di depan lobi sementara lelaki itu lanjut ke basement untuk memarkir mobil. Dan sebelum Gladys naik ke atas, dia berbelok sejenak ke arah kedai kopi, bertemu dengan Narga yang sedang berdiri di balik konter pemesanan.

“Selamat pagi, anak setan!” seru Gladys saat mereka berhadapan.

Narga menatap malas, menurunkan topi cokelatnya sampai menutup bagian mata.

“Oh, nggak mau nih?” Gladys menunjukkan goodie bag yang dibawa, menggoyang-goyangkannya di hadapan Narga, membuat lelaki itu akhirnya mengangkat lagi topinya, melirik ke arah goodie bag tersebut. “Nasi goreng,” bisiknya.

Lelaki itu menyecap lidah. Sudah dibilang, kan? Tak ada yang tak suka dengan masakan Gladys.

“Kalau cuma mau pamer, mending nggak usah.”

Gladys mendengus. “Nethink mulu lo.” Dia menyodorkan goodie bag tersebut. “Nih, simpen. Nanti kita makan siang bareng.”

Senyum Narga mengembang. Meski begitu dia ragu-ragu mengambil goodie bag tersebut, melihat isi di dalamnya. Dan senyum itu semakin mengembang sempurna.

“Jangan lupa nanti panasin dulu bentar sebelum dimakan.”

“Iya, iya ….”

“Dah lah, bye!”

“Eh, Dys! Bentar!” seruan Narga membuat Gladys kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke lelaki itu.

“Apaan lagi? Bentar lagi bel bunyi nih, nanti gue telat lagi.”

“Bel apaan, anjir? Lo pikir ini sekolah pakai bel masuk segala.”

Gladys memutar bola matanya.

“Tunggu, bentar.”

Sebentar yang Narga maksud adalah waktu membuatnya satu cup minuman dingin yang kemudian diberikan pada Gladys. Namun saat perempuan itu hendak menyedotnya, Narga mencegahnya, membuat Gladys menatap heran sekaligus bete.

“Kenapa lagi, sih?” tanyanya.

“Itu bukan buat lo.”

Gladys melongo, padahal saat Narga menyodorkan minuman dingin itu senyum Gladys mengembang sama seperti saat dia memberikan nasi goreng pada Narga. Juga terharu. “Apa, sih, bangsat?”

“Itu buat Kakak Cantik.”

Semakin melongo dan tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. “Narganjing, yang barusan ngasih lo nasi goreng buat makan siang itu gue! Bukan Mbak Kiul!”

“Yang bilang nasi gorengnya bukan dari lo siapa, sih? Tanpa lo kasih tahu juga gue percaya kalau itu nasi goreng lo yang bikin.”

“Ya, terus?”

“Tadi gue lihat muka Kakak Cantik kayak lagi sedih gitu. Gue kasihan. Pengin meluk.”

“Tai anjing bener ya lo.”

Narga memberi senyum masam. “Udah, itu lo kasih dulu. Nanti siang baru gue bikinin buat lo.”

“Tapi pagi ini juga gue butuh kopi!”

“Ya, beli lah! Sini, mau pesen yang mana?”

“Sinting!” umpat Gladys.

“Dah, sana! Nanti keburu bel masuknya bunyi.”

“Dasar cogil!”

“Hah?”

“Cowok Gila!”

“Eh, jangan bilang kalau itu dari gue, ya.”

Gladys tak membalas, memilih berlalu meninggalkan Narga begitu saja. Kemarin dia sudah benar-benar melarang Narga untuk naksir Kiara apalagi berniat mendekatinya seperti yang lelaki itu gembor-gemborkan selama ini. Meski tak memberikan alasan, Gladys harap Narga mau menurutinya. Tapi hari ini lelaki itu justru peduli dengan raut sedih Kiara dan memberikannya satu cup es kopi secara cuma-cuma.

Benar-benar cowok gila.

Sebelum menaruh barang-barangnya, dia menatap ke sekeliling ruangan untuk menemukan Kiara yang ternyata sudah duduk manis di kubikelnya, lalu menatap sekitar, dan menemukan Rion Lantai 2 yang ternyata sedang berbicara dengan manager divisi di ruang rapat.

Gladys berjalan menghampiri Kiara dengan perasaan dongkol. Dia memang sebal dengan perempuan itu, tapi setelah tahu punya hubungan dengan lelaki beristri, Gladys semakin sebal. Di antara banyak lelaki di dunia, kenapa harus laki-laki yang sudah punya istri? Gladys tak habis pikir. Meski begitu, dia tak punya kuasa untuk mengatur.

Gladys menaruh cup minuman itu dengan agak kasar, menimbulkan debam kecil karena hantamannya, membuat Kiara sedikit tersentak dan menatap Gladys dengan bingung.

Berbarengan dengan itu, pintu ruang rapat dibuka, dan dua orang yang sedang bicara keluar.

“Dari barista di bawah,” ujar Gladys pada Kiara, sengaja membuat suaranya agak besar. “Naksir lo katanya. Orangnya lumayan ganteng, masih muda, dan yang terpenting belum menikah dan punya anak.”

Kiara mencelus.

Gladys tak peduli. Dia terpaksa memuji Narga demi menyadarkan Kiara, yang entah kenapa dia sendiri berani dan mau untuk melakukan hal itu. Dia berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Kiara yang menatap Rion Lantai 2 dengan perasaan kacau.

— 35


Di persimpangan jalan menuju gang di mana kostan berada, Gladys sudah berdiri menunggu jemputannya, yaitu Rion. Rion Lantai 7 yang katanya akan datang lebih pagi, tapi terhitung sejak sepuluh menit dia menunggu di sana, Rion tak kunjung datang. Bukan karena lelaki itu sudah pergi meninggalkannya—Gladys percaya, Rion bukan tipe orang yang seperti itu—tapi karena …, ya, memang belum datang saja. Toh, Rion tak membombardirnya dengan pesan teks seperti biasa jika datang lebih dulu san Gladys belum muncul.

Jika biasanya dia sendiri, kali ini ada Reza yang menemani. Tiba-tiba saja lelaki itu saat sedang menyantap nasi goreng buatannya berujar, “Dys, lo berangkat sama Mas Rion, kan?”

Gladys yang sedang memasukkan nasi goreng ke dalam kotak bekal untuk Rion dan Narga menoleh ke arah Reza dengan bingung, kemudian teringat semalam Rion meminta kontak Reza untuk menanyakan sesuatu. Pasti karena itu, pikirnya.

“Gue ikut, ya. Nebeng sekalian.” Reza nyengir. Ya, walaupun gedung kecamatan dan kantor tempat Gladys magang searah, tapi perlu memutar sedikit kalau Rion benar-benar akan mengantar Reza ke gedung kecamatan nantinya.

“Ya …, ngapain ngomong sama gue. Orang gue juga nebeng.”

“Gue ngasih tahu, biar ke depannya bareng.”

“Udah ngomong sama Mas Rion?”

“Belum?”

“Lah!?” Gladys agak melongo. “Kalau Mas Rion nggak mau nganterin ke gedung kecamatan, gimana?”

“Mau lah pasti.”

“Pede banget, dih. Belum tentu juga. Siapa tahu di jalan kita kejebak macet terus nggak punya banyak waktu nganterin lo.”

Reza menggaruk tengkuknya. “Ya udah lah, gampang. Gue bisa sambung naik angkot nanti.”

“Emang mau ngapain, sih? Tumben banget nggak bawa motor sendiri. Mobil lo juga nganggur terus noh.”

“Ada yang mau gue omongin, penting, harus ngomong langsung.”

Gladys mendekat dengan wajah penasaran, meninggalkan sejenak nasi gorengnya. “Ada apa, Bang? Mas Rion beneran minta dicariin istri ke lo?”

Dengan jari telunjuknya, Reza menempelkannya ke kening Gladys sebelum mendorongnya menjauh, karena rasanya terlalu dekat dengan wajahnya. “Kepo ….” Dia menyeringai. “Lagian, emangnya lo doang yang pengin irit ongkos? Gue juga pengin irit bensin kali.”

“Gaji pegawai kecamatan berapa, sih? Sama upah magang gue aja pasti jauh lebih gede lo, belum lagi bonus-bonus dan uang pelicin dari sana-sani.” Gladys membalas dengan seringai yang sama, membuat Reza tak tahan ingin menjitak kepalanya. “AW!” perempuan itu mengaduh seraya memegang keningnya yang rasanya sangat perih.

“Sembarangan lu kalau ngomong. Uang pelicin … uang pelicin …. Lo pikir duitnya disetrika segala pakai pelicin?”

“Ya, terus apa dong penasaran nih? Lo baru juga chatting-an semalem udah langsung minta nebeng aja. Nggak tahu malu!” Gladys kembali berjalan menuju nasi gorengnya. Menutup kotak bekal itu dan memasukkannya masing-masing ke dalam kantong plastik bersama serta sendok dan garpunya.

Ngomong-ngomong, Gladys kelupaan membawakan garpu untuk Jidan. Tapi tak apa, Gladys berpikir penampilan Jidan tak seperti orang kebanyakan yang biasa makan pakai sendok dan garpu, jadi tak masalah.

“Pembicaraan orang dewasa, bocah nggak perlu tahu,” Reza sembari bangkit dari tempat duduknya setelah menghabiskan sepiring nasi goreng yang selalu enak itu meledek Gladys saat berjalan menuju wastafel untuk menaruh piring kotor dan mencucinya—harus segera dicuci kalau tidak ingin notifikasi group chat kostan tiba-tiba muncul karena Kiara memperingatkan soal alat makan bekas pakai harus langsung dicuci.

“Gue bukan bocah!!!”

Ya, meski sudah protes, sampai Rion datang dan memasukkan mereka ke kursi belakang, Reza tak kunjung memberitahu alasan mengapa dia pagi ini ikut nebeng dengan Rion.

Sorry ya, Mas, nggak ngomong dulu.” Reza nyengir. “Kalau nggak mau nganterin sampai kantor, nggak apa-apa kok. Gue bisa nyambung naik angkot bentar.”

“Iya, nggak apa-apa,” jawab Rion seraya melajukan kembali mobilnya. “Rui, ayo disapa dulu Om yang ini. Namanya Om Eza.”

Bocah perempuan yang sedang sibuk memainkan tablet itu menoleh ke belakang, menatap Reza sejenak untuk mendapat lambaian tangan canggung dari lelaki itu. “Halo, Om.”

“Hai ….” Reza meringis kecil, seketika membuat tawa Gladys menyembur dan Rion terkekeh di tempatnya.

“Ini anak kecil, Bang Eza. Lo kayak lihat monster deh,” komentar Gladys. “Rui udah sembuh?” dan dia memutuskan untuk mengambil alih.

“Aku masih pilek sama batuk, tapi Ayah paksa aku sekolah,” bocah itu memalingkan wajahnya dari sang ayah, sepertinya mereka memiliki perdebatan kecil pagi ini.

“Kan udah nggak demam, Rui. Kepalanya udah nggak pusing kayak kemarin, kan?” sang ayah melakukan pembelaan.

“Ya, tetep aja, Ayah. Aku ini masih sakit. Aku maunya tidur sambil nonton kartun, bukan sekolah!”

“Terus Ayah gimana? Masa Ayah nggak berangkat ke kantor lagi hari ini? Nanti kalau Ayah dipecat gara-gara nggak masuk-masuk, Ayah nggak bisa beliin kamu susu dan baju bagus lagi, semalem ngomongnya udah minta mainan baru.”

Perdebatan itu membuat Reza dan Gladys saling pandang dengan situasi canggung. Hingga akhirnya Gladys berusaha mengalihkan situasi dengan nasi goreng yang dibawanya.

“Mas, aku pagi tadi bikin nasi goreng buat lho. Udah sarapan belum?” Gladys menyodorkan kotak bekal terbungkus kantong plastik itu ke kursi depan.

Rion memberi senyuman. “Kebetulan banget, gue emang nggak sempet sarapan. Tadi cuma beli bubur buat sarapannya Rui doang.”

“Kalau gitu, ini dimakan ya, Mas.”

“Gue seneng nih ngasih tebengannya kalau sogokannya makanan enak.”

Gladys tertawa. “Nggak tiap hari, Mas. Boncos aku kalau bikin makanan buat orang tiap hari. Buat sendiri aja masih mendang-mending.”

“Bisa aja lo.”

“Tapi ya …, masih mending sih daripada nggak ada sama sekali.” Gladys melirik ke arah Reza. Dan Reza sadar akan tatapan itu.

“Apa?” tanya lelaki itu sewot. “Gue ikut naik ke sini karena emang ada yang mau diomongin sama Mas Rion, ya.”

“Ngomongin apa, Za?”

“Itu, Mas. Soal yang semalem—”

“Za,” potong Rion seraya memberi lirikan pada Reza dari kaca spion yang mengisyaratkan Rui di sampingnya.

“Oh, oke ….” Reza mengerti, akhirnya dia menunda pembicaraan sampai Rui sampai di daycare-nya dan Rion mengantarnya ke dalam.

Setelah Rion kembali dan mereka melanjutkan perjalanan, barulah pembahasan itu kembali dibuka.

“Kenapa, Za?” tanya Rion.

“Gue semalem langsung nanya sama orangnya, Mas. Langsung gue telepon. Terus gue jelasin lah maksud lo—”

“Mas Rion beneran minta dicariin istri sama Bang Eza!?” potong Gladys dengan suara hebohnya, menatap dua lelaki itu secara bergantian—setelah Rui turun, Gladys secara otomatis pindah ke kursi depan menggantikan Rui seperti biasanya, sebab Rion tidak mau terlihat seperti sopir pribadi yang sedang mengantarkan majikannya karena penumpang mobilnya duduk di belakang.

“Lo bisa diem dulu nggak?” Reza menatap tajam, tapi Gladys cengengesan lalu mendengus.

“Dia pengin banget sih, Mas,” Reza kembali menjelaskan. “Cuma katanya pengin ketemu sama anaknya dulu.”

Mata Gladys kembali melebar mendengar hal itu. “BENERAN, MAS!?” Dia menatap Rion dengan raut tak percaya, lengkap dengan suara hebohnya. “Kenapa Mas nggak minta aku aja buat jadi istri Mas?”

Saat Reza mendesah lelah, Rion terkekeh geli. “Emangnya lo mau sama duda anak satu kayak gue?”

Gladys tiba-tiba bertingkah centil, menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga sembari mengerjap aneh. “Kalau dudanya kayak Mas Rion sih …, aku mau kok. Apalagi duda kan … udah berpengalaman, ya …. Pasti lebih mantep lagi—”

“Apa yang mantep?! Apaan yang mantep?!” Di kursi belakang Reza heboh mengulurkan tangannya untuk membekap mulut Gladys, membungkam perempuan itu agar tak lebih banyak bicara. “Nih, mantep, nih! Mantep!!!” Dia benar-benar membekap mulut Gladys, membuat perempuan itu mengamuk di tempatnya hingga tak punya pilihan lain selain menyemburkan air liurnya.

“GLADYS?!!!!” teriak Reza seraya menjauhkan tangannya dari Gladys, menatap nanar telapak tangannya yang dihiasi air liur Gladys. “Sinting ya lo!”

“Memang,” perempuan itu meledek, menjulurkan lidahnya. “Makanya jangan macem-macem sama gue!” Dia mengabaikan rambutnya, lalu mengeluarkan cermin kecil dari tasnya untuk melihat tataan makeup-nya.

Rion hanya terkekeh. Sembari memberikan beberapa lembar tisu pada Reza, dia hanya geleng-geleng kepala. Meski di rumah sudah pusing dengan kerewelan Rui selama sakit beberapa hari ini, tapi keributan dalam mobil pagi ini justru malah menghiburnya. Selain Rui dan rekan kerjanya di kantor, Rion benar-benar tak punya orang lain untuk diajak bercanda atau sekadar membuat candaan di hadapannya yang membuatnya tertawa.

Jadi, mengenal Gladys yang heboh, berisik, cerewet, tapi suka membawakannya makanan enak buatan sendiri, benar-benar menghibur Rion. Sekarang, ditambah Reza yang sepertinya akan tambah membuat dunia ini tak pernah sepi. Rion mungkin harus bersorak.

“Kalau gue jadi Mas Rion, gue sih beneran ogah punya istri kayak lo. Dih cewek gila,” Reza masih menggerutu.

“Ya udah, maaf …. This is cegil. Cewek Gila.” Gladys terkekeh.

“Jadi, gimana, Mas? Lo mau kontaknya? Nanti biar gue kirimin.” Meski begitu Reza tetap harus melanjutkan pembicaraannya.

“Nggak usah. Lo atur tempat ketemuan aja, nanti biar langsung ketemuan,” balas Rion.

“Aku boleh ikut nggak, Mas? Mau lihat calon istrinya Mas Rion.” Gladys menatap Rion dengan sok sendu.

“Pertemuan ini khusus buat orang waras aja. Cegil dilarang ikut campur.” Reza menyeringai puas.

“Iya deh si paling coting.”

“Apaan coting?” Reza melirik penasaran. “Cowok tinggi?” Dia tersenyum percaya diri. “Ya, emang sih gue tinggi—”

“Cowok sinting,” potong Gladys sebelum menyemburkan tawa dengan sangat puas, dan Rion juga gagal menyembunyikan tawanya, membuat Reza menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan sebal.

***

Rion benar-benar baik mau mengemudi lebih jauh dan agak memutar untuk mengantarkan Reza lebih dulu ke gedung kecamatan. Padahal Gladys sudah berusaha agar Rion mau tega menurunkan Reza di pinggir jalan demi bisa melihat lelaki itu dengan seragam dinas kocekelatannya menyetop angkot jelek untuk menyambung perjalanan sampai kantor.

Dalam perjalanan menuju kantor mereka, Rion akhirnya menjelaskan maksud dari percakapannya dengan Reza, tentang mencari pengasuh untuk Rui dan keluar dari daycare.

“Menurut lo gimana, Dys?” tanya Rion.

“Ya …, eum … eum …. Nggak tahu. Aku belum pernah punya anak dan ngurus anak. Jadi aku nggak tahu mana yang baik.”

Rion terkekeh. “Emang, ya, lo tuh nggak bisa diandelin.”

Gladys meringis. “Tapi, Mas …. Mungkin emang ada baiknya gitu,” dia sedikit memberi tanggapan. “Kalau sama pengasuh kan, Rui bisa diajak jalan-jalan keluar rumah selama Mas kerja. Mungkin ke mal, ke toko buku, jajan es krim, atau malah ke tempat wisata yang tadinya cuma bisa Rui lakuin kalau Mas libur aja. Iya nggak sih, Mas? Cuma ya …, emang agak PR aja buat cari pengasuh yang bener-bener bisa dipercaya.” Dia nyengir.

Rion terdiam, meresapi kalimat itu. Jika mamanya hanya menyenggol sedikit lewat pesan teks, maka ucapan Gladys barusan mampu menyadarkannya bahwa selama empat tahun ini, dia ternyata begitu jahat pada Rui. Tak memberi kebebasan, tak memberi rasa sayang yang cukup meski rasanya dia sudah penuh menyayangi Rui, tak memberi banyak kenangan baik, dan tentunya tak memberi waktu yang banyak. Ketika dia seharusnya bisa memberi kebebasan untuk Rui sebagai penebusan dosa karena terlalu sibuk, dia justru mengurung Rui pada tempat yang mungkin bocah itu merasa bosan karena itu bukan tahun pertamanya, barangkali juga muak.

Daycare bukan tempat yang mengerikan. Rui diajarkan banyak hal, dijaga dengan sepenuh hati, diperhatikan dengan sangat baik. Tapi … mungkin Rui butuh lebih dari itu.

“Kak Princess baik kok, Mas,” Gladys berbicara lagi.

“Kak Princess?” Rion mengerenyit.

“Iya. Diana. Princess, kan?”

Rion tertawa. “Lo tuh ada aja sebutannya, ya.”

“Ya, kan aku cetar!”

“Cetar? Syahrini maksud lo?”

“Cewek Pintar!”

Lalu mereka berdua tertawa.

“Itu nasi goreng buat siapa lagi tuh?” Rion melirik pada goodie bag berisi dua lagi kotak bekal nasi goreng di dalamnya. “Cowok lo yang di coffee shop?”

Gladys menatap tak terima. “Mas, please! Dia bukan cowok aku!”

“Oh, ya? Tapi gosip lo soal anak magang yang pacaran sama barista coffee shop bawah tuh udah sampai ke telinga gue lho.”

“Yeee … bodo amat. Aku nggak peduli,” balas Gladys. “Nih, ya, Mas. Kalau ada gosip tentang kita, entah bilang kalau aku ani-aninya Mas Rion, atau aku ngegodain Mas Rion, aku sih bodo amat, nggak peduli mereka mau ngomong apa. Yang aku pikirin tuh justru Mas Rion. Kalau Mas Rion ngerasa risih soal itu, please …, kasih tahu aku, nanti aku yang ngejauh. Tapi kalau bisa sih, Mas Rion juga bodo amat, biar aku tetep bisa dapet tebengan sampai akhir magang.” Lalu dia nyengir.

“Emang ya …, lo tuh ….” Rion mendesah. “Gue baru aja mau terharu sama kalimat lo lho.”

Gladys membalas dengan cengiran.

Selanjutnya, sisa perjalanan mereka sampai kantor diisi dengan Rion yang bertanya bagaimana keadaan dua kantor selama dua hari dia tak masuk, meski sebenarnya Gladys dan Rion kalau di kantor jarang bertemu karena seperti punya kantor yang berbeda—beda lantai, beda pekerjaan. Cuma …, anak magang kadang bisa ditempatkan di mana saja dan mengerjakan apa saja.

Dan tentu saja Gladys tak ketinggalan menceritakan perihal hari tepatnya yang membuat Rion terpingkal meledek.

Mereka baru benar-benar berpisah saat Rion menurunkan Gladys di depan lobi sementara lelaki itu lanjut ke basement untuk memarkir mobil. Dan sebelum Gladys naik ke atas, dia berbelok sejenak ke arah kedai kopi, bertemu dengan Narga yang sedang berdiri di balik konter pemesanan.

“Selamat pagi, anak setan!” seru Gladys saat mereka berhadapan.

Narga menatap malas, menurunkan topi cokelatnya sampai menutup bagian mata.

“Oh, nggak mau nih?” Gladys menunjukkan goodie bag yang dibawa, menggoyang-goyangkannya di hadapan Narga, membuat lelaki itu akhirnya mengangkat lagi topinya, melirik ke arah goodie bag tersebut. “Nasi goreng,” bisiknya.

Lelaki itu menyecap lidah. Sudah dibilang, kan? Tak ada yang tak suka dengan masakan Gladys.

“Kalau cuma mau pamer, mending nggak usah.”

Gladys mendengus. “Nethink mulu lo.” Dia menyodorkan goodie bag tersebut. “Nih, simpen. Nanti kita makan siang bareng.”

Senyum Narga mengembang. Meski begitu dia ragu-ragu mengambil goodie bag tersebut, melihat isi di dalamnya. Dan senyum itu semakin mengembang sempurna.

“Jangan lupa nanti panasin dulu bentar sebelum dimakan.”

“Iya, iya ….”

“Dah lah, bye!”

“Eh, Dys! Bentar!” seruan Narga membuat Gladys kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke lelaki itu.

“Apaan lagi? Bentar lagi bel bunyi nih, nanti gue telat lagi.”

“Bel apaan, anjir? Lo pikir ini sekolah pakai bel masuk segala.”

Gladys memutar bola matanya.

“Tunggu, bentar.”

Sebentar yang Narga maksud adalah waktu membuatnya satu cup minuman dingin yang kemudian diberikan pada Gladys. Namun saat perempuan itu hendak menyedotnya, Narga mencegahnya, membuat Gladys menatap heran sekaligus bete.

“Kenapa lagi, sih?” tanyanya.

“Itu bukan buat lo.”

Gladys melongo, padahal saat Narga menyodorkan minuman dingin itu senyum Gladys mengembang sama seperti saat dia memberikan nasi goreng pada Narga. Juga terharu. “Apa, sih, bangsat?”

“Itu buat Kakak Cantik.”

Semakin melongo dan tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. “Narganjing, yang barusan ngasih lo nasi goreng buat makan siang itu gue! Bukan Mbak Kiul!”

“Yang bilang nasi gorengnya bukan dari lo siapa, sih? Tanpa lo kasih tahu juga gue percaya kalau itu nasi goreng lo yang bikin.”

“Ya, terus?”

“Tadi gue lihat muka Kakak Cantik kayak lagi sedih gitu. Gue kasihan. Pengin meluk.”

“Tai anjing bener ya lo.”

Narga memberi senyum masam. “Udah, itu lo kasih dulu. Nanti siang baru gue bikinin buat lo.”

“Tapi pagi ini juga gue butuh kopi!”

“Ya, beli lah! Sini, mau pesen yang mana?”

“Sinting!” umpat Gladys.

“Dah, sana! Nanti keburu bel masuknya bunyi.”

“Dasar cogil!”

“Hah?”

“Cowok Gila!”

“Eh, jangan bilang kalau itu dari gue, ya.”

Gladys tak membalas, memilih berlalu meninggalkan Narga begitu saja. Kemarin dia sudah benar-benar melarang Narga untuk naksir Kiara apalagi berniat mendekatinya seperti yang lelaki itu gembor-gemborkan selama ini. Meski tak memberikan alasan, Gladys harap Narga mau menurutinya. Tapi hari ini lelaki itu justru peduli dengan raut sedih Kiara dan memberikannya satu cup es kopi secara cuma-cuma.

Benar-benar cowok gila.

Sebelum menaruh barang-barangnya, dia menatap ke sekeliling ruangan untuk menemukan Kiara yang ternyata sudah duduk manis di kubikelnya, lalu menatap sekitar, dan menemukan Rion Lantai 2 yang ternyata sedang berbicara dengan manager divisi di ruang rapat.

Gladys berjalan menghampiri Kiara dengan perasaan dongkol. Dia memang sebal dengan perempuan itu, tapi setelah tahu punya hubungan dengan lelaki beristri, Gladys semakin sebal. Di antara banyak lelaki di dunia, kenapa harus laki-laki yang sudah punya istri? Gladys tak habis pikir. Meski begitu, dia tak punya kuasa untuk mengatur.

Gladys menaruh cup minuman itu dengan agak kasar, menimbulkan debam kecil karena hantamannya, membuat Kiara sedikit tersentak dan menatap Gladys dengan bingung.

Berbarengan dengan itu, pintu ruang rapat dibuka, dan dua orang yang sedang bicara keluar.

“Dari barista di bawah,” ujar Gladys pada Kiara, sengaja membuat suaranya agak besar. “Naksir lo katanya. Orangnya lumayan ganteng, masih muda, dan yang terpenting belum menikah dan punya anak.”

Kiara mencelus.

Gladys tak peduli. Dia terpaksa memuji Narga demi menyadarkan Kiara, yang entah kenapa dia sendiri berani dan mau untuk melakukan hal itu. Dia berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Kiara yang menatap Rion Lantai 2 dengan perasaan kacau.

— 34


Keluar dari kamarnya untuk berangkat ke sekolah, Jidan sudah mendengar bunyi berisik alat masak yang beradu di dapur lantai bawah, juga aroma harum masakan yang pelan-pelan membelai hidungnya dan membuatnya lapar.

Semalam karena terlalu sibuk mengecek data nilai siswa dari semester sebelumnya, juga mempersiapkan bahan mengajar hari ini, Jidan tak sempat keluar untuk mencari makan, dan tahu-tahu waktu sudah malam hingga rasanya mau beli makanan lewat aplikasi pesan-antar pun ragu karena pasti sudah banyak resto atau warung makan yang tutup. Hingga akhirnya dia hanya memasak sebungkus mi instan dengan telur yang sudah disediakan Sadewa dalam satu kardus khusus saat dia mengantar kakaknya pindahan. Untuk hal perhatian terhadap Jidan, Sadewa memang masih juaranya. Sebab kalau bukan karena Sadewa, mana mungkin Jidan kepikiran untuk membeli sekardus mi instan dan berbungkus-bungkus makanan ringan untuk persediaan di dalam kost.

Untuk itu, ketika Jidan mencium aroma masakan yang sepertinya sangat enak, perutnya tiba-tiba bunyi. Dia berniat membeli sebungkus roti dalam perjalanan ke sekolah nanti, untuk mengganjal perutnya sampai jam makan siang.

Dengan pakaian yang sudah rapi, tas ransel berisi laptop, buku, dan segala keperluan mengajar lainnya yang disampirkan di sebelah bahunya, Jidan menuruni anak tangga setelah melirik sejenak ke pintu kamar Gladys dan Kiara yang masih sama-sama sunyi. Sejenak, Jidan iri pada pegawai kantor yang baru masuk pukul sembilan hingga punya waktu tidur sedikit lebih lama darinya yang harus sudah sampai di sekolah pukul tujuh pagi.

Jadi, siapa yang sedang memasak di dapur?

Reza? Lelaki itu pun mungkin masih tidur.

Jidan berjalan sedikit ke arah belakang dan menemukan Gladys sedang menggoyang-goyangkan pinggulnya di depan kompor dengan tangan yang sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan, dan bernyanyi dengan suara sumbang, jelek, dan bahasa yang tidak jelas. Jidan langsung bergidik ngeri, dia sudah akan berbalik untuk langsung meninggalkan perempuan itu meski sedikit kagum bahwa ternyata Gladys bisa masak—entah masakannya enak atau tidak, yang penting bisa berdiri di atas kompor dan membuat sesuatu di dalam wajan atau panci, sudah bisa disebut bisa masak—ketika kalah cepat dengan Gladys yang berbalik setelah mematikan kompor dan menemukan Jidan di sana.

Perempuan itu tersenyum lebar. “Pak Guru …,” sapanya dengan riang.

Jidan menahan napas sejenak mendengarnya, memejamkan mata sebelum memaksakan diri untuk menoleh kembali ke arah sana meski tetap tak berhasil untuk tersenyum seperti pesan Sadewa yang menyuruhnya untuk lebih sering tersenyum pada orang lain.

“Mau berangkat, ya?” Gladys berjalan menghampiri, Jidan menatap khawatir.

Dari penampilannya, sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu belum mandi. Rambutnya dijepit asal, belum lagi tanktop dan celana pendek kebanggaannya yang sepertinya jadi seragam tidurnya setiap malam meski cuaca sedang dingin. Meski tak ada jejak air liur di pipi atau kotoran di sudut mata, wajah polos tanpa makeup itu bisa membuktikan bahwa tebakan Jidan benar.

“Baru juga jam setengah tujuh. Mau ngapain sih di sekolah? Bantu nyapu sama ngepel petugas kebersihan?” Dia terkikik menyebalkan.

“Sekolah mulainya jam tujuh lewat sepuluh menit,” balas Jidan.

Gladys mengangguk-angguk. “Oh …. Pak Guru pasti belum sarapan?”

“Udah.” Entah kenapa Jidan malah membalas gitu, padahal perutnya sedang lapar karena ramuan aroma masakan di dalam wajan itu yang sepertinya nasihat goreng.

“Ah, masa??? Nggak percaya tuh. Sarapan apa?”

Jidan bergumam panjang, bingung harus menjawab apa. “Kenapa juga saya harus bilang sama kamu?”

“Ya elah, masa nanya doang nggak boleh. Pelit banget.” Gladys tersenyum masam. “Nggak jadi deh gue kasih nasi goreng buatan gue yang paling enak sejagad raya ini,” ucapnya dengan penuh percaya diri.

“Saya nggak minta juga kok.”

“Ya, kan gue yang mau ngasih, Pak Guru ….”

“Ya, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau ngasih. Saya nggak akan nangis.”

Gladys menyeringai. Sekali lagi membuat Jidan bergidik ngeri. “Beneran nggak akan nangis? Ini nasi gorengnya enak banget lho …. Banget, banget, banget pokoknya. Best!” Dia mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Jidan, hampir menyentuh bagian hidung.

Jidan dengan hati-hati menyentuh ujung ibu jari itu, menurunkannya dari depan wajahnya sembari meringis kecil. “Saya nggak ngiler, nggak yakin juga sama masakan kamu.”

“Yahhh …, dia nggak percaya gue jagonya soal masak. Belum nyobain, sih.”

Ya, memang.

Jidan berteriak dalam hati.

Kepalanya melongok sedikit ke arah belakang punggung Gladys di mana nasi goreng itu masih mengepulkan asap panas di dalam wajahnya, membuat Gladys yang melihatnya terkekeh meledek

Jidan mendengus, menyesali perbuatannya yang tanpa bisa dia kendalikan itu, sepertinya efek terlalu lapar sedangkan makanan ada tepat di depan matanya.

“Mulut bisa bohong, tapi matanya itu lhoo …. Ngiler, kan?” Gladys masih terkikik-kikik, semakin membuat Jidan sebal.

“Saya harus berangkat.” Jidan memilih memutus percakapan dengan berniat segera pergi dari sana, sebab jika dia terus meladeni perempuan yang ada di hadapannya ini pasti tidak akan pernah selesai. Gladys selalu punya banyak hal untuk dibahas dan dibicarakan sampai rasanya dia tak punya rasa lelah untuk menggoda orang lain.

“Nanti dulu, sih.” Gladys meraih tangan Jidan, menggenggamnya dengan tangannya yang lebih kecil sampai tak bisa secara penuh melingkari pergelangan tangan Jidan. “Gue takut Pak Guru ngiler di sekolah.” Lalu sebelum Jidan berkesempatan untuk menarik tangannya sendiri, Gladys menarik tangan Jidan untuk ikut melangkah bersamanya menuju kompor.

Perempuan itu mengambil sendok baru tanpa melepaskan genggaman tangannya, menyendok nasi goreng itu dari dalam wajan langsung sebelum menyodorkannya ke depan mulut Jidan.

“Ngapain?” tanya lelaki itu.

“Cobain dong, Pak Guru, masa gue suruh ngitung jumlah butir nasi yang ada di sendok ini.”

“Nggak.”

“Kenapa, sih? Nggak akan nyesel kok. Ini gue jamin enak banget.”

“Nggak ada yang tahu kalau sebelumnya mungkin kamu masukin sianida ke dalam nasi gorengnya.”

Gladys mendengus. “Ini nasi goreng, Pak Guru, bukan kopi. Dan nama gue Gladys Purnama, bukan Jessica Wongso, please ….” Dia memutar bola matanya.

“Iya, tapi—”

“Aduh, aduh …. Aduh! Aduh!” Sebelah tangan Gladys melepas genggaman untuk menyentuh tangannya sendiri yang masih setia mengangkat sendok berisi nasi goreng. “Aduh, aduh, tangan gue sakit. Aduh …. Tolongin, Pak Guruuuuu!!!” serunya dengan heboh, membuat Jidan panik.

Dia bergerak tak tentu juga karena bingung harus apa. “Apa? Mana yang sakit? Kasih tahu saya.” Dia ragu untuk menyentuh, tapi wajahnya terlihat begitu khawatir tepat sesaat setelah Gladys merintih dengan dramatis.

“Ini, ini …. Ini makan dulu nasi gorengnya ….”

Dan tanpa pikir panjang, Jidan langsung melahap nasi goreng di sendok itu, seketika senyum Gladys terluka dengan sangat lebar. Dia bahkan antusias menantikan Jidan mengunyah nasi gorengnya dan menelannya. Hingga kemudian berseru senang saat mulut lelaki itu sudah kosong tanda Jidan sudah memakan sesuap nasi goreng tersebut.

“Mana yang sakit?” tanya Jidan, masih khawatir.

“Udah sembuh ….” Gladys menggoyang-goyangkannya kedua tangannya, dan Jidan sadar kalau dia baru saja ditipu manusia paling menyebalkan abad ini.

Lelaki itu menahan napas sejenak sebelum memutuskan untuk berbalik tanpa mengatakan apa pun, meski lagi-lagi Gladys mampu meraihnya dan menahannya sebentar lagi.

“Mau ke mana lagi sih, Pak Guru? Gue belum selesai.”

“Saya udah telat.”

“Nanti, ah. Masih lama juga.” Gladys menarik tangan kiri Jidan untuk melihat jam di pergelangan tangan lelaki itu.

“Emangnya kamu nggak ke kantor hari ini?”

“Ke kantor kok.”

“Ya, terus? Kamu emangnya nggak siap-siap.”

Gladys berdecak. “Itu gampang. Yang penting sekarang, gimana nasi goreng gue? Enak, kan?”

Jidan diam. Apakah dia harus menjawab jujur dengan mengatakan bahwa nasi goreng buatan Gladys memang sangat enak? Atau justru berbohong agar segera menyudahi pertemuan ini? Karena rasanya Jidan mulai stres.

Belum sempat dia menjawab, pintu kamar depan terbuka, Reza dengan wajah bangun tidurnya keluar dari sana seraya menaruh handuk di pundaknya, berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di samping dapur.

“Wih, bikin sarapan ya lo, Dys?” tanya lelaki itu saat hidungnya mencium aroma nasi goreng yang masih kuat disekitar dapur.

“Yoi, Bang. Nasgor.”

“Banyak nggak? Mau dong ….” Dia nyengir.

“Aman, Bang. Semalem gue sengaja masak nasi banyak emang buat dibikin nasgor pagi ini.”

“Mantap!” Dengan mata yang masih setengah terbuka, Reza memberikan jempolnya. Dia melirik sekilas ke arah tangan Gladys yang memegang tangan Jidan sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi.

“Tuh, Bang Eza aja mengakui kalau masakan gue itu enak, makanya dia minta,” Gladys kembali berceloteh pada Jidan.

Jidan mendesah. “Penilaian saya penting banget buat kamu, ya? Emangnya kalau saya kasih nilai, kamu bakal jadi juara MasterChef?”

“Ya, nggak, sih ….” Gladys nyengir. “Ah, tahu, ah ….” Dia menepis tangan Jidan, lalu bergerak ke arah rak piring untuk mengambil kotak makan berwarna pink dengan gambar Minnie Mouse di bagian tutupnya. “Tunggu situ, jangan ke mana-mana.”

Meski sebal, anehnya Jidan menurut, memperhatikan Gladys yang memasukkan nasi goreng ke dalam kotak bekal itu sampai nyaris penuh. Mengipas-kipasnya sejenak dengan tuturnya sebelum menutupnya rapat. Memasukkannya ke dalam kantong plastik bersama dengan sendok dan garpu yang baru, lalu menyodorkannya pada Jidan.

“Nih, bawa,” katanya.

“Buat apa?”

“Ya elah, pakai nanya. Masa buat dihitungin jumlah butir nasinya di dalem kotak itu. Ya, buat dimakan lah, Pak Guru. Gimana, sih? Katanya guru, masa gitu aja nggak ngerti.”

Jidan menatap kotak bekal yang masih Gladys pegang.

“Ih, kelamaan ….” Gladys akhirnya memaksa tangan itu untuk mengambil alih kotak bekal. “Gue mau mandi nih, mau siap-siap.”

Lelaki itu belum membalas apa pun.

“Jangan lupa dimakan, awas kalau sampai dibuang! Makanan paling enak sejagad raya nih,” ujar Gladys lagi dengan senyum lebarnya. “Dah, sana berangkat. Nanti telat diomelin lagi. Masa Guru terlambat.”

“Gadis—”

“Gladys, Pak Guru,” perempuan itu meralat. “Harus berapa kali sih gue bilang, gue tuh Gladys, bukan Gadis.”

“Iya, maaf ….”

Gladys bergumam singkat. “Kenapa? Mau protes lagi soal nasi gorengnya?”

“Nggak.”

“Terus?”

“Eum ….” Jidan terlihat ragu untuk mengatakannya, tapi dia tahu, dia harus. Jadi dengan suara pelan dan sedikit tak jelas, dia berujar, “Makasih.”

Gladys sontak terbahak mendengarnya. Dia jelas mendengar kata itu dengan sempurna, dan tak percaya bisa menggelitik perutnya. “Ya, ya, ya …. Gue sengaja bikin banyak emang buat dibagiin kok, bukan cuma buat gue. Buat Bang Eza, buat si sinting Narga, buat Mas Rion, terus buat Pak Guru.”

“Kia?”

“Alah! Mbak Kiul nggak pernah mau, nggak level kali makan makanan kayak gini. Minimal kalau nasi goreng, dia pasti makannya di Solaria. Padahal kalau beli di pedagang pinggir jalan, udah dapet berapa bungkus tuh. Jadi, gue kasih ke Pak Guru aja, biar tambah semangat ngajarnya.” Dia masih tersenyum.

Jidan tak menanggapi, hanya menatap dalam diam ekspresi wajah nyinyir Gladys yang tengah bercakap-cakap, tanpa sadar membuatnya terkekeh kecil.

Gladys menyadari hal itu, dan dia seketika heboh. “Wahhhh …. Gue barusan merinding! Gila! Pak Guru barusan ketawa! Astaga! Pak Guru ternyata bisa ketawa!”

Dalam sekejap Jidan kembali merasa stres dan kesal. Dia memilih berbalik dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa pun lagi, kali ini Gladys tak menahannya membiarkan lelaki itu pergi begitu saja saat dia masih sibuk tertawa-tawa.

“Dadah …, Pak Guru!!!” serunya kemudian ketika terlihat Jidan di ambang pintu sedang memakai sepatunya. “Semangat ngajarnya, ya! Bekelnya jangan lupa dihabisin. Fighting!”

Telinganya pengang, mungkin jika lebih lama lagi berada di sana, gendong telinganya bisa pecah. Dia buru-buru keluar dari kostan, berjalan menjauh dari rumah itu, setelahnya menatap kotak bekal yang dibungkus kantong plastik yang dipegangnya dalam diam. Tiba-tiba merenung, tiba-tiba tersadar, bahwa ini pertama kalinya lagi setelah sepuluh tahun ada seseorang yang membuatkannya bekal makanan untuk dibawa ke sekolah. Dulu dia masih pelajar, kini sudah menjadi tenaga pengajar.

Apa waktu memang berjalan begitu cepat? Tapi kenapa kejadian itu selalu rasanya selalu baru kemarin terjadi?

— 21


Gladys mengembuskan napas panjang, lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja yang membuatnya menghadap langsung ke arah luar, di mana saat ini hujan sedang turun membasahi jalanan entah sejak kapan karena begitu keluar dari ruang rapat berbarengan dengan jam kerjanya yang habis, hujan sudah turun.

Pagi tadi dia datang terlambat dan membuatnya yang harusnya pergi bersama Kiara ke pabrik, harus dilempar ke ruangan Rion—tepatnya, Rion Lantai 5 yang terkenal menyebalkan dan galak terhadap mahasiswa magang meski punya paras yang tampan. Gladys bekerja bersama Rion sampai pukul tiga sore, sampai Kiara kembali dan akhirnya menyelamatkannya dari siksa duduk berjam-jam di depan layar laptop bersama puluhan berkas yang memuakkan. Tapi meski judulnya menyelamatkan, Kiara tidak benar-benar membebaskannya, karena setelah itu dia disuruh menyusun laporan kunjungan ke pabrik hari ini bersama Maudy dan disuruh menghafal isinya karena besok mereka akan ikut Kiara mempresentasikan hasil laporan itu.

Tidak datang tapi disuruh menyusun laporan. Gladys hari ini nyaris gila.

Atau mungkin sebenarnya sudah gila?

Dia hanya tidak berteriak di tengah-tengah ruangan saja hari ini. Apa memang mahasiswa magang punya tugas yang seberat ini? Dia pikir, dia hanya perlu membantu mem-fotocopy berkas atau membelikan minuman di lantai dasar gedung ini yang memang terdapat sebuah kedai kopi yang juga menjual berbagai roti dan pastry yang rasanya lumayan enak.

Dan ngomong-ngomong soal roti, hari ini dia hanya makan roti karena meski siang tadi Gladys tetap dapat jam makan siang, dia tak nafsu makan apa pun hingga akhirnya hanya memakan satu roti yang diberikan Rion Lantai 5, katanya sebagai upah karena membantu mengerjakan pekerjaannya.

Jika Galdys tak menahan diri, dia ingin meminta Rion Lantai 5 memberinya upah dengan uang yang banyak daripada sebuah roti yang harganya hanya 12.000 rupiah. Mungkin itu bisa membuatnya tersenyum sedikit hari ini.

Tidak ada yang lebih baik dari uang, kan?

Gladys tersentak merasakan pipinya tiba-tiba dingin oleh sentuhan sesuatu. Dia langsung menegakkan tubuh dan terkejut saat mendapati langit di luar sana sudah gelap dan hujan sudah berhenti.

“Buset, bikin pulau lo di sini?” Seseorang duduk di hadapannya, meletakkan es cokelat di atas meja, untuknya.

Gladys mendelik mengusap sudut-sudut bibirnya takut benar-benar meneteskan air liur saat tak sengaja tidur tadi. Berapa lama kiranya dia tertidur? Dan ketika dia berusaha menoleh sedikit, lehernya sakit, tanda bahwa dia tidur dalam posisi itu sudah cukup lama.

“Buat gue nih?” tanyanya saat melihat cup minuman di hadapannya.

“Nggak mau? Ya udah.” Lelaki itu pura-pura akan menarik kembali minuman yang dibawanya saat Gladys tak kalah cepat merebutnya, lalu menyedotnya.

“Kok lo nggak bangunin gue, sih? Lo pasti tahu gue tidur di sini dari tadi, kan?”

Narga mendesah, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Manager gue yang suruh. Kasihan ngelihat lo kayak udah nggak punya nyawa tadi.”

Gladys kemudian menjenjangkan lehernya untuk melihat ke sekitar kedai kopi termasuk konternya, menyapu keadaan untuk mengetahui bahwa meski kantor sudah sepi dan hanya menyisakan. beberapa orang di setiap ruang dan lantainya yang masih sibuk berkutat pada pekerjaannya yang belum selesai, keadaan kedai kopi masih cukup ramai. Ada beberapa orang yang sedang menunggu pesanan, ada juga yang sudah menikmati pesanannya sambil bekerja.

Lagi-lagi ini tentang pekerjaan.

Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya bekerja? Kenapa uang tidak langsung turun dari langit? Jadi orang-orang tidak perlu bekerja untuk menghasilkan uang.

Gladys mendesah, lalu berdiri dari sana. “Lo udah pulang, kan?” Dia menatap Narga yang sudah tidak memakai seragamnya dan juga ada tas ransel yang ditaruh di kursi sebelahnya, sudah pasti milik Narga. “Yuk, anterin gue pulang ke kostan.”

Sebelum Narga menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu meninggalkannya, membuatnya mau-tak mau menyambar cepat ranselnya dan mengejar Gladys.

“Sana ambil motor lo,” suruh Gladys lagi saat tahu Narga sudah berdiri di sampingnya.

“Siapa yang bilang gue mau anter lo?”

Gladys menoleh, memberi tatapan sok sedih. “Lo nggak kasihan sama gue? Lihat muka gue? Cantik, kan?”

“Najis!” Narga mendorong kening Gladys dengan telunjuknya saat perempuan itu sudah menyemburkan tawa.

“Gue serius, lihat muka gue!”

“Mau muntah gue!”

“Gue capek banget, Nar. Lelahhhh …,” dia merengek. “Tulang-tulang gue udah nggak bisa menahan beratnya tubuh ini …. Hamba lelah, hamba letih, hamba lesu …. Hamba tidak ingin desak-desakan di busway bersama orang-orang bau ketek yang mukanya sepet-sepet.”

“Lebay banget busettt ….” Narga melongo. Meski dia sudah sering menghadapi Gladys yang banyak bercanda dan dramanya, dia tetap selalu kehabisan kata-kata setiap kali berhadapan lagi. “Lagian, gue nggak nyuruh lo pulang naik busway. Naik ojek lah. Pagi tadi lo naik ojek, kan?”

“Naik ojek mahal.” Gladys tersenyum masam. “Pagi tadi itu kepepet karena gue telat.”

“Nggak ada yang nyuruh lo buat telat juga.”

“Kalaupun nggak telat, gue biasa ikut nebeng sama Mas Rion Lantai 7. Tapi berhubung anaknya Mas Rion lagi sakit, jadi ya … gue terpaksa ngeluarin sedikit uang gue buat naik busway, dan sialnya hari ini malah harus naik ojek.” Gladys menyedot kembali minumannya dengan perasaan dongkol. “Mudah-mudahan besok Rui udah sembuh, jadi gue bisa nebeng sama ayahnya lagi.”

“Doa lo nggak tulus, nggak akan dijabah.”

Gladys berdecak. “Didoain sama lo juga belum tentu dikabul, soalnya pendosa agak susah didenger doanya.”

“Brengsek.”

Perempuan itu tertawa. “Jadi, sampai kapan kita mau berdiri di sini? Keburu hujan lagi nih.”

“Gue nggak bawa helm tambahan.”

“Elah, nggak apa-apa, ada gue. Polisi takut kok sama lo, tenang aja, nggak akan ketangkep. Soalnya muka lo mirip genderuwo.”

Meski bukan itu intinya, meski Narga mengomel, meski Narga marah-marah, meski Narga bergerutu, meski Narga menolak, pada akhirnya Narga tetap membawa Gladys untuk naik ke atas motor matic-nya itu, membalas jalanan yang padat saat matahari baru saja tenggelam dan cuaca dingin karena baru saja turun hujan.

Gladys mengatur lagi posisi tas ransel yang dipakai Narga dan totebag-nya sendiri, yang dijadikan pembatas antara dirinya dan lelaki itu di atas motor, yang membuat Narga berdecih dan semakin tak habis pikir dengan perempuan itu, apalagi saat kedua tangan Gladys yang hanya menyentuh sedikit ujung jaket yang Narga kenakan sebagai pegangannya selama di atas motor, yang kemudian memunculkan ide jahil untuk membawa Gladys mengebut hingga akhirnya kedua tangan itu mau mencengkeram dengan benar kedua sisi jaket Narga di bagian pinggangnya meski Galdys tetap mempertahankan posisinya agar dadanya tak menyentuh tepat punggung lelaki itu.

“Nggak usah berlagak seolah dada lo gede sampai bikin gue sange pas lo meluk gue dari belakang. Lo begitu pun punggung gue nggak akan ngerasain apa-apa, orang rata begitu.”

Dan Gladys tak berpikir lama untuk menoyor kepala Narga saat itu juga. Membuat lelaki itu mencebik sebal dan mengancam bahwa dia akan menjatuhkan motor jika Gladys mengganggunya lagi selama berkendara.

Orang-orang di kantor yang melihat kedekatan keduanya bertanya-tanya, bagaimana Gladys bisa lebih akrab dengan orang yang baru dia temui sebulan lalu saat baru memulai magang alih-alih dengan dua teman lainnya yang datang dari kampus yang sama bahkan jurusan yang sama, yang memulai magang di kantor yang sama.

Gladys bahkan terlihat seakan tak mengenal Maudy dan Adwin karena jarang mengobrol kalau bukan karena pekerjaan mereka. Para pegawai kantor di sana banyak yang berspekulasi bahwa mereka bermusuhan, tapi setelah melihat beberapa kali—walau bisa dihitung jari jumlahnya, ada waktu di mana mereka seperti anak magang lainnya saat makan siang bersama.

Gladys juga tak pernah menyangka bisa sampai seakrab itu dengan lelaki yang sekarang sedang mengantarnya ke kostan ini, yang rela berkendara lebih jauh dari tempat tinggalnya sendiri. Padahal pertemuan mereka hanya pertemuan klasik biasa; Gladys membeli kopi di kedai kopi tempat Narga bekerja, Narga yang bertanya apa Gladys pegawai baru atau mahasiswa magang karena belum pernah melihat sebelumnya, lalu saling antusias karena ternyata mereka Gladys kuliah di kampus yang sama dengan kampus Narga dulu, bahkan juga satu jurusan.

Tapi jika dipikir lagi, kenapa Narga bisa lebih dekat dengan Gladys? Padahal Maudy dan Adwin pun datang dari tempat yang sama.

Mungkin karena Gladys datang ke kedai kopi itu lebih dulu dari dua temannya, jadi antusias itu masih penuh, sampai akhirnya mereka dekat dan Narga bisa sampai cerita bahwa ternyata dia sudah naksir lama dengan Kiara, yang tak lain adalah pembimbing Gladys di kantor sekaligus teman satu kostan. Itu juga yang mungkin bisa membuat keduanya akrab, bahkan tak masalah jika Gladys tak memanggil Narga dengan sebutan 'kakak' meski sudah tahu lelaki itu seniornya di kampus dulu.

“Eh, Nar,” Gladys memanggil, mengatur lagi tas mereka karena dia harus maju sedikit agar Narga bisa mendengar suaranya, “lo beneran nggak mau nomornya Mbak Kiul? Gue bisa kasih sebagai ongkos ojek lho ….”

“Gue bisa minta sendiri.”

“Alah! Dari tahun jebot bilangnya mau minta sendiri tapi sampai sekarang nggak dapet-dapet.”

“Ya, itu karena gue belum minta.”

“Bukan belum minta, tapi emang lo nggak berani.”

Narga tak menjawab.

“Lagian, apa sih yang lo takutin dari Mbak Kiul?” tanya Gladys. “Ya …, emang sih dia galak, aura-aura kegalakannya udah bisa lo lihat dari jarak puluhan kilo, bahkan sebelum lo bisa lihat mukanya, aura kegalakannya nih udah berasa duluan. Tapi ya kenapa gitu lho???” Dia jadi geregetan.

“Lo nggak akan ngerti kalau nggak pernah naksir orang.”

Kali ini Gladys tak tahan untuk tak menoyor kembali kepala Narga. “Nggak ada hubungannya pernah naksir orang sama nggak berani minta kontak orang!”

“Ya, ada lah!”

“Apa coba?”

“Kalau lo naksir sama orang ini, lo bakal punya ketakutan lebih buat sekedar nyapa doang. Jadi, jangankan minta kontaknya, nyapa aja nggak berani. Deg-degan, cuy!”

“Ngeles mulu kayak bajay! Justru seharusnya itu bikin lo terpacu buat lebih berani deketin. Beneran ditikung orang, baru tahu rasa! Lihat aja, bentar lagi Mbak Kiul bakal bawa gandengan lewat depan mata lo, biar nyeseknya makin berasa!”

Gladys ini memang nomor satu kalau urusan mendukung Narga mendekati Kiara, tapi nomor satu juga untuk urusan menyumpahi Narga agar Kiara menolaknya atau Narga kalah start dari lelaki lain yang mungkin juga menyukai perempuan itu. Siapa juga yang tak kesal setiap hari disembur cerita soal Kakak Cantik yang dia taksir mampus tapi setiap hari tak ada kemajuan untuk mendekat?

Gladys bertahan untuk tetap mendengarkan, itu sudah luar biasa.

“Lagian, apa sih yang lo lihat dari Mbak Kiul?” tanya Gladys.

Sebelum menjawab, Narga tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting saat membayangkan betapa menawannya Kiara di matanya.

Dan ketika lelaki itu hendak membuka mulutnya untuk menjawab, Gladys lebih dulu memukul bahunya dengan heboh, menyuruhnya berhenti.

“Apa, sih?” Narga mencebik.

“Stop! Stop! Stop!!!”

Narga kemudian terpaksa menepi dengan sebal dan bingung, tepat sebelum motor yang mereka naiki berbelok ke arah gang di mana kostan Gladys berada.

Gladys begitu saja melompat turun dari motor Narga, meninggalkan lelaki itu untuk berjalan ke arah sebaliknya dari arah yang seharusnya mereka lalui, kemudian berteriak, “Pak Guru!!?”

Langkah perempuan itu terlihat riang, seperti tanpa beban, seolah Narga tak menemukan wajah tertekan dan lelah Gladys yang ditemuinya beberapa jam lalu sebelum perempuan itu tidur di salah satu kursi di kedai kopinya. Ya, tidur memang cara paling ampuh untuk mengisi daya energi setiap manusia. Tapi apa secepat itu?

Narga melongo saat Gladys sudah menghentikan langkah seorang lelaki yang tengah berjalan menuju jalan raya besar di depan sana, membuatnya mau-tak mau memutar arah motornya dan menghampiri dua orang itu.

“Pak Guru mau ke mana?” tanya Gladys dengan senyum lebar yang demi Tuhan, Jidan tak menyukainya. Dia terkejut, nyaris berlari terbirit saat mendengar perempuan itu berteriak menghampirinya. Entah kenapa terdengar begitu menakutkan.

“Mau beli makan,” jawab Jidan, berusaha terlihat tenang meski dia sungguh tertekan tanpa alasan.

Gladys mengangguk, masih dengan senyumannya. “Beli makan di mana?”

“Nggak tahu. Eza bilang ada warung makan enak di depan halte, saya mau coba ke sana.”

“Oh, Bu Suk?”

“Hah?” Dia agak terkejut dengan sebutan nama warung itu.

“Iya, warung makan Bu Suk.”

“Woy, Dys!?” Narga lalu muncul, menatap sebal Gladys tapi mengangguk sopan dan tersenyum canggung pada Jidan.

“Lho, lo belum balik?” tanya Gladys yang ingin sekali membuat Narga mengumpat dan menonjok wajah tanpa dosa kalau saja tak ingat hukum dan sabarnya yang masih tinggi.

“Lo nggak mau bilang sesuatu sama gue gitu udah nganterin lo pulang?”

Gladys menggaruk rambutnya. “Oh, nomornya Mbak Kiul? Ya udah, nanti gue kirimin.”

Mata Narga membulat tak percaya. “Bukan itu!!!”

“Terus apa dong?”

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meninggikan lagi kesabarannya. Matanya terpejam menahan emosi sebelum kemudian memilih tersenyum. “Nggak kok, bukan apa-apa, kalau gitu, gue balik, ya ….”

Gladys tertawa terbahak, memukul lengan Narga beberapa kali. “Thanks, ya, udah nganterin gue. Baik-baik di jalan, jangan ngebut-ngebut. Nyesel lo kalau mati sebelum berhasil deketin Mbak Kiul.”

“Anj—” Narga nyaris mengumpat kalau saja tak ingat ada seseorang di sebelah Gladys yang kemudian berhasil membuatnya tersenyum sopan lagi.

“Eh, Nar, kenalin, ini Pak Guru. Penghuni baru kostan,” Gladys memperkenalkan Jidan dengan senyum penuh arti yang dia layangkan untuk Narga sebelum kemudian berbisik, “calon saingan lo. Kalau lo kebanyakan mikir, Mbak Kiul bisa disikat sama ini cowok.”

Narga tertawa dengan bibir mengatup. Dia mematikan mesin motornya, lalu turun dan mengulurkan tangan ke hadapan Jidan. “Narga, Pak Jidan. Musuhnya Gladys.”

“Bukan musuh, tapi kacung,” bisik Gladys pada Jidan yang masih bisa didengar Narga.

Sekali lagi, perempuan itu lolos dari rasa ingin menonjok Narga terhadapnya.

“Jidan,” ucap Jidan seraya meraih uluran tangan Narga. “Panggil aja gitu.”

“Oh, iya …, Jidan ….”

Gladys memukul keras lengan Narga. “Yang sopan sama yang lebih tua. Jidan … Jidan …. Lo pikir, temen lo.”

Narga meringis memegangi lengannya. Setahun terus bersama Galdys, bisa-bisa anggota tubuhnya rontok satu per satu karena terus dianiaya. “Kalau gitu, Pak Jidan.” Dia mengangguk sopan.

Gladys menahan tawa, membayangkan Jidan dengan ekspresi sebal mengatakan bahwa dia belum setua itu untuk dipanggil 'bapak'.

“Kalau gitu, gue balik, ya.” Narga kembali ke motornya, dan menyalakan mesinnya lagi, bersiap untuk pergi.

“Sekali lagi, makasih udah anterin gue. Hati-hati, kabarin Kalau udah nyampe. Nggak ngabarin, gue gorok leher lo besok pagi.”

“Iya, iya, bawel banget buset. Besok jangan telat lagi,” sahut Narga, lalu menatap Jidan. “Mari, Pak Jidan, saya duluan.”

Dan setelah motor Narga pergi dari sana, membawa pengemudinya menghilang ditelan jarak, Jidan begitu saja melanjutkan langkahnya tanpa mengatakan apa-apa pada Gladys, membuat Gladys langsung melangkahkan kaki lebar-lebar demi bisa kembali berdiri sejajar.

“Pak Guru, gue boleh ikut beli makan bareng nggak? Soalnya gue juga belum makan dari pagi.”

Jidan tak menoleh, dia menjawab, “Emangnya, kalau saya bilang nggak boleh, kamu mau pergi?”

Gladys nyengir. “Nggak sih, mau ikut aja.”

Lelaki itu mendesah. Agaknya hari ini memang benar-benar akan jadi hari yang sangat panjang untuknya.

“Pak Guru, gimana hari pertama ngajar di sekolah? Seru nggak? Murid-muridnya banyak nakal nggak? Guru-guru yang lain pada julid nggak? Atau pada baik?”

Jidan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya sedikit untuk menatap Gladys yang ketika itu pun masih tersenyum ke arahnya. “Capek,” jawabnya. “Stres juga.”

Gladys mengangguk prihatin. “Berarti sekolah swasta mahal kayak gitu nggak menjamin orang-orangnya beda kayak sekolah gratisan negeri, ya. Tetep aja muridnya nakal dan guru-gurunya julid. Kasihan banget Pak Guru capek dan stres ngehadepin orang-orang kayak gitu. Semangat ya, Pak Guru.” Dia menepuk-tepuk pelan punggung Jidan sebagai tanda penyemangat, yang membuat Jidan tersentak karena sentuhan tiba-tiba itu.

“Gadis—”

“GLADYS!” ralat Gladys dengan cepat, matanya menatap bete Jidan sampai akhirnya membuat senyum itu menghilang.

“Maksud saya …, Gadis Mahasiswa. Dalam KBBI, Gadis itu artinya anak perempuan yang belum kawin. Dan kamu seorang mahasiswa. Makanya dengerin dulu saya ngomong sampai selesai.”

“Ngeles aja kayak bajay,” gerutu Gladys, masih sebal. “Ya udah, mau ngomong apa?”

Mereka sudah kembali melangkah menuju jalan raya besar, dan nanti akan belok ke kiri, berjalan lagi sekitar 100 meter untuk menemukan sebuah warung makan kecil yang berada tepat di bawah tangga JPO yang terhubung langsung dengan halte.

“Nggak tahu, lupa,” balas Jidan. Padahal dia hanya tak jadi mengatakan bahwa penyebab lelah dan stresnya saat ini bukan datang dari sekolah tempatnya mengajar, tapi dari … Gladys.

“Guru kok pelupa.” Gladys terkikik sementara Jidan memejamkan mata menahan rasa kesal.

Sampai di persimpangan jalan, mereka berhenti sejenak, Jidan celingukan mencari halte dan warung makan yang Reza maksud, sebab dia sama sekali belum pernah ke tempat ini, karena untuk makan kemarin, dia masih mengandalkan Idah yang memberi makan anak-anak penghuni kostnya karena katanya masak banyak, juga mencoba membeli dari aplikasi pesan antar. Tapi Sadewa mengatakan, kalau dia terus pesan makan secara online setiap hari, niscaya uang simpanannya akan habis sebelum dia mendapat gaji pertamanya dari mengajar di Bina Bakti. Meski dapat upah yang lumayan, dia tetap harus berhemat dan menabung. Jadi dia tadi memberanikan diri untuk bertanya pada Reza di mana tempat makan dekat sini yang sekiranya lumayan enak.

“Tuh, bawah tangga sana,” Gladys menunjuk tempat yang sudah dihafalnya karena cukup sering beli makan di sana jika dia tidak memasak.

Jidan mengangguk, mungkin ada baiknya juga Gladys menemaninya malam ini. Walau bikin kesal, setidaknya dia membantu sedikit. Jidan mengakuinya.

Dan sesaat sebelum keduanya melangkah ke arah sana, sebuah mobil putih tiba-tiba berhenti tepat di depan mereka. Bukan tanpa alasan Gladys memilih diam sejenak, membuat Jidan juga ikut diam menunggu.

Lewat kaca tembus pandang, dia bisa melihat dua orang yang ada di dalam mobil itu sebelum salah satunya keluar dari kursi penumpang.

Seseorang yang dikenalnya.

Atau lebih tepatnya, dua orang yang dikenalnya.

Kiara dan Rion.

Rion Lantai 2. Satu-satunya Rion dari tiga Rion yang ada di kantor yang dipanggil Bapak. Karena punya jabatan yang lebih tinggi dari dua Rion lainnya, dan juga punya istri dan dua orang anak yang sudah cukup besar.

Kiara mematung saat saat pandangannya bertabrakan langsung dengan dua orang penghuni kostnya, terutama Galdys. Sebelum memilih pergi begitu saja meninggalkan keduanya tanpa mengatakan apa pun, seolah mereka tidak mengenal satu sama lain.

— 12


Kostan itu berada di tengah pemukiman padat penduduk. Jidan mengatakan kalau kostannya terletak di dalam sebuah gang yang hanya bisa dilalui satu mobil dan satu motor saja, tapi saat Sadewa melihat secara langsung saat mengantar sang kakak untuk pindahan ke kostan tersebut dengan mengendarai sebuah mobil milik teman kuliahnya, menurutnya tidak sesempit itu. Memang bukan jalanan besar, tapi masih cukup dilalui oleh dua mobil, meski yang satunya mungkin harus agak mengalah dengan berhenti sejenak dan mengambil bagian rumah warga agar badan mobil tidak saling bersinggungan dan mobil satunya bisa melaju lebih dulu.

Jidan di bangku penumpang terlihat lebih banyak diam. Dia tak begitu menyukai rencana Sadewa yang mengantarnya sampai ke kostan sampai harus meminjam mobil temannya, walau itu sebenarnya bukan masalah besar. Dan Sadewa sendiri sudah menjelaskan bahwa pemilik mobil ini adalah teman baiknya. Lagi pula, bagaimana Jidan akan membawa tiga koper besar bersama beberapa boks lainnya dengan motor atau naik KRL?

Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lumayan lama, selain karena jarak tapi juga karena kemacetan, akhirnya mereka sampai di kostan tersebut, dan mobil masuk ke area carport yang kosong karena tak ada satu pun penghuninya yang bawa kendaraan pribadi, dan Reza menaruh mobilnya di garasi rumah orangtuanya yang berada tepat di depan kostan.

Emak Idah—begitu warga sekitar memanggilnya, orangtua Reza sekaligus pemilik kost, langsung menghampiri begitu melihat Jidan turun dari mobil.

“Bawa barang-barangnya banyak, Pak Guru?” tanya Idah, enggan memanggil Jidan dengan sebutan 'mas' atau sekadar nama setelah tahu bahwa Jidan seorang guru.

“Nggak, Bu. Cuma pakaian sama buku aja, sama paling barang-barang kebutuhan lain.”

“Oh …, iya lah, nggak usah banyak-banyak, kan di sini fasilitasnya udah lengkap. Tinggal bawa diri aja gitu.” Idah terkikik sebelum perhatiannya teralih pada Sadewa yang muncul setelah mengeluarkan barang-barang Jidan dari bagasi.

“Ini adik saya, Bu,” ucap Jidan, memperkenalkan Sadewa tanpa ditanya.

“Dewa, Bu.” Sadewa mengulurkan tangannya dengan sopan.

“Panggil aja 'emak', biar enak.” Idah tersenyum. “Adik-kakak bisa ganteng-ganteng gini, ya. Pasti orangtuanya ganteng dan cantik juga.”

Sadewa tersenyum kecil dan melirik ke arah Jidan yang sedang menatap ke sekeliling halaman kostan tersebut yang ternyata dirawat dengan baik, terlihat dari rumput yang panjangnya teratur dan tanaman hias yang berjejer rapi dan terlihat begitu segar.

“Iya, Mak,” jawab Sadewa pada akhirnya.

“Bilangin kakak kamu juga, buat panggil Emak pakai 'emak' aja, nggak usah 'ibu'. Dari kemarin manggilnya 'ibu' terus,” bisik Idah pada Sadewa.

Lelaki itu terkekeh, melirik lagi sang kakak sebelum mengangguk patuh pada Idah.

“Mak,” tiba-tiba seorang lelaki yang menggunakan celana pendek dan kaus lengan pendek, rambut acak-acakan dengan ponsel di tangannya masuk ke dalam pekarangan kost, memanggil Idah, membuat Jidan dan Sadewa yang masih berada di sana juga ikut menoleh.

“Habis dari mana, sih? Ini bantuin angkat barang ke atas,” pandangan Idah tertuju pada koper dan boks yang seluruhnya sudah diturunkan dari mobil.

“Oh …, penghuni baru?” Lelaki itu mendekat dengan wajah sumringah, memasukkan ponselnya ke saku celananya. “Dewa?” tunjuknya pada Sadewa. “Dan yang ini pasti Jidan, abangnya.” Lalu beralih pada Jidan.

“Yang sopan.” Idah memukul pelan bahu anaknya itu. “Guru ini.”

“Bang Reza, kan?” Sadewa menyambut saat Reza tengah berdecak lidah.

“Panggil aja Eza, kalau susah nyebut pakai Z, Eja aja udah, nggak apa-apa,” Reza mengulurkan tangannya dan Sadewa menyambut dengan ramah.

Sadewa terkekeh. Dia sudah menebak sejak mereka bertukar pesan teks saat menanyakan kost, bahwa Reza adalah orang yang menyenangkan. Sebab bukan hanya lingkungan baik yang Sadewa cari untuk tempat tinggal baru sang kakak, melainkan orang-orang yang juga menyenangkan, makanya dia bersikeras agar Jidan mau mengambil kost ini.

“Yuk, masuk. Gue bantuin angkat barang sekalian.” Reza kemudian menuntun dua lelaki itu untuk masuk ke dalam rumah seraya membawa satu boks dengan dua tangannya, langsung menuju lantai dua ke kamar milik Jidan.

“Kemarin Emak udah ngebersihin kamarnya, udah nyuruh orang buat ngecek aliran listrik, lampu, sama air di kamar mandi. Semuanya beres. Tapi kalau ada apa-apa, boleh langsung kasih tahu gue aja,” Reza berbicara pada Jidan saat Sadewa kembali turun ke bawah untuk membawa barang-barang yang lainnya.

Jidan mencoba menyalakan lampunya, tidak cukup terang, bahkan terkesan redup.

Reza menyadari hal itu. “Eh, ini belum diganti nih sama si Emak. Pas masih kosong emang sengaja dikasih lampu yang watt-nya kecil, terus kemarin kayaknya cuma ngecek si dudukannya aja deh, takutnya bermasalah, tapi lupa sekalian diganti. Gue ngomong sama Emak dulu deh.”

Dia baru akan keluar dari kamar Jidan untuk mencari Idah yang tadi pergi meninggalkan mereka karena ada pembeli di warungnya dan akan kembali membawakan minuman untuk Jidan dan Sadewa, namun sebelum itu Sadewa yang baru saja kembali menahannya sejenak.

“Ini emang pada nggak ada, Bang?” tanya Sadewa, menoleh pada dua kamar lain yang kelihatan sepi.

“Oh …. Yang satu udah pergi dari pagi tadi, yang satu lagi—”

Dan ketika itu pintu kamar yang letaknya berseberangan dengan kamar Jidan terbuka, seorang perempuan dengan celana pendek dan tanktop bergaris keluar dari sana, menguap lebar-lebar tanpa peduli ada dua lelaki yang sedang menatapnya, dan dari wajah serta rambutnya yang sangat berantakan terlihat kalau perempuan itu baru bangun tidur.

“Eh, ada penghuni baru, ya?” ujarnya setelah selesai menguap dan menggaruk-garuk rambutnya.

Jidan yang mendengar suara itu ikut keluar dari kamarnya, selesai memeriksa bagian kamar mandi untuk memastikan bahwa pemilik kost benar-benar sudah menyiapkannya dengan baik seperti yang dikatakan. Dia agak terkejut melihat perempuan itu mendekat.

“Lho, yang mau ngekost dua orang?” tanya perempuan itu lagi, menatap bergantian Jidan dan Sadewa.

“Cuma satu,” jawab Reza. “Yang ini—”

Perempuan itu memotong dengan mengangkat sebelah tangannya. “Biar gue tebak ….” Jari telunjuknya bergerak antara Jidan dan Sadewa untuk beberapa saat sampai berhenti di Jidan. “Pasti ini Pak Guru,” tebaknya. “Dan lo ….” Dia menatap Sadewa, bertanya-tanya.

“Adiknya,” ucap Sadewa, lalu mengulurkan tangan. “Dewa,” katanya.

Perempuan itu tersenyum sangat lebar, mengusap dulu tangannya ke celana dengan gerakan membersihkan sebelum menyambut uluran tangan itu. “Gladys,” katanya dengan nada centil dan nada suara yang lembut. “Pakai L dan pakai Y.”

Sadewa terkekeh. “Oke …. Gladys ….”

“Kuliah?” tanyanya. “Soalnya lo kelihatan masih muda.” Menyindir Jidan.

Reza menahan tawa.

“Iya, kuliah. Kuliah juga?”

“Iya, gue semester enam, lagi magang sekarang, semester depan udah skripsi.”

“Semester depannya lagi belum tentu itu skripsi kelar,” sambung Reza, memancing tatapan tajam dari Gladys.

“Gue semester empat,” Sadewa menyahut.

“Oh …, wow …. Kayaknya kita cocok.”

Reza memutar bola mata. “Cocok dari mana!? Cuma sama-sama lagi kuliah aja lo bilang cocok.”

“Sirik aja lo!”

“Udah lo sana balik ke kamar. Mandi! Perawan-perawan jam segini baru bangun.”

“Idih, sok tahu banget lo kalau gue masih perawan, udah pernah lihat punya gue emangnya?”

“Sinting!”

Sadewa dan Jidan yang mendengar hal itu hanya saling lirik. Sadewa jadi agak khawatir. Reza mungkin orang yang menyenangkan, dan perempuan bernama Gladys ini juga kelihatannya menyenangkan, tapi Sadewa jadi takut yang seperti ini malah membuat Jidan tak nyaman.

“Bentar, ih! Gue belum kenalan sama Pak Guru!” seru Gladys saat Reza mendorong tubuhnya untuk kembali ke kamarnya.

“Hai, Pak Guru …,” sapanya pada Jidan. “Kita udah kenalan sih di group chat, tapi kenalan lagi deh.” Dia tersenyum. “Gladys …. Bukan Gadis, oke?”

Jidan menatap sejenak uluran tangan di hadapannya, lalu menyambut dengan ragu. “Jidan. Panggil aja saya Jidan, nggak usah pakai Pak Guru.”

“Nggak mau, ah,” goda Gladys. “Maunya Pak Guru aja. Pak Guru …. Pak Guru ….”

Sadewa meringis kecil. Semakin khawatir.

“Ngomong-ngomong, guru apa?” tanya perempuan itu.

“Bahasa Indonesia.”

“Oh …, pantes pakainya saya-saya. Ternyata harus sesuai KBBI kalau ngomong.”

“Di KBBI ada kok 'gue-lo'.”

“Oh, ya? Kirain nggak ada. Coba ngomong pakai 'gue-lo' kalau gitu. Gue mau denger,” goda Gladys sekali lagi, kali ini sambil terkekeh-kekeh membuat Reza geram dan Sadewa kembali melirik was-was ke arah Jidan yang wajahnya sudah menunjukkan tabiat tak suka pada perempuan di hadapannya ini.

Reza kemudian benar-benar mendorong pelan tubuh Gladys untuk kembali ke kamarnya, sekalian dia pergi menemui Idah untuk menanyakan perihal lampu. Namun tak lama, saat Sadewa dan Jidan berada di dalam kamar untuk merapikan barang-barang, Gladys kembali menemui keduanya, mengetuk pintu meski terbuka, tersenyum lebar, kali ini rambut panjangnya sudah digulung menggunakan jepitan.

Sadewa melirik ke arah Jidan yang kelihatan tak peduli sebelum menghampiri Gladys sendirian.

Ternyata perempuan itu membawa ponselnya untuk meminta kontak Sadewa, dan Sadewa memberikannya dengan senang hati tanpa pikir panjang.

“Pak Guru,” panggil Gladys, tetap berada di ambang pintu, tak berniat masuk lebih dalam.

Jidan menoleh, menatapnya dari tempatnya.

“Adiknya boleh buat gue aja nggak?” Gladys terkekeh, tersenyum sok manis.

Jidan menatap Sadewa. “Ambil aja kalau dia emang mau.”

“Pasti mau,” balas Gladys dengan percaya diri. “Iya, kan?” Dia beralih pada Sadewa.

Sedangkan Sadewa hanya garuk-garuk kepala, bingung.

“Kalaupun mau, mungkin kamu bakal dijadiin selingkuhannya.”

Gladys menatap kecewa. “Lo udah punya cewek?”

Tak ada jawaban, hanya gumam panjang bernada bingung.

“Yah …, kecewa deh gue.” Galdys cemberut. “Tapi ya …, aneh sih kalau cowok seganteng lo nggak punya pacar. Pasti di kampus, lo jadi rebutan.” Lalu terkikik lagi. “Iya, kan, Pak Guru? Adiknya Pak Guru ini pasti terkenal di kampus.”

“Saya nggak tahu,” balas Jidan. “Nggak pernah dateng ke kampus adik saya.”

“Ah, Pak Guru nggak perhatian sama adik sendiri.”

“Bukan nggak perhatian. Ngapain juga saya dateng ke kampus adik saya cuma buat tahu dia terkenal atau nggak di kampusnya? Dia bukan anak SMP atau SMA yang rapor sekolahnya harus diambilin orangtua.”

Sadewa meringis kecil mendengar Jidan sudah bicara banyak. Dari ekspresi wajahnya, kentara sekali kalau kakaknya ini mulai tak nyaman dan terganggu dengan kehadiran Gladys yang pasti setelah ini Sadewa sendiri akan mendapat banyak protes mengenai sifat Gladys. Sudah terbayang.

Beruntung, di saat Sadewa kebingungan mencari celah untuk mencairkan suasana, Idah dan Reza datang menghampiri mereka. Selain membawa minum dan beberapa kudapan, mereka juga membawa tangga besi untuk mengganti lampu di kamar Jidan.

Setelah itu Gladys pergi, namun dia sempat menggoda Jidan sekali lagi, “Semoga betah ya, Pak Guru. Baik-baik sama penghuni kamar sebelah, anjing galak.”

“Emangnya di sini boleh pelihara anjing?” tanya Sadewa dengan nada polos, mengundang tawa dari Reza.

“Lho, gue nggak bilang pelihara anjing, tapi emang penghuninya yang kayak ….” Gladys memutar bola matanya. “Galak.” Dia cekikikan. “Tapi nggak apa-apa. Kalau ada apa-apa, panggil gue aja, Pak Guru. Nanti kita karaokean bareng-bareng. Oke?”

Jidan tak menjawab sampai Gladys benar-benar pergi dari sana dan dia tak melihatnya lagi sampai esok harinya.

Teruntuk Jarak yang Telah Mendekatkan


Senja, kamu tahu tidak kalau mungkin semesta telah bosan mendengar ucapan terima kasih saya?

Saya berterima kasih karena semesta telah membuat takdir untuk saya mengikis jarak dengan kamu.

Saya tidak perlu waktu yang lama, satu menit saja cukup asal kamu mengerti betapa saya telah jatuh sedalam-dalamnya pada kamu.

Yang saya katakan waktu itu benar, kamu tidak perlu jatuh pada saya, karena saya yang akan jatuh untuk kamu. Rasanya sakit, Nja. Saya tidak ingin kamu merasakannya juga. Saya hanya ingin kamu tahu kalau saya bahagia bisa bertemu dengan kamu. Saya berharap, kamu juga merasakan itu.

Saya sudah berdoa pada semesta agar saya bisa merasakan rasa bahagia itu lebih lama, tapi ternyata tidak seperti itu semesta menggariskan takdir saya terhadap kamu. Saya hanya diizinkan merasakan rasa sakit karena jatuh pada kamu.

Tidak apa, Senja. Saya tetap senang.

Setelah ini, tolong jadilah senja yang menghangatkan semua orang, yang menemani semua orang pada tempat ternyaman setelah seharian lelah bekerja, yang mengantarkan saya ke tempat paling damai di bumi.

Kalau kamu rindu saya, bangunlah sepagi mungkin karena saya pasti akan ada di sana menyambut hari semua orang, terutama kamu.

Jangan bersedih, Senja Aulia. Saya akan bahagia kalau kamu bahagia.

Your love, Fajar Caka Bagaskara


end.

Baca cerita lengkapnya di sini