— 54


Selama lima tahun menikah dengan Rania—tiga tahun dengan kehadiran Elea di dunia mereka, mungkin bisa dihitung jari jumlah mereka berdua pergi jalan-jalan bersama. Elea bisa dikatakan adalah anak yang tidak direncanakan kehadirannya, sebab meski sudah satu tahun menikah, Rania masih belum mau memiliki anak karena dengan ia hamil, melahirkan, lalu menyusui, semuanya akan menghambat kariernya sebagai seorang model.

Arion tak masalah soal itu. Bahkan jika akhirnya Rania memutuskan untuk tak memiliki seorang anak pun Arion tak akan keberatan. Sebab yang ia butuhkan saat itu memang hanya cinta dari sang istri. Sampai kemudian Elea hadir menambah kebahagiaan lain untuk Arion, tapi justru seolah membuat luka untuk Rania hingga perdebatan-perdebatan kecil itu mulai terjadi, sampai berubah menjadi keributan besar yang membawa mereka semakin jauh dan Rania memilih melabuhkan cintanya ke orang lain.

Meski luka itu belum sembuh sepenuhnya, tapi tiga tahun berlalu Arion benar-benar hanya fokus pada tiga hal; dirinya sendiri, pekerjaan, dan keluarga—terutama Elea. Ia tak peduli pada apa pun lagi, bahkan pada perempuan seperti yang selalu dipinta mamanya untuk segera mencari istri sekaligus mama baru untuk Elea. Hingga Arion bertemu kembali dengan Utara yang membuat gelenyar aneh tapi indah itu menggelitik sudut hampa di hatinya, sebuah tempat yang sudah lama tak tersentuh dan tak berpenghuni, kini mulai kembali terlihat keberadaannya.

Karena Utara Pradita, seseorang yang berhasil membuat Arion dan Elea jalan-jalan bersama lengkap dengan seorang perempuan dewasa, meski hanya di sebuah mal.

“Mau mampir ke sana?” tanya Arion, menunjuk pada sebuah toko pakaian dari sebuah merek besar.

“Mas, dress-ku tuh cuma dress biasa. Ya …, bermerek sih, tapi nggak yang—”

“Ayo ke sana,” Arion memotong cepat, menyentuh punggung Utara agar segera melangkah ke toko pakaian tersebut sementara tangan satunya menggenggam tangan Elea yang mulai merengek meminta beli es krim.

“Sebentar, kita beli baju buat Tante Tara dulu, habis itu baru beli es krim,” ujar Arion pada Elea.

“Kenapa nggak beli es krim dulu?”

“Kalau beli es krim dulu, nanti kamu nggak boleh masuk ke tokonya. Mau ditinggal di luar sendiri?”

Elea menggeleng, masih cemberut. “Tapi, Papa—”

“Lea ….”

Elea sudah mau menangis.

Utara yang menyaksikan itu langsung mengambil alih. “Elea, gimana kalau kamu bantu pilihin baju buat Tante?”

Elea menatap antusias. “Aku boleh pilihin buat Tante Seksi?”

“Iya.” Utara tersenyum. “Kira-kira baju kayak gimana yang cocok buat Tante?”

Bocah itu langsung melepas genggaman tangan papanya, berlari masuk ke dalam toko untuk melihat-lihat baju yang sekiranya cocok dengan si Tante Seksi.

Arion menoleh ke arah Utara, dan Utara hanya tersenyum seraya mengangkat bahu sebelum kemudian ia berjalan lebih dulu untuk menyusul Elea.

Ini adalah yang terbaik. Utara tak perlu merasa tak enak pada baju pilihannya yang akan Arion bayar, dan Utara yakin semahal apa pun baju tersebut Arion tetap akan membayarnya untuk Utara, apalagi kali ini pilihan anaknya sendiri.

“Gimana kalau ini, Tante?” Elea menunjuk pada sebuah dress hitam dengan potongan leher rendah—mirip dengan dress miliknya yang mengkerut karena dicuci menggunakan mesin cuci. Bedanya, ada akses berwarna silver yang mengelili dress bagian atas itu, tepat pada potongan leher—atau mungkin dada? Karena sejatinya dress itu seperti potongan handuk yang melilit tubuh dengan sebuah tali spageti sebagai penyangganya.

Yahh …, seksi.

Utara bergumam panjang. Memang seleranya. Dan pasti akan cocok di tubuhnya. Ia melirik pada Arion, meminta pendapat lelaki itu tanpa berkata.

“Coba aja dulu,” ujar lelaki itu.

“Ayo, Tante. Coba bajunya!”

Utara meringis, menoleh pada pegawai toko yang mengikuti mereka sejak tadi. Meminta pegawai tersebut untuk mempersiapkan ukurannya agar ia bisa mencobanya.

Di kamar pas, ia mendesah. Menatap dirinya di pantulan cermin. Dress-nya jelas terbaik, lekuk tubuhnya jelas terbaik juga. Perpaduan yang pas. Kalau yang sedang menunggunya di luar itu tantenya yang kayak setan, Utara tidak akan merasa keberatan perihal apa pun. Ia akan dengan percaya diri keluar, memperlihatkan tubuhnya dengan dress tersebut, bahkan berlenggak-lenggok agar membuat sang tante kepanasan.

Tapi masalahnya yang benar-benar menunggunya di luar ini adalah Arion dengan bocah yang memilih baju ini untuknya. Apa Arion akan kepanasan melihat Utara dalam balutan dress ini?

Setelah mengumpulkan niat sebanyak-banyaknya, Utara akhirnya keluar, bertemu dengan Elea yang langsung bersorak seraya bertepuk tangan dan Arion yang mematung. Dress itu pendek, hanya setengah paha Utara yang tertutupi. Hari ini Utara pakai celana jins panjang, dan karena harus mencoba dress ini Arion jadi bisa melihat kaki jenjang dan mulus Utara, membuatnya agak kegerahan.

“Bagus, Tante. Bagus banget!” seru Elea, sangat bersemangat.

Utara tersenyum manis.

“Ya udah, aku bayar.” Tanpa menunggu balasan Utara, Arion langsung beranjak menuju kasir.

“Tante ganti baju dulu, oke?” ucap Utara pada Elea.

Elea mengangguk patuh.

Setelah ia selesai berganti pakaian, Arion sudah kembali ke depan kamar pas, sudah selesai membayar, dan mereka tinggal menunggu pegawai toko itu membungkuskan dress tersebut untuk Utara bawa pulang.

“Silakan, Kak,” pegawai tersebut menyodorkan paper bag pada Utara, tapi Arion langsung meraihnya.

“Biar aku yang bawa,” katanya.

“Sekarang es krim!” seru Elea, membuat Arion terkekeh.

“Iya, es krim.” Lelaki itu tersenyum pada Elea. “Ayo, kita beli es krim.” Arion kembali menyentuh punggung Utara, untuk membawa perempuan itu agar berjalan beriringan dengannya.

“Makasih, Mas,” ujar Utara, terdengar seperti bisikan. “Harga dress itu jauh lebih mahal dari dress aku yang jadi kecil lho. Aku harap kamu nggak nyesel.”

Arion tertawa. Tangannya kemudian berpindah jadi merangkul penuh pinggang Utara, membuat Utara harus bergeser lebih dekat ke arah Arion. Utara sempat menoleh, tapi Arion hanya membalas dengan senyuman. Itu bukan masalah besar, kan? Hanya merangkul pinggang ketika sebenarnya mereka sudah pernah berciuman meski Utara tak sadar dan tak ingat, tapi ciuman itu membawa efek lain bagi Arion yang sadar sepenuhnya malam itu.

“Kalau aku nyesel, emang kamu mau ngapain?” tanya Arion.

“Aku balikin dress-nya ke kamu?”

“Dan suruh aku pakai?”

Utara tertawa. “Kayaknya baru masuk aja itu dress-nya udah sobek deh. You're a big boy, aren't you?”

Arion menatap Utara, berjengit kecil. “Yeah, I'm a big boy. Kamu gak salah. Aku bisa sobek-sobek baju.”

Utara merinding. Bukan karena itu kalimat yang menggelikan, tapi meskipun itu kalimat yang menggelikan, nyatanya Arion berhasil menggunakan kalimat menggelikan itu untuk membuat Utara memikirkan bagaimana cowok itu benar-benar merobek pakaian yang sedang Utara pakai saat ini karena tak sabar ingin memakan Utara.

This big boy is dangerous.

Oke, stop!

Utara harus berhenti memikirkan tentang makan, memakan, robek, merobek jika sedang bersama Arion. Ini membuatnya gila.

“Papa, itu!” Elea berseru seraya menunjuk ke sebuah toko es krim.

“Ayo ke sana,” ucapnya pada Utara, seraya mengeratkan pegangannya pada pinggang perempuan itu.

“Eum, Mas,” Utara menghentikan langkah, “Kayaknya aku mau ke sana dulu, deh.” Ia menunjuk toko ponsel yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, namun berseberangan dengan toko es krim yang diinginkan Elea.

“Kamu mau beli sesuatu?”

“Iya, aku mau beli handphone buat Mama.”

“Oh, ya udah ayo aku anter.”

“Nggak usah, Mas. Kamu beli es krim aja sama Elea sementara aku ke sana. Nanti siapa yang selesai duluan, dia yang nyamper.”

“Bener?”

“Iya, Mas ….”

“Ya udah, aku ke sana sama Lea, ya. Ini anaknya keburu ngambek terus nangis.”

Utara terkekeh.

Kemudian mereka berpisah di sana. Utara ke arah kanan, Arion dan Elea ke kiri.

Di dalam toko ponsel itu, Utara tak melakukan banyak. Ia langsung meminta tipe ponsel yang diinginkan, memilih warna, lalu meminta pegawainya memindah data ponselnya yang lama ke yang baru karena sebenarnya yang akan ia berikan pada sang mama adalah ponsel lamanya. Setelah membayar, Utara langsung keluar dan mendapati Arion sudah menunggunya di luar toko, bersama Elea yang sibuk menjilati es krim dalam cone-nya.

“Udah?” tanya Arion.

Utara menjawabnya dengan menunjukkan ponsel barunya.

“Kamu bilang, buat mama kamu. Jadi, kamu juga ikutan beli?”

Utara terkekeh. “Nggak. Yang buat Mama bekas aku.”

Arion mengerutkan kening, agak tak suka dengan jawaban itu.

“Kenapa? Aneh, ya? Aku kasih bekas buat Mama?” Utara bisa membaca raut wajah itu. “Kalau Mama aku kasih yang baru, Mama nggak akan mau lagi pegang hape. Jadi satu-satunya cara, ya, kasih bekas, biar nggak terlalu kelihatan kalau anaknya beliin barang bagus buat mamanya.”

“Jadi mama kamu selama ini nggak pegang handphone?”

Utara menggeleng. “Kemarin baru bilang mau lagi, tapi ya gitu, minta yang murah aja kalau sekiranya aku beliin dia baru. Karena hapeku juga sebenernya masih bagus, aku baru beberapa bulan lalu ganti. Jadi aku pikir lebih baik kasih hapeku aja. Aku bisa ngerti maksudnya hape murah tuh menurut Mama, beneran hape jadul yang cuma bisa SMS sama telepon.”

Arion tersenyum. “Sejak kapan mama kamu nggak pegang handphone? Dan gimana kalian komunikasi? Telepon rumah?”

“Ada adikku. Udah … dua tahun kayaknya.” Utara mengangkat bahu. “Mama emang lebih suka nonton YouTube di TV.”

“Kenapa? Kenapa beliau nggak pegang mau pegang handphone? Maksudku, di zaman kayak sekarang, anak kecil pun udah pada pegang handphone-nya masing-masing. Mamaku di rumah juga nggak pernah lepas dari handphone-nya.”

“Itu …, ceritanya agak cukup panjang. Kapan-kapan aku ceritain.” Utara meringis.

“Aku tunggu kapan-kapan itu, ya.” Karena pada saat itu tiba, Arion mungkin sudah benar-benar mendapatkan hari Utara. “Oh, ini. Es krim buat kamu.”

“Enak lho, Tante. Rasa vanila!” Elea menyahut, dengan mulut yang penuh es krim.

“Oh, ya? Tapi Tante suka rasa strawberry.” Utara menerima es krim tersebut.

“Tuh, kan? Apa aku bilang, Papa! Tante Seksi suka rasa strawberry!” Bocah itu menggerutu saat papanya berjongkok di hadapannya untuk membersihkan mulutnya dari lelehan es krim menggunakan tisu yang diberikan saat membeli es krim itu.

“Iya, kapan-kapan kita beliin Tante Tara es krim rasa strawberry,” balas Arion. “Mau aku beliin sekarang?” bisiknya setelah kembali berdiri menatap Utara.

Utara terkekeh. “Aku cuma bercanda, Mas. Makasih es krimnya.” Ia menjilat es krim itu tanpa menyadari Arion menatapnya. Menatap bagaimana es krim itu berpindah dari tempatnya ke bibir dan lidah Utara, lalu bagaimana Utara menjilat bibirnya sendiri untuk membersihkan bibirnya. Apa Arion boleh menggantikan lidah Utara untuk membersihkan bibir tersebut? Dengan lidahnya sendiri.

“Kamu nggak beli, Mas?” tanya Utara, membuyarkan lamunan Arion.

Arion hanya menggeleng seraya tersenyum.

“Mau coba? Enak. Rasa vanila.”

Cowok itu terkekeh. Lalu tangannya terulur untuk membersihkan sudut bibir Utara yang terkena lelehan es krim dengan ibu jarinya. Kemudian membawa ibu jari itu ke mulutnya sendiri, menghisapnya, menyecapnya. “Iya, enak. Rasa vanila.”

Itu bukan yang pertama kali. Tapi reaksi tubuh Utara masih tetap sama, membeku di tempat, dan setelahnya merinding saat Arion menghisap ibu jarinya sendiri setelah mengusap sudut bibir Utara. Apa cowok itu nggak tahu kalau Utara masih pegang tisu yang diberi toko es krim itu?

Mungkin tidak. Karena itu satu-satunya cara Arion menahan diri agar tak bertindak gila menjilat bibir Utara dengan lidahnya.

“Walaupun sebenernya aku nggak tahu mana yang bikin enak. Es krimnya atau bibir kamu.”

Dengan kesadaran penuh Utara membalas, “Mungkin kamu harus coba satu-satu, buat bandingin mana yang bikin enak. Atau mungkin … yang lebih enak.”

“Andai aku bisa.”