— 93


Tahu apa yang akan orang lakukan ketika hari libur? Pasti yang pertama bangun siang, lalu dilanjut dengan malas-malasan seharian. Sebab Jidan pun berencana melakukan itu sambil menunggu Sadewa datang berkunjung.

Tapi pagi-pagi sekali, dari kamarnya, Jidan sudah mendengar suara musik diputar cukup keras. Iaa sdah paham siapa pelakunya kareena ini bukan yang pertama kali, tapi setelah mendengar lebih teliti lagi, musik itu bukan berasal dari kamar Gladys seperti tebakannya, melainkan dari lantai bawah.

Jidan ingin menebak itu ulah Reza, tapi seperti tak mungkin, seperti bukan Reza yang sejauh ini Jidan kenal, yang mementingkan kenyamanan penghuni kostan di atas apa pun.

Dan setelah memasang telinga lebih jelas lagi, mendengar lagu dangdut yang diputar, juga suara-suara alat masak yang beradu, Jidan akhirnya bisa meyakini siapa yang tidak menggunakan hari liburnya untuk banngun sianng dan bermalas-malasan.

Gladys. Orang yang sejauh ini sebenarnya sangat tidak mungkin untuk melewatkan kesempatan itu. Namun Jidan berpikir lagi, kalau beberapa kali, Gladys juga rela bangun lebih pagi untuk membuat sarapan yang bukan hanya untuknya, tapi untuk orang-orang di sekitarnya membuat Jidan kembali teringat pada ucapan Sadewa beberapa waktu lalu.

“Dia kayaknya suka banget sama masak.”

Dan Jidan tak tahu apa yang mendorongnya untuk memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar setelah membasuh wajah dan sikat gigi. Mungkin rasa bersalahnya yang masih tersisa meski sudah meminta maaf, atau hal lain yang tidak Jidan ketahui. Yang jelas, ia datang menghampiri Galdys di dapur yang terlihat begitu bersemangat mengadoni bahan kue sembari berjoget ria mengikuti dentuman musik yang bergema.

“Pak Guru!!!” serunya begitu melihat Jidan sudah ada di dekat dapur, berdiri menatapnya.

Sesaat Jidan sedikit menyesali apa yang dilakukannya untuk turun ke bawah. Tapi jika dipikir lagi, ia sendiri juga pasti tak bisa melanjutkan tidur meski dipaksakan. Terbiasa bangun pagi, dan suara lagu dangdut itu terlalu mengganggunya.

Gladys menghampiri Jidan dengan riang. Tanktop bergarisnya, celana pendek, rambut cepol asalnya, dan tepung yang mengotori pipinya, lengannya, bahkan tanktop-nya itu. Kenapa juga dia tidak suka pakai celemek ketika sedang memasak?

“Kok udah bangun, sih? Mau bantuin gue, ya?” Gladys tersenyum menggoda.

“Ngapain juga saya bantuin kamu?”

“Terus???” Mata Gladys menyipit curiga.

“Musik kamu berisik, saya jadi kebangun.”

“Oh …,” perempuan itu mengangguk, “sengaja.” Lalu terkikik menyebalkan.

“Bisa dimatiin nggak?”

“Nggak.”

Jidan membuang napas. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi, maka dari itu memilih berbalik saja, namun sebelum ia melangkah pergi, Gladys menahannya dengan kedua tangan.

“Karena Pak Guru udah di sini, mending sekalian bantuin gue.”

“Hah? Bantuin ap—”

Gladys langsung menarik tangan Jidan untuk ikut ke dapur, bertemu dengan adonan kue yang ternyata sudah jadi dan siap untuk dibentuk saja. Entah kenapa rasanya terlalu banyak. Dua loyang besar itu hampir penuh oleh adonan kue. Jidan agak terkejut melihatnya. Ini dia mau buat kue untuk sendiri atau untuk dijual kembali?

“Lihatin gue dulu, oke?” Gladys memberi contoh. Mengambil adonan kue itu menggunakan scoop es krim, meletakkannya ke atas loyang berbentuk nampan yang sudah diberi alas kertas, lalu mengulanginya terus sampai satu baris itu terisi oleh tiga gundukan adonan kue. “Jangan rapet-rapet, dikasih jarak agak jauh.”

Suatu keajaiban bahwa Jidan memperhatikan itu dengan seksama.

“Nah, kalau udah penuh semua,” Gladys menatap loyang nampan itu yang sudah penuh dengan gundukan adonan kue, “tinggal dikasih choco chips.” Lalu ia menaburkan beberapa buah choco chips ke setiap gundukan adonan tersebut, satu per satu dengan sangat teratur.

“Habis itu ….” Kemudian membawa loyang nampan itu dan memasukkannya ke dalam oven yang sebelumnya sudah dipanaskan. “Tinggal tunggu deh.” Dia tersenyum dengan sangat lebar, seolah itu memang sesuatu yang sangat ia banggakan dan sangat senang ia bisa melakukannya serta menunjukkannya pada orang lain.

Jidan tersenyum kecil karena hal itu.

“Bisa, kan?” tanya Gladys.

Lelaki itu berdeham, menjaga kembali raut wajahnya agar tetap datar.

“Bisa.” Jidan sudah akan mengambil scoop es krim itu tapi Gladys lebih dulu meraihnya, membuat Jidan bingung.

“Pertama-tama, cuci tangan dulu,” ujarnya. “Gue nggak mau kukis-kukis gue yang berharga ini penuh kuman nggak jelas.”

Jidan membuang napas, tak bisa membantah.

“Dan kedua,” sambung Gladys saat Jidan sudah mencuci tangannya, “kita tunggu kukis yang itu mateng dulu buat tes rasa sama tekstur, jadi bisa diperbaiki kalau ada yang kurang.”

“Lama?” tanya Jidan.

Mata Gladys memicing. “Kenapa? Udah nggak sabar buat nyobain kukis gue yang enak itu, ya?”

“Dari mana saya tahu kalau kukis kamu itu enak kalau saya belum nyobain?”

“Dibilangin, jangan meragukan masakan gue. Gue ini ahlinya.” Dan senyum jumawa itu tercetak kemudian. “Gue yakin, yang kali ini nilainya pasti seratus!”

“Saya juga udah pernah bilang, saya nggak pernah ngasih nilai seratus.”

“Ya, itu kan ke murid. Sedangkan gue, bukan murid Pak Guru.” Gladys bersikeras soal itu.

“Tapi tetep aja, kalau saya kasih kamu nilai seratus, ternyata besoknya saya nyobain makanan yang sama dan rasanya lebih enak, gimana?”

Gladys sudah membuka mulut untuk membalas ucapan itu, tapi mendadak tak ada kalimat yang pas untuk membantah hal itu hingga ia kembali menutup mulutnya dan berdecak sebal. “Ya udah! Nggak usah nyobain kukis gue! Sana balik ke kamar aja!”

Seharusnya ini jadi kesempatan Jidan untuk pergi dari sana daripada capek-capek melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, apalagi bersama dengan perempuan yang selalu membuat ia sakit kepala sampai stres. Tapi seperti saat ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah alih-alih berdiam diri di kamar meski Gladys memutar musik dangdut koplo yang menyebalkan, ia juga tak tahu kenapa ia saat ini memutuskan untuk diam saja di sana, duduk berhadapan dengan dua loyang berisi adonan kue yang masih menggunung itu.

“Kok nggak pergi?” tanya Gladys dengan sewot.

“Emangnya nggak boleh saya di sini? Saya juga ngekost di sini.”

“Oh, sekarang udah pinter jawab, ya.”

“Kan tadi kamu nanya, jadi saya jawab.”

Gladys mencelus mendengar jawaban Jidan barusan. Ini kenapa jadi berbalik dia yang kesal pada lelaki itu? Padahal kemarin-kemarin ia yang gencar membuat Jidan kesal. Lelaki itu kelihatan lebih tenang, sudah lebih bisa menerima setiap kata atau perlakuan yang Gladys lakukan, makanya bisa berbalik membuat hal tak terduga yang bikin Gladys sebal.

Tapi bukan Gladys namanya kalau tak punya seribu cara untuk membuat seseorang sebal padanya, khususnya saat ini Jidan Gunadhya.

Perempuan itu tersenyum miring saat menatap wajah Jidan, ia kemudian melirik pada tepung yang sengaja ia taruh di piring, sebelumnya digunakan untuk menambahi adonan kue yang teksturnya belum sampai pada kepadatan yang ia inginkan. Dan tanpa pikir panjang lagi, Gladys menepukkan salah satu tangannya ke tepung tersebut, kemudian membawa tangan itu ke wajah Jidan yang sedang diam. Tanpa menunggu lama, Jidan berhasil Gladys buat murka.

“GADIS!!!” seru lelaki itu dengan mata membelalak dan wajah menahan amarah, merasakan tepung terigu menempel di sebagian wajahnya.

Gladys terbahak-bahak melihat wajah cemong Jidan. Berbeda dengan ia yang hanya segaris dua garis karena tak sadar mengusap wajah saat tangannya sendiri penuh tepung, wajah Jidan benar-benar sebagiannya berwarna putih, membentuk telapak tangan yang tak sempurna. Persis seperti bocah yang main di sore hari setelah mandi, yang bedaknya acak-acakan.

“Apa-apaan, sih?” Jidan sampai berdiri dari tempat duduknya saking kesalnya.

Gladys masih tertawa-tawa seraya menunjuk ke arah wajah cemong Jidan yang bukan hanya membuatnya puas karena akhirnya Jidan kesal padanya, tapi juga memang wajah itu jadi lucu. “Eh, mau ke mana?” Ia menahan Jidan yang hendak pergi dari sana meninggalkannya. Sangat tidak seru kalau Jidan pergi begitu saja.

“Tadi kamu minta saya pergi.” Iya, itu tadi. Sayangnya, kali ini sudah berbeda.

“Sini, gue bantu bersihin,” balas Gladys. “Duduk.” Ia menekan bahu Jidan sampai lelaki itu kembali duduk di kursi.

Semua orang percaya, guru itu pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkin mengajar orang untuk jadi pintar. Iya, kan? Jidan pun sampai menempuh pendidikan master untuk sampai menjadi tenaga pengajar yang meski semula diremehkan karena orang-orang tahunya guru itu gajinya kecil, tapi nyatanya Jidan selalu berhasil masuk ke sekolah yang memberikannya upah yang sangat layak, yang lebih dari cukup. Itu semua berkat kemampuannya mengajar.

Namun sepertinya, kemampuannya itu seketika hilang jika berhadapan dengan Gladys. Meski perempuan itu memanggilnya 'Pak Guru', Jidan merasa ia menjadi bodoh saat berurusan dengan Gladys. Ya, sebab seharusnya ia tak mudah percaya saat Gladys mengatakan akan bantu membersihkan tepung di wajahnya, sebab belum juga lima detik Jidan kembali duduk di kursinya dan percaya pada ucapan Gladys, perempuan itu kembali beraksi.

Jika tadi wajah bagian kanan, maka kini giliran wajah bagian kiri yang Gladys buat cemong dengan tepukan tangannya yang masih berlumur tepung, membuat Jidan semakin tak bisa berkata-kata.

Sekarang, sempurna sudah bocah yang sedang main di sore hari setelah mandi, yang bedaknya acak-acakan. Semakin membuat Gladys terpingkal.

Jidan menatap Gladys dengan marah. Perempuan itu sampai terbungkuk-bungkuk ketika tertawa. Tapi alih-alih memutuskan untuk pergi dari sana seperti sebelumnya, Jidan justru punya dapat ide yang lebih bagus daripada pergi begitu saja dengan wajah penuh tepung ini.

Ia harus balas dendam dengan segera.

Lantas, tangannya yang besar itu masuk ke dalam piring berisi tepung saat Gladys masih sibuk tertawa. Dan saat perempuan itu lengah, Jidan tak pikir panjang lagi untuk menempelkan tangannya yang sudah penuh tepung ke wajah Gladys, bukan hanya sebagian, tapi seluruhnya karena tangan Jidan bergerak cepat dengan pola memutar agar tepung di tangannya merata mengenai wajah Gladys.

Sekarang wajah perempuan itu juga penuh dengan tepung.

“PAK GURUUUUU!!!” teriak Gladys dengan suara yang sangat menggelegar, mengalahkan suara musik dangdut koplo yang masih mengalun.

Jidan terkekeh, tiba-tiba saja rasa kesal, sebal, marah, dan menyesal karena memutuskan datang ke dapur sirna seketika. Digantikan rasa senang, puas, bahkan semangat. Jidan tak pernah merasa sesemangat ini dalam dua minggu terakhir tinggal di kostan ini dan kenal dengan Gladys. Dan anehnya, ia sendiri tak tahu apa yang membuatnya bersemangat sampai rasanya tidur dan bermalas-malasan di akhir pekan bukan lagi sesuatu yang menyenangkan.

Kali ini Gladys yang menatap marah, tawanya langsung hilang, tertekan begitu saja saat menyadari kalau kondisi wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah Jidan saat ini, bahkan lebih parah karena jelas-jelas Jidan bukan hanya sekadar menepuk sekali tangannya di wajah Gladys, tapi mengaduk-aduk tepung tersebut di atas wajahnya. Belum lagi perbedaan ukuran wajah dan tangan keduanya yang membuat satu tangan Jidan sudah bisa merangkum seluruh wajah Gladys yang kecil.

Dengan emosi penuh, tangan Gladys kembali terulur ke piring tepung itu. Kali ini bukan hanya melumuri telapak tangannya, tapi dia langsung menggenggam tepung tersebut. Jidan yang sudah mengantisipasi datangnya serangan lain dari tamparan tepung Gladys, tak bisa berkutik saat Gladys ternyata bukan lagi sekadar menempelkan telapak tangannya di wajahnya, tapi melempar tepung yang ada di genggamannya itu ke tubuh Jidan, seolah itu bola salju. Ya …, meski sama-sama berwarna putih, bola salju terdengar lebih oke dibanding tepung terigu, karena jelas lebih mengotori pakaian daripada salju yang sejatinya hanya air yang beku.

Jidan melongo mendapati kaus berwarna hitamnya terdapat bercak putih dari tepung yang baru saja Gladys lemparkan padanya. Ini mungkin jawaban dari pertanyaan kenapa ia merasa sangat bersemangat saat ini, sebab tak seperti sebelumnya yang pasrah lebih dulu, kali ini Jidan bergerak cepat untuk memberi balasan. Ia juga mengambil segenggam tepung terigu itu dan melemparkannya pada Gladys, mengenai kening dan rambutnya.

Gladys tak terima. Tadi ia hanya mengenai kaus, tapi Jidan membalas dengan mengenai rambutnya. Jelas ini penghinaan! Ia memutuskan untuk memberi balasan lagi.

Begitu terus sampai dapur itu kemudian berubah jadi ladang tepung dan mereka berlumur tepung. Berlatar lagi dangdut koplo yang masih menyala, mereka terus beradu lempar tepung. Perang yang semula penuh amarah dan sorot mata tajam, berubah menjadi tawa renyah dan gembira dari keduanya seperti dua anak kecil yang baru dibelikan mainan baru oleh orangtuanya.

Hal itu menjadikan Gladys untuk yang pertama kalinya melihat Jidan tertawa lepas. Ia sempat termangu beberapa saat. Sedikit tercengang bahwa Jidan yang sejauh ini ia kenal seperti tak punya banyak ekspresi yang menyenangkan, saat ini Gladys melihat lelaki itu tertawa tanpa beban. Bersamaan dengan tepung yang berhamburan, beban yang selama ini Jidan pikul seolah ikut terlepas. Dan melihat hal itu membuat Gladys merasa … senang. Entah kenapa ia ingin terus menyaksikan hal itu, mendengar tawa renyah itu.

Saat Gladys ingin kembali melempar tepung, dan melangkah lebih dekat dengan Jidan, lantai dapur yang sudah dipenuhi tepung ini jadi lebih licin, membuat Gladys nyaris terpeleset kalau tangan Jidan tak bergerak cepat menarik Gladys untuk kembali berdiri tegak. Sayangnya, tarikan itu membuat tubuh Gladys meluncur tepat ke arah tubuhnya, membuat mereka seketika merapat dengan posisi Jidan yang terpojok, punggungnya menyentuh kulkas, dan keberadaan Gladys yang menghimpit tubuhnya membuat ia tak bisa bergerak banyak. Dan ia sudah bisa menebak bahwa Gladys tidak akan dengan mudah menjauh.

“Gadis …,” suara Jidan tertahan, ia berusaha menjauhkan kepalanya dari Gladys yang seakan terus mendekat, meski sebenarnya itu sia-sia, sebab ia sudah tidak bisa mundur lagi karena kulkas di belakangnya.

Gladys tersenyum miring. Seperti yang Jidan pikirkan, perempuan itu semakin mendesaknya, menempelkan tubuhnya, dan tatapan itu seolah menggodanya. Ini akan jadi puncak permainan yang seru.

“Saya … kayaknya … mau—” suara Jidan yang sudah terputus-putus, menggambarkan bahwa ia begitu tersiksa, langsung dipotong oleh Gladys yang menggebrak kulkas di belakangnya menggunakan salah satu tangannya, menggebrak di samping kepala Jidan seperti adegan drama Korea di mana biasanya pemeran utama lelaki yang melakukan hal ini dan adegan selanjutnya pemeran utama lelaki itu akan mencium pemeran utama perempuannya.

Mata Jidan memejam seketika. Ia tak berani untuk sekadar mengintip, hanya bisa membayangkan wajah Gladys yang semakin mendekat ke arah wajahnya. Dan kabar buruknya, itu bukan hanya sekadar bayangan, tapi Jidan juga bisa merasakan tubuh Gladys yang bergerak semakin mendekat. Meski sejatinya tubuh Jidan lebih tinggi dan lebih besar dari Gladys, dalam kondisi seperti ini Jidan merasa tak punya kekuatan apa pun untuk melawan, semuanya seolah terkunci di tempat. Belum lagi kejadian Gladys yang terpental karena dorongan kerasnya beberapa waktu lalu masih menghantuinya, ia juga merasa bersalah karena hal itu, sebab ia bisa melihat betul Gladys yang kesakitan di bagian bokongnya.

Jika sekarang Jidan melakukan hal itu lagi, Gladys tidak akan terpelanting langsung ke lantai, melainkan menabrak meja makan lebih dulu yang berada tak jauh dari punggung Gladys, sebelum akhirnya melorot dengan dramatis ke lantai. Membuat kali ini bukan hanya bokongnya yang akan jadi korban, tapi juga punggung dan mungkin kepalanya.

Jidan tidak akan setega itu.

Bagaimanapun juga, ia heran, kenapa ia bisa hampir selalu berada di posisi seperti ini saat sedang bersama Gladys? Apa semesta benar-benar ingin membuatnya tersiksa?

Merasa Jidan sulit dicapai karena perbedaan tinggi mereka dan Jidan yang sudah jinjit, Gladys melepas tangannya yang bertumpu di kulkas, menggunakan kedua tangan untuk melingkar di tengkuk lelaki itu. Dan di saat yang sama, mata Jidan kembali terbuka, matanya melebar sempurna saat Gladys dengan sekuat tenaga menekan tengkuknya agar ia mau merunduk hingga Gladys bisa meraihnya dengan mudah.

Ini …, beneran nggak, sih?

Jidan bertanya-tanya sendiri. Apa Gladys benar-benar akan menciumnya? Atau perempuan itu hanya ingin menggodanya? Melihatnya tersiksa untuk menolaknya mungkin sesuatu yang sebenarnya Gladys inginkan alih-alih benar-benar ciuman seperti yang selama ini Jidan pikirkan.

Jidan menatap Gladys di sisa-sisa jarak mereka yang semakin mengecil, mencari tahu sebuah jawaban. Dan tatapan menggoda Gladys seketika berubah saat Jidan menaruh tangan di punggungnya, menekan punggung Gladys dengan gerak seakan membawanya untuk lebih mendekat. Matanya membulat ketika ia merasa tengkuk Jidan bergerak lebih rendah bukan lagi karena tekanan dari kedua tangannya, melainkan dari Jidan sendiri yang melakukannya.

Kakinya yang semula jinjit kini sudah kembali menapaki lantai. Mendadak Jidan tak lagi melawan, justru lelaki itu terlihat akan melakukannya. Jadi, saat jarak antar bibir mereka tinggal dua senti lagi, ketika Gladys merasa jantungnya seolah berhenti berdetak dan jatuh ke perut, ketika Gladys merasakan sekujur tubuhnya kaku dan memberi, ketika Gladys merasa sudut-sudut hatinya berdenyut, ketika itu Jidan berhenti mendekat, lalu tanpa menatapnya bertanya dengan suara yang rendah dan berat, menandakan sebuah kegugupan yang berusaha ditepisnya,

“Saya harus cium kamu atau nggak?”

Napas Gladys jelas sudah tertahan. Ia tidak benar-benar ingin melakukannya ketika tadi memaksa Jidan untuk lebih dekat dengannya. Jadi saat Jidan tiba-tiba mengambil alih posisinya, Gladys mendadak gugup. Dan kenapa juga ia menatap bibir lembab Jidan yang jaraknya sangat dekat itu dengan kegugupan berlebih sampai ia meneguk air liurnya sendiri?

Jangan bilang, kalau ia menginginkannya juga.

Tidak mungkin ….

Ia hanya bercanda.

Tahu, kan? Menggoda orang-orang seperti Jidan itu menyenangkan. Responsnya yang berlebih membuat Gladys semakin bersemangat untuk melakukannya.

Tapi kalau sudah seperti ini ….

Jidan melepas tangannya dari punggung Gladys, bertepatan dengan bunyi denting kecil pertanda kukis di dalam oven itu sudah matang. Ia menjauhkan wajahnya, menatap Gladys sekilas sebelum memilih untuk pergi dari sana meninggalkan Gladys sendirian, dan Gladys tak menahannya seperti yang sebelum-sebelumnya ia lakukan, sebab begitu punggung Jidan menghilang menaiki anak tangga, saat itu kaki Gladys berubah menjadi jelly, ia ambruk ke lantai dengan embusan napas yang memburu.

Shit! Shit! Shit!” umpatnyanya pelan, memegangi dadanya yang terasa aneh dengan degup jantung gila-gilaan itu. “Guru sinting!”

“Kenapa juga gue malah lihat bibirnya kayak tadi? WHY? WHY? WHY?” dia menggerutu diri sendiri. “Tapi …, jago ciuman nggak sih dia? Gue jadi penasaran.” Lalu memegang bibirnya sendiri. “Tampangnya sih good kisser, tapi kalau dilihat dari kelakuannya, jangankan ciuman, deket sama cewek aja kayaknya nggak pernah.”

“ANJING!” Gladys tiba-tiba bangkit dan melepas tangannya yang memegangi bibir. Tanpa sadar, ia baru saja membayangkan bibirnya dicium oleh Jidan. Bukan hanya sekadar kecupan biasa, tapi beneran ciuman!!! Kepala lelaki itu bahkan sampai miring ke kanan dan ke kiri mengikuti tempo lumatan bibir mereka.

ARGHHHH!!!!

WHAT THE—” suara Reza tambah membuyarkan Gladys dari pikiran tak senonohnya. Lelaki itu masuk ke dalam rumah setelah olahraga pagi yang dilakukan berbarengan dengan Gladys memulai membuat adonan kukis. Mata Reza membulat, bola matanya bergetar menatap dapur yang penuh dengan tepung seperti donat yang ditaburi gula halus.

“Galdys, lo berantem sama siapa? Setan?” tanya lelaki itu lagi, mendekat ke arah dapur, tapi tidak benar-benar masuk ke sana karena tepung di mana-mana.

“Iya, sama setan. Setan sinting.” Saking sintingnya bikin dia juga keikut sinting.

***

Sadewa menelusuri titik demi titik meja kerja Jidan. Membongkar tumpukan buku, mangaduk-aduk laci, tabung alat tulis, sampai tempat-tempat yang memungkinkan Jidan menyembunyikan sesuatu. Ia beralih ke kasur, ke lemari, ke nakas, kamar mandi, tong sampah, boks yang dijadikan tempat menyimpan persediaan makanan, ke mana saja ia bisa lakukan. Berharap tak menemukan apa yang ia takutkan.

“Tangan lo.” Sadewa berdiri di depan Jidan yang sejak adiknya itu melakukan pemeriksaan, ia duduk dengan tenang di kursi.

Jidan membuang napas, memperlihatkan pergelangan tangannya yang bersih, yang membuat Sadewa bernapas lega.

“Segitu nggak percayanya sama gue?” tanya Jidan, mengikuti Sadewa yang sudah kembali memeriksa napas untuk mengambil botol-botol obat milik Jidan, memeriksa isi di dalamnya. “Gue minum obat tiap hari, Wew.”

Sadewa mengangguk percaya, isi dalam botol itu berkurang dari terakhir kali ia periksa saat Jidan baru pertama pindah. Kondisi kakaknya saat ini juga tidak membuktikan bahwa obat-obat itu berkurang karena Jidan membuangnya ke dalam kloset seperti yang dulu pernah lelaki itu lakukan.

“Oke, percaya.” Sadewa memasukkan botol obat itu ke dalam laci nakas. “Terus gimana lo sama Gladys? Nggak ada apa-apa, kan?”

“Kenapa nanyain Gadis, sih? Lo ke sini buat ketemu gue atau ketemu Gadis?”

Sadewa terkikik melihat ekspresi Jidan. “Ngaku sama gue, lo udah suka sama dia, ya?”

Mata Jidan membulat. “Apa, sih!? Kenapa tiba-tiba ke sana?”

“Ya …, nebak aja. Lo bukan tipe orang yang peduli sama perasaan orang lain kecuali lo emang ada interest sama dia.”

Jidan berdecak, tiba-tiba saja memorinya memutar kembali apa yang terjadi pagi tadi bersama Gladys di dapur, yang membuat wajahnya terasa panas, jantung seperti akan meledak, napasnya tercekat, pusing nggak jelas, dan sudut hatinya terasa ada yang berbeda.

Kenapa juga ia begitu? Dan apa itu artinya? Selama ia belajar di bangku pendidikan bertahun-tahun, tak ada guru atau dosen yang menjelaskan perihal itu. Apa ia harus mengambil jurusan lain buat belajar soal itu? Tentang anatomi bahasa tubuh?

“Jangan ninggalin cewek lo kelamaan,” ujar Jidan, mengalihkan pembicaraan dengan keluar dari kamar.

“Bukan cewek gue!” Sadewa mengikuti, turun ke lantai bawah, kembali bertemu dengan Radin yang sempat ia tinggalkan begitu sampai di kostan untuk mengecek kamar kakaknya.

“Bang Jidan!” seru Radin yang ternyata sudah berada di dapur—dapur yang sudah bersih dari tepung, tentu itu karena Gladys yang membersihkan, Jidan sedikit merasa bersalah karena tidak ikut bekerja, padahal ia juga ikut andil dalam mengacak-acak keadaan dapur dengan tepung. Radin sedang duduk di kursi meja makan, berhadapan dengan setumpuk kukis yang masih menguarkan aroma lembut dan manis yang menggugah selera.

Saat Sadewa datang bersama Radin setengah jam yang lalu, Gladys tidak ada di dapur meski oven masih terus bekerja. Perempuan itu baru mandi setelah menyelesaikan seluruh adonan kukisnya. Dan turun kembali ke dapur setelah selesai mandi saat Jidan dan Sadewa sedang ada di kamar. Ia menyapa Radin, menggoda Radin setelah tahu ia datang dengan siapa dan untuk apa, lalu mengajaknya ke dapur untuk mencicipi kukis buatannya yang sudah hampir seluruhnya selesai, tinggal menunggu satu loyang terakhir yang baru saja dimasukkan ke dalam oven.

“Wa, lo harus coba! Ini enak banget!!!” puji Radin secara berlebihan terhadap kukis buatan Gladys.

“Boleh nih, gue coba?” Sadewa sudah memegang satu buah kukis di tangannya, menoleh pada Gladys untuk meminta persetujuan.

“Coba aja. Awas kalau ketagihan!”

Sadewa terkekeh sejenak sebelum ia mencoba kukis kering itu dengan sekali suapan. Dan benar apa yang dikatakan Radin, ini luar biasa! Begitu renyah, namun tetap lembut. Manis, tapi tak sampai bikin enek, sangat pas. Belum lagi aroma harum butter dan vanila yang membuat siapa pun tidak akan berani menolak kukis ini.

“Wahhhh ….” Mata Sadewa melebar sempurna, takjub pada setiap sudut mulutnya yang merasakan kukis nikmat itu. “Bang, lo udah cobain?” Ia mencari-cari Jidan yang ternyata malah sibuk membuka kulkas untuk mencari apa saja yang bisa membuatnya tak dilibatkan dalam pembicaraan kukis itu. Tapi ya …, mana bisa ketika ia masih ada di sana?

Jidan menutup pintu kulkas, menatap pasang mata tiga orang yang sedang menatapnya, satu per satu sampai yang terakhir berhenti di Gladys. DAN KENAPA JUGA IA MALAH FOKUS KE BIBIR ITU? Mendadak membuatnya gerah.

“Pak Guru nggak doyan katanya, alergi,” sahut Gladys, memutus kontak mata dengan Jidan.

Sadewa yang mendengar itu, tertawa. “Alergi? Abang gue mana ada alergi. Dia nggak punya alergi apa-apa, dia doyan apa aja, pemakan segala.”

“Nggak apa-apa, nggak—”

“Nih, cobain!” Gladys menyodorkan satu buat kukis ke hadapan Jidan. “Awas kalau nggak dikasih nilai 100.”

“Ini nilainya 101 satu, Dys. Enak banget!” Sadewa tak berhenti memuji kukis buatan Gladys.

Jidan menerima kukis tersebut. Sebenarnya, tanpa mencoba pun ia sudah percaya kalau kukis itu enak meski hanya dengan mencium aromanya. Apalagi selama ini, selama Gladys memasak dan ia selalu diberi kesempatan untuk menikmati masakannya, tak ada yang tidak enak, semuanya pasti memuaskan. Nasi goreng yang menjadi makanan pertama buatan Gladys yang Jidan makan, membuat Jidan ingin nambah, terlebih saat itu ia juga sedang lapar-laparnya. Terus telur tomat yang baru pertama kali ia coba, ternyata sangat enak.

Jadi mulai dari gigitan pertama kukis renyah itu yang meleleh di dalam mulutnya, Jidan sudah tahu berapa nilai yang harus ia berikan. Jika tidak bisa memberi 100 dan paling mentok 98, maka Jidan akan memberikan nilai 99. Rasa dan teksturnya sangat pas, berpadu jadi satu di rongga mulutnya, membelainya dengan begitu mesra, berbisik untuk memintanya lagi dan lagi.

“Enak, kan, Bang?” tanya Sadewa.

Jidan berdeham kecil. “Enak,” jawabnya datar, dan sudah mampu membuat Gladys berdecih.

“Enak banget itu berarti, Dys,” Sadewa menjelaskan. “Gue boleh bawa pulang nggak? Kan banyak banget nih. Ya …, lumayan lah buat di jalan. Iya, kan, Din?” Ia meminta suara Radin.

Radin mengangguk, dan ketika Gladys baru akan mengiakan permintaan itu, matanya lebih dulu menangkap Kiara yang turun dari tangga dan berjalan menuju pintu depan.

“Mbak Kiul!?” panggilnya, dan ia menghampiri tanpa pikir panjang.

Kiara menatap datar. Ia terus berjalan menuju pintu untuk memakai sepatunya, sebuah flatshoes berwarna hitam.

“Mau ke mana?” tanya Gladys, menatap Kiara dari atas sampai bawah. Rambutnya diurai dengan dicatok sedemikian rupa agar berbentuk indah. Dress sebatas lutut yang dipadukan lagi dengan blazer.

“Ngapain nanya-nanya?”

Mata Gladys memicing. “Nge-date?” tebaknya dengan senyum miring yang mengintimidasi.

Kiara agak terkejut, tapi tetap berusaha cuek.

“Sama siapa? Yang di lantai dua atau yang di coffee shop?” Gladys terkikik.

Kiara semakin tak bisa berkata-kata.

“Narga? Kemarin dia bilang sama gue kalau hari ini dia libur. Wihhh …, jarang-jarang tuh dapet libur weekend.”

“Nggak ada urusannya—”

Good luck deh kalau beneran sama Narga,” potong Gladys cepat. “Tapi kalau sama si gendut jelek, semoga lo yang cepet waras.”

Kiara menganga. Walau itu kalimat yang sangat menusuk, sayangnya dia tak bisa membela diri dengan kalimat apa pun.

“Bilangin sama si Narga gila, masa nge-date nggak berani jemput depan pager. Lo juga mau-mauan aja dijemput depan gang. Kayak hubungan terlarang aja.” Gladys kembali terkikik.

Kiara masih tak bisa mengatakan apa-apa. Ia begitu saja pergi dari sana meninggalkan Gladys yang melambai ke arahnya.

Good luck, Mbak Kiul! Semoga cepet waras!”

Bukan tentang kalimat yang menyakitkan, tapi tentang kalimat yang menyadarkan, yang membuat hal itu terlihat bahwa seseorang telah melayangkan kepedulian dengan tanpa sadar.