— 101


Jam belajar mengajar Bina Bakti selesai pukul setengah dua siang, tapi biasanya para guru baru akan pulang setengah atau bahkan satu jam kemudian. Dan hari ini mereka pulang lebih lama karena begitu selesai jam pelajaran terakhir, mereka harus melanjutkan rapat untuk pelaksanaan PTS minggu depan.

Hari Senin ini jadwal mengajar Jidan penuh dari pagi sampai siang, makanya ia terlihat yang paling loyo di ruang rapat tersebut di antara guru-guru yang lain. Tidak pernah juga ia berada di posisi di mana guru-guru rela menambah jam di sekolah untuk rapat dibandingkan memotong jam mengajar di kelas. Biasanya, kalau ada rapat begini, murid dibiarkan belajar sendiri di kelas atau bahkan pulang lebih awal karena guru-guru yang mengajar harus rapat. Tapi Bina Bakti punya peraturan yang berbeda. Ya …, itu memang sebanding dengan upah yang diberikan. Jidan tidak boleh mengeluh.

Tapi energinya benar-benar terkuras habis begitu keluar dari ruang rapat yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu.

“Pak Jidan!?” seru seseorang saat Jidan baru akan melangkah melewati gerbang sekolah untuk pulang. Saat energinya habis pun ia masih harus jalan kaki pulang ke kostan.

Jidan menoleh, mendapati Sabria dengan motornya mendekat ke arahnya.

“Yuk, ikut sama saya,” tawar perempuan itu.

Jidan mengerjap. “Eh …, nggak usah, nggak apa-apa. Saya deket kok.”

“Iya, tahu. Ke kostannya Eza, kan?”

“Mau sekalian ke sana? Ketemu Eza?”

“Eum …, nggak sih. Lagian Eza kan nggak ada, ada meeting ke pusat dia, ngomongnya sih dua atau tiga hari gitu.” Sabria nyengir. “Udah, ayo nggak apa-apa, daripada pingsan di jalan.”

Jidan tersenyum kaku. Ternyata kelihatan ya kalau ia begitu lelah sekarang ini.

Sabria kembali memberi isyarat agar Jidan segera naik ke motornya. Dan karena ia memang sudah sangat lelah, tak punya tenaga untuk menolak lagi, akhirnya Jidan naik ke atas motor tersebut dan Sabria lanjut menjalankan motornya.

“Capek banget ya, Pak, ngajar di Bina Bakti?” tanya Sabria saat mereka sudah ada di atas motor.

Jidan hanya terkekeh kecil.

“Nggak apa-apa, Pak, habis ini bisa langsung tidur kok sampai besok pagi.”

“Saya masih harus nyiapin bahan mengajar besok.”

“Oh, iya ….” Sabria nyengir. “Lupa, walaupun sama-sama di guru Bina Bakti, kita beda.” Lalu dia tertawa. “Tapi saya kadang kalau lagi mau ujian gini sibuk juga kok, Pak, di rumah. Apalagi pas udah mulai rekap nilai.”

“Semua pasti punya kesibukannya masing-masing,” balas Jidan.

“Iya, bener …. Saya harap Pak Jidan betah deh di Bina Bakti. Sampai semester-semester selanjutnya.”

“Emangnya kenapa kalau saya berhenti?”

“Nyari penggantinya susah, Pak. Kriteria kepala sekolah sama kepala yayasan tinggi banget, kalau buat guru yang ngajar kayak Bapak nih, nggak mau mereka nerima yang belum punya pengalaman, harus udah pernah ngajar sebelumnya.”

“Oh …, pantes saya lolos, ya.”

Sabrina tertawa. “Bukan cuma karena pengalaman kok, Pak. Dinilai dari aspek lain juga. Urusan internal itu, saya juga nggak paham-paham amat. Tapi ya …, selama nunggu guru baru, guru-guru yang lain suka pada ngeluh karena harus jadi guru pengganti dadakan. Kayak waktu pas Pak Jidan belum masuk itu. Jadi jadwalnya pada nambah.”

“Tenang, buat sekarang, saya nggak ada niat buat berhenti kok, baru juga masuk.” Jidan tersenyum kecil.

Tak lama setelah itu, motor Sabria sampai di depan kostan yang kebetulan Idah sedang ada di depan warungnya. Jadi saat Jidan turun dan berterima kasih pada Sabria karena sudah mengantarnya, Sabria yang kenal dekat dengan Idah memutuskan untuk mampir dulu ke rumah Idah untuk berbincang sementara Jidan langsung masuk ke kamarnya dan tak memikirkan apa-apa lagi selain tidur.

Ia bahkan tak melepas pakaiannya, begitu saja menghempaskan tubuhnya ke kasur dan tak lama terlelap. Ia tak yakin tidur berapa lama, tapi sepertinya tak begitu lama karena begitu bangun, langit di luar masih terang. Kepalanya begitu sakit dan tenggorokannya kering. Air di dalam botol minumnya sudah habis, jadi ia perlu ke bawah untuk mengisi kembali botol tersebut. Namun, baru juga keluar dari kamar, ia melihat pintu balkon terbuka dan Gladys sedang berdiri di sana bersama seorang anak kecil yang entah siapa.

Ia penasaran, tapi nyatanya belum benar-benar terkumpul untuk menghadapi Gladys saat ini. Jadi, ia memutuskan untuk tak peduli. Tapi semesta memang selalu tak berbaik hati padanya, karena ketika ia baru akan berbalik melangkah menuju tangga, suara Gladys terdengar memanggilnya.

“Pak Guruuuuu!!!???” seru perempuan itu dengan suara yang nyaring dan lantang, membuat kepala Jidan semakin pening.

Jidan berbalik, menatap perempuan itu yang sudah melangkah sembari menuntun anak kecil yang bersamanya.

“Mau minum, ya?” tanya Gladys, melirik pada botol minum milik Jidan.

“Iya,” jawab Jidan dengan suara yang pecah, serak, dan berat, membuatnya langsung berdeham.

“Uuuuu …. Seksinya.” Mata Gladys memicing. “Coba bilang, 'Are you lost, Baby Girl?'. Cepet!!!” tiba-tiba antusias.

“Om ini siapa, Tante?” bocah perempuan kecil yang dibawa Gladys bertanya, merujuk pada Jidan berdiri menjulang di depannya.

“Kok Tante, sih. Mama …. Coba bilang, mama ….”

Bocah itu tak membalas.

“Ini Pak Guru, Rui. Ayo salim sama Pak Guru.”

Rui menurut cepat, menyalami tangan Jidan.

“Anak … kamu?” tanya Jidan dengan nada percaya.

Gladys mengangguk. “Calon anak gue,” jawabnya. “Iya, kan, Rui?” Ia menoleh ke arah Rui lagi. “Coba panggil 'mama', Ma … ma ….”

Rui tetap diam.

Jidan ingin tak percaya, tapi wajah Gladys terlihat serius. Tapi juga dalam kondisi apa pun wajahnya memang begitu, tidak bisa ditebak mana yang serius dan mana yang cuma sekadar bercanda. Ia ingin tak peduli, tapi hal itu cukup mengganggunya.

“Rui!?” suara lelaki dewasa di lantai bawah terdengar memanggil si bocah, membuat tangan yang semula digenggam oleh Gladys itu meminta dilepas dan ia berlari menuju tangga.

“Ayah!”

“Jangan lari-lari, nanti jatuh!” seru Gladys, mengejar Rui.

Jidan yang memang semula berniat ke lantai bawah, mengekori keduanya. Selain karena ingin ke dapur mengambil air minum, ada dorongan rasa penasaran juga di dalam hatinya mengenai lelaki yang Rui panggil sebagai ayah. Kalau benar, apa lelaki itu pacar Gladys? Selama ini Gladys punya pacar? Seorang duda? Punya anak? Dan bisa-bisanya perempuan itu melayangkan kalimat rayuan yang cenderung tak senonoh pada Jidan di saat ia punya pacar dan akan jadi seorang mama? Jidan tahu Gladys gila, tapi ia tak tahu kalau perempuan itu ternyata segila itu.

Dan bisa-bisanya ia nyaris teriakan rayuan si perempuan gila?

Jadi, siapa sebenarnya yang gila di sini?

Kepala Jidan semakin sakit.

“Ayo kita pulang, udah mau malem.” Rion mengusap kepala Rui yang datang langsung memeluknya.

“Udah diskusinya, Mas?” tanya Gladys kemudian, menatap Rion dan Diana di sana secara bergantian.

“Udah kok, thanks ya,” jawab Rion sebelum mengalihkan pandangannya pada lelaki di belakang Gladys.

“Itu Pak Guru,” bisik Rui yang mengerti arti raut wajah sang ayah.

“Oh, ngekost di sini juga?” Rion tersenyum lebar, menghampiri Jidan untuk mengulurkan tangannya. “Yang ngajar di Bina Bakti, kan?”

“Iya.” Jidan menyambut uluran tangan itu dengan tersenyum kaku. “Jidan,” katanya.

“Oh, saya Rion. Eum—”

“Calon suami gue,” potong Gladys, seolah tahu kalau Rion akan memperkenalkan diri sebagai seseorang yang kerja di kantor yang sama dengan tempat Gladys magang.

Rion tertawa, tak menyangkal atau mengiakan. Ia sudah terlalu paham dengan sifat Gladys, jadi tak pusing untuk membalas ucapan itu.

“Coba panggil mama …,” Gladys kembali bicara pada Rui, dan Rui kembali tak menjawab.

“Kalau gitu, gue pulang ya, Dys.” Rion mengambil tas Rui dan menyampirkannya di sebelah pundak. “Diana, nanti saya kabarin, ya. Makasih udah nyempetin buat ketemu,” ujarnya pada Diana. “Rui, ayo salaman dulu sama Tante Diana.”

Rui menyalami tangan Diana tanpa protes, lalu berujar, “Tante Princess.”

Gladys tertawa.

“Pasti ajaran lo,” gumam Diana.

“Anak gue tuh.”

Rion terkekeh. “Kamu mau pulang ke rumah atau gimana? Kalau mau pulang, biar sekalian saya anter—”

“Oh, nggak usah, Mas.” Diana mengibaskan tangannya. “Saya ke sini bawa motor kok.”

“Oh, gitu. Oke …. Nanti kita ketemu lagi.”

Setelah berpamitan sekali lagi, juga berpamitan dengan Idah yang merupakan saudara Diana itu sendiri, Rion pergi dari sana dan Diana pun pergi ke rumah Idah, meninggalkan Gladys dan Jidan yang sudah berhasil mendapatkan air minumnya di dapur.

“Ganteng nggak calon suami gue?” tanya Gladys, mendekati Jidan yang duduk di kursi meja makan setelah meneguk satu gelas besar air mineral.

“Siapa?”

“Ya, Mas Rion dong, Pak Guru. Masa elo.”

“Oh ….”

“Gimana? Ganteng nggak? Duda kaya raya dia.”

“Ganteng,” jawab Jidan singkat tanpa ekspresi.

“Habis lulus, mau langsung gue ajak kawin.”

“Nikah maksudnya?”

“Iya, itu.” Gladys tersenyum masam.

“Emang dia mau nikah sama kamu?”

“Dih, jangan salah. Pelet gue kenceng gini-gini juga.”

“Tapi dia senyum dia kelihatan lebih tulus ke Diana daripada ke kamu.”

Gladys menatap tak percaya. “Diana itu calon pengasuhnya Rui, kalau gue calon istrinya Mas Rion sekaligus mamanya Rui. Beda.”

“Saya nggak lagi ngomongin kamu siapa, dan Diana siapa. Saya ngomongin cara menatap Mas Rion ke kamu sama Diana.”

Mata Gladys memicing. “Bilang aja Pak Guru cemburu, iya, kan? Ngaku deh!”

“Ngapain saya cemburu?”

“Alah! Bilang aja. Ngapain juga ngelihatin Mas Rion sebegitunya kalau nggak penasaran sama hubungan gue sama Mas Rion.” Gladys terkikik.

Jidan mengerjap, tak bisa menjawab. Kalau dipikir-pikir, iya juga. Kenapa tadi ia memperhatikan Rion sebegitunya? Menatap lelaki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha menebak parfum yang dikenakan karena masih terendus aromanya. Dan lebih gilanya, membandingkan dengan dirinya sendiri. Kemeja kusut berantakan karena belum sempat berganti pakaian dari pagi, dan datang-datang ke kostan langsung tidur. Rambutnya yang acak-acakan. Wajah lelah. Juga aroma parfumnya yang sudah hilang entah sejak kapan karena pasti harganya tak semahal dengan aroma parfum milik Rion yang bisa bertahan seharian.

Dan kenapa juga Jidan melakukan hal itu?

Secara tak sadar, Jidan memang sudah jadi gila.

Ia memang pernah mendatangi rumah sakit jiwa, tapi bukan gila itu yang dimaksud. Ini … lebih dari gila. Kenapa juga perasaannya jadi aneh begitu Gladys mengatakan kalau Rion adalah suaminya? Dan kenapa perasaannya jadi lebih aneh saat Rion tidak menyangkal hal itu?

Lebih gila.

“Pak Guru suka, kan, sama gue?” Salah satu sudut bibir Gladys terangkat, ia berjalan mendekati Jidan. “Iya, kan? Ngaku deh.”

“Nggak!” Gila kalau ia merasakan hal itu.

“Cinta?”

Jidan berdiri, hendak pergi. Ia bisa gila terlalu lama di sana.

“Kalau gitu—”

“Saya nggak suka sama kamu, Gadis!” suara Jidan tiba-tiba meninggi, memotong ucapan Gladys. “Saya nggak cemburu, nggak suka, dan nggak cinta!”

Gladys mengerjap, agak terkejut dengan suara Jidan yang seperti membentaknya. “Ya …, ya udah. Bagus …,” katanya dengan terbata. “Emang jangan suka sama gue, apalagi cinta. Gue orang jahat soalnya.”

Jidan menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya sebelum pergi dari sana meninggalkan Gladys, tanpa perempuan itu cegah.

Gladys bengong sejenak. Tangannya kemudian meraba dada, diam merasakan degup jantungnya. Terasa … sakit.