— 27


“Mas, kenalin ini temenku, Erika. Terus ini anaknya, Devan. Dan ini Rizal, atau panggil aja Ijal, dia paralegal di kantor,” Utara memperkenalkan orang-orang yang bersamanya saat ini saat Arion menghampiri mejanya bersama Elea.

“Arion.” Cowok itu mengulurkan tangannya ke hadapan Erika dan Rizal secara bergantian. Kemudian menoleh pada Elea yang ada di gendongannya, yang memang sejak ia membawanya berkumpul bersama para pegawai kantornya, bocah itu ngambek, cemberut dan tak mau bicaranya padanya.

“Hai …, kamu pasti yang namanya Elea, ya,” Erika berusaha mengambil perhatian bocah itu. “Kamu mau main nggak sama anak Tante. Dia seumuran sama kamu lho, namanya Alya.”

Berhasil.

Elea mengalihkan tatapannya pada Erika, lalu pada Devan yang duduk di kursi khusus anak kecil, sedang memakan biskuitnya. “Tapi dia cowok.”

Erika tertawa. “Oh, bukan yang ini. Tante masih punya satu anak lagi di rumah, lagi main sama neneknya. Mau nggak main sama dia di rumah? Dia punya boneka Barbie sama rumah-rumahannya lho. Ada mobilnya juga. Ada masak-masakan juga.”

“Apa ini nggak terlalu ngerepotin?” tanya Arion, menatap Utara dan Erika secara bergantian.

Sejujurnya ia tak terlalu setuju dengan saran yang Utara berikan, yaitu menitipkan Elea di rumah Erika. Utara mengatakan, Elea pasti nggak akan bosan apalagi bete sampai ngambek kayak sekarang karena di sana Elea akan bertemu dengan Alya, teman sebayanya, dan mereka bisa bermain bersama.

Tapi setelah dipikir ulang lagi, tak ada pilihan lain yang bisa dijadikan alternatif selain saran dadi Utara. Elea sudah kepalang bete dan ngambek sama papanya, dan membawanya ke tempat ia rapat pun akan tambah membuat anaknya itu marah. Belum lagi kesan buruk yang akan Arion terima dari kliennya ini kalau benar-benar akan membawa Elea.

Di sisi lain, Utara juga awalnya agak bingung menyampaikan hal ini pada Erika. Bagaimanapun Erika sendiri sudah pasti lelah dengan mengurus dua anaknya sendiri, belum lagi ia sedang hamil. Tapi saat Utara menyampaikan rencana tersebut, Erika justru sangat bersemangat.

“Nggak apa-apa, Tar. Suruh aja dia ke sini, nanti gue bantu ngomong deh. Alya kalau ada temennya gitu justru malah gampang dibilanginnya. Paling juga mereka bakal main bareng, nggak akan ngerepotin sama sekali. Lagian, ada nyokap gue di rumah. Tenang aja.”

Begitu katanya.

“Menurut lo gimana, Jal?” Utara meminta pendapat Rizal.

“Eum …, ya …, terserah sih, Mbak. Emangnya ada pilihan lain?”

“Nggak ada, sih.” Utara nyengir.

“Tapi, Mbak. Sejak kapan Mbak deket sama Pak Ari? Dia klien Mbak dulu, kan? Waktu saya belum kerja sama Mbak.”

Utara tak menjawab. Ia memilih bungkam. Kalau boleh memilih pun, ia tak mau bertemu dengan Arion lagi kalau caranya dengan muntah di depan cowok itu dan mengotori bajunya. Tapi melihat wajah bete Elea di bangku sana, Utara mencoba mengesampingkan rasa malunya dan misteri malam itu di kamar Arion.

“Nggak ngerepotin sama sekali, Mas,” suara Erika kembali terdengar. Saya di rumah nggak sendirian kok, ada mama saya juga yang nemenin. Kebetulan suami lagi dinas ke luar kota.” Ia tersenyum kecil, membuat Utara meringis. “Lagian nggak sampai seharian ini, kan? Sore udah pulang, kan?”

“Iya. Saya sore langsung pulang,” jawab Arion.

“Nah, nggak apa-apa. Hitung-hitung nambah temen baru buat anak saya sama Elea.”

Arion menatap Elea. “Gimana? Mau nggak main sama anaknya Tante Erika?”

“Sama Tante Seksi juga?” Elea menatap Utara.

Erika menahan tawa. Rizal membelalak kaget. Arion mendesah berat.

“Lea, kan, Papa udah bilang, panggil Tante Tara yang bener. Tante Tara.”

“Tapi dia Tante Seksi.”

Utara meringis. “Nggak apa-apa, Mas. Jangan diomelin.”

“Iya, kan? Dia seksi, kan? Emang bener panggilannya. Tante Seksi.” Erika terkikik pada Elea, mencoba mengambil hati bocah itu.

“Tapi Tante Seksi nggak ikut,” Utara berujar. “Tante harus ke kantor lagi buat kerja.”

Elea agak cemberut.

“Tapi Tante punya permen buat Elea kalau mau ikut main sama Alya.” Utara tersenyum.

“Permen susu?” Elea menatap antusias.

Utara mengangguk. Lalu mengambil tasnya, mengaduk-aduk isi di dalamnya untuk mengambil permen di dalam sana. Dua buah. “Yang satu buat kamu, satu lagi kasih ke Alya. Oke?”

Elea mengambil permen itu dan mengangguk kecil. Lalu menatap papanya untuk memberikan jawaban.

“Pak Ari,” Sandra tiba-tiba menghampiri, menatap Erika, Utara, dan Rizal sekilas, lalu tersenyum dan mengangguk sopan sebelum mengembalikan tatapannya pada Arion. “Kami semua udah selesai.”

“Oh, udah?” Arion menatap ke mejanya di belakang sana. “Sebentar. Jangan pakai kartu perusahaan, pakai punya saya aja.” Ia merogoh saku belakang celananya, lalu agak susah payah mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya—ia masih menggendong Elea. “Sekalian meja yang ini. Belum dibayar, kan?” Ia menatap Utara. “Pinnya tanggal ulang tahun Lea. Tahu, kan?”

Sandra mengangguk patuh. Lalu pergi sebelum Utara sempat memprotes.

“Mas, kok dibayarin segala?” Utara protes.

“Nggak apa-apa, sekalian. Hitung-hitung traktir karena udah ngasih solusi buat aku.” Arion tersenyum.

“Ya, tapi—”

“Makasih, Mas Ari,” potong Erika cepat, menengahi perdebatan.

“Makasih, Mas.” Rizal juga ikutan, membuat Utara mendesah pasrah.

Tak lama setelah itu, Sandra kembali dengan mengembalikan kartu kredit milik Arion, juga membawa tas sekolah milik Elea, disusul dengan para pegawainya yang mengantre untuk mengucapkan terima kasih karena sudah ditraktir makan siang, dan Arion menyuruh mereka segera kembali ke kantor karena ia dan Sandra akan langsung pergi ke tempat rapat dengan perusahaan lain.

Sandra mengikuti Arion sampai ke parkiran untuk mengantar Elea ke mobil Erika.

“Kalau gitu, kamu sama Ijal biar aku dan Sandra yang anter ke kantor. Biar Erika nggak harus bolak-balik nganterin,” ujar Arion yang mengetahui kalau Erika yang menjemput Utara dan Rizal di kantornya sebelum mereka datang bersama-sama ke resto ini.

“Iya, Tar, gitu aja,” Erika setuju dengan cepat. “Lagian mobil gue nggak muat. Sempit.” Ia menepuk mobil sedan putihnya yang memang cuma muat untuk 4 orang dewasa. Jika Devan di kursi belakang bersama car seat tambahannya, dan Elea di depan. Maka Erika cuma bisa membawa satu orang dewasa lagi. Ya, bisa sih, dengan merangkul Elea. Tapi membuat Utara dan Arion bersama lebih baik daripada hal lain.

“Emangnya searah?” tanya Utara.

“Nggak, sih. Tapi muter dikit nggak apa-apa.” Arion tersenyum.

Utara mengembuskan napas pasrah.

“Lea, lihat Papa.” Arion berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Elea. “Di rumah Tante Erika nanti, jangan nakal, oke? Main yang baik sama anaknya Tante Erika. Jangan berantem, jangan ngerepotin orang lain, pokoknya jangan nakal. Nanti Papa jemput sore pulang dari kantor. Iya?”

Elea mengangguk, memeluk sang papa seolah itu pertemuan terakhir mereka, membuat Arion tertawa.

“Kalau di sana pinter, nanti pulangnya kita beli es krim.”

“Beneran?” Elea menatap antusias.

“Iya.” Arion mengulurkan jari kelingkingnya, dan disambut dengan semangat oleh Elea yang langsung mengaitkan jari kelingkingnya yang kecil ke kelingking Arion yang besar. Setelah itu Arion mencium kedua pipi anaknya.

Tanpa sadar Utara memperhatikan adegan itu dengan sangat baik, membuat hatinya bergetar. Membuat iri sekaligus senang karena ternyata di luar sana masih ada seorang papa yang sayang anaknya, yang tak malu memperlihatkan cintanya di hadapan banyak orang. Erika menyenggol lengan Utara, membuatnya tersentak pelan.

“Kalau lo nggak suka sama brondong seksi, mungkin lo lebih suka sama hot daddy kayak gini, Tar. He's truly the best father,” bisik Erika sangat pelan, tapi masih bisa Utara dengar dengan baik.

“Apaan, sih?”

Erika mencibir, terkikik meledek.

“Ada handphone-nya Lea di tasnya. Kalau ada apa-apa bisa langsung hubungin saya pake hape itu. Nomor saya ada di panggilan darurat nomor satu,” Arion bicara pada Erika.

Erika mengangguk paham. Ia lalu membantu Elea untuk naik ke mobilnya, memakaikan sabuk pengaman, kemudian berjalan menuju kursi pengemudi, dan Utara menyusul untuk bicara.

“Hati-hati. Bawa mobilnya pelan aja. Inget, lo lagi bunting, bawa anak kecil juga. Kabarin gue kalau udah sampai. Kalau nggak ngabarin, gue nggak mau ketemu lo lagi.”

Erika terkekeh. “Iya, Baby, iya …. Bawel banget buset.”

Utara cemberut, ia merunduk untuk menatap ke dalam mobil. “Elea, jangan berantemin Alya, ya. Dia anak Tante juga, tahu?”

“Anak Tante Seksi juga? Alya punya dua mama?”

“Iya. Alya punya dua mama.”

“Kok aku cuma punya satu?”

Utara berdeham. Ia tak bisa menjawab, ia langsung berdiri tegak dan tatapannya bersirobok canggung dengan Arion di seberang mobil sana.

Setelah itu Erika langsung pergi dari sana, menyisakan Sandra yang sudah masuk ke mobil Arion dan duduk di kursi pengemudi, Arion yang masih menatap Utara, Utara yang berdiri canggung, dan Rizal yang sibuk dengan ponselnya. Tanpa berdebat—lebih tepatnya tidak punya waktu untuk protes, Rizal mengambil tempat duduk di kursi depan samping pengemudi, membuat Utara duduk di belakang bersama Arion, membawa ingatan soal muntah itu, yang membuat Utara merinding.

Lalu pertanyaan soal apa yang sebenarnya Utara lakukan malam itu kembali menyelimutinya.

Utara benar-benar cuma tidur, kan?

Maksudnya tidur setelah muntah.

Lalu … bagaimana pakaiannya bisa terganti?

Benar-benar Elea yang melakukannya, kan?

Memangnya bocah sekecil itu bisa?

Utara ingin kabur saat ini juga.