TIGAKATA — 32
Acara pernikahan itu melelahkan meski sejatinya Inka lebih banyak duduk sambil mengobrol dengan teman-teman lamanya, atau sesekali membantu Ochi. Tapi sebagai teman dekat yang sudah kenal sejak SMA, juga sebagai—katakan juga—teman karena mereka bekerja di perusahaan yang sama dan bagaimanapun juga, Inka adalah orang yang mengenalkan Fadel pada Ochi, Inka mereka ia harus datang ke pernikahan itu, dan hadir sejak acara dimulai.
Itu bukan pernikahan pertama yang ia kunjungi, namun selain pernikahan saudaranya, itu adalah pernikahan pertama yang ia datangi sejak acara dimulai sampai selesai. Belum lagi setelah acara selesai pun Inka tak langsung pulang karena ia menyempatkan diri untuk mengobrol sebentar bersama Ochi dan Fadel.
Dan dari sana Inka bisa menyimpulkan bahwa sebuah acara pernikahan yang hanya dilangsungkan beberapa jam itu benar-benar melelahkan. Dan juga ia harus bersiap untuk itu, untuk acara pernikahannya sendiri yang mungkin akan jauh lebih besar dan melelahkan dibanding hari ini.
Pernikahan bisnis selalu akan jadi sorotan pebisnis yang lain, dan papanya tidak mungkin tidak mengundang orang-orang semacam itu, kan? Belum lagi itu juga akan menjadi salah satu kesempatan untuk memperkenalkan orang yang akan menggantikan posisinya setelah pensiun, setelah ia menikahkan putrinya.
Orang yang dimaksud adalah Kama Peraksi, yang datang pagi-pagi ke apartemen Inka, mengenakan kemeja batik berwarna dasar cokelat muda yang senada dengan kebaya yang Inka kenakan; krem. Yang setia menemani Inka sejak acara pernikahan itu dimulai sampai selesai, seperti rencana Inka. Bukan hanya karena ia kenal dengan Ochi atau karena Fadel nanti akan menjadi salah satu bawahannya, tapi karena Inka juga, karena perjodohan itu, karena orang-orang yang memandang pernikahan mereka adalah pernikahan yang menjijikan.
Ya, mereka tidak salah. Pernikahan atas dasar bisnis tak lebih seperti pernikahan politik di masa lalu. Hanya untuk melanjutkan garis keturunan, menguatkan fraksi di lingkar politik, atau sekadar membalas sebuah jasa.
Lalu apa yang mendasari pernikahan Inka dan Kama selain karena Darius tak bisa memilih anaknya sendiri untuk menggantikan posisinya makanya ia memilih Kama, juga karena Inka yang harus menikah dengan Kama demi menjaga perusahaan di tangan orang yang bukan keluarganya?
Membalas sebuah jasa.
Itu mungkin menjadi salah satu alasan yang Kama miliki untuk menikahi Inka jika ia sebenarnya tak menginginkan pernikahan tersebut. Darius selalu mengatakan bahwa ia harus menjaga Inka, dan menikah adalah cari yang paling tepat untuk menjaga dari jarak yang paling dekat.
Tapi lelaki itu mengatakan bahwa dibanding dengan Tigakata, Kama lebih senang dengan perjodohan yang dilakukannya.
Lalu, pernikahan seperti apa mereka ini?
Inka terlalu lelah hari ini. Meski seharian itu ia cukup terbantu dengan kehadiran Kama sebab lelaki yang hampir tak meninggalkan sisinya itu selalu berusaha ikut menimbrung berbagai obrolannya dengan teman lama atau teman di kantor karena Kama sendiri tahu bahwa Inka tak terlalu suka berinteraksi dengan banyak orang. Lelaki itu pun selalu siap berdiri untuk mengambilkan Inka minum atau makanan ringan.
Tapi Inka masih lelah. Energi sosialnya terkuras habis hari ini, tak bersisa. Ia tak yakin besok sudah lebih baik ketika besok pun ia harus datang untuk memantau jalannya pemotretan sebuah majalah yang berkolaborasi dengan parfumnya.
Kama membiarkan hal itu. Ia membiarkan Inka tetap di mobil sambil memejamkan matanya saat ia sendiri turun dari mobil untuk membeli nasi goreng dari pedagang pinggir jalan sebelum ia mengantarkan Inka pulang ke apartemennya.
Mereka tiba saat langit sudah menggelap. Itu benar-benar hari yang sangat panjang bagi Inka, bahkan lebih panjang dari saat ia punya jadwal rapat tanpa henti.
Rasanya tubuhnya akan tumbang dalam waktu dekat. Kakinya sakit karena harus memakai sepatu hak tinggi seharian. Tubuhnya terasa lengket dan rambutnya mulai lepek, ia hanya bisa berharap kalau ia tak bau.
“Mas rasa, kamu lebih baik langsung mandi. Pasti bakal bikin lebih seger. Habis itu kita makan.” Kama menaruh bungkusan berisi nasi goreng itu ke meja bar saat Inka sendiri berjalan dengan lesu ke arah ruang tengah sebelum akhirnya membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa.
“Mau Mas siapin air panas?” Dan tanpa Inka sadari, lelaki itu sudah berdiri di hadapannya. Tersenyum ke arahnya. Entah kenapa ia merasa Kama sudah seperti suaminya saat ini. Apa itu bagian dari ‘menjaga Inka’ yang selalu Darius sebutkan? Atau justru bagian dari cara agar Inka merasakan apa yang juga Kama rasakan tentang pernikahan mereka?
Inka tak mengerti. Tapi akhir-akhir ini Kama memang menjadi lebih perhatian terhadapnya. Ia tak pernah sekalipun melewati untuk mengingatkan Inka makan melalui pesan singkat sebab ia terlalu tahu bahwa Inka selalu melewatkan makan jika sedang sangat sibuk di kantor.
Hari ini pun begitu.
Di resepsi pernikahan Ochi tadi, Kama selalu menanyakan pada Inka apa perempuan itu ingin makan sesuatu atau tidak. Dan dari banyaknya makanan yang tersedia di sana, Inka hanya memakan beberapa potong siomay dah salad buah. Tak ada makanan berat yang masuk ke dalam mulutnya seharian, makanya Kama memutuskan untuk mampir membeli nasi goreng dalam perjalanan pulang mereka.
Inka membuka matanya secara penuh untuk melihat dengan jelas Kama di depannya, yang masih tersenyum padanya seraya menyodorkan segelas air dingin. Kapan lelaki itu menyiapkannya?
“Mas bakal pulang setelah lihat kamu makan,” katanya lagi setelah Inka menerima air minum itu dan ia duduk di sebelah Inka.
“Aku bakal makan.”
“Mas nggak yakin, apalagi kalau lihat kamu udah kecapekan gini. Makan mungkin jadi hal terakhir yang bakal kamu lakuin malem ini.”
Ya, Kama terlalu tahu. Inka tak bisa mengelak.
Inka mendesah, ia memberikan gelas kosong itu pada Kama sebelum kembali bersandar pada sandaran sofa, menoleh ke samping untuk menatap Kama. “Mas,” panggilnya. “Makasih udah temenin aku hari ini.”
Kama tersenyum kecil. “Gimanapun juga, Mas tetep bakal dateng dan kita bakal ketemu. Kamu nggak perlu bilang makasih.”
“Tapi gara-gara harus nemenin aku dari pagi, Mas jadi harus batalin janji.”
“Nggak bener-bener dibatalin, Inka. Cuma diundur ke lain waktu aja.”
Inka ingin bertanya dengan siapa Kama akan bertemu di akhir pekan seperti ini, tapi ia menahannya. Ia merasa tidak berada dalam posisi yang tepat untuk mengetahui lebih banyak tentang privacy Kama, meski mereka sudah dekat sejak lama, dan meski mereka akan menikah.
Ingatkan Inka bahwa pernikahan mereka tidak terjadi seperti pernikahan Ochi dan Fadel yang didasari karena cinta. Kama dan Inka karena bisnis, dan karena posisi mereka tidak untuk bisa menolak usulan itu.
Untuk alasan yang Inka tidak mengerti, Kama mungkin senang. Tapi bagaimana dengan Inka? Apa Inka juga senang?
Ia sendiri tak tahu.
Menikah dengan lelaki seperti Kama bisa dikatakan keajaiban, tapi pernikahan tidak sesederhana hidup bersama untuk waktu yang lama, kan?
Pernikahan lebih dari itu. Dan Inka masih bingung bagaimana harus menghadapinya.
Apa Kama sudah tahu bagaimana cara menghadapinya?
Pernikahan itu. Makanya ia senang.
Ah …, aroma ini.
Satu-satunya aroma yang bisa Inka rasakan di hidungnya.
Aroma yang menenangkan.
Ia tidak tahu bau dan harum itu seperti apa perbedaannya, tapi yang jelas, saat ia berada di dekat Kama, saat ia bisa menghirup sesuatu di samping lelaki itu, ia menjadi lebih tenang, dan sesuatu dalam dirinya seperti menginginkan Kama untuk berada di sisinya lebih lama.
Apa itu bisa dijadikan alasan kenapa Inka bisa senang terhadap pernikahan ini?
“Mas, mau ciuman sama aku?”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir Inka. Entah karena kelelahan yang membuatnya tak bisa berpikir jernih, atau juga karena aroma yang menggelitik indera penciumannya hingga membangkitkan keinginan yang lain, yang secara alami bangkit saat ia merasa senang?
Tapi ia tahu kalau ia bersungguh-sungguh dalam mengatakannya. Matanya yang menyorot dalam jarak dekat itu seolah mengatakan kejujuran terhadap ucapannya. Kama bisa merasakannya.
Tapi bagaimana ia harus meresponsnya?
Itu memang tidak akan jadi ciuman pertamanya, tapi perempuan yang akan ia hadapi ini Inka. Seorang perempuan yang selalu ia lihat dengan pandangan yang berbeda, yang selalu ingin ia jaga meski Darius tidak memintanya.
“You know? We're getting married. Mas nggak akan menjadikan pernikahan ini kayak pernikahan kontrak dalam novel, kan? Without touching each other.” Kalimat itu diucapkan tanpa intonasi yang menusuk, cenderung datar. Dan tatapan lelah itu masih terus menyorot dengan kejujuran.
“Mas—” Kama kehilangan kata-katanya sendiri. Raut wajahnya diliputi kebingungan juga keterkejutan yang tak bisa dihindari. Tentu saja saat perbincangan soal pernikahan itu mulai terangkat, ia memikirkan tentang kehidupan pernikahan orang normal pada umumnya.
Menyentuh satu sama lain adalah yang paling biasa, paling dasar.
Tapi apakah pernikahannya dengan Inka bisa disebut normal ketika ia sendiri yang merasa senang terhadap perjodohan ini?
Ia ragu pada kata-katanya sendiri. Takut jika apa yang akan keluar dari mulutnya membuat Inka tak nyaman. Sebab ia berencana untuk menyerahkan segala peraturan pernikahan mereka pada Inka. Ia hanya akan menjadi orang yang mengikuti alur.
Lalu jika Inka meminta menciumnya, bisakah Kama menerima tanpa merasa bersalah?
Kama belum sempat memikirkan kata-katanya saat Inka lebih dulu bergerak, menarik kemejanya sampai ia merunduk sedikit untuk bertemu Inka yang bergerak condong untuk menempelkan bibir mereka.
Dingin.
Sentuhan kecil itu terasa dingin dan sedikit menyengat. Kama tak sempat menutup matanya saat Inka sudah kembali menarik diri.
“Aku mau—” Dan kini Inka yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya, juga niatnya untuk bangkit dari tempat duduknya sebab Kama menarik tangannya, menjatuhkan punggungnya lagi ke sandar sofa, dan lelaki itu menghimpitnya, memegang tangannya dengan lembut, selembut ciuman yang Kama berikan padanya setelahnya.
Inka tak sempat memikirkan apa yang terjadi padanya saat ini. Tubuhnya lebih tegang, tapi juga lebih bersemangat. Jantungnya berdebar kencang saat darah dalam tubuhnya mendidih.
Apakah ia bisa menerima aroma sebanyak ini?
Apakah memang aroma selalu sebanyak ini?
Inka tidak tahu bagaimana aroma rosewood, cedarwood, sandalwood, atau bahkan agarwood. Tapi Inka tahu ini pasti salah satunya. Aroma segar yang tak terlalu menyengat, yang membelai indera penciumannya yang sudah lama mati, yang tak membuatnya pusing, bahkan ingin muntah. Yang Inka rasakan justru ketenangan, seperti berada di tengah hutan yang dipenuhi pohon rindang yang basah karena baru terguyur hujan. Yang membuat lelahnya menghilang, yang membuatnya dengan senang menutup mata saat Kama mulai melumat bibirnya.
Ia mencengkeram sisi kemeja yang Kama kenakan. Kepalanya kian mendongak saat Kama kian menajamkan ciumannya. Itu bukan ciuman pertamanya, tapi untuk pertama kalinya Inka merasakan sensasi ciuman yang berbeda, yang membuatnya ingin berteriak untuk Kama agar tak menghentikannya.
Apa ciuman memang seharusnya terasa begitu?
Ia membuka mulutnya, membiarkan Kama menelusup lebih jauh dan lebih dalam. Namun ketika ia mulai bersorak kesenangan, Kama tiba-tiba menarik diri, menyisakan napas tersengal keduanya yang bertubrukan dalam irama yang senada.
Kama menatap lekat dalam jarak dekat, tersenyum kikuk, raut wajahnya agak menyimpan malu, juga rasa khawatir. Dan sebelum ia bangkit, lelaki itu berujar, “Ciuman … harusnya begitu.”