— 45


“Mas, kamu beneran nggak apa-apa nyamperin aku ke sini cuma buat makan siang?” Sekali lagi Utara bertanya pada Arion yang jauh-jauh datang menghampirinya di studio tempatnya melakukan syuting untuk program acara televisi yang dibintanginya, sebuah acara talk show bertemakan perbincangan masalah rumah tangga dengan pembawa acara seorang artis papan atas, dan seorang pengacara perceraian terkenal yang sejatinya namanya sudah malang-melintang di televisi dan media sosial karena kerap menjadi pengacara perceraian orang-orang yang punya nama besar, mulai dari artis hingga pejabat negara.

Acara tersebut juga membahas permasalahan rumah tangga dari bintang tamu yang berbeda tiap episode-nya, atau sekadar permasalahan yang dikirim melalui surel.

Acara yang baru berjalan setengah tahun, yang punya rating cukup tinggi sebagai acara mingguan yang tayang di jam prime time di malam hari ketika akhir pekan, yang katanya Arion Janardana tak pernah melewatkan satu episode pun.

Arion datang dari kantornya yang berjarak hampir satu jam ke studio tempat Utara syuting, hanya untuk mengajak perempuan itu makan siang bersama, membuat Utara terpaksa mengusir Rizal agar cowok itu pulang lebih dulu ke kantor dengan membawa mobilnya, dan ia sendiri bisa berduaan bersama Arion.

Mereka mampir ke sebuah restoran makanan nusantara yang tak jauh dari gedung kantor stasiun televisi itu. Utara yang memberi saran, karena sebelumnya ia pernah ke sana sepulang syuting beberapa minggu lalu, dan makanannya enak-enak.

“Nggak apa-apa, Tara. Aku emang punya kerjaan di kantor, tapi masih bisa aku tinggal, aku bisa selesain itu nanti. Lagian, ini jam makan siang,” Arion menjawab dengan senyuman yang manis.

“Enak, ya, punya jabatan tinggi gitu,” goda Utara membuat Arion terkekeh.

“Nggak setinggi itu, tapi ya … cukup enak.”

Utara tertawa. “Udara di jabatan tinggi pasti beda.”

Arion mengerutkan kening.

“Iya, wangi uangnya beda.”

Lalu cowok itu tertawa. “Aku nggak yakin penghasilanku lebih tinggi dari kamu yang kliennya orang-orang gede, terus punya acara mingguan, belum lagi kontrak iklan—”

“Kontrak iklan udah selesai sejak bulan lalu,” potong Utara.

“Tapi tetep aja, kan?

“Nggak setinggi itu, tapi ya … lumayan,” balas Utara.

Mereka berdua tertawa.

Karena ini pas jam makan siang, jadi resto tersebut cukup ramai, pesanan mereka pun datang sedikit lebih lama. Tapi selama menunggu, mereka tak merasa kesal, bukan karena tak lapar, tapi karena waktu tersebut dihabiskan dengan mengobrol banyak hal hingga rasanya mengalir begitu saja.

Utara jadi ingat tentang pertemuan pertama mereka ketika salah satu seniornya di kantor memintanya menangani kasus Arion Janardana dengan seorang model Rania Cahyadi. Iya, kasus perceraian Arion dan Rania tidak datang begitu saja karena Arion yang meminta Utara menjadi pengacaranya, tapi karena senior Utara yang awalnya dipinta Arion untuk menjadi pengacaranya tak bisa mengambil kasus itu karena ia sudah terlalu banyak mengambil kasus.

Kasus perceraian itu mungkin terdengar mudah, tapi sejatinya sulit secara mental. Bagaimana seorang pengacara tak boleh melibatkan perasaannya pada apa pun yang klien alami terhadap masalah rumah tangganya yang 90% membuat emosi dan ingin mencaci maki.

Saat itu Arion datang ke kantor Utara, dengan pakaian rapi khas orang kantoran, tapi wajahnya terlihat tak baik-baik saja. Rambutnya berantakan, seperti sudah waktunya dipangkas, tapi cowok itu melewatkannya. Kantung matanya hitam dan tebal, seperti tak tidur berhari-hari. Dan jangan lupakan wajah yang terlihat kusam dan tak pernah tersenyum, bahkan ketika Utara memperkenalkan dirinya untuk yang pertama kali.

“Utara Paradita,” katanya begitu, sembari mengulurkan tangan.

“Ari,” Arion hanya menjawab seadanya, membalas singkat uluran tangan Utara hingga Utara ketika itu berpikir bahwa mungkin Arion tak suka karena ia yang akhirnya mengambil kasusnya. Padahal Arion sendiri bisa menolak kalau tak ingin Utara yang menjadi pengacaranya. Tapi lelaki itu tak melakukannya, membiarkan Utara menjadi pengacara perceraiannya sampai akhir.

“Saya boleh pakai … aku-kamu, kan?” tanya Utara, masih berusaha tetap ramah dengan senyuman yang tak luntur. “Biar terdengar akrab.”

“Ya …, silakan,” Arion membalas.

“Jadi, Mas Ari—”

“Saya mau anak saya. Saya mau hak asuh Lea ke tangan saya.” Arion menyorot dengan tatapan putus asa, penuh permohonan, dan membuat Utara mengerti asal mula tatapan kehilangan arah itu berasal hingga kemudian Utara bertekad untuk mengembalikan Elea pada Arion.

Cukup sulit memenangkan kasus itu, terlebih Elea masih kecil. Tak sulit juga membuat pihak Rania mendapatkan hak asuh karena Rania bekerja dan dianggap mampu untuk membiayai kebutuhan Elea setiap harinya. Namun Arion juga bekerja sama dengan baik untuk memberikan bukti yang memberatkan Rania bahwa seseorang yang selingkuh tak pantas mendapatkan hak asuh anak meski mampu membiayai hidup anak tersebut.

“Mas, Elea nggak akan ngambek kamu nggak jemput dia ke sekolah?” tanya Utara di tengah acara makan mereka.

“Nggak. Kalau ada pengasuhnya, aku emang sesekali aja jemput dia di sekolah. Pengasuhnya ada terus nemenin dia di sekolah.”

“Nganterin ke sekolah juga?” tanya Utara lagi, mendadak ia penasaran. “Tadi kamu bilang, kamu lihat aku pas bukain pintu waktu pengasuhnya Elea dateng.”

Arion terkekeh. “Nah, kalau nganterin ke sekolah justru pengasuhnya yang sesekali ngelakuin. Aku sebisa mungkin anter dia ke sekolah tiap hari. Cuma tadi pagi tuh karena aku harus ngurusin kerjaan dulu sebelum berangkat ke kantor, jadinya aku minta Mia buat nganter Lea ke sekolah.”

“Nama pengasuhnya Mia?”

Arion mengangguk.

“Iya. Nanti dia bawa Lea ke rumahnya, di sana ada ponakannya yang walaupun lebih besar dari Lea, tapi suka ngajakin main Lea, jadi anaknya nggak bete-bete banget tiap pulang sekolah sebelum aku jemput,” jelas Arion. “Kadang juga Mia aku suruh nganterin Lea ke tempat neneknya kalau emang neneknya lagi pengin ketemu sama Lea, habis itu Mia pulang.”

“Kayaknya enak ngasuh Elea ….”

Arion tertawa. “Kenapa? Kamu mau nambah kerjaan jadi pengasuhnya Lea?”

“Aku—” Utara tiba-tiba membeku saat Arion mengulurkan tangannya, mengusap sudut bibir Utara dengan ibu jari lelaki itu, menghilangkan jejak bumbu kecap dari ikan bakar yang sedang dimakan.

Dan yang membuat Utara kembali tak bisa berkata-kata adalah saat Arion membawa ibu jarinya yang digunakan untuk menyapu sudut bibir Utara ke bibirnya sendiri. Menghisapnya sejenak sebelum mengembalikan tatapan ke mata Utara seolah ia tak melakukan apa pun yang membuat Utara kepanasan.

“Mas, kamu tadi …,” Utara mencoba bicara meski dengan terbata.

Kemudian Arion membalas seolah ia baru menyadarinya. “Oh, maaf …. Tadi di bibir kamu ….”

Masalahnya bukan hanya soal cowok itu mengusap sudut bibir Utara, tapi Arion juga menghisap ibu jarinya yang digunakan untuk mengusap sudut bibir tersebut!

Apa itu hal yang biasa dilakukan seorang Arion Janardana pada siapa pun perempuan yang sedang makan bersamanya?

Atau itu bentuk lain dari perhatian yang sejatinya mulai Utara rasakan akhir-akhir ini? Yang membuatnya semakin ingin memakan cowok itu.

Apakah Utara akan dicap sebagai cewek sinting kalau lain kali Arion bisa membersihkan sudut bibir Utara dengan hal lain selain jarinya?

Misal … bibirnya?

Itu pasti akan lebih baik, kan? Arion tak perlu menghisap jarinya sendiri setelahnya, karena noda kecap itu langsung masuk ke mulutnya tanpa perantara.

“Tara …,” panggil Arion, membuyarkan lamunan Utara. “Kamu nggak apa-apa?” Ia menatap khawatir. “Aku minta maaf soal—”

“Nggak apa-apa, Mas. Makasih …,” Utara tersenyum. “Mungkin lain kali kamu bisa bantu bersihin dengan hal lain biar nggak ngotorin tangan kamu.”

“Dengan hal lain?” Arion mengerutkan kening.

“Ya!” Utara berjengit. “Dengan … tisu.” Lalu nyengir.

“Oke.” Cowok itu terkekeh, seolah memang tahu isi pikiran Utara saat ini. “Aku pikir kamu minta aku bersihin dengan hal lain yang masih anggota tubuhku.” Ia mengangkat sebelah alisnya.

Utara agak panik. Apa pikiran sintingnya terbaca dengan jelas? Apa Arion tahu kalau beberapa detik lalu Utara sedang menelanjanginya di pikirannya? Berpikir bahwa meja makan di depannya saat ini berisi Arion yang sedang berbaring dan siap Utara santap, bukan ikan bakar dengan pelbagai lauk lainnya.

“Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin,” sahut Arion lagi, memutus pembahasan. Ia ingin sekali saat ini juga berbicara pada Bara bahwa bukan sendoknya yang salah tujuan, tapi tangannya. Langsung tangannya tanpa memegang sendok. Dan akibat tangannya itu, membuat anggota tubuh lain ingin melakukan apa yang tangannya tadi lakukan.

Apa tadi Bara bilang?

Makan.

Ya, makan.

Memakan Utara, jika itu memang kalimat tercocok, terhalus sekaligus terliar yang ada.

***

“Iya, nanti pulang mampir ke minimarket buat beli es krim. Ingetin Papa kalau lupa,” Arion sedang berbicara pada Elea lewat telepon, menunggu Utara di dalam mobil yang pamit sebentar untuk ke toilet.

“Bener? Awas kalau bohong lagi.”

Arion tertawa. “Papa nggak pernah bohong.”

“Waktu aku habis dari rumah Alya, Papa bohong. Katanya mau beliin aku es krim, tapi ternyata nggak jadi.”

“Itu kan karena kamu tidur.”

“Papa seharusnya bangunin aku.”

“Iya, iya, Papa minta maaf.” Lalu Utara masuk ke dalam mobil, menatap Arion, dan Arion membalas dengan senyum singkat. “Sekarang udahan dulu teleponnya, handphone-nya kasih ke Kak Mia, terus makan siang, habis itu tidur.”

“Elea?” tanya Utara tanpa suara.

Arion mengangguk.

“Papa udah makan siang?” tanya Elea.

“Udah. Ini Papa baru selesai makan.”

“Makan sama siapa? Tante Sandra? Om Bara? Atau temen kantor Papa yang lain? Ramai-ramai?”

Arion terkekeh. “Bukan, bukan sama mereka. Tapi sama orang lain.”

“Sama siapa?”

Cowok itu menoleh ke samping, menatap Utara yang sedang memainkan ponselnya. “Sama Tante … Seksi.”

Dan ucapan itu berhasil membuat Utara seketika menatap Arion. Menatap cowok itu seolah ia tak pernah mendengar Arion menegur Elea karena memanggilnya dengan sebutan Tante Seksi. Sekarang lihat cowok hot ini! Dia ikut-ikutan!

Ya, kalau dipikir-pikir, Elea memang benar. Semua orang juga pasti akan mengakui kalau Utara Pradita adalah perempuan seksi meski tubuhnya tak terlalu pakaian minimalis. Dengan celana panjang dan blouse yang juga lengan panjang, Utara Pradita masih bisa mengeluarkan aura keseksian itu. Arion harus mengakuinya meski dengan menyetujui panggilan yang Elea buat.

“Papa lagi sama Tante Seksi!?” seru Elea.

“Iya. Mau bicara?”

“Mau!”

Lalu Arion menyodorkan ponselnya ke hadapan Utara. “Lea mau ngomong sama kamu katanya.”

Utara menatap ragu, meski ia tetap menerima ponsel itu dan menempelkannya ke telinga. “Halo,” sapanya.

“Tante Seksi?”

“Iya. Ini Tante.” Utara terkekeh.

“Tante habis makan siang sama Papa?”

Utara menoleh, menatap Arion yang sedang fokus mengeluarkan mobil dari tempat parkir, terlihat sangat berkarisma meski hanya duduk di balik kemudi, memutar-putar kemudi seperti seorang ahli—memang beneran ahli, dan dan pandangannya fokus ke sana-sini agar mobil bisa keluar dengan mulus dari tempat parkir yang rapat. Utara berharap bisa duduk di pangkuan lelaki itu saat ini juga.

“Iya. Kamu udah makan belum?” tanya Utara, mengalihkan pandangannya ke jalanan, ke tempat lain selain pangkuan Arion, karena itu bisa membuatnya gila.

“Kak Mia lagi bikinin aku sup telur sama ayam kecap. Nanti aku makan kalau udah mateng.”

“Oh, gitu. Makan yang banyak, ya. Biar cepet tambah tinggi.”

“Iya, Tante Seksi,” jawab Elea dengan ceria. “Tante Seksi udah suka sama Papa belum?”

Utara diam, menahan napasnya untuk sejenak, ia melirik Arion yang sudah fokus menyetir di jalanan, menoleh ke arahnya dan memberi tatapan bertanya. “Eum … nggak,” jawab Utara kemudian.

Lalu terdengar embusan napas kecewa di seberang sana. “Berarti masih belum bisa kasih aku adik kayak Devan?”

“Iya ….”

“Ya udah, deh. Nanti aku tanya ke Papa. Soalnya kemarin Papa bilang kalau Papa nanti bakal kasih aku adik kayak Devan.”

“Nanti itu bisa kapan aja. Bisa jadi besok, lusa, minggu depan, atau bulan depan, atau bahkan tahun depan.”

“Jadi, lama, ya?”

“Bisa jadi.”

“Ya udah, nggak apa-apa, aku bakal nunggu buat Papa sama Tante Seksi kasih aku adik kayak Devan,” balas Elea.

“Elea, maksud Tante—”

“Kak Mia udah manggil, Tante,” potong Elea. “Makanannya udah jadi.”

“Oh, oke.” Utara tersenyum pahit. “Selamat makan, Elea.”

Setelah itu sambungan telepon dimatikan, menyisakan gelenyar aneh dalam diri Utara.

“Ini, Mas,” Utara memberikan ponsel itu pada pemiliknya. “Dia mau makan, katanya.”

Arion tak langsung menerima ponsel tersebut. “Pegang dulu sama kamu, aku lagi nyetir,” ucapnya. “Bilang apa lagi dia?”

Utara menatap serius Arion di sampingnya. “Sesuatu tentang … adik.”

Lelaki itu membuang napas panjang. “Maaf, Tara. Nggak usah dipikirin. Habis dari rumahnya Erika kemarin itu dia memang beberapa kali bahas soal itu, tapi pasti nggak akan lama, nanti juga lupa sendiri, ganti sama pembahasan lain.”

“Iya, mungkin …,” balas Utara.

“Kenapa?” tanya Arion.

“Mungkin kamu emang udah harus cari istri, dan kasih adik buat Elea.”

Arion tertawa, seolah itu sesuatu yang lucu yang baru pertama kali didengarnya, padahal mungkin sudah ratusan kali Arion mendengar kalimat semacam itu selama tiga tahun terakhir ini, terutama dari mulut Bara dan juga orangtuanya sendiri.

“Aku serius, Mas ….”

“Cari istri dan kasih Lea adik emang perkara serius. Iya, kan?” Arion berjengit.

“Iya …. Tapi maksud aku, kamu harus mulai serius mempertimbangkan keputusan sama satu perempuan yang dirasa cocok buat jadi istri dan mamanya Elea.”

“Iya, ini aku lagi ngelakuin.”

Utara menatap tak paham.

“Aku lagi ngelakuin hal itu,” ulangnya. “Mempertimbangkan keputusan sama satu perempuan yang dirasa cocok buat jadi istri dan mamanya Lea.”

“Oh, ya? Siapa? Apa aku boleh tahu orangnya?”

Arion tersenyum. “Ada. Seseorang yang dulu pernah menyelamatkan aku dari keputusasaan buat milikin Lea tiga tahun lalu.”

Utara diam.

Lama perbincangan itu terjeda karena Utara tak kunjung menyahut, Arion kembali membuka mulutnya. “Mungkin kamu harus mulai panggil Lea dengan Lea, bukan Elea.”