lautkelabu

TIGAKATA — 32


Acara pernikahan itu melelahkan meski sejatinya Inka lebih banyak duduk sambil mengobrol dengan teman-teman lamanya, atau sesekali membantu Ochi. Tapi sebagai teman dekat yang sudah kenal sejak SMA, juga sebagai—katakan juga—teman karena mereka bekerja di perusahaan yang sama dan bagaimanapun juga, Inka adalah orang yang mengenalkan Fadel pada Ochi, Inka mereka ia harus datang ke pernikahan itu, dan hadir sejak acara dimulai.

Itu bukan pernikahan pertama yang ia kunjungi, namun selain pernikahan saudaranya, itu adalah pernikahan pertama yang ia datangi sejak acara dimulai sampai selesai. Belum lagi setelah acara selesai pun Inka tak langsung pulang karena ia menyempatkan diri untuk mengobrol sebentar bersama Ochi dan Fadel.

Dan dari sana Inka bisa menyimpulkan bahwa sebuah acara pernikahan yang hanya dilangsungkan beberapa jam itu benar-benar melelahkan. Dan juga ia harus bersiap untuk itu, untuk acara pernikahannya sendiri yang mungkin akan jauh lebih besar dan melelahkan dibanding hari ini.

Pernikahan bisnis selalu akan jadi sorotan pebisnis yang lain, dan papanya tidak mungkin tidak mengundang orang-orang semacam itu, kan? Belum lagi itu juga akan menjadi salah satu kesempatan untuk memperkenalkan orang yang akan menggantikan posisinya setelah pensiun, setelah ia menikahkan putrinya.

Orang yang dimaksud adalah Kama Peraksi, yang datang pagi-pagi ke apartemen Inka, mengenakan kemeja batik berwarna dasar cokelat muda yang senada dengan kebaya yang Inka kenakan; krem. Yang setia menemani Inka sejak acara pernikahan itu dimulai sampai selesai, seperti rencana Inka. Bukan hanya karena ia kenal dengan Ochi atau karena Fadel nanti akan menjadi salah satu bawahannya, tapi karena Inka juga, karena perjodohan itu, karena orang-orang yang memandang pernikahan mereka adalah pernikahan yang menjijikan.

Ya, mereka tidak salah. Pernikahan atas dasar bisnis tak lebih seperti pernikahan politik di masa lalu. Hanya untuk melanjutkan garis keturunan, menguatkan fraksi di lingkar politik, atau sekadar membalas sebuah jasa.

Lalu apa yang mendasari pernikahan Inka dan Kama selain karena Darius tak bisa memilih anaknya sendiri untuk menggantikan posisinya makanya ia memilih Kama, juga karena Inka yang harus menikah dengan Kama demi menjaga perusahaan di tangan orang yang bukan keluarganya?

Membalas sebuah jasa.

Itu mungkin menjadi salah satu alasan yang Kama miliki untuk menikahi Inka jika ia sebenarnya tak menginginkan pernikahan tersebut. Darius selalu mengatakan bahwa ia harus menjaga Inka, dan menikah adalah cari yang paling tepat untuk menjaga dari jarak yang paling dekat.

Tapi lelaki itu mengatakan bahwa dibanding dengan Tigakata, Kama lebih senang dengan perjodohan yang dilakukannya.

Lalu, pernikahan seperti apa mereka ini?

Inka terlalu lelah hari ini. Meski seharian itu ia cukup terbantu dengan kehadiran Kama sebab lelaki yang hampir tak meninggalkan sisinya itu selalu berusaha ikut menimbrung berbagai obrolannya dengan teman lama atau teman di kantor karena Kama sendiri tahu bahwa Inka tak terlalu suka berinteraksi dengan banyak orang. Lelaki itu pun selalu siap berdiri untuk mengambilkan Inka minum atau makanan ringan.

Tapi Inka masih lelah. Energi sosialnya terkuras habis hari ini, tak bersisa. Ia tak yakin besok sudah lebih baik ketika besok pun ia harus datang untuk memantau jalannya pemotretan sebuah majalah yang berkolaborasi dengan parfumnya.

Kama membiarkan hal itu. Ia membiarkan Inka tetap di mobil sambil memejamkan matanya saat ia sendiri turun dari mobil untuk membeli nasi goreng dari pedagang pinggir jalan sebelum ia mengantarkan Inka pulang ke apartemennya.

Mereka tiba saat langit sudah menggelap. Itu benar-benar hari yang sangat panjang bagi Inka, bahkan lebih panjang dari saat ia punya jadwal rapat tanpa henti.

Rasanya tubuhnya akan tumbang dalam waktu dekat. Kakinya sakit karena harus memakai sepatu hak tinggi seharian. Tubuhnya terasa lengket dan rambutnya mulai lepek, ia hanya bisa berharap kalau ia tak bau.

“Mas rasa, kamu lebih baik langsung mandi. Pasti bakal bikin lebih seger. Habis itu kita makan.” Kama menaruh bungkusan berisi nasi goreng itu ke meja bar saat Inka sendiri berjalan dengan lesu ke arah ruang tengah sebelum akhirnya membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa.

“Mau Mas siapin air panas?” Dan tanpa Inka sadari, lelaki itu sudah berdiri di hadapannya. Tersenyum ke arahnya. Entah kenapa ia merasa Kama sudah seperti suaminya saat ini. Apa itu bagian dari ‘menjaga Inka’ yang selalu Darius sebutkan? Atau justru bagian dari cara agar Inka merasakan apa yang juga Kama rasakan tentang pernikahan mereka?

Inka tak mengerti. Tapi akhir-akhir ini Kama memang menjadi lebih perhatian terhadapnya. Ia tak pernah sekalipun melewati untuk mengingatkan Inka makan melalui pesan singkat sebab ia terlalu tahu bahwa Inka selalu melewatkan makan jika sedang sangat sibuk di kantor.

Hari ini pun begitu.

Di resepsi pernikahan Ochi tadi, Kama selalu menanyakan pada Inka apa perempuan itu ingin makan sesuatu atau tidak. Dan dari banyaknya makanan yang tersedia di sana, Inka hanya memakan beberapa potong siomay dah salad buah. Tak ada makanan berat yang masuk ke dalam mulutnya seharian, makanya Kama memutuskan untuk mampir membeli nasi goreng dalam perjalanan pulang mereka.

Inka membuka matanya secara penuh untuk melihat dengan jelas Kama di depannya, yang masih tersenyum padanya seraya menyodorkan segelas air dingin. Kapan lelaki itu menyiapkannya?

“Mas bakal pulang setelah lihat kamu makan,” katanya lagi setelah Inka menerima air minum itu dan ia duduk di sebelah Inka.

“Aku bakal makan.”

“Mas nggak yakin, apalagi kalau lihat kamu udah kecapekan gini. Makan mungkin jadi hal terakhir yang bakal kamu lakuin malem ini.”

Ya, Kama terlalu tahu. Inka tak bisa mengelak.

Inka mendesah, ia memberikan gelas kosong itu pada Kama sebelum kembali bersandar pada sandaran sofa, menoleh ke samping untuk menatap Kama. “Mas,” panggilnya. “Makasih udah temenin aku hari ini.”

Kama tersenyum kecil. “Gimanapun juga, Mas tetep bakal dateng dan kita bakal ketemu. Kamu nggak perlu bilang makasih.”

“Tapi gara-gara harus nemenin aku dari pagi, Mas jadi harus batalin janji.”

“Nggak bener-bener dibatalin, Inka. Cuma diundur ke lain waktu aja.”

Inka ingin bertanya dengan siapa Kama akan bertemu di akhir pekan seperti ini, tapi ia menahannya. Ia merasa tidak berada dalam posisi yang tepat untuk mengetahui lebih banyak tentang privacy Kama, meski mereka sudah dekat sejak lama, dan meski mereka akan menikah.

Ingatkan Inka bahwa pernikahan mereka tidak terjadi seperti pernikahan Ochi dan Fadel yang didasari karena cinta. Kama dan Inka karena bisnis, dan karena posisi mereka tidak untuk bisa menolak usulan itu.

Untuk alasan yang Inka tidak mengerti, Kama mungkin senang. Tapi bagaimana dengan Inka? Apa Inka juga senang?

Ia sendiri tak tahu.

Menikah dengan lelaki seperti Kama bisa dikatakan keajaiban, tapi pernikahan tidak sesederhana hidup bersama untuk waktu yang lama, kan?

Pernikahan lebih dari itu. Dan Inka masih bingung bagaimana harus menghadapinya.

Apa Kama sudah tahu bagaimana cara menghadapinya?

Pernikahan itu. Makanya ia senang.

Ah …, aroma ini.

Satu-satunya aroma yang bisa Inka rasakan di hidungnya.

Aroma yang menenangkan.

Ia tidak tahu bau dan harum itu seperti apa perbedaannya, tapi yang jelas, saat ia berada di dekat Kama, saat ia bisa menghirup sesuatu di samping lelaki itu, ia menjadi lebih tenang, dan sesuatu dalam dirinya seperti menginginkan Kama untuk berada di sisinya lebih lama.

Apa itu bisa dijadikan alasan kenapa Inka bisa senang terhadap pernikahan ini?

“Mas, mau ciuman sama aku?”

Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir Inka. Entah karena kelelahan yang membuatnya tak bisa berpikir jernih, atau juga karena aroma yang menggelitik indera penciumannya hingga membangkitkan keinginan yang lain, yang secara alami bangkit saat ia merasa senang?

Tapi ia tahu kalau ia bersungguh-sungguh dalam mengatakannya. Matanya yang menyorot dalam jarak dekat itu seolah mengatakan kejujuran terhadap ucapannya. Kama bisa merasakannya.

Tapi bagaimana ia harus meresponsnya?

Itu memang tidak akan jadi ciuman pertamanya, tapi perempuan yang akan ia hadapi ini Inka. Seorang perempuan yang selalu ia lihat dengan pandangan yang berbeda, yang selalu ingin ia jaga meski Darius tidak memintanya.

“You know? We're getting married. Mas nggak akan menjadikan pernikahan ini kayak pernikahan kontrak dalam novel, kan? Without touching each other.” Kalimat itu diucapkan tanpa intonasi yang menusuk, cenderung datar. Dan tatapan lelah itu masih terus menyorot dengan kejujuran.

“Mas—” Kama kehilangan kata-katanya sendiri. Raut wajahnya diliputi kebingungan juga keterkejutan yang tak bisa dihindari. Tentu saja saat perbincangan soal pernikahan itu mulai terangkat, ia memikirkan tentang kehidupan pernikahan orang normal pada umumnya.

Menyentuh satu sama lain adalah yang paling biasa, paling dasar.

Tapi apakah pernikahannya dengan Inka bisa disebut normal ketika ia sendiri yang merasa senang terhadap perjodohan ini?

Ia ragu pada kata-katanya sendiri. Takut jika apa yang akan keluar dari mulutnya membuat Inka tak nyaman. Sebab ia berencana untuk menyerahkan segala peraturan pernikahan mereka pada Inka. Ia hanya akan menjadi orang yang mengikuti alur.

Lalu jika Inka meminta menciumnya, bisakah Kama menerima tanpa merasa bersalah?

Kama belum sempat memikirkan kata-katanya saat Inka lebih dulu bergerak, menarik kemejanya sampai ia merunduk sedikit untuk bertemu Inka yang bergerak condong untuk menempelkan bibir mereka.

Dingin.

Sentuhan kecil itu terasa dingin dan sedikit menyengat. Kama tak sempat menutup matanya saat Inka sudah kembali menarik diri.

“Aku mau—” Dan kini Inka yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya, juga niatnya untuk bangkit dari tempat duduknya sebab Kama menarik tangannya, menjatuhkan punggungnya lagi ke sandar sofa, dan lelaki itu menghimpitnya, memegang tangannya dengan lembut, selembut ciuman yang Kama berikan padanya setelahnya.

Inka tak sempat memikirkan apa yang terjadi padanya saat ini. Tubuhnya lebih tegang, tapi juga lebih bersemangat. Jantungnya berdebar kencang saat darah dalam tubuhnya mendidih.

Apakah ia bisa menerima aroma sebanyak ini?

Apakah memang aroma selalu sebanyak ini?

Inka tidak tahu bagaimana aroma rosewood, cedarwood, sandalwood, atau bahkan agarwood. Tapi Inka tahu ini pasti salah satunya. Aroma segar yang tak terlalu menyengat, yang membelai indera penciumannya yang sudah lama mati, yang tak membuatnya pusing, bahkan ingin muntah. Yang Inka rasakan justru ketenangan, seperti berada di tengah hutan yang dipenuhi pohon rindang yang basah karena baru terguyur hujan. Yang membuat lelahnya menghilang, yang membuatnya dengan senang menutup mata saat Kama mulai melumat bibirnya.

Ia mencengkeram sisi kemeja yang Kama kenakan. Kepalanya kian mendongak saat Kama kian menajamkan ciumannya. Itu bukan ciuman pertamanya, tapi untuk pertama kalinya Inka merasakan sensasi ciuman yang berbeda, yang membuatnya ingin berteriak untuk Kama agar tak menghentikannya.

Apa ciuman memang seharusnya terasa begitu?

Ia membuka mulutnya, membiarkan Kama menelusup lebih jauh dan lebih dalam. Namun ketika ia mulai bersorak kesenangan, Kama tiba-tiba menarik diri, menyisakan napas tersengal keduanya yang bertubrukan dalam irama yang senada.

Kama menatap lekat dalam jarak dekat, tersenyum kikuk, raut wajahnya agak menyimpan malu, juga rasa khawatir. Dan sebelum ia bangkit, lelaki itu berujar, “Ciuman … harusnya begitu.”

TIGAKATA — 24

‐—

Terkadang, Inka penasaran terhadap reaksi orang-orang saat pada akhirnya tahu kalau orang yang mereka bilang kalau parfum yang dipakai itu tak bisa menghirup aroma seperti apa dari parfum yang digunakannya.

Apakah mereka mencibir?

Mencemooh?

Hanya sekadar tahu bahwa ia tidak bisa menghirup aroma apa pun sudah termasuk mimpi buruk bagi Inka, jadi ia tidak bisa membayangkan jika akan lebih banyak orang yang tahu soal itu.

Meski ia tak bisa menghirup aroma apa pun, Inka tetap menggunakan wangi-wangian dengan aroma yang aman, hanya untuk memastikan bahwa ia tak bau badan. Sebab ia sendiri tak tahu apakah detik ini ia bau badan atau tidak, sebab ia tak bisa menghirupnya.

Satu alasan lain kenapa ia tak bisa membenci Kama adalah karena setelah mamanya, Kama adalah orang yang bertanggung jawab pada seluruh produk wewangian yang Inka gunakan. Bukan hanya parfum, tapi juga lotion sampai sabun mandi. Kama menunjukkan produk-produk dengan aroma yang aman— tidak berbau terlalu menyengat— untuk Inka, dan Inka tinggal membelinya secara berkala ketika habis.

Tapi khusus untuk parfum, Kama sendiri yang membuatkannya untuk Inka secara khusus hingga aroma tersebut hanya Inka yang memilikinya. Sekeras apa pun orang-orang bertanya tentang parfum yang Inka gunakan, dan sekeras apa pun Inka menjawab kalau itu parfum Tigakata, mereka tidak akan menemukan aroma yang sama seperti yang Inka gunakan, dan Inka tak bersalah karena ia menjawab dengan jujur.

Parfum itu dibuat di Tigakata, bahkan yang membuatnya adalah orang yang sama dengan orang yang meracik sebagian besar aroma parfum Tigakata yang tersebar di pasaran sekarang.

Dan orang itu juga yang nanti akan memimpin Tigakata, juga menjadi suami Inka.

Inka tidak bisa berbohong kalau setelah percakapannya dengan Ochi beberapa hari itu, sampai hari ini pun ia masih kepikiran tentang Kama, tapi sama seperti hari itu, hari ini pun ia masih tak ingin bertanya secara langsung tentang perasaan Kama. Jadi, memutuskan untuk bertemu mungkin akan jadi pilihan yang tepat. Seenggaknya ia bisa memastikan sendiri dengan melihat Kama secara langsung.

Karena tahu Kama akan datang ke kantor, Inka memutuskan untuk tak membawa mobil. Ia berangkat naik taksi, dan berniat meminta lelaki itu mengantarnya ke apartemen. Berita tentang pernikahan mereka yang diikuti pergantian kepemimpinan sudah merebak di Tigakata, jadi berduaan di kantor hanya akan mengundang gosip tak mengenakan dari orang-orang yang melihat kedatangan Kama ke ruangan Inka, meski sebelumnya pun Kama sudah sering melakukannya. Namun sebagian besarnya memang hanya tentang pekerjaan.

Kama datang tepat saat pekerjaan Inka selesai. Lelaki seperti biasa, mengetuk pintu, lalu tanpa menunggu jawaban dari Inka, langsung masuk ke dalam dan tersenyum kecil.

Kalau dari pakaian dan penampilannya— rambutnya yang agak berantakan dan kemejanya yang agak kusut, lelaki itu baru pulang dari pabrik dan tidak mampir dulu ke rumahnya untuk sekadar mandi dan berganti pakaian.

Selalu begitu. Inka tak heran.

Tapi tetap harus ia akui, meski begitu, Kama tetap seorang pemuda yang tampan, yang terlihat rapi walau rambutnya agak acak-acakan, dan banyak orang bilang kalau lelaki itu wangi meski sudah lelah bekerja seharian. Apakah mereka lupa kalau meski disebut pabrik, tapi tempat kerja Kama adalah tempat yang nyaman dan penuh dengan bahan-bahan untuk membuat parfum? Dan barangkali mereka juga lupa kalau Kama adalah seorang peracik parfum yang tak mungkin membuat dirinya sendiri bau badan.

“Kebetulan, aku baru selesai,” ujar Inka, merapikan barang-barangnya. “Kita ngobrol di tempatku aja, ya.”

Kama terlihat agak terkejut, tapi tak lama ia kembali rileks. Tersenyum kecil sebagai tanggapan.

Hampir semua orang, baik di kantor atau pabrik, tahu hubungan seperti apa yang dimiliki Inka dan Kama. Bahwa Inka adalah anak kandung Darius Prabawa, pemimpin Tigakata saat ini. Dan bahwa Kama adalah anak yan Darius ambil dari panti asuhan, yang Darius urus dan besarkan sampai jadi seperti sekarang, seorang peracik parfum yang andal.

Setelahnya mereka membuat cerita versi mereka masing-masing yang kemudian menyebar dari mulut ke mulut.

Tentang Kama yang katanya anak haram Darius dengan selingkuhannya yang langsung dibantah tegas oleh Darius sendiri. Tentang Kama, si bajingan beruntung yang siap merebut Tigakata dan membuang keluarga Prabawa setelahnya. Tentang Kama yang sudah ditentukan sebagai jodoh Inka hingga tak ada satu pun orang kantor yang berani mendekati Inka dalam artian romantis.

Tentang Kama yang begini dan begitu yang pada akhirnya sebagian kecil dari gosip-gosip itu terbukti saat ini.

Bahwa Kama adalah jodoh Inka yang sudah dipersiapkan Darius sejak lama. Dan bahwa Kama akan menggantikan Darius setelah menikah dengan Inka.

Sesuatu yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran Kama. Tentang apakah ia harus senang atau sedih.

“Mau minum apa, Mas?” tanya Inka saat mereka sudah sampai di sebuah apartemen mewah tempat Inka tinggal seorang diri, terpisah dari rumah orangtuanya. “Kemarin aku bikin jus mangga, masih ada di kulkas, ambil aja kalau mau. Aku ganti baju dulu sebentar.” Kemudian menghilang ke balik kamar, meninggalkan Kama di sana sendirian.

Agaknya Kama sendiri lupa kapan terakhir kali datang ke apartemen Inka. Mungkin beberapa bulan yang lalu saat Inka sedang sakit dan Kama datang untuk membuatkan bubur serta merawat perempuan itu karena orangtuanya sedang ada di luar kota.

Mereka hampir selalu bertemu di kantor, atau di rumah orangtua Inka. Setelah bertemu, terkadang Kama mengantar Inka, tapi tidak sampai masuk ke dalam. Dari apa yang ia ingat, tatanan ruangan apartemen itu masih sama seperti terakhir kali, masih rapi, dan wanginya masih sama. Inka tak mengganti pengharum ruangannya. Perempuan itu tak akan menggantinya sampai Kama sendiri yang mengusulkan untuk menggantinya.

“Enak, Mas?” tanya Inka saat kembali setelah mengganti pakaiannya dengan lebih santai dan nyaman, menatap Kama yang sedang meminum jus mangga buatannya.

“Emang ada yang salah?” Lelaki itu menatap jus dalam gelasnya dengan tatapan bingung, seperti siap memuntahkan apa yang barusan ia minum kalau Inka mengatakan ada racun dalam jus tersebut.

Inka terkekeh. “Nggak sih, cuma mangganya menurut Mas agak asem, jadinya kurang enak.”

“Oh ….” Kama meneguk jus mangga itu lagi. “Enak kok. Justru yang begini seger.” Ia meneguk habis isi dalam gelas itu sebelum menuangkannya lagi dari dalam botol.

“Mana parfum aku, Mas?” pinta Inka.

Tentu. Tidak suka basa-basi. Kama seharusnya bisa menebaknya.

Kama berjalan ke tempat di mana ia menaruh tasnya, merogoh ke dalamnya untuk mengambil sebuah botol kecil berisi cairan berwarna putih kekuningan di sana. Ia memberikannya pada Inka, menjelaskan tentang aroma apa saja yang ia pakai ke dalamnya untuk memberi Inka gambaran perihal aroma parfum tersebut. Walau perempuan itu mengerti, sejatinya Inka tidak pernah benar-benar bisa membayangkan seperti apa aroma yang Kama coba jelaskan padanya. Ia tak pernah sekalipun menghirupnya.

“Ini cuma sample karena tadinya emang mau Mas tes dulu di kulit setelah dipakai seharian, juga ngebandingin aromanya kalau disemprot ke pakaian. Nanti Mas bikinin lagi versi besarnya.”

Inka menatap botol kecil di tangannya. Menggoyang-goyangkan cairan di dalamnya. Umumnya, seseorang akan langsung akan membuka tutupnya dan menghirup aromanya, atau bahkan langsung menyemprotkannya ke pergelangan tangan. Tapi Inka hanya menatapnya tanpa ekspresi sampai Kama mengambil kembali parfum itu dan tiba-tiba menyemprotkannya ke pergelangan tangan Inka.

“Mas …,” desis perempuan itu saat Kama meraih tangannya yang sudah tersemprot parfum, membawa ke hidungnya untuk ia hirup aromanya.

Lelaki itu memejamkan mata, seakan sedang memproses segala aroma dari parfum yang baru saja disemprotkan, yang bercampur dengan aroma tubuh Inka.

Tak terlalu terlihat perbedaannya. Mungkin Kama bisa menggunakan leher yang biasa menghasilkan lebih banyak keringat daripada pergelangan tangan. Namun ia tak mungkin melakukannya, kan? Ia tak mungkin mendekatkan hidungnya ke leher Inka.

“Mas rasa, nggak akan ada masalah.” Kama melepas tangan Inka. “Kamu bisa pakai besok pagi, terus minta pendapat orang kantor kalau perlu. Atau mungkin mereka bisa notice tanpa kamu tanya.” Lelaki itu tersenyum.

“Iya, makasih ….”

“Kamu udah makan?” tanya Kama. “Ada sesuatu yang bisa Mas masak? Mas bisa masakin kamu sesuatu dulu sebelum Mas pulang.”

“Kita pesen aja. Aku nggak mungkin nyuruh orang yang nanti bakal nyetir jauh buat masak. Takutnya kelamaan juga, nanti Mas sampai rumahnya kemaleman.” Inka meraih ponselnya dan langsung membuka aplikasi pesan antar. “Oh ya, Mas bilang, Mas mau ngasih aku sesuatu lagi selain parfum. Apa?” perempuan itu bertanya tanpa mendongak.

Ada kegugupan tersendiri saat Kama melakukannya, namun ia tetap mengambil sesuatu itu dari dalam tasnya. Sesuatu yang berada di dalam kotak beludru, yang ia buka tutupnya dan ia tunjukan pada Inka.

“Kita sepakat buat nggak ngadain acara pertunangan, tapi Mas ngerasa tetep harus ngasih ini ke kamu.”

Tubuh Inka membeku menatap benda kecil berkilau itu di dalam kotak tersebut. Tak ada kalimat romantis, tak ada perlakuan romantis, tak ada di tempat yang romantis, dan tak ada di situasi yang romantis. Tapi Inka membatu, pikirannya kosong, bahkan ia menyadari bahwa ia pun menahan napasnya untuk sejenak.

Mereka bukan sepasang kekasih. Hanya seperti teman, hanya seperti kakak dan adik, hanya dua orang asing yang bertemu karena aroma, hanya dua orang yang dipakai sebagai alat bisnis terbalut kasih sayang dan rasa peduli, dua orang yang terjebak pada keadaan, yang tak berada di posisi yang baik untuk menolak.

Kama dan Inka.

Apakah mereka bisa bersatu karena cinta seperti yang Ochi katakan pada Inka tempo hari? Yang meski berselimut pernikahan, tapi pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang biasa. Bisakah mereka hidup dengan nyaman ketika Inka selalu melihat Kama sebagai orang yang membuatnya merasa kerdil karena sebuah kemampuan dengan dasar aroma? Bisakah mereka hidup lebih lama ketika Kama selalu melihat Inka sebagai orang yang sulit dan selalu menolak didekati karena ia punya kemampuan yang tak Inka miliki?

Bisakah Inka menolak cincin itu?

Bisakah Kama menolak memberikan cincin itu?

“Kalau kamu nggak mau pakai, kamu bisa—”

“Bukankah seharusnya Mas yang pasangin ke jari aku?” Inka ingin tahu semua jawaban dari semua pertanyaan yang menumpuk di kepalanya. Juga tentang satu-satunya aroma yang bisa masuk ke hidungnya.

Inka mengulurkan tangannya, dan Kama dengan gugup memasangkan cincin itu jari manis nan lentik itu. Cantik dan berkilau.

“Dari mana Mas tahu ukuran jari aku?” Inka bertanya setelah benda mungil itu memeluk salah satu jarinya.

Kama menunjukkan jari kelingkingnya. “Nebak,” jawabnya, yang dibalas kekehan kecil oleh Inka.

“Jari manis aku sama kayak jari kelingking Mas?”

“Lebih kecil lagi. Pegawai tokonya yang ngasih usul.”

“Aku bisa ngasih tahu kalau Mas mau nanya sama aku.”

“Mas takut kamu nggak suka.”

“Mas nggak akan tahu aku suka atau nggak kalau nggak nanya.”

Ah.

Kalimat itu.

Inka yang mengatakannya, tapi Inka juga yang merasa tertampar. Mendadak ia mendengar suara Ochi mengatakan kalimat yang mirip.

“Mas—”

“Inka—”

Mereka memanggil bersamaan.

“Mas dulu,” ujar Inka.

Kama menarik napas, menatap Inka dengan serius, kemudian bertanya, “Mana yang lebih kamu suka, dijodohkan dengan Mas atau Mas gantiin posisi Bapak?”

Pertanyaan konyol yang Kama sendiri sudah bisa menebak jawabannya.

Tapi ia tetap ingin bertanya.

Inka diam. Bingung harus menjawab apa.

“Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau jawab,” lanjut Kama kemudian.

“Mas sendiri, mana yang lebih Mas suka. Dijodohkan dengan aku atau gantiin posisi Papa?” Inka balik bertanya. Persis seperti yang Tessa tanyakan pada Kama tempo hari. “Nggak apa-apa kalau—”

“Dijodohkan sama kamu,” potong Kama sebelum Inka menyelesaikan kalimat yang sudah bisa Kama tebak.

Inka kembali diam, ia menatap mata itu dengan dalam dan serius. Mencari tahu pada setiap kemungkinan yang juga menumpuk di kepalanya, berusaha membaca setiap raut yang Kama keluarkan.

“Maaf …,” ujar Kama lagi.

“Karena?”

“Karena Mas suka dijodohkan sama kamu, menikah sama kamu.”

“Mas—”

“Mas janji setelah nikah pun, Mas nggak akan ganggu kamu. Mas akan hidup sebagaimana harusnya Mas hidup saat ini. Mas nggak akan ngelakuin apa yang nggak kamu suka. Mas cuma akan memenuhi permintaan Bapak buat jaga kamu sama Tigakata. Mas nggak akan lakuin hal lain,” sela Kama. Ia berbicara dengan cepat. “Mas janji ….”

Apakah itu ungkapan perasaan yang tiba-tiba?

Dan apakah itu jawaban dari kemungkinan yang tak sempat Inka lontarkan?

Bahwa Kama baik-baik saja karena ia senang akan menikah dengan Inka.

TIGAKATA — 06


Tigakata memiliki kantor dan pabrik tempat produksi produk di dua lokasi yang berbeda dan cukup tidak berdekatan. Kantor Tigakata berada di selatan Ibu Kota, sedangkan pabrik itu sendiri berada di kota lain yang berjarak setidaknya satu jam dengan perjalanan yang sangat lancar.

Namun, hari kerja seperti hari ini, sangat tidak mungkin bertemu dengan jalanan yang lengang. Kama keluar dari pabrik ketika matahari masih memancarkan sinarnya, dan sampai ke kantor saat langit sudah sepenuhnya gelap.

Kama tak perlu surat atau izin apa pun untuk datang ke kantor tersebut. Saat melewati pos penjaga di depan, ia hanya perlu menurunkan kaca mobilnya, tersenyum, kemudian menyapa satpam yang berjaga, yang justru berujar pada Kama seperti kerinduan sebab Kama sudah lama sejak ia datang terakhir kali.

Kama tak perlu punya alasan pasti untuk datang. Ia bisa berkunjung apa pun alasannya. Entah karena pekerjaan, atau urusan pribadi seperti yang sekarang ia lakukan. Meski ia bekerja di gedung kantor Tigakata, tapi semua orang yang berada di dalamnya, kenal dengan Kama Peraksi, si hidung ajaib yang sudah menciptakan puluhan aroma parfum bagi Tigakata.

Dan Kama hanya perlu mengetuk singkat sebuah pintu ruangan yang sudah sangat ia kenal untuk bisa masuk ke dalam dan bertemu dengan pemiliknya.

Inka.

Perempuan itu duduk di balik mejanya. Blazer-nya tersampir di belakang kursi, rambut panjangnya sudah digulung menggunakan jepit, kemejanya terlihat kusut, keningnya berkerut saat menatap layar komputer di hadapannya, matanya terlihat lelah, menandakan bahwa perempuan itu bekerja begitu keras hingga mungkin melewatkan jam makannya.

Perempuan itu adalah Inka yang sama dengan Inka yang Kama temui pertama kali saat usianya tujuh tahun. Yang suka cemberut sambil memakan biskuit cokelatnya, yang malu-malu saat menatap Kama yang tiba-tiba dijadikan sebagai kakaknya.

Masih Inka yang sama dengan Inka yang kini akan menjadi istri Kama, yang mungkin akan menolak, yang mungkin tidak setuju, dan mungkin tidak suka sebab ia membenci Kama.

“Udah makan?” tanya Kama.

Inka melihat jam di pergelangan tangannya, lalu mendesah. Seperti tebakan Kama, perempuan itu melewatkan makannya.

“Mau keluar? Kita bisa bicara sambil makan?”

“Nggak usah. Aku bisa makan nanti di apart.” Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan berpindah menuju sofa di mana Kama sudah duduk lebih dulu tanpa disuruh. “Nanti Mas juga pulangnya bisa kemaleman. Langsung dari pabrik?”

Kama mendesah. Ia ingin berujar bahwa ia tak keberatan jika harus menghabiskan malam di jalan di tengah kemacetan jika itu bisa membuat Inka makan, tapi akhirnya yang keluar dari mulutnya hanya, “Iya. Tadi langsung ke sini.”

“Mau minum, Mas?” Inka menoleh ke sekitarnya. “Cuma ada air putih, sih.”

“Nggak apa-apa. Nanti Mas bisa ambil sendiri kalau mau.”

Perempuan itu mendengus. Kama bertanya-tanya, kapan kiranya hubungan mereka mulai berjarak dan berubah menjadi canggung. Apa sejak mereka beranjak dewasa? Atau saat Darius lebih memilih Kama dibanding Inka sebagai orang yang dipercaya mengurus parfum Tigakata?

“Jadi, kita harus mulai dari mana?” tanya Kama. Ia tahu Inka tak suka berbasa-basi.

“Soal perjodohan itu …,” Inka memulai, “apa Mas setuju?”

Kama menatap Inka lebih dalam beberapa jeda. “Apa menurut kamu Mas ada di posisi yang bisa buat menolak?”

“Tapi—”

“Kalau kamu nggak setuju, Mas nggak masalah. Tapi maaf, Mas nggak akan ikut campur soal penolakan itu. Kamu bisa ngomong langsung ke Bapak,” Kama menyela.

Inka membuang napas panjang. “Apa Mas berpikir aku juga ada di posisi yang bisa buat nolak kemauan Papa?” tanyanya dalam gumaman yang masih bisa Kama dengar. “Padahal kita berdua seharusnya udah bisa nebak apa rencana yang Papa punya sejak awal, sejak Papa ngenalin aku ke Mas pertama kali.”

Benar.

Sejak awal semuanya memang sudah ditentukan. Sejak Darius mengadopsi Kama di panti asuhan, mengurus dan mendidiknya selayaknya anak kandungnya sendiri, mengenalkannya pada Inka, membuat mereka dekat. Tanpa kata pun, seharusnya mereka berdua sudah tahu.

Darius sudah merencanakan hal ini sejak awal. Bukan hanya soal pergantian posisinya di Tigakata, tapi juga soal perjodohan Inka dan Kama. Semuanya sudah jelas. Seharusnya Inka tak lagi terkejut. Meski kenyataannya, hal ini tetap membuatnya kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri.

“Mas punya pacar?” tanya Inka.

Kama agak panik, ia dengan cepat menjawab, “Nggak.”

Desahan panjang terdengar kemudian.

“Kamu … punya?” Kama balik bertanya.

“Nggak ….” Terdengar ragu. Inka mungkin punya seseorang yang disuka.

“Mas nggak akan maksa, Ka. Kalau kamu nggak mau—”

“Aku punya syarat,” potong Inka cepat. Tatapannya berubah tajam pada Kama.

“Apa?”

“Ajarin aku bikin parfum.”

Jawaban itu membuat Kama tertegun. Ia terdiam seketika.

“Aku tahu, aku nggak bisa. Tapi aku yakin kalau aku berusaha mengenal baik detail aroma yang ada, aku pasti bisa bikin seenggaknya satu parfum buat diriku sendiri,” sambung Inka dengan suara membara.

“Inka, kamu bisa bikin parfum.” Suara Kama terdengar tenang. “Sekarang pun kamu bisa ngelakuinnya. Semua orang bisa bikin parfum. Tapi bukan itu masalahnya, kan?”

Lidah Inka kelu. Ia berharap Kama tak mengatakannya. Sebuah fakta yang selalu menjadi mimpi buruknya.

“Kamu bisa meracik berbagai aroma yang mungkin udah kamu hafal detailnya kayak gimana. Tapi apa kamu bisa—”

“Stop!” Inka menyela dengan suara yang agak tinggi. Tatapannya tajam, tapi memohon.

Kama tak perlu mengatakannya. Lelaki itu tak perlu memberitahu bahwa sejak awal ia sudah kalah. Inka sudah kalah dari Kama bahkan sebelum pertarungan dimulai.

Inka tak seperti Kama.

Tidak pernah bisa seperti Kama.

Kama si peracik parfum yang andal, yang sangat dipercaya Darius untuk bukan hanya memimpin pabrik produksi, tapi sebentar lagi akan memimpin seluruh Tigakata. Seseorang yang diambil Darius dari panti asuhan sebab Inka, si anak kandungnya tak bisa memenuhi ekspektasi dan keinginan sang papa. Seseorang yang semenjak kemunculannya dan memperlihatkan kemampuannya dalam membedakan sebuah bau sudah membuat Inka iri.

Kama Peraksi, calon suami Inka Nirja Prabawa yang tidak bisa menghirup aroma apa pun. Yang bukan tak bisa sekadar membedakan bau atau meracik sebuah parfum, tapi benar-benar tak bisa menghirup sebuah aroma.

Apa yang kiranya akan Kama katakan jika Inka memberitahu bahwa ia sebenarnya bisa menghirup satu aroma sejak kemunculan Kama ke hadapannya?

Aroma alami tubuh Kama.

“Inka, Mas cuma memenuhi perintah Bapak. Nggak pernah ada sedikit pun niat Mas buat mengkhianati kamu atau keluarga kamu. Mas bukan orang jahat. Kalau keputusan Bapak soal kepemimpinan udah bulat, maka satu-satunya cara biar kamu lebih tenang soal Tigakata, kita harus memenuhi permintaan Bapak yang lain juga, yaitu menikah.”

Inka penasaran, kenapa ia hanya bisa menghirup aroma tubuh Kama dari sekian banyak aroma yang ada di dunia ini?

Ia harus mulai mencari tahu alasannya. Dan mungkin satu-satunya cara adalah dengan lebih dekat pada Kama.

Menikah.

Setelah Kencan


Sejak semalam, Sashi sudah mewanti-wanti Lingga untuk bersikap tenang dengan tetap tersenyum, tidak menampakkan wajah masam, cemberut, apalagi tatapan mengintimidasi. Sashi tahu kalau Lingga belum benar-benar menerima akta bahwa putri semata wayang mereka sudah memasuki usia remaja, sudah mulai jatuh cinta. Meski lelaki itu mengatakan kalau ia tak apa-apa, tapi Sashi tahu bahwa Lingga belum sepenuhnya rela. Baiknya, Lingga mau berusaha karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengekang Jemima.

Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu (bagi Jemima dan juga Sashi, tidak bagi Lingga). Jemima belum keluar dari kamarnya sejak selesai sarapan dan bantu Sashi untuk merapikan seisi rumah. Sedangkan Lingga, setelah mencuci mobil di depan rumah, lelaki itu sudah duduk di ruang tamu, bersiap menyambut tamu.

Sashi ingin tertawa, tapi ia berusaha menahannya. Bagaimanapun juga ia mengerti apa yang Lingga rasakan. Ia pun khawatir, agak tak menerima, tapi tak terlalu menunjukkannya seperti Lingga. Ia justru senang saat Jemima mulai mengalami dan merasakan hal-hal menyenangkan dalam hidupnya, apalagi di usia remaja dengan begitu leluasa, mengingat hal itu tidak pernah Sashi dapatkan.

Saat akhirnya sebuah mobil berhenti di depan rumah dan pengemudinya muncul tak lama kemudian, Sashi melihat Lingga menegang. Wajahnya seketika kaku, tapi ia masih bisa untuk tersenyum sedikit saat lelaki bertubuh jangkung dengan perawakan agak kurus itu berdiri di ambang pintu yang memang sudah terbuka sejak tadi.

“Siang, Om, Tante” lelaki itu menyapa. “Saya Darian, temennya Jemi,” lalu memperkenalkan diri dengan suara yang halus dan begitu sopan. Terlihat sama tegangnya, tapi tetap rileks.

“Oh, ya ….” Lingga malah bengong. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, membuat Sashi yang ada di sana mendesah.

“Masuk, masuk …,” Sashi berujar, menyikut lengan Lingga pelan. “Mau jemput Jemi, ya?”

Darian tersenyum kikuk saat melangkah ke dalam. “Iya, Tante. Mau ngajak main.”

“Bentar, Tante panggilin dulu Jeminya, ya. Kayaknya masih siap-siap dia.” Lalu Sashi pergi meninggalkan ruang tamu. Sebelumnya ia menyempatkan diri untuk menatap Lingga dengan tajam, memasang senyuman sebagai perintah agar Lingga juga tersenyum.

“Kakak kelasnya Jemi?” tanya Lingga, nadanya terdengar dingin padahal ia sudah berusaha untuk ramah.

“Iya, Om.” Darian tersenyum.

“Tinggal di mana?”

“Nggak jauh dari sekolah, Om. Cuma lima menit aja naik motor.”

Lingga mengangguk. Menelisik penampilan Darian yang sangat rapi. Celana jins panjang dan kemeja. Rambutnya juga ditata dengan rapi. Wajahnya terlihat kalem. Setidaknya ia senang Jemima punya selera yang baik; lelaki yang tampan seperti papanya.

“Ke sekolah bawa motor?” Lingga bertanya lagi karena Darian tadi sempat menyinggung soal motor, tapi hari ini ia bawa mobil untuk menjemput Jemima.

“Iya, Om. Tapi kadang nebeng temen, atau bareng sama Kakak ke kantor.”

“Oh, punya Kakak?” tanya Lingga lagi.

“Punya dua, Om. Yang satu udah kerja, yang satu lagi kuliah di Jogja.”

Lingga mengangguk lagi. “Anak bungsu?”

“Nggak, Om. Saya punya adik lagi satu. Baru masuk SMP.” Darian nyengir.

Sangat berbanding terbalik dengan Jemima yang menjadi satu-satunya di rumah ini. Mungkin hal itu yang membuat Jemima suka dengan Darian. Tapi kalau Jemima butuh seseorang yang punya sosok seperti kakak sekaligus adik, Jemima punya teman-teman di Ruang Kosong yang bisa menjadikannya adik sekaligus kakak, yang bisa memperlakukannya sebagai adik sekaligus kakak.

Apa kiranya yang membuat Jemima suka dengan lelaki ini?

Lingga berusaha menebak-tebak.

“Mau ngajak main ke mana?” Lingga bertanya lagi. Wajahnya masih datar, tatapannya menyelidik, suaranya dingin, tapi sudah lebih tenang.

“Ke mal aja, Om. Mau nonton, terus nanti sekalian nyari makan.”

Ya, seperti yang Jemima katakan. Dan itu setidaknya membuat Lingga tak perlu khawatir Jemima akan kelaparan selama diajak berkencan dengan lelaki ini.

Tak lama setelah itu, Jemima dengan Sashi muncul di ruang tamu, membuat Lingga seketika langsung melihat putrinya itu dari ujung kepala sampai kaki, menilai penampilannya.

Oke, tak ada yang bahaya. Blouse lengan panjang dan celana panjang. Rambutnya pun diurai biasa dengan hiasan jepit kecil sebagai pemanis. Tak ada makeup yang berlebih selain bibir yang lebih merah dari biasanya. Sashi pasti ikut andil dalam penampilan itu, Lingga bisa merasakannya.

“Papa Lingga, Jemi berangkat, ya,” ujar Jemima, tersenyum manis tapi kaku pada papanya.

“Pulang sebelum gelap, inget.”

“Iya, Papa Lingga.”

“Om, Tante, saya ajak main Jemi dulu, ya,” Darian berpamitan juga.

“Jagain Jemi, ya. Jangan diturunin di tengah jalan, nanti nangis.” Sashi terkekeh.

“Iya, Tante.” Darian ikut terkekeh sumbang, sedangkan Jemima hanya mendengus.

Setelah itu mereka benar-benar pergi dari sana meninggalkan Sashi dan Lingga yang menatap kepergian mereka dalam kegamangan dan ketidakrelaan.

Lingga mendesah keras. Wajah serius dan dinginnya langsung luntur, berganti dengan wajah kesal bercampur frustrasi. Tak perlu Sashi bertanya, ia sudah tahu penyebabnya.

“Hebat banget deh kamu,” jadi alih-alih bertanya, Sashi justru memuji Lingga yang membuat lelaki itu menatapnya bingung. “Hebat banget udah bisa bikin Jemi terbuka tentang hubungannya sama laki-laki ke kita.” Ia tersenyum.

Lingga belum mengerti juga.

“Kamu udah bikin Jemi nggak takut buat menjalin hubungan sama laki-laki, buat nggak menyembunyikan hubungannya. Kamu papa yang hebat.” Sashi mengusap kepala Lingga. “Aku nggak bisa begitu dulu. Inget, kan?”

Lingga membuang napas berat. Ia memeluk tubuh Sashi.

“Kalau kamu udah bisa bikin seorang anak begitu, berarti kamu udah jadi papa yang hebat,” sambung Sashi. “Kiblat dia buat mencari pasangan itu kamu, Ga. Dia pasti nggak akan sembarangan deket sama Darian ini kalau bukan karena kamu. Aku juga nggak mau Jemi punya pasangan yang nggak kayak kamu memperlakukan aku. Dia pasti ngelihat itu, dan dia pasti mempelajarinya buat cari pasangan. Lagian, Jemi masih enam belas, masih jauh buat ngomongin hubungan serius yang bakal Jemi jalanin. Jadi santai aja, oke?”

Pelukan itu terlepas, Lingga menatap wajah Sashi dengan lesu. Ia mendesah lagi. “Oke ….”

Ia berujar begitu, padahal kenyataannya tak bisa oke. Lelaki itu seperti seharian gelisah, tak tenang, terus khawatir. Tak terhitung berapa kali ia melihat jam sampai Sashi pun rasanya tak bisa melakukan apa pun selain membiarkannya. Hingga saat malam hari, setelah makan malam bersama dan Jemima menceritakan tentang kegiatannya bersama Darian seharian tadi, saat Lingga sudah berada di kasur untuk tidur, saat itu Sashi merasakan tubuh Lingga panas.

Lelaki itu demam.

Jemima terlihat begitu bahagia saat menceritakan kegiatannya, dan Lingga juga terlihat begitu lega dan senang. Tapi tak bisa dipungkiri kalau semua rasa khawatir dan cemasnya seharian itu membuat daya tahan tubuh Lingga menurun secara drastis sampai akhirnya ia demam.

Sashi hanya bisa mendesah saat merawat Lingga di kamar. Mungkin ia sudah harus bersiap untuk segala hal yang akan Jemima lakukan di masa depan yang akan lebih mengejutkan daripada sekadar kencan. Karena kencan saja sudah membuat Lingga demam, bagaimana jika Jemima memperkenalkan seorang lelaki sebagai pacarnya?

Sashi berharap Lingga akan baik-baik saja.

Sebelum Kencan


Lingga tahu kalau ia akan ada di titik ini, ia sudah tahu kalau ia akan sampai pada tahap ini, dan ia pun sudah mempersiapkan. Ia hanya tidak menyangka kalau waktu itu datang begitu cepat—atau mungkin ia hanya tidak menyadari bahwa waktu lah yang berjalan sangat cepat hingga tak merasakan bahwa putri semata wayangnya sudah besar dan rasanya ia belum mempersiapkan apa pun untuk menyambut hal itu.

Lingga sangat menyayangi Jemima, ia sangat menjaga putri kecilnya itu—walau untuk sekarang, Jemima sudah tidak bisa lagi disebut kecil, usianya hampir tujuh belas, sudah besar, sudah remaja. Tapi Lingga tak pernah membatasi perempuan itu untuk melakukan apa pun yang diinginkannya, selagi itu pada batas wajarnya. Ia berusaha untuk tidak mengekang dengan siapa perempuan itu bergaul dan ke mana ia pergi. Bukan dalam bentuk kebebasan, Lingga hanya percaya bahwa Jemima tidak akan melakukan apa pun yang membuat orangtuanya kecewa apalagi sakit.

Jemima sama seperti Sashi, mudah bergaul, bisa menyesuaikan diri dengan cepat di mana pun dan dengan siapa pun, ceria, dan juga mudah ngambek. Melihat Jemima sekarang, seperti melempar Lingga ke kehidupan masa lampaunya saat ia berteman dengan Sashi, putri manja yang punya banyak keinginan besar yang dikekang orangtuanya, yang pada akhirnya bisa diselamatkan oleh kehadiran bocah kurus yang nyaris seperti kekurangan gizi, yang kemudian menemukan warna lain dalam kehidupannya setelah pertemuan itu.

Lingga tahu hampir seluruh teman-teman Jemima, apalagi yang terdekat karena perempuan itu hampir selalu menceritakan tentang temannya padanya. Tapi mungkin itu tidak cukup untuk menyadari bahwa Lingga sudah tiba di masa Jemima bukan hanya milik orangtuanya lagi, tapi milik dirinya sendiri. Putri kecilnya itu punya kehidupannya sendiri yang tidak bisa diikut campuri oleh siapa pun, termasuk orangtuanya.

“Papa Lingga,” begitu Jemima memanggil. Mereka baru selesai makan malam bersama, saat Sashi merapikan alat makan di meja makan, Jemima akan bantu menyiapkan buah untuk mereka.

“Iya?” Lingga menatapnya, memperhatikan perempuan itu yang sedang memotong-potong buah apel di tangannya. Terlihat ringkih sampai Lingga ingin mengambil alih karena takut jemari mulus putrinya terluka karena pisau yang tajam. Namun ia membiarkannya. Jemima sudah bisa melakukan hal itu sendiri.

“Minggu nanti, Jemi boleh main keluar nggak sama temen? Mau nonton film.” Awalnya begitu. Dan Lingga seharusnya sudah menaruh curiga di sana karena Jemima terlihat agak gugup saat mengatakannya.

Suara mesin cuci piring di belakang terdengar, menjadi latar pendukung percakapan keduanya sebelum Sashi bergabung dengan membawakan kopi untuk Lingga.

“Mau Mama bikinin susu nggak?” tanya Sashi pada Jemima.

“Nggak, nanti aja. Nanti Jemi bikin sendiri.” Senyumnya tak biasa, dan Sashi sudah menangkap hal itu. Ia yang pertama kali menyadarinya. Duduk di samping Lingga adalah salah satu usaha untuk kemungkinan terburuk yang dalam kepalanya mungkin sangat lucu.

“Sama siapa mainnya? Temen sekolah kamu? Atau siapa?” tanya Lingga. Piring dengan potongan buah apel itu sudah ada di hadapannya, namun Jemi masih terus mengupas dan memotongnya.

“Sama cowok ….” Suara itu terdengar mencicit.

“Iya, sama siapa, Jemi? Mas Rafa?” Lingga menyebutkan anak tertua Ibram yang memang dekat dengan Jemima.

Jemima menggeleng.

“Kafka?” Lingga menyebut lagi satu nama lelaki yang ia ingat paling dekat dengan putrinya. Kali ini anak kedua Hasta, yang hanya berjarak beberapa bulan dengan Jemima, mereka satu sekolah.

“Bukan juga ….” Jemima jadi semakin gugup.

“Terus?” Lingga tiba-tiba kehilangan minat pada apel di garpunya yang bahkan sudah sempat ia gigit sedikit.

“Jemi, sini, Mama aja yang lanjut potongin apelnya.” Melihat suasana sudah mulai tegang, Sashi memilih mengambil alih pekerjaan Jemima, sebab dalam situasi semacam ini, ia juga takut apa yang dilakukan Jemima akan melukai tangan.

Jemima tidak banyak protes. Ia memberikan apel, pisau, dan juga piring lain itu pada mamanya. Lalu menatap sang papa di hadapannya, meski itu agak sulit sekarang, sebab tak lama, ia kembali menunduk untuk menghindari tatapan Lingga yang entah kenapa kali ini cukup menakutkan baginya.

Lingga jarang marah, jarang mengomel, malah cenderung memanjakan. Tapi siapa pun pasti tahu marahnya orang yang biasanya baik itu bagaimana. Lingga bisa dikatakan cukup menakutan. Sekali saja Jemima melakukan kesalahan fatal, siap-siap ia akan diomeli dan tidak akan diajak bicara selama berhari-hari. Dan itu sangat mengerikan untuknya.

Tapi apakah yang kali ini sebuah kesalahan?

Jemima meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah kesalahan yang akan membuat Lingga marah padanya. Namun ia sendiri tahu bahwa hal semacam ini sulit untuk diterima sebagian besar orangtua, apalagi yang baru pertama kali menghadapinya, dan hanya punya satu-satunya anak perempuan.

“Jadi …,” Jemima memulai. “Namanya Darian,” ia meneguk air liurnya sendiri, sudah kembali menatap Lingga untuk melihat bagaimana respons papanya itu. “Dia kakak kelas aku. Kafka juga kenal kok. Mereka satu ekskul bareng. Dia … ngajak aku nonton hari Minggu nanti, kalau boleh ….”

Kafka yang mengenalkan cowok ini pada Jemima. Atau lebih tepatnya, Darian yang memaksa Kafka untuk mengenalkan Jemima padanya karena siapa pun pasti tahu kalau keduanya begitu lengket di sekolah, seperti sepasang kekasih, meski sebenarnya hanya teman dekat. Orangtua mereka dulu—sampai sekarang juga berteman dekat.

“Pacar?” Lingga langsung menembak. Jantungnya sudah berdebar kencang, perasaannya mulai tak terarah, emosinya bergumul menjadi satu, dan ia tak mengerti apa yang benar-benar dirasakannya. Mungkin marah, mungkin sedih, mungkin kesal, atau mungkin juga senang, atau … tidak terima. Ia hanya berusaha tetap tenang saat Jemima terus menatapnya.

“Bukan, bukan.” Jemima mengibaskan dua tangannya dengan cepat, panik. “Bukan pacar kok, cuma temen.”

“Tapi dia kakak kelas kamu.”

Benar. Tapi ….

“Kalau gitu, kenalan. Kenalan deket.” Jemima nyengir. “Cuma nonton kok, Pa. Eum …, paling sama ke kafe atau toko buku aja. Beneran. Jemi nggak akan bohong.” Kali ini ia agak memohon. Masih agak takut, tapi sudah lebih rileks.

“Darian ini … orangnya kayak gimana?” Kali ini Sashi yang bertanya. Ia sudah menyodorkan piring berisi potongan apel itu ke hadapan Jemima.

Mereka bisa melihat dengan jelas senyum malu-malu di bibir Jemima, bahkan wajah bersemu merah itu yang membuat Lingga mendengus sebal, tapi Sashi di sampingnya berusaha menegur agar ia tetap tenang.

“Kak Darian ini … eum … dia baik. Dia juga pinter, walaupun kalah, dia pernah ikut olimpiade sains tahun lalu. Suka main game juga sama Kafka. Kafka cerita, katanya mainnya keren. Jemi pernah minta diajarin, tapi nggak bisa-bisa, terus Kafka kesel, nggak mau ngajarin lagi. Kak Darian juga ganteng.” Senyum itu terlihat lagi. Senyum mendamba.

“Jadi, Kafka udah kenal deket?”

“Iya, Mama Sashi,” jawab Jemima dengan semangat. “Kalau nggak percaya, tanya aja sama Kafka.”

Sashi melirik Lingga. Ia ingin tertawa, tapi berusaha menahannya. “Gimana, Papa Lingga?” tanyanya.

Jemima menunggu dengan cemas. “Nggak … boleh, ya?”

Lingga membuang napas berat. “Jemput ke rumah?”

“Iya, jemput ke rumah kok. Jemi udah bilang sama Kak Darian buat jemput ke rumah.”

“Oke,” balas Lingga singkat yang mengundang senyum lebar dari Jemima.

“Asik!” seru perempuan itu, lalu bangkit dari tempat duduknya, berlari kecil menghampiri sang papa dan memeluknya. “Sayang Papa Lingga, deh.”

Lingga hanya tersenyum kecil sembari mengelus rambut panjang putrinya.

I love you, Papa Lingga!” Lalu membubuhkan sebuah kecupan kecil di pelipis lelaki itu sebelum pergi dari sana, naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya.

“Sama Mama nggak?” sebelum itu, Sashi berteriak, melayangkan sebuah protes karena Jemima hanya melakukan itu pada Lingga. Sudah terlalu sering, tapi ia masih belum benar-benar terbiasa dan masih suka cemburu.

Jemima tak menjawab, ia hanya menoleh ke belakang, memberikan senyuman, lalu melanjutkan langkahnya.

“Belajar, Jemi! Jangan main HP!” teriak Lingga saat punggung Jemima sudah tak terlihat, tapi ia yakin Jemima masih mendengarnya karena perempuan itu berseru setelahnya.

“Iya, Papa Lingga!”

Lingga mendesah. Ia menunduk, menatap potongan apel dalam piring kecilnya yang mulai diselimuti bercak kecoklatan. “Kalau aku bilang nggak, Jemi bakal marah nggak kira-kira?” gumamnya pada Sashi yang mengumpulkan potongan apel itu ke satu piring yang sama, dan bersiap untuk menyiapkan buah-buahan lainnya, juga susu untuk dibawa ke kamar Jemima, untuk menemani anak itu selama belajar.

Sashi terkekeh. “Kamu bilang, nggak akan mengekang Jemi, nggak akan memberi dia kehidupan kayak yang aku terima dulu dari orangtuaku.”

“Iya, tapi ….” Lingga menatap Sashi dengan raut sedih, ia cemberut, membuat Sashi seketika tertawa.

It's okay, Papa Lingga. Jemi bakal baik-baik aja, udah fasenya. Dia nggak akan jadi kecil terus, sekarang udah remaja, udah mulai jatuh cinta, kamu harus siap-siap, karena di masa depan, dia bukan cuma pergi buat diajak nonton film doang, tapi juga hidup berkeluarga sama laki-laki lain.”

Mendengar itu, rahang Lingga sontak mengeras. Ia sudah tahu bahwa bagaimanapun kondisinya, ia pasti akan sampai pada tahap itu. Tapi bagaimana menghadapinya ketika dengan membayangkannya saja pun ia tak sanggup? Ia tak sanggup melihat putri kesayangannya dimiliki oleh orang lain.

Tangan Sashi terulur untuk meredakan ketegangan Lingga, mengusapnya lembut, membimbingnya agar menatapnya.

“Emangnya kamu baik-baik aja tahu Jemi bakal nge-date sama cowok?” Lingga bertanya setelah pandangannya bertemu dengan Sashi. “Dia bahkan belum tujuh belas.”

“Aku khawatir. Itu pasti. Gimanapun juga, kita nggak kenal sama orang ini, apalagi dia cowok.” Sashi menatap Lingga dengan penuh perhatian. “Tapi aku percaya Jemi. Dia tahu apa yang baik untuknya, kita cuma tinggal ngarahin aja.”

Lingga masih cemberut.

“Masa remaja itu yang paling indah, Ga. Aku nggak mau Jemi kehilangan kesenangan masa remajanya kayak aku dulu, jadi kita nggak boleh terlalu mengekangnya. Kita cuma perlu mengarahkan, inget?”

Kemudian mendesah, membuat Sashi terkekeh.

“Apa sih yang kamu takutin?” tanya Sashi kemudian.

Lingga diam sejenak. “Aku cuma khawatir,” jawabnya.

Sashi membuang napas panjang. “Teruslah khawatir, biar kamu bisa bener-bener menghiburnya sekuat tenaga kalau kemungkinan terburuk terjadi sama Jemi.”

Kening Lingga berkerut.

“Kalau dia udah jatuh cinta, dia mungkin juga bakal mengalami fase patah hati. Kamu harus siap jadi orang pertama yang menghiburnya,” sambung Sashi dengan senyuman, membuat Lingga sontak mengerang. “Udah, jangan terlalu dipikirin.” Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah kulkas untuk mengambil buah-buahan lain. “Mau berendam?” tanyanya.

Pandangan Lingga mengikuti ke arah tubuh Sashi bergerak.

“Aku rasa, aku perlu mendinginkan kepala kamu. Jadi kita bisa berendam sebentar.” Sashi menoleh, memberi senyum tipis yang penuh arti. “Sana, siapin airnya, aku mau kasih buah dulu ke kamar Jemi, biar aku bantu ngomong juga kalau papanya ini khawatir banget.”

Lingga kembali cemberut, tapi ia beranjak dari sana menuju kamarnya, ke dalam kamar mandi mereka, menyiapkan air dalam bath up sesuai permintaan Sashi.

— 140


Bukan kemeja atau blouse, bukan juga celana panjang seperti yang Utara pinta, melainkan sebuah dress sebatas lutut yang Arion bawakan untuk Utara pakai mengunjungi sang mama. Utara nyaris ingin memaki dan tak ingin memakai dress tersebut kalau saja kemeja yang sebelumnya ia pakai bekerja seharian itu tak kotor terkena tumpahan kopi di satu jam sebelum ia pulang.

“Mas, gimana aku bisa pakai dress ini buat ketemu mama kamu?!” Utara menatap tajam ketika Arion memberikan paper bag berisi pesanannya yang tak sesuai itu.

“Kenapa sama dress-nya? Kayaknya baik-baik aja.”

Utara memejamkan mata. Memang baik-baik saja. Bukan jenis dress ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang Arion suka itu, dress berbahan katun biasa berwarna hitam, tapi potongan lehernya cukup rendah, belum lagi dress itu tak berlengan.

Utara hanya bisa mendesah saat keluar dari mobil untuk kembali ke kantornya berganti pakaian, sementara Arion dan Elea menunggu di dalam mobil di parkiran. Dan ketika Utara sudah kembali lagi, betapa terkejutnya Arion melihat Utara membalut dress itu dengan sebuah blazer krem yang entah datang dari mana itu.

“Punya siapa?” tanya Arion begitu Utara sudah duduk di kursi penumpang di sampingnya.

“Punya junior aku,” ujar Utara seraya merapikan rambutnya dengan bantuan tangan dan kaca spion di mobil. “Untung dia belum pulang dan mau berbaik hati minjemin blazernya ke aku. Dan beruntungnya lagi, ukurannya pas.”

Arion terkekeh, membuat Utara menoleh dengan sebal.

“Besok-besok jangan begini lagi, ya, Mr. Janardana? Merepotkan.”

Arion masih tertawa, kini tangannya terulur untuk mengusap kepala Utara untuk mengusapnya lembut dan menariknya pelan agar ia bisa mengecupnya.

Awalnya, perlakuan semacam itu sangat Utara hindari saat ada Elea di depan mereka. Tapi setelah satu minggu penuh mereka tinggal bersama dan Elea sudah banyak melihat hal-hal yang sebelumnya sangat asing untuknya, ia jadi mulai terbiasa. Ketika papanya memeluk Tante Seksi, ketika papanya mencium kecil Tante Seksi ketika papanya membiarkan Tante Seksi berbaring di pahanya, atau sebaliknya. Atau ketika papanya terlihat sangat tak keberatan berbagi meja kerja yang sama dengan Tante Seksi.

Elea awalnya bingung. Tapi kemudian dengan kapasitas otaknya yang masih kecil itu ia berusaha mengumpulkan anekdot dari segala interaksi dan ucapan orang-orang terdekatnya. Bahwa mungkin Tante Seksi ini akan jadi mama barunya, istri papanya, dan yang akan memberikan adik untuknya. Sebab ketika Elea bertanya pada sang papa apakah ia menyukai Tante Seksi, papanya menjawab tanpa ragu, “Iya, Papa suka.”

Tapi sayangnya, ketika ia bertanya pada Tante Seksi apakah ia suka dengan papanya, Tante Seksi itu menjawab dengan agak ragu, “Belum.”

Jadi sepertinya kemunculan adik itu masih harus ditunda. Padahal Elea sendiri sudah tak sabar mengajaknya bermain bersama Alya dan Devan. Pasti seru banget.

Elea sendiri suka dengan Tante Seksi, karena Tante Seksi sekarang setiap pagi membantunya bersiap sebelum berangkat sekolah, mengikat rambutnya dengan gaya baru, menemaninya tidur walau setelah Elea terlelap, Tante Seksi selalu pergi meninggalkannya untuk pindah ke kamar sang papa. Tak apa, yang penting sarapan dan makan malamnya kini tak lagi hanya berdua dengan papanya, tapi ada Tante Seksi yang juga menemani mereka.

Tante Seksi tak bisa memasak seperti Tante Rika, tapi papanya bilang kalau perempuan tak harus selalu bisa masak, laki-laki pun bisa melakukannya, makanya papanya ini sangat pintar membuatkan ayam kecap untuknya, meski ayam kecapnya tak seenak buatan Tante Rika.

Elea benar-benar menyukai Tante Seksi, dan sepertinya Alya dan Devan juga menyukai Tante Seksi. Itu tak bisa dibiarkan. Ia tak mau berbagi Tante Seksi dengan siapa pun. Tante Seksi hanya untuknya!

“Mas,” panggil Utara sebelum mereka benar-benar turun dari mobil setelah sampai di sebuah rumah yang mereka tuju. Ia menatap Arion dengan raut tegang.

“Kamu tahu nggak? Aku belum pernah ngelihat ekspresi tegang kamu kayak gini, bahkan waktu sidang atau lagi ngehadepin media.”

Utara mendengus, ia memukul bahu lelaki itu.

“Aku bakal nyelametin kamu dari pertanyaan yang merujuk ke arah sana.” Arion bahkan sudah tahu apa yang akan Utara katakan. “Aku bakal di samping kamu terus.”

Utara menarik napas dalam.

“Berdebat sama pengacara lain atau hakim aja kamu berani, masa ngehadepin mama aku—iya, iya, oke ….” Arion langsung mengangkat kedua tangannya saat mendapat tatapan tajam dari Utara.

Setelah beberapa kali lagi Utara menenangkan diri, akhirnya mereka turun dari mobil bersamaan. Sebelumnya, Utara sudah mengajak Arion mampir untuk membeli buah-buahan untuk dibawa, meski Arion ngotot tak usah, tapi Utara berpikir rasanya tak enak kalau ia datang tanpa membawa apa pun. Walau berkali-kali Arion mengatakan kalau ini bukan pertemuan resmi, hanya pertemuan biasa. Anggap saja perkenalan singkat, dan Arion berkata mereka akan mengajak Utara pulang setelah makan malam.

“Akhirnya yang ditunggu datang juga!” seru seseorang dari dalam sana ketika Arion membuka pintu yang tak terkunci dan memanggil mamanya, serta Elea yang langsung berlari ke dalam.

Dengan rambut yang sudah seluruhnya memutih itu, perempuan yang dipanggil Nenek oleh Elea itu terlihat berdiri tegak dengan wajah tegas yang sudah lumayan dipenuhi kerutan, tersenyum ramah menyambut kedatangan Utara yang hanya bisa tersenyum kaku.

Mereka sudah pernah bertemu sekali di sidang pertama perceraian Arion dan Rania tiga tahun lalu. Tentu saja berinteraksi dengan cukup baik meski Utara lebih banyak mendengarkan wanita bernama Anwita ini mengeluh perihal menantunya yang buruk dan meminta Utara untuk memenangkan persidangan.

“Malem, Tante,” sapa Utara dengan senyum kaku tapi terlihat tetap manis. “Gimana kabarnya?”

“Baik …, baik ….” Anwita menyambut dengan sangat ramah. “Kamu gimana kabarnya? Makin cantik aja, deh. Lebih cantik daripada kalau Tante lihat di TV.”

Utara nyengir. “Makasih, Tante. Aku juga baik.”

“Yuk, masuk. Tante udah bikin makan yang enak buat kamu.” Anwita merangkul Utara untuk ikut masuk ke dalam bersamanya.

“Lea, cuci tangan dulu,” Arion memperingati Elea yang sudah lebih dulu duduk di kursi meja makan.

Bocah itu langsung menurut. Turun dari kursinya, berlari menuju pantri untuk mencuci tangannya di wastafel, diikuti oleh tiga orang dewasa di belakangnya.

Ada banyak makanan yang disajikan di atas meja itu yang tentu saja bukan hanya Anwita yang mempersiapkannya, tapi juga seorang asisten rumah tangga yang memang biasa membantu di rumah itu.

Meski tinggal sendiri, berjauhan dengan dua anaknya yang sudah punya keluarga masing-masing, Anwita tak pernah tinggal sendirian. Ia ada asisten rumah tangga yang tinggal bersamanya, membantunya mengurus rumah atau sekadar menemaninya mengobrol kalau sedang bosan. Ada tukang kebun yang seminggu sekali datang untuk merapikan halaman depan dan belakang, ada suster yang setiap akhir minggu juga datang untuk memeriksa kesehatannya atau kapan pun jika Anwita mengeluh ada yang tak beres dengan tubuhnya. Belum lagi teman-temannya yang suka mengadakan kegiatan ini dan itu yang nasibnya tak jauh berbeda dengannya, yaitu tinggal jauh dengan anak-anaknya.

Arion pernah berkata, kalau mamanya ini meski sudah berumur kegiatannya bisa lebih sibuk dari dirinya sendiri. Selalu punya kegiatan untuk mengusir rasa bosan, tapi ketika Arion mengajaknya tinggal bersama, Anwita menolak karena lebih senang bertemu dengan teman-temannya yang seumur daripada dengan anak-anaknya.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?”

Pertanyaan itu sudah cukup untuk membuat Utara tersedak. Ia terbatuk dan mungkin akan mati kalau tak buru-buru minum air yang Arion sodorkan.

“Ma,” tegur Arion.

“Mama cuma nanya, Ari. Kan biar jelas juga. Lagian, sekarang pacaran lama-lama udah nggak nge-trend. Kalau udah sama-sama cocok, kenapa nggak langsung nikah aja?”

“Iya, tapi—”

“Lea, kamu nggak nyuruh papamu cepet-cepet nikah sama Tante Tara?” Anwita memotong dengan menoleh pada Elea.

Bocah itu mengerjap bingung, menatap papanya dan Tante Seksi secara bergantian. “Tante Seksi bilang, menikah itu harus dua orang yang suka sama suka. Papa suka sama Tante Seksi, tapi Tante Seksi belum suka sama Papa. Jadi belum bisa menikah, belum bisa kasih aku adik kayak Devan juga.”

Utara kembali terbatuk.

Anwita agak terkejut juga dengan jawaban Elea, tapi kemudian ia tersenyum lembut. “Kamu udah pengin punya adik, ya?”

“Iya!” Elea berseru dengan sangat bersemangat.

“Tuh, denger, kan?” Anwita kembali menatap Arion dengan agak galak. “Mama nggak maksa kalian, tapi udah seharusnya kalian mikirin hubungan ini lebih serius, daripada sekadar main-main. Jangan suka buang-buang waktu buat hal yang nggak jelas dan nggak penting. Buat pengacara, waktu itu berharga banget, kan?” Ia balik menatap Utara. “Jadi kalau udah sama-sama nemuin kecocokan, lebih baik mulai bicarain ke arah yang lebih serius.”

Arion sudah akan menjawab, tapi Utara lebih dulu menyambar, “Iya, Tante. Makasih nasihatnya.”

“Tante ngerti banget kondisi kamu walau cuma denger sedikit dari Ari. Tapi bukan berarti apa yang terjadi di sekitar kamu, bakal terjadi juga sama kamu. Hubungan Tante sama papanya Ari juga nggak berjalan lancar, kami cerai. Ari juga bernasib sama, tapi Difa, adiknya Ari sekarang bahagia sama pernikahannya, sama kedua anaknya.” Anwita tersenyum pada Utara. “Nggak semuanya buruk, Tara. Hal baik itu pasti ada. Kamu cuma harus yakin kalau hal baik itu akan menghampiri kamu, maka rasa takut itu nanti bakal hilang dengan sendirinya. Percaya sama diri kamu, percaya sama orang yang mencintai kamu. Itu kuncinya.”

Utara langsung menoleh pada Arion. Persis sekali seperti yang Arion selalu katakan padanya.

“Nah, Lea,” Anwita kembali lagi pada si bocah. “Mulai sekarang jangan panggil Tante Tara dengan Tante Seksi, nggak sopan!” Ia menatap Elea, membuat bocah itu cemberut. “Panggil Mama, atau tanya Tante Tara maunya dipanggil apa. Ibu? Bunda? Atau apa?”

Keterkejutan itu ternyata masih berlanjut. Utara sepertinya tak diizinkan makan dengan tenang, meski Arion sendiri sudah susah payah menyembunyikan senyumannya. Ia menatap anak perempuannya untuk memberi dukungan agar bicara seperti yang neneknya suruh tadi.

“Tante Seksi mau aku panggil apa?” tanya Elea dengan suara pelan. “Aku udah punya mama …. Maksud aku, aku mau mama baru, tapi aku takut bingung kalau panggil Tante Seksi pakai Mama juga. Tapi kalau—”

“Gimana kalau Bunda?” Arion memotong, menatap Elea dan Utara secara bergantian.

“Bunda Seksi?”

“Lea!” tegur Anwita, sementara Arion sudah terkekeh.

“Iya …, Bunda aja.”

“Gimana, Tara?” tanya Anwita.

Utara menatap dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan hangat yang tak biasa ia rasakan di dalam dadanya saat ini. Dan tanpa sadar itu membuatnya meneteskan air mata.

Baby, what's wrong?” tanya Arion dengan agak panik. “Kamu nggak suka?”

Utara mengerjap, ia menatap Arion. “Aku … eum … suka. Iya, nggak apa-apa. Bunda. That's good.

Senyum Arion mengembang. Ia lantas memeluk Utara seketika, mengabaikan mamanya yang langsung berdeham keras.

“Jadi, mulai sekarang nggak ada Tante Seksi lagi, oke?” Arion berbicara pada Elea. “Adanya Bunda.”

Elea mengangguk. “Kalau aku lupa?”

“Jangan lupa. Harus dibiasain.”

“Papa bakal marah?”

“Papa nggak akan marah. Papa marah kalau kamu nakal sama Tante—maksudnya Bunda.”

“Iya ….”

Arion tersenyum lagi. Di bawah meja, tangannya meraih tangan Utara, meremasnya lembut seraya melayangkan senyum hangat pada perempuan itu.

***

Seharusnya Utara sudah bisa menebak kalau Arion tidak akan benar-benar mengajaknya pulang setelah selesai makan malam, atau Anwita yang mengizinkan mereka pulang begitu saja setelah selesai, lagi pula ini rumah mama Arion, bukan rumah makan yang ditinggal setelah selesai. Jadi, ketiga Anwita menyuruh mereka menginap dan Arion seperti tak punya niat untuk melawan mengiakan begitu saja meski mereka besok harus ke kantor dan Elea harus sekolah.

“Aku udah bawa baju buat besok, kamu nggak perlu khawatir,” begitu ujar Arion.

“Jangan-jangan kamu udah rencanain ini.” Utara menatap galak.

“Bukan merencanakan, tapi emang berharap. Jadi aku jaga-jaga.”

Utara mendesah. Ia melipat tangannya di depan dada.

“Kamu cocok pakai baju Mama gitu.” Arion memperhatikan Utara yang memakai baju milik Anwita untuk istirahat nanti setelah ia mandi tadi.

“Bahannya juga enak, adem. Di rumah juga aku suka pakai baju Mama, suka rebutan sama Nay kalau Mama bilang mau ngasih baju lamanya ke anaknya.” Perempuan itu terkekeh.

Mereka sedang di halaman belakang sekarang. Anwita menyuruh Arion tidur di kamar yang biasa dipakai Difa kalau datang, dan Utara menempati kamar Arion yang dua-duanya ada di atas, sedangkan Elea akan tidur dengan sang nenek di kamar bawah. Dan Utara sudah bisa menebak meski Arion mengiakan aturan itu, Arion juga yang akan melanggarnya.

So …, are you happy?” tanya Arion seraya menangkap tubuh yang lebih kecil darinya itu dari arah belakang. Mendekapnya.

“Mas, nanti mama kamu ngelihat,” bisik Utara, berusaha melepaskan diri.

“Biarin aja. Nggak apa-apa, Mama juga pasti ngerti.”

“Mas ….”

“Pertanyaan aku belum dijawab lho.”

Utara akhirnya diam. Ia memegang dua tangan besar yang mengurung tubuhnya itu, menyandarkan kepalanya pada pundak Arion.

Baby …,” panggil Arion.

“Aku seneng.”

“Sama panggilan baru yang Lea kasih? Suka?”

Utara mengangguk malu-malu. “Terdengar aneh buat aku, tapi … aku nggak nyangka kalau aku bakalan suka.”

“Kamu bakal dengan cepat terbiasa.” Arion menaruh kepalanya di pundak Utara. “Jadi, aku udah boleh minta belum?”

“Minta apa?” Mata Utara membelalak. “Ini di rumah mama kamu, ya. Jangan aneh-aneh.”

Arion terkekeh. “Mikir apa, sih? Emangnya aku semesum itu, ya?”

“Kamu nggak nyadar?”

“Coba, siapa yang bikin aku begitu?”

“Siapa?”

“Jangan pura-pura nggak tahu, ya, Mrs. Janardana.”

“Mrs. Janardana?” Utara menoleh ke samping sampai hidungnya nyaris bersinggungan dengan pipi Arion.

Isn't it you, Baby?” Arion ikut menoleh juga, membuat wajah mereka kini sangat dekat hingga bisa hanya dengan sekali gerakan kecil, dua bibir itu akan bersentuhan. “Soon …, right?” ia menambahkan.

Utara tersenyum, lalu ia yang pada akhirnya berinisiatif untuk melakukan gerakan kecil itu sampai membuat bibirnya menyentuh bibir Arion. Hanya berniat untuk memberikan kecupan kecil, tapi ia lupa kalau lelaki yang sedang ia hadapi ini adalah Arion Janardana yang tak mengenal arti kecupan kecil. Arion dengan cepat menahan bibir Utara agar tetap berada di sana ketika ia mulai bergerak menyapu lembut.

Dan mungkin akan berlanjut jadi sesuatu yang menuntut kalau Utara tak lebih dulu menarik diri.

“Tuh, kan, apa aku bilang? Mintanya kamu tuh mesum.”

Arion mendengus. “Tuh, kan, apa aku bilang? Yang bikin aku mesum itu kamu. Yang mulai duluan siapa?”

“Aku mau makan kamu.” Utara menggigit bibir bawahnya.

“Ini di rumah Mama.”

“Kalau tadi kita pulang, aku mungkin udah makan kamu.”

Arion terkekeh pelan. “Kita masih punya besok, besok, dan besok lagi, besoknya lagi, besok terus. Kamu bisa makan aku kapan pun kamu mau.”

“Kamu nggak mau makan aku?”

“Kamu serius nanya?” Arion menatap Utara, keningnya berkerut. “Sekarang pun aku pengin makan kamu. Aku lagi mencoba menahan diri.”

“Aku harus lihat sekuat apa pertahanan diri kamu itu.”

“Udah aku buktiin sejak pertama kali kita ketemu, setelah kamu pindah ke samping unit apartemen aku.” Arion mendengus. “Kamu tahu, kan, sekuat apa pertahanan diri aku waktu aku gantiin baju kamu yang penuh muntahan, dan kamu yang tiba-tiba nyerang aku buat cium aku. Itu ciuman pertama aku setelah tiga tahun. Kamu tahu?”

Utara terkekeh. “Tapi aku nggak nyesel udah rampas your first kiss itu. Kalau aku nggak gitu, kamu nggak akan ngejar-ngejar aku sebegininya, dan aku nggak akan pernah dapet perlakuan manis sebegininya dari kamu. Iya, kan?”

“Oke …. Jadi, kapan aku bisa dapet pengakuan kamu? Itu permintaanku. Your confession.”

Kali ini Utara dia, ia menatap lurus ke depan, meninggalkan mata Arion. Tak tahu harus menjawab apa.

Arion sendiri tak banyak berharap, asal ia tahu kalau Utara sudah jatuh cinta padanya, itu sudah cukup. Ia tahu bagaimana Utara, ia tahu perasaan perempuan itu, dan ia tak bisa memaksakan. Membuatnya jatuh cinta padanya saja sudah sebuah pencapaian mengingat bagaimana Utara begitu keras perihal cinta yang menjijikan dan lelaki yang brengsek di awal. Arion sudah bisa berbangga diri karena mampu melunakkan perasaan seorang Utara Pradita dengan segudang trauma yang dimilikinya. Ia hanya perlu sabar sedikit lagi kalau memang benar-benar menginginkan pernyataan nyata dari mulut Utara.

It should be love, right?” Utara tiba-tiba berbicara. “Soal perasaan aku.” Ia kembali menoleh pada Arion.

Lelaki itu melepas pelukannya, menegakkan tubuhnya, memutar tubuh Utara agar menghadap ke arahnya. Dan ketika mata mereka sudah saling bertatapan, Arion bertanya, “Apa yang kamu rasain sama aku?”

“Aku nyaman. Aku ngerasa dilindungi banget. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku suka semua perlakuan yang kamu kasih ke aku. Aku selalu pengin deket kamu. Tapi aku takut ….”

“Takut kenapa?”

“Takut kamu nyakitin aku.”

Are you trust me, Baby?”

I trust you,” Utara menjawab dengan yakin.

“Kalau gitu, nggak ada masalah lagi yang harus kamu hadapin. Aku nggak akan nyakitin kamu, aku nggak akan jadi cowok brengsek yang kamu benci itu. I won't be like that, karena aku udah pernah digituin sama orang lain dan aku tahu gimana rasanya.”

Utara tak membalas.

Are you happy with me, Baby?” tanya Arion lagi.

Of course.

So, it should be love.” Arion tersenyum penuh kelembutan. Sebelah tangannya berada di pinggang perempuan itu, sementara tangan lainnya memainkan helai rambut Utara sembari matanya tak lepas untuk menelusuri setiap pahatan wajah cantik Utara.

Lama mereka terdiam sampai akhirnya satu kalimat itu terlontar dari bibir Utara, yang meski pelan tetap bisa ditangkap dengan baik oleh telinga Arion.

I love you.”

Yeah, it should be love.

I love you more,” balas Arion.

Itu seharusnya cinta.

selesai.

— 128


Seolah sudah lama tidak bertemu, dan seakan dua teman yang saling merindu, Utara sudah gugup sejak ia berada di dalam lift untuk menyusul Erika di lobi apartemennya. Dan ia langsung melompat keluar begitu sampai dan pintu lift itu terbuka. Tak perlu waktu lama untuknya menemukan seorang wanita yang sedang hamil dengan satu anak perempuan yang digandengnya di tangan kanan, dan satu anak laki-laki di strolernya.

“Rika!?” Utara berseru nyaring. Ia berlari saat matanya sudah bersirobok dengan mata Erika dan temannya itu memberi senyuman kecil.

Ia datang memeluk erat Erika, lalu begitu saja menumpahkan tangisannya di bahu perempuan itu seakan sudah direncanakan dan seakan ada keran air yang bocor yang membuat air matanya mengalir deras. Semua perasaan itu tumpah dalam satu pelukan rindu. Rasa marah, sedih, kasihan, terluka, dan juga rindu itu bercampur jadi satu dalam pelukan hangat. Tak peduli satpam lobi, penjaga resepsionis, petuga kebersihan atau penghuni apartemen yang lewat melihat mereka, Utara dan Erika berpelukan sambil menangis, membuat Alya yang tangannya harus dilepas sejenak oleh sang mami merasa panik dan mulai menangis.

Kenapa Mami dan Rich Aunt-nya ini menangis? Apakah ia ada salah?

Dan karena tangisan Alya, mereka harus melepaskan pelukan dan berhenti menangis untuk saat ini, mereka bisa menyambungnya nanti jika sudah berada di tempat Utara.

“Kenapa nangis?” tanya Erika. “Mami sama Tante Tara nggak apa-apa.” Ia memeluk Alya, mencoba untuk menghentikan tangisan anaknya.

Utara terkekeh. “Ya udah, yuk. Ke tempat gue.” Ia mengambil alih stroler Devan, dan mendorongnya menuju lift sementara Erika mengurus Alya yang mulai berhenti menangis.

“Gue terlalu banyak nangis akhir-akhir ini, dan Alya suka lihat,” bisik Erika saat mereka sudah ada di dalam lift. “Awalnya mungkin karena ngerasa gue ngomelin dia dan bikin pusing karena dia makanya sampai nangis, tapi gue rasa akhir-akhir ini mulai ngerti kalau gue nangis bukan karena hal itu lagi. Tapi karena sesuatu yang menyakitkan buat gue.”

Utara menarik napas. Ia belum sanggup untuk membahas hal itu, tapi tahu bahwa ia perlu membicarakannya dengan Erika. “Lo tadi pulang dulu ke rumah?”

Erika mengangguk. “Ngambil barang-barangnya anak-anak, buku sama keperluan sekolah Alya yang lain, minggu depan dia mulai masuk sekolah lagi, cukup seminggu aja deh liburnya.” Ia nyengir.

“Nggak apa-apa, lo bisa tinggal di tempat gue buat sementara waktu sampai kita dapet titik terangnya, minimal sampai lo lahiran. Gue nggak keberatan sama sekali.”

“Karena lo bakal tinggal sama Mas Ari?” bisik Erika, membuat Utara melotot tajam.

“Nanti kita makan malem di tempatnya, sekalian biar Alya ketemu sama Lea.”

“Yang itu, ya, tempatnya?” Erika melirik ke arah samping di mana pintu unit apartemen Arion berada.

Utara hanya bergumam singkat, sedang sibuk memasukkan digit password pintu unit apartemennya sendiri.

“Orangnya ada di rumah?” tanya Erika lagi setelah pintu berhasil dibuka.

“Ada. Gue bahkan habis dari sana sebelum lo ngabarin kalau lo udah sampai lobi tadi.” Utara berjalan lebih dulu sembari mendorong stroler Devan masuk ke dalam. “Masih berantakan, gue udah nyuruh orang buat beresin, cuma baru bisa weekend nanti.”

Erika menatap ke sekeliling. “Kenapa nggak gue aja yang beresin?”

“Gue nggak mungkin nyuruh lo beresin semua ini, ya. Dengan kondisi lo harus jaga anak kecil dan lagi hamil.” Utara menatap galak.

“Tapi ini nggak seberapa, Tar.”

“Udah, lo jangan sentuh apa pun. Nyokap gue aja gue omelin kalau berani beresin barang-barang gue. Lagian, sebenernya gue udah nyuruh dari minggu lalu, cuma gara-gara minggu lalu gue balik ke rumah Mama, jadinya nggak jadi dan baru bisa minggu ini.”

Erika mendesah. Ia kemudian duduk di sofa dengan perasaan yang jauh lebih lega dan nyaman.

“Mana kunci mobil lo,” pinta Utara. “Biar gue aja yang ambil barang-barang lo di mobil.”

“Tante, katanya aku mau ketemu Lea,” Alya menatap Utara dengan penuh harap.

Utara terkekeh. “Iya. Nanti kita ketemu sama Lea, habis ini. Kita ngobrol dulu, oke? Mau nonton TV aja?”

Alya mengangguk, lalu Utara menghidupkan televisi yang baru satu kali ia hidupkan selama tinggal di sana, mengubah tontonan ke acara kartun, membuat dua bocah itu langsung duduk dengan tenang menonton selama dua orang dewasa di atas sofa mengobrol dengan serius dan penuh tumpahan perasaan.

“Jadi, gimana?” Utara hanya bertanya begitu, tapi air mata Erika langsung kembali menetes, lalu turun dengan deras, namun ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara agar anak-anaknya tak mendengar selama ia menangis.

Utara mendekat, merengkuhnya, dan ia pun ikut menangis tanpa alasan jelas, mungkin hanya satu yang pasti bahwa rasa sakit yang Erika kini rasakan, juga ia rasakan, ditambah perasaan marah dan kesal.

“Masih inget perjalanan dinas Mas Dito yang waktu itu nggak? Waktu lo pertama pindah ke sini,” Erika memulai bercerita. “Kenapa ya waktu itu gue percaya aja kalau ada perjalanan dinas yang makan waktu dari weekend?” Ia mendesah. “Tapi mungkin emang udah harusnya begitu. Sepulang dari dinas itu, gue masih belum ada curiga apa pun sama Mas Dito, sampai gue cium pakaian kotornya yang sebagian wangi parfum perempuan. Gue tahu wangi parfum Mas Dito, gue bahkan tahu aroma tubuhnya, jadi gue bisa tahu kalau itu bukan parfumnya dan wangi parfum perempuan sama laki-laki jelas beda.

“Gue coba buat berpikir positif aja, dan lagi-lagi karena emang kayaknya udah harus ketahuan, gue nggak sengaja lihat ada chat masuk dari satu kontak yang dinamain nama cowok, tapi pas gue coba buka isi chatting-annya kayak bukan sama cowok. Mesra banget, panggil-panggil sayang, dan yang paling penting ada history chat soal booking hotel dan pesawat di tanggal yang sama dengan tanggal dinas Mas Dito.” Tangis Erika pecah, ia tersedu-sedu dalam rangkuman Utara. Utara berusaha untuk tidak membuat Erika melanjutkan ceritanya, namun Erika tetap ingin menuntaskan semuanya, segala apa yang ia pendam selama ini.

“Terus semakin gue scroll, semakin … bikin gue ….”

“Udah. Stop. Gue nggak mau tahu lebih lanjut,” Utara menahan amarahnya. Kalau lelaki itu ada di hadapannya saat ini juga, ia mungkin sudah mendangnya, menonjoknya, atau bahkan membunuhnya.

“Dia temen kantor Mas Dito, dan gue kenal. Gue bahkan pernah ketemu di acara kantor gitu sama dia, sempet kenalan juga,” Erika masih melanjutkan.

“Terus tadi lo ketemu nggak sama si brengsek itu?”

Erika menggeleng. “Dia kan ngantor ….”

“Oh, iya. Gue lupa.” Ia nyengir, dan itu cukup untuk mencairkan suasana. “Tapi dia tahu lo mau ke sini?”

Erika kembali menggeleng. “Dia nggak ngasih kabar gue sejak gue ninggalin rumah.”

Utara menggeram sebal. “Tenang aja, gue bakal kasih pelajaran ke dia. Gue bakal bikin dia bayar banyak ke lo. Lo nggak usah mikirin dia lagi, sekarang lo pikirin aja diri lo sendiri dan anak-anak lo.”

“Tapi gue bingung gimana jelasin ini sama anak-anak nanti.”

“Pelan-pelan, Rika. Pelan-pelan. Mereka pasti ngerti. Mereka bakal lebih seneng lihat lo pisah dari si brengsek tapi bahagia, daripada lo tetep sama si brengsek tapi lo menderita. Nggak ada satu anak pun yang mau lihat mamanya menderita.”

Erika menatap Utara sejenak sebelum ia memeluk temannya itu, lalu berbisik dengan penuh perasaan, “Thanks, Babe …. Gue nggak tahu akal jadi kayak apa kalau nggak ada lo. Makasih banget.”

“Gue juga makasih sama lo karena udah ngambil keputusan yang terbaik buat lo sama anak-anak lo. Makasih banget karena lo masih mau bahagia dengan cara yang mungkin buat sebagian orang menyakitkan dan pastinya nggak gampang. Makasih udah bertahan sejauh ini, dan terus bertahan sampai akhir.”

Mereka menangis, dengan tanpa sadar kalau Devan sudah berdiri menghadap mereka, meninggalkan tontonan kartunnya untuk melihat dua orang dewasa itu menangis bersamaan.

Erika yang pertama kali melihat langsung terkekeh dan menarik bocah itu untuk duduk di pangkuannya, mengusap air mata dan ingusnya menggunakan tisu yang Utara sodorkan.

“Lo sendiri …, gimana?” tanyanya pada Utara. “Sorry, kejadian yang menimpa gue bikin lo tambah nggak percaya cinta sama cowok, ya?”

Utara meringis.

“Tapi gue rasa Mas Ari berhasil ngeyakinin lo,” katanya dengan percaya diri.

“Kenapa lo bisa seyakin ini?”

“Lo sadar nggak sih kalau lo tuh beda tiap kali lo ngomongin soal Mas Ari?”

Utara diam, memikirkan dirinya sendiri.

“Kayak kemarin waktu lo bilang kalau lo kesel sama dia, tapi ada aja yang bikin lo tuh terlihat kalau dia emang udah jadi seseorang spesial di hati lo.”

“Apa, sih?” Utara berusaha mengelak. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil air dingin karena baru sadar selama mereka di sana, ia belum menyuguhkan apa pun untuk Erika dan anak-anaknya.

Babe, jujur aja deh sama gue. Lo udah suka kan sama Mas Ari?” Erika bertanya dengan serius, dan Utara memikirkan itu dengan serius juga. Untuk pertama kalinya dia memikirkan hal ini dengan serius. “Lo mau tinggal bareng sama dia bukan karena lo butuh penghangat tiap malem atau manasin ranjang aja. Tapi karena lo mulai nggak tahan kalau lo terlalu lama jauh dari dia. Lo mulai pengin dia ngelindungi lo, pengin ngerepotin dia terus, pengin dia manjain lo, pengin dia ngasih kabar terus ke lo. Iya, kan? Intinya sangat bertolak belakang dengan perasaan lo sebelum ini.”

Utara kembali dengan teko berisi air dingin dan gelasnya. Juga permen susu untuk Alya dan Devan karena baru sadar kalau ia tak punya apa pun di dalam kulkasnya. Beli makanan banyak pun ia bawa semua ke tempat Arion, ditaruh di dalam kulkas lelaki itu. Karena berpikir bahwa ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di sana daripada di sini.

Apa ini ada hubungannya dengan yang Erika katakan barusan.

Utara kembali duduk di samping Erika, memakan permennya sembari menatap televisi di depan, namun pikirannya masih menerawang ke jauh, ke dalam perasaannya. “Gue …,” ia memulai. “Gue mulai takut kalau Mas Ari jadi salah satu cowok brengsek di hidup gue. Gue bukan lagi takut sama cowok, tapi gue takut kalau cowok ini … berubah jadi cowok brengsek yang gue takutkan.”

Senyum Erika kemudian mengembang besar. “Itu karena lo suka sama dia. Lo cuma mau dia yang baik, bukan dia yang buruk. Lo takut dia berubah nyakitin lo karena lo mulai nyaman dengan semua perlakukan manis yang dia kasih ke lo.”

Utara kembali termenung lama sampai kemudian ia menoleh pada Erika dengan perasaan yang campur aduk. Ia berujar, “Iya …, gue takut kehilangan Mas Ari.”

— 112


Utara tahu password unit apartemen Arion, Arion sendiri yang menunjukkannya tanpa dipinta, dan Arion sendiri yang menyuruh Utara untuk masuk begitu saja ke tempat tinggal lelaki itu tanpa perlu memencet bel lagi. Utara juga menginginkan hal itu, tapi kali ini ia tak bisa. Tangannya terlalu penuh untuk menekan satu per satu digit angka tersebut, bahkan untuk menekan bel pun ia agak kesulitan hingga harus menggunakan sikunya.

Ia jadi merasa malu sendiri. Sebab, lihat lah Utara Pradita sekarang! Tangannya begitu penuh dengan barang-barangnya sendiri, persiapan menginap malam ini, tapi sudah terasa seperti pindahan karena rasanya terlalu banyak.

Biasanya, Utara hanya membawa diri dan ponsel saja. Ia bisa mandi di kamar mandi Arion, menggunakan sabun dan sampo lelaki itu, tapi tetap harus pulang untuk membasuh wajah dengan sabun cuci mukanya sendiri, juga berganti pakaian sebelum berangkat bekerja.

Namun kali ini, seolah persiapannya begitu matang, Utara membawa satu setel baju untuk berangkat bekerja besok, tidak dilipat, melainkan digantung dan dilapisi plastik pakaian khusus yang diberikan pihak laundry. Ia membawa sepatu hak tingginya, membawa tasnya, membawa laptopnya, membawa perlengkapan mandinya, membawa skincare dan makeup-nya, juga membawa dua kantong besar berisi jajanan dari minimarket yang tadi ia beli sepulang dari kantor. Ia juga membawa beberapa berkas berisi materi untuk syuting besok, dan dokumen kasusnya di kantor.

Beruntung, Utara menyempatkan diri untuk pulang dulu ke unit apartemennya sendiri, mengabaikan permintaan Arion yang menyuruhnya untuk langsung datang. Karena kalau begitu, ia akan lebih banyak membawa barang-barang, karena ditambah piyama tidurnya yang sekarang ia kenakan.

Utara hanya berharap, Arion segera membukakan pintu untuknya, dan tak ada tetangga lain yang tiba-tiba muncul entah dari mana, memergokinya dalam kondisi seperti mau kabur. Apa kabar reputasinya nanti???

Baby …,” suara itu, dan panggilan itu. Juga tubuh itu yang muncul dengan ekspresi terkejut melihat Utara di luar dengan barang-barangnya yang banyak, namun tak lama terkekeh geli.

May you help me, Mr. Janardana?” Utara memutar bola matanya sebal, karena Arion malah mengejeknya, bukan segera membantunya dan menyuruhnya masuk. Ia nyaris memutar tubuhnya dan berbalik ke tempat tinggalnya sendiri, mengurungkan niat untuk menginap di tempat lelaki itu.

“Kenapa nggak telepon aku kalau barang bawaan kamu sebanyak ini?” Arion mengambil alih sebagian besar barang bawaan Utara, dan ketika itu Utara bergegas masuk tanpa menunggu Arion menyuruhnya. Ia terlalu takut seseorang memergokinya.

Utara tak menjawab, langkahnya terhenti sebelum ia masuk ke area ruang tengah, langsung berbalik, menatap Arion yang sedang memeriksa apa isi goodie bag dan paper bag yang ada di tangannya kini. Menaruh sepatu hak tinggi di rak, menyusunnya dengan rapi seolah itu akan menjadi tempat permanen di sana. “Lea udah tidur?” bisik Utara.

“Udah. Dia harus udah tidur sebelum jam setengah sepuluh, paling malem jam sepuluh.”

Jawaban itu entah kenapa membawa kelegaan di diri Utara.

“Mana yang harus aku taruh di kamar? Apa semuanya?”

“Yang ini jangan.” Utara mengambil dua kantong besar berisi jajanan itu. “Sama ini juga, aku mau hafalin materi dulu buat besok. Kita nggak akan langsung tidur, kan?” Ia mengambil sebuah berkas yang terselip di salah satu paper bag.

“Nggak dong, Baby. Kita perlu melakukan sesuatu dulu. Iya, kan?” Arion mengecup pipi Utara sekilas sebelum berjalan mendahului Utara, masuk ke kamar utama untuk menaruh barang-barang milik Utara.

Perempuan itu berdecak. Tapi setelah itu, ia beranjak dari sana menuju ke pantri, mengeluarkan jajanan itu dan memasukkannya ke dalam kulkas.

“Apa itu nggak terlalu banyak?”

Utara nyaris melompat dari tempatnya karena terkejut dengan kedatangan Arion yang tiba-tiba. Ia yang berjongkok sampai langsung duduk dan memegangi dadanya sendiri yang mendadak jantungnya berdecak lebih cepat, dan sialnya Arion menertawakannya, membuat Utara mencebik sebal.

I'm sorry ….” Arion berniat membantu Utara berdiri, tapi perempuan itu menepisnya, melanjutkan kembali kegiatannya menyusun snack di kulkas.

Arion hanya mendengus. Ia kemudian bergeser dari sana menuju ke arah kompor, menyalakan apinya untuk menghangatkan ayam kecap dan sup telur yang tadi ia buat.

“Sebanyak itu yang kamu beli, kira-kira titipan aku dibeliin nggak?” tanyanya setelah Utara selesai dengan kulkas dan berjalan menuju stool.

Utara merogoh sakunya, mengeluarkan dua kotak alat kontrasepsi, lalu menyodorkannya pada Arion, membuat lelaki itu mengangkat alisnya.

“Cuma dua?”

Pertanyaan itu mampu membuat Utara membelalak. “You said, 'cuma dua'?”

Yes, Baby. Satu kotak pun isinya cuma tiga.”

“Emangnya mau dipakai semua malem ini?”

“Kalau kamu mau.” Arion mengangkat bahu.

Dan Utara berdecih pelan. “Dan kalau kamu kuat.” Ia tersenyum miring.

I know my limit, Baby.”

“Ya, ya, ya ….”

Arion tak lagi membalas, ia menyodorkan piring berisi nasi dan ayam kecap, serta semangkuk kecil sup telur yang hangat. Terlihat sangat menggugah selera. Ia mengambil dua kotak itu, dan memasukkannya ke dalam saku celananya sendiri setelah kembali lagi membawakan air minum untuk Utara.

“Aku penasaran. Kamu belajar masak dari mana, sih? Apa emang dari dulu udah bisa?” tanya Utara seraya menyendok nasinya.

Arion duduk di stool samping Utara, membuatnya lebih dekat agar bisa menyentuh-sentuh perempuan itu sembari menatap wajah cantiknya yang sedang makan. “Dari dulu udah bisa, tapi tambah bisa kayaknya semenjak menikah.”

“Berarti selama nikah, kamu terus yang masak?”

“Nggak juga, sih. Kami punya ART, tapi kadang aku suka bikinin Lea dan … nggak-perlu-aku-sebut-namanya makanan.”

Utara menoleh mendengar sebutan untuk Rania yang Arion berikan. Lelaki itu tersenyum ketika Utara melemparnya dengan raut bingung, bahkan tangan Arion terulur untuk menyentuh rambut Utara.

“Aku nggak mau bahas apa pun tentang dia kalau lagi sama kamu. Aku tahu, itu masa laluku, kamu juga pasti punya masa lalu. Tapi nggak ada salahnya buat menghargai kamu, kan? Kalau kamu mau tahu sesuatu tentang hubunganku sama dia, tanyain aja, nggak apa-apa kalau itu sesuatu yang emang mengganggu kamu,” sambung Arion.

Utara tak membalas, ia kembali pada makanannya.

Skill masak aku semakin bertambah sejak cerai,” Arion kembali melanjutkan ceritanya, mencoba kembali mencairkan suasana. “Udah nggak pakai ART, dan aku berusaha memenuhi keinginan Lea kalau lagi pengin makan sesuatu. Berusaha buat nggak selalu beli. Walaupun kalau lagi capek, terpaksa beli.” Ia terkekeh.

“Lea pasti seneng banget punya papa kayak kamu.” Utara kembali menoleh, menatap Arion dengan serius.

“Udah aku bilang, kan? I can be your man and your daddy.

“Papaku dulu abusive. Suka mukulin Mama, aku, dan adikku kalau keinginannya nggak diturutin. Suka mabuk-mabukkan, main perempuan, dan nggak pernah sedikit pun ngasih nafkah ke kami.”

Baby ….” Arion turun dari stool-nya, bergerak lebih dekat dengan Utara untuk memutar stool yang perempuan itu duduki agar menghadap ke arahnya.

“Nggak apa-apa, dia udah pergi, nggak tahu ke mana. Mungkin sama selingkuhannya atau entah ke mana, aku nggak peduli. Tapi …,” Utara menarik napas sebelum melanjutkan, “tiga tahun lalu dia dateng lagi, nggak tahu dapet alamat rumah kami yang baru dari mana. Dia minta uang, ke Mama dan Nay. Aku nggak ada di sana karena kerja. Nay nggak kasih, akhirnya mukulin Mama, tapi beruntungnya, saat itu suami Nay—eum … sekarang udah mantan sih, dia yang lagi di kantor gerak cepet buat lapor polisi, terus polisi dateng, dan cowok brengsek itu akhirnya ditangkep.”

“Aku boleh tanya sesuatu?” Arion menatap dalam Utara.

“Tentu.”

“Sekarang dia di mana?”

I don't know.” Utara menggeleng. “Setelah kejadian itu, dia dipenjara, dan dapet peringatan buat nggak deketin kami lagi. Tapi masa depan nggak ada yang tahu, kan? Akhirnya kami pindah rumah lagi setelah Nay cerai dan dapet kerjaan baru, terus karena rumahnya cukup jauh dari kantorku, akhirnya aku terpaksa tinggal sendiri. Kejadian itu bikin Mama nggak mau pegang hape karena katanya takut dilacak sama cowok brengsek itu.”

“Kejadiannya waktu kamu nanganin kasus aku? Itu juga tiga tahun yang lalu, kan?”

“Nggak lama setelah aku nanganin kasus kamu. Kalau sebelum kejadian itu, aku mungkin nggak akan memenangkan kasus kamu atau kita nggak akan ketemu karena setelah itu aku agak nggak fokus dan lebih banyak ngambil kasus kecil. Walaupun sejujurnya, nama aku bisa naik dan dikenal sama publik kayak sekarang awalnya karena nanganin kasus kamu. Istri kamu—”

“Mantan istri, Tara,” potong Arion.

Utara terkekeh. “Iya, Mbak Rania itu kan model, jadi aku cukup banyak juga dimintain wawancara sama wartawan walau bukan pengacaranya.”

Arion mendengus. “Tapi bukannya yang bikin kamu dikenal banget tuh sekarang karena nanganin kasus penyanyi dangdut itu, kan?”

“Iya, karena itu juga. Dan karena tekad aku buat jadi terkenal. Sebab kalau aku dikenal banyak orang, punya power untuk melemahkan orang brengsek di depan publik, aku bisa secara nggak langsung ngancam si brengsek itu biar nggak balik lagi.”

Lelaki itu kemudian memeluk Utara, mengusap punggungnya dengan lembut. “Kamu hebat banget. Kamu keren. Kamu luar biasa. You know that?”

I know.”

Arion terkekeh. “Nggak salah aku suka sama cewek kayak kamu,” balasnya. “Aku nggak berharap hal ini terjadi lagi, tapi kalau misal kejadian itu datang lagi, kamu mau ngasih tahu aku nggak?”

Utara merenggangkan pelukan itu. Menatap Arion dengan cukup serius untuk beberapa saat sebelum ia menjawab dengan keyakinan penuh, “Aku bakal minta tolong kamu, Mas.”

— 104


103020.

Arion pikir Utara berbohong soal password unit apartemennya, tapi ternyata hanya dengan sekali coba, pintu itu terbuka. Ia tersenyum. Mencoba untuk tidak seperti maling yang mengendap-endap masuk ke tempat orang lain, Arion malah menoleh-toleh ke sekitar sebelum ia masuk ke dalam, benar-benar seperti maling yang takut ketahuan orang. Atau takut tetangga apartemen lain yang tiba-tiba memergokinya masuk ke dalam unit apartemen yang bukan tempat tinggalnya, melainkan ke tempat tinggal seorang perempuan lajang yang cantik dan seksi.

Di mulai dari depan, berantakan itu sudah terlihat. Ada cukup banyak pasang sepatu di sana, yang tidak tersusun rapi. Tidak ada rak sepatu untuk menaruh semuanya. Arion tidak terlalu terkejut karena sejatinya Utara sudah berkali-kali memberitahunya kalau ia masih belum sempat membereskan barang-barangnya sendiri setelah pindahan.

Ketika Arion berpikir di dalam akan lebih berantakan lagi, ternyata tak terlalu. Hanya ada ada boks-boks yang sudah dipinggirkan, mungkin takut menghalangi jalan, dengan sebagian yang terbuka yang Arion lihat sekilas isinya adalah tumpukan kertas atau map yang ia yakini berkas kasus-kasus perceraian yang Utara kerjakan. Tak ada pernak-pernik atau semacam aksesoris ruangan di sana, semuanya masih polos sama seperti ketika pertama kali Arion menyewa apartemennya dua tahun lalu itu.

Arion tak melihat bagian dapur yang gelap, ia langsung ke kamar tidur utama yang pintunya terbuka sedikit dan terlihat lampunya menyala. Tapi ketika ia melihat ke dalamnya, tak ada Utara di sana. Ia berjalan ke ruangan lain yang kalau di tempatnya dijadikan kamar Elea, dan ternyata di tempat Utara, ruangan itu dijadikan ruang kerja dengan lebih banyak boks yang menumpuk dan berserakan, yang sebagian berisi berkas, sebagian lagi berisi buku-buku tebal tentang hukum atau bacaan ringan biasa.

Utara di sana, menelungkup di atas meja dengan komputer yang masih menyala dan laptop yang masih terbuka. Ada mangkuk kosong bekas bubur kacang hijau juga di sana. Perempuan itu tertidur.

Arion mendesah.

Baby …,” Ia berusaha membangunkan dengan suara pelan dan sentuhan lembut di tubuh Utara, namun perempuan itu tak terusik. “Tara, hei ….” Arion mencobanya lagi dengan suara yang sedikit lebih keras, dan kali ini berhasil membuat Utara terbangun.

Perempuan itu agak terkejut, tapi kemudian menjadi tenang setelah melihat siapa yang membangunkannya. “Mas …,” katanya dengan suara lirih. “Kamu dateng?”

Arion tersenyum. Ia memundurkan kursi itu saat Utara sudah menegakkan tubuhnya, tapi belum benar-benar membuka matanya. “Badan kamu bisa sakit kalau kelamaan tidur di sini.”

Utara hanya bergumam tak jelas, membuat Arion terkekeh.

Lalu tanpa pikir panjang, Arion mengangkatnya dari sana. Membopongnya keluar dari ruang kerja dan berpindah ke kamar tidur, kemudian dengan hati-hati menaruh Utara di kasur.

Dan sebelum Arion ikut berbaring di sana, ia beranjak lebih dulu untuk menutup pintu dan mematikan lampu. Menaruh ponselnya sendiri di nakas, barulah ia berbaring di samping Utara, menarik perempuan itu untuk mendekat ke arah tubuhnya, dan memeluknya.

“Kamu wangi,” gumam Utara saat hidungnya menyentuh kaus yang Arion kenakan, membuat lelaki itu mendengus, tapi tersenyum.

“Udah, tidur lagi aja,” balasnya.

“Temen kamu … udah tidur?”

“Udah pulang. Di telepon sama istrinya yang nangis-nangis karena kesepian.” Arion mendesah berat. “Ya, gitu lah kehidupan rumah tangga. Kadang berantem, kadang kangen, kadang kesel, kadang kangen lagi, kadang marah, kadang kangen lagi.”

They're so cute,” gumam Utara.

We also can be.”

Utara terkekeh. “You're so cute.”

Not just me, Baby. But we. We're so cute. Right?”

“Yeah …. Kamu yang narik, aku yang ngulur. Tinggal nunggu kamu yang capek, atau aku yang justru ikut ketarik.”

Arion merenggangkan pelukan, merunduk untuk menatap Utara yang kemudian ikut mendongak untuk balas menatap Arion. “Aku nggak akan capek, tapi aku berharap kamu yang capek ngulur-ngulur dan akhirnya tertarik sama aku.”

Utara tersenyum, ia bergerak baik agar wajahnya sejajar dengan wajah Arion. “Kalau saat itu datang, kamu berhasil bikin aku jatuh cinta sama kamu. Apa yang bakal kamu lakuin?”

“Aku bakal jaga cinta itu, aku bakal nunjukkin ke kamu kalau mencintai seseorang yang cinta juga sama kamu itu sangat menyenangkan.”

“Cinta … semenyenangkan itu?”

Of course, Baby. Cinta semenyenangkan itu asal dengan orang yang tepat.”

“Dan kamu orangnya? Orang yang tepat untuk aku merasakan senangnya jatuh cinta sama orang yang cinta sama aku.”

“Aku nggak tahu, karena aku bukan semesta yang nulis semua takdir. Tapi aku bakal berusaha menjadi orang yang tepat itu.”

Utara diam, menatap lurus mata Arion di dalam ruangan gelap itu.

Baby, please let me in. Buka pintunya, biarin aku masuk. Biarin aku bikin kamu jatuh cinta sama kamu, biarin aku tunjukin kalau cinta nggak semenakutkan yang kamu kira, karena cinta yang tepat itu menyenangkan.”

“Aku takut ….”

“Aku bikin nggak takut, aku bikin menyenangkan.”

“Gimana kalau … Lea nggak suka?”

Senyum Arion mengembang. “You called her Lea.”

Utara berjengit.

“Dia bakal suka. Dia mau Tante Seksi ini jadi mamanya, kasih adik buat dia.”

“Tapi nggak sesederhana itu, Mas. Dia mungkin belum ngerti aja apa yang bakal terjadi kalau aku masuk ke kehidupannya.”

Baby …,” panggil Arion lembut, tangannya terulur untuk mengusap pipi Utara. “Semuanya bisa dibikin sederhana, asal kamu berhenti berpikir kalau itu ribet dan nggak mungkin. Stop negative thinking, okay? Kita jalanin. Sama aku, sama kamu, sama Lea buat bikin keluarga cute yang kamu bilang itu.”

I don't think I'm ready ….”

“Kamu siap, asal kamu bersedia.”

“Jadi … ini cuma tentang aku, ya?”

Arion tak menjawab, hanya tersenyum kecil.

“Aku ….” Utara bingung harus berkata apa. Ia ragu, takut, tapi ingin juga. Semuanya jadi tak jelas.

It's okay, Baby. Jangan terlalu dipaksakan, pelan-pelan aja, aku bantu.” Arion mengecup singkat bibir Utara.

Kali ini Utara yang tak menjawab.

Arion mendesah, menarik kembali tubuh itu untuk masuk ke dalam dekapannya. “I love you,” bisiknya kemudian.

I will love you,” balas Utara pelan.

— 99


Utara memang paling suka dengan bubur kacang hijau buatan Pak Deni, tapi malam ini sepulang dari kantor setelah menyelesaikan pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, ia mampir ke warung Pak Deni, bukan untuk memesan bubur kacang hijau seperti biasanya, tapi memesan kopi hitam dengan sedikit creamer dan tempe goreng yang selalu baru diangkat dari penggorengan setiap kali Utara datang—Deni rela menggoreng yang baru hanya untuk Utara meski stok gorengannya masih ada.

Ada dua kemungkinan Utara datang ke warung burjo tersebut. Pertama, ia butuh teman cerita atau sekadar teman berbicara penghilang rasa penat. Kedua, ia butuh tempat untuk diam dan merenung.

Jika Utara datang karena butuh teman bicara, maka Utara akan duduk tepat di depan konter menghadap ke arah Pak Deni yang akan sibuk melayani pembeli yang datang, juga sibuk meladeni Utara berbicara, meski terkadang Deni juga yang mengoceh panjang lebar pada Utara karena pada dasarnya mereka memang saling suka bercerita satu sama lain.

Namun jika Utara datang karena butuh tempat untuk diam dan merenung, maka Utara akan memilih tempat lain yang terpisah dari konter makanan dan minuman itu, berada di pojok, menghadap ke dinding. Selain memunggungi Pak Deni, ia juga memunggungi seluruhnya, tak peduli seramai apa keadaan warung saat itu, Utara akan tetap bisa menemukan kesunyiannya sendiri. Tapi malam ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang mampir, tak lama kemudian pergi. Atau orang yang datang membeli bubur atau gorengan untuk dibawa pulang.

Hampir setengah jam sejak Arion mengakhiri pesan teks mereka dengan mengatakan bahwa lelaki itu akan menyusul Utara ke warung, memaksa Utara untuk percaya padanya tentang sebuah cinta yang ia punya, juga tentang teori kehadiran bahwa lelaki baik itu ada.

Utara tak mempercayai keduanya. Seperti yang ia katakan pada Arion, bahwa apa yang ia lihat lewat pekerjaannya, lewat orang-orang terdekatnya, melihat bagaimana mereka bersedih, nyaris gila, hingga putus asa, membuat Utara takut pada yang namanya cinta dari seorang lelaki.

Rasanya sudah cukup ia terakhir kali memberi percayanya dan rasa cintanya pada Nino yang membuatnya hancur, Utara tak ingin lagi.

Ia bukan belum melupakan Nino, tapi mungkin Arion benar, Utara hanya belum melupakan rasa sakitnya. Traumanya.

“Pesen apa, Mas?” suara Pak Deni terdengar, menandakan ada orang lain yang datang. “Lho, ini yang waktu itu dateng sama—”

Lalu tawa dari suara yang Utara cukup kenal. “Iya, Pak. Saya mau jemput Tara.”

Arion.

Utara memutar tubuhnya, lalu menemukan lelaki jangkung itu berdiri tengah menatap ke arahnya. Masih mengenakan setelan kantor, dengan celana abu gelap yang masih rapi bahkan dengan waktu semalam ini, kemeja hitam yang bagian lengannya sudah digulung sampai siku, memperlihatkan otot bisepnya yang membuat kemeja itu terlihat seperti mau meledak, juga urat-urat tangannya yang menonjol membuat cowok itu terlihat makin seksi. Dasi yang belum dilepas, rambut yang sudah agak berantakan, wajah lelah, dan jam tangan mahal yang berkilau seolah sedang meledek penghasilan kaum bawah. Lelaki itu menatap Utara dengan senyuman rasa lega.

“Saya pesen kopi aja, Pak,” ujar Arion pada Deni, meninggalkan tatapannya pada Utara yang lebih dulu mengembalikan pandangannya pada ponselnya sendiri, karena ia sedang bermain game di sana.

“Kopi hitam?”

“Iya.”

“Manis atau pahit?”

“Kasih gula dikit aja.”

Setelah itu Utara bisa merasakan kehadiran Arion di sebelahnya, duduk di sampingnya. Mereka tak mengatakan apa pun sampai kopi Arion diantarkan. Utara masih sibuk dengan game di ponselnya, dan Arion juga sibuk dengan ponselnya karena Elea baru saja mengirimkan foto-fotonya bersama sang sepupu.

“Mau pesen makannya, Mas?” tanya Pak Deni begitu ia menaruh gelas kopi itu ke hadapan Arion.

“Nggak usah, Pak. Makasih.” Arion tersenyum.

Pak Deni sudah kembali ke tempatnya, Arion sudah mengatur posisi gelasnya agar tak tersenggol tangannya, tapi Utara seperti belum mau berbicara pada Arion. Dan Arion juga tak mau mengganggu.

Lelaki itu melirik ke atas meja, kopi milik Utara yang tinggal sedikit. Tempe goreng dalam piring yang tinggal satu, bungkus bekas permen, serta dompet dan kunci mobil milik Utara. Arion memilih mengambil kunci mobil itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Utara tak merespons apa pun, hanya melirik sedikit sebelum kembali fokus pada ponselnya.

Arion menyeruput kopinya, membuat suara agak keras, dan itu berhasil mendapatkan perhatian dari Utara di sampingnya.

“Kamu beneran udah pulang ke apartemen?” tanya Utara, sudah kembali pada ponselnya. Yang membuat Deni di belakang sana membuang napas lega karena ia pikir dua orang itu tak akan saling bicara untuk waktu yang lama, melihat Utara juga tak banyak bicara selama di warung, Deni sudah bisa menebak kalau mereka sedang berantem.

“Iya. Aku belum sempet mandi dan ganti baju aja. Aku ke sini naik taksi.”

“Lembur?”

“Iya, tapi tadi ke rumah Mama dulu, niatnya mau jemput dia, tapi anaknya nggak mau,” jawab Arion. “Aku nggak bohong kalau aku kesepian,” bisiknya kemudian, membuat Utara mendengus.

“Udah makan?” tanya Arion ketika mereka sudah kembali diam.

“Makan tempe.”

“Makan nasi, <>Baby ….”

Utara melirik. Panggilan itu membuatnya merinding, agak khawatir Pak Deni mendengarnya juga meski suara Arion sangat pelan. “Udah terlalu malem buat makan nasi ….”

“Oh, terus harusnya makan apa?” bisik Arion lagi. “Bukannya tadi kamu bilang mau makan sesuatu?”

Perempuan itu berdecak, membuat Arion terkekeh geli. Lalu tanpa aba-aba Utara begitu saja menyandarkan kepalanya pada bahu Arion, membuat Arion terkejut dan agak panik.

“Ada Pak Deni,” bisik Arion pelan.

I know. Dari tadi juga di sana.”

Arion membuang napas panjang, berusaha tak peduli juga, ia merangkul pinggang Utara, membuat perempuan itu semakin dekat dengannya. “How's your day, Baby?” tanyanya sembari merapikan helai rambut Utara dengan sebelah tangannya yang lain.

“Bad ….”

“Udah ketemu sama Erika?”

Utara menggeleng. “Rumah mamanya lumayan jauh. Aku lagi banyak kerjaan banget, bakal pulang malem terus minggu ini. Jadi kemungkinan weekend baru ketemu ….”

It's okay. Weekend nanti aku anter, ya. Sekalian ajak Lea, dia pasti seneng ketemu Alya.”

Utara meninggalkan ponselnya, meletakkannya di atas meja untuk bisa mendongak menatap Arion. “Dia bakal baik-baik aja, kan, Mas? Aku khawatir banget. She's pregnant ….”

“Erika bakal baik-baik aja. Dia perempuan kuat, percaya sama dia.”

“Aku pengin nonjok muka si brengsek itu.”

Arion tersenyum. Utara tanpa sadar sudah meneteskan air mata, membuat Arion dengan cepat mengusapnya dengan tangannya. “Aku juga.”

“Ngapain kamu mau nonjok dia?”

“Karena bikin sahabat kamu sakit, dan bikin kamu tambah takut sama aku.”

“Kamu emang menakutkan.”

“Sekaligus penakut,” sambung Arion, membuat Utara mendengus dan tersenyum. “Aku nggak akan ngelarang kamu buat nangis, tapi tolong jadiin aku sandaran dan alat buat ngusap air mata kamu kayak gini terus.”

“Kalau aku nangisnya karena kamu?”

“Nangis bahagia atau nangis karena sakit?”

“Karena sakit.”

“Aku bakal ngutuk diri aku sendiri.”

“Kalau karena bahagia?”

“Aku bakal bikin kamu tambah nangis.”

“Baru kali ini ada cowok yang pengin bikin aku nangis,” sahut Utara.

Because of happiness, Baby …. Semua cowok pasti pengin perempuannya bahagia.”

Am I your girl?”

I hope you're my girlfriend.”

Utara mendengus lagi, ia bergerak menjauh, menegakkan tubuhnya seperti semula, membuat Arion dengan tak rela melepas tangannya dari pinggang perempuan itu.

Arion agak kecewa. Tentu saja. Meski Utara bisa dengan mudah dan santai melakukan kontak fisik dengannya, menyandarkan kepalanya di bahu Arion seperti yang tadi dilakukan yang biasanya baru bisa dilakukan oleh dua orang yang sudah punya hubungan resmi, tak segan mengatakan ingin mencium bahkan mencumbu Arion, menanggapi seluruh pembicaraan dewasa yang berbau seks, tapi nyatanya Arion belum bisa membuat Utara berucap dengan mulutnya bahwa perempuan itu menyukai Arion sebagaimana Arion menyukai Utara.

Saat memulai hubungan dengan Rania dulu, Arion memulainya dengan sangat pelan dan sederhana. Ciuman dan seks pertama mereka dilakukan ketika mereka sudah resmi berpacaran. Sangat berbeda dengan yang ia lakukan bersama Utara, sebab Utara sendiri sejak awal memang tak pernah mengharapkan hati Arion, Utara hanya menganggap segalanya adalah kesenangan belaka yang bisa ia dapatkan dari siapa pun jika tidak dengan Arion. Sayangnya, Arion menatap dengan tatapan berbeda, merasa dengan perasaan yang berbeda. Utara memberi percikan lain yang selama tiga tahun ini tak pernah Arion rasakan. Dan itu membuat Arion bersemangat, sekalipun harus berjuang lebih banyak dari yang dulu pernah ia lakukan.

“Kopi sama gorenganku belum dibayar,” ujar Utara.

“Biar aku yang bayar.”

“Aku nggak minta kamu buat bayar, aku cuma ngasih tahu.”

“Aku tahu. Tapi aku mau lakuin itu.”

“Kamu mau biayain hidup aku juga, Mas?” tanya Utara tiba-tiba.

“Kalau kamu minta. Aku siap.”

“Pengeluaranku banyak. Aku harus patungan sama adikku buat biayain semua keperluan Mama.”

“Aku bisa,” balas Arion dengan percaya diri.

“Aku suka barang mewah.”

“Aku bisa kerja lebih keras buat beliin semua barang mewah yang kamu mau.”

Salah satu sudut bibir Utara bergerak naik. “Mulut kamu manis banget.”

“Kamu udah coba, kan?” Alis Arion naik.

Utara terkekeh. “Tapi sayangnya aku belum mau lepas pekerjaanku. I love my job.”

I know. And I love you,” bisik Arion.

“Mulut kamu kayaknya tambah manis, aku mau coba lagi.” Utara berdiri dari tempat duduknya, mengambil dompet dan membawa serta ponsel dalam genggamannya pergi dari sana. Berpamitan sekilas dengan Pak Deni sebelum benar-benar meninggalkan Arion di sana.

Arion terkekeh pelan. Ia menyeruput sisa kopinya sebelum ikut beranjak dari sana dan menghampiri Pak Deni untuk membayar.

“Berapa semuanya, Pak?” tanya Arion. “Sekalian punya Tara juga.”

“Lima belas ribu, Mas.”

Arion sudah akan mengeluarkan uang dari dompetnya kembali bicara. “Bubur kacang hijaunya bungkus dua deh, sekalian.”

Setelah menerima bubur tersebut dan membayar semuanya Arion berjalan keluar, menghampiri mobil Utara di mana pemiliknya sudah lebih dulu masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang depan.

“Takut kamu pengin makan buburnya,” ujar Arion ketika sudah ikut masuk ke dalam mobil, menunjukkan kantong plastik berisi dua bungkus bubur kacang hijau.

“Aku lebih pengin makan kamu,” balas Utara tanpa ragu.

“Jadi, burjo Pak Deni bukan yang terbaik lagi?”

Utara memutar bola matanya, tak terima. “Masih yang terbaik lah!”

“Aku harap bisa jadi yang terbaik juga buat kamu. Tempat, suasana, makanan, dan orangnya. Jadi yang akan kamu tuju kalau kamu lagi dalam perasaan begini.”

Perempuan itu tak membalas, menatap lurus Arion di sampingnya, belum mau menyalakan mesin mobil. “Mr. Janardana,” panggilnya pelan.

Yes, Baby ….”

Take me home.”

Arion membalas dengan senyuman. Tangannya terulur sejenak untuk memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Utara sebelum pada dirinya sendiri dan menghidupkan mesin mobil, membawa Utara pulang seperti permintaan perempuan itu juga keinginannya sendiri.