Setelah Kencan


Sejak semalam, Sashi sudah mewanti-wanti Lingga untuk bersikap tenang dengan tetap tersenyum, tidak menampakkan wajah masam, cemberut, apalagi tatapan mengintimidasi. Sashi tahu kalau Lingga belum benar-benar menerima akta bahwa putri semata wayang mereka sudah memasuki usia remaja, sudah mulai jatuh cinta. Meski lelaki itu mengatakan kalau ia tak apa-apa, tapi Sashi tahu bahwa Lingga belum sepenuhnya rela. Baiknya, Lingga mau berusaha karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengekang Jemima.

Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu (bagi Jemima dan juga Sashi, tidak bagi Lingga). Jemima belum keluar dari kamarnya sejak selesai sarapan dan bantu Sashi untuk merapikan seisi rumah. Sedangkan Lingga, setelah mencuci mobil di depan rumah, lelaki itu sudah duduk di ruang tamu, bersiap menyambut tamu.

Sashi ingin tertawa, tapi ia berusaha menahannya. Bagaimanapun juga ia mengerti apa yang Lingga rasakan. Ia pun khawatir, agak tak menerima, tapi tak terlalu menunjukkannya seperti Lingga. Ia justru senang saat Jemima mulai mengalami dan merasakan hal-hal menyenangkan dalam hidupnya, apalagi di usia remaja dengan begitu leluasa, mengingat hal itu tidak pernah Sashi dapatkan.

Saat akhirnya sebuah mobil berhenti di depan rumah dan pengemudinya muncul tak lama kemudian, Sashi melihat Lingga menegang. Wajahnya seketika kaku, tapi ia masih bisa untuk tersenyum sedikit saat lelaki bertubuh jangkung dengan perawakan agak kurus itu berdiri di ambang pintu yang memang sudah terbuka sejak tadi.

“Siang, Om, Tante” lelaki itu menyapa. “Saya Darian, temennya Jemi,” lalu memperkenalkan diri dengan suara yang halus dan begitu sopan. Terlihat sama tegangnya, tapi tetap rileks.

“Oh, ya ….” Lingga malah bengong. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, membuat Sashi yang ada di sana mendesah.

“Masuk, masuk …,” Sashi berujar, menyikut lengan Lingga pelan. “Mau jemput Jemi, ya?”

Darian tersenyum kikuk saat melangkah ke dalam. “Iya, Tante. Mau ngajak main.”

“Bentar, Tante panggilin dulu Jeminya, ya. Kayaknya masih siap-siap dia.” Lalu Sashi pergi meninggalkan ruang tamu. Sebelumnya ia menyempatkan diri untuk menatap Lingga dengan tajam, memasang senyuman sebagai perintah agar Lingga juga tersenyum.

“Kakak kelasnya Jemi?” tanya Lingga, nadanya terdengar dingin padahal ia sudah berusaha untuk ramah.

“Iya, Om.” Darian tersenyum.

“Tinggal di mana?”

“Nggak jauh dari sekolah, Om. Cuma lima menit aja naik motor.”

Lingga mengangguk. Menelisik penampilan Darian yang sangat rapi. Celana jins panjang dan kemeja. Rambutnya juga ditata dengan rapi. Wajahnya terlihat kalem. Setidaknya ia senang Jemima punya selera yang baik; lelaki yang tampan seperti papanya.

“Ke sekolah bawa motor?” Lingga bertanya lagi karena Darian tadi sempat menyinggung soal motor, tapi hari ini ia bawa mobil untuk menjemput Jemima.

“Iya, Om. Tapi kadang nebeng temen, atau bareng sama Kakak ke kantor.”

“Oh, punya Kakak?” tanya Lingga lagi.

“Punya dua, Om. Yang satu udah kerja, yang satu lagi kuliah di Jogja.”

Lingga mengangguk lagi. “Anak bungsu?”

“Nggak, Om. Saya punya adik lagi satu. Baru masuk SMP.” Darian nyengir.

Sangat berbanding terbalik dengan Jemima yang menjadi satu-satunya di rumah ini. Mungkin hal itu yang membuat Jemima suka dengan Darian. Tapi kalau Jemima butuh seseorang yang punya sosok seperti kakak sekaligus adik, Jemima punya teman-teman di Ruang Kosong yang bisa menjadikannya adik sekaligus kakak, yang bisa memperlakukannya sebagai adik sekaligus kakak.

Apa kiranya yang membuat Jemima suka dengan lelaki ini?

Lingga berusaha menebak-tebak.

“Mau ngajak main ke mana?” Lingga bertanya lagi. Wajahnya masih datar, tatapannya menyelidik, suaranya dingin, tapi sudah lebih tenang.

“Ke mal aja, Om. Mau nonton, terus nanti sekalian nyari makan.”

Ya, seperti yang Jemima katakan. Dan itu setidaknya membuat Lingga tak perlu khawatir Jemima akan kelaparan selama diajak berkencan dengan lelaki ini.

Tak lama setelah itu, Jemima dengan Sashi muncul di ruang tamu, membuat Lingga seketika langsung melihat putrinya itu dari ujung kepala sampai kaki, menilai penampilannya.

Oke, tak ada yang bahaya. Blouse lengan panjang dan celana panjang. Rambutnya pun diurai biasa dengan hiasan jepit kecil sebagai pemanis. Tak ada makeup yang berlebih selain bibir yang lebih merah dari biasanya. Sashi pasti ikut andil dalam penampilan itu, Lingga bisa merasakannya.

“Papa Lingga, Jemi berangkat, ya,” ujar Jemima, tersenyum manis tapi kaku pada papanya.

“Pulang sebelum gelap, inget.”

“Iya, Papa Lingga.”

“Om, Tante, saya ajak main Jemi dulu, ya,” Darian berpamitan juga.

“Jagain Jemi, ya. Jangan diturunin di tengah jalan, nanti nangis.” Sashi terkekeh.

“Iya, Tante.” Darian ikut terkekeh sumbang, sedangkan Jemima hanya mendengus.

Setelah itu mereka benar-benar pergi dari sana meninggalkan Sashi dan Lingga yang menatap kepergian mereka dalam kegamangan dan ketidakrelaan.

Lingga mendesah keras. Wajah serius dan dinginnya langsung luntur, berganti dengan wajah kesal bercampur frustrasi. Tak perlu Sashi bertanya, ia sudah tahu penyebabnya.

“Hebat banget deh kamu,” jadi alih-alih bertanya, Sashi justru memuji Lingga yang membuat lelaki itu menatapnya bingung. “Hebat banget udah bisa bikin Jemi terbuka tentang hubungannya sama laki-laki ke kita.” Ia tersenyum.

Lingga belum mengerti juga.

“Kamu udah bikin Jemi nggak takut buat menjalin hubungan sama laki-laki, buat nggak menyembunyikan hubungannya. Kamu papa yang hebat.” Sashi mengusap kepala Lingga. “Aku nggak bisa begitu dulu. Inget, kan?”

Lingga membuang napas berat. Ia memeluk tubuh Sashi.

“Kalau kamu udah bisa bikin seorang anak begitu, berarti kamu udah jadi papa yang hebat,” sambung Sashi. “Kiblat dia buat mencari pasangan itu kamu, Ga. Dia pasti nggak akan sembarangan deket sama Darian ini kalau bukan karena kamu. Aku juga nggak mau Jemi punya pasangan yang nggak kayak kamu memperlakukan aku. Dia pasti ngelihat itu, dan dia pasti mempelajarinya buat cari pasangan. Lagian, Jemi masih enam belas, masih jauh buat ngomongin hubungan serius yang bakal Jemi jalanin. Jadi santai aja, oke?”

Pelukan itu terlepas, Lingga menatap wajah Sashi dengan lesu. Ia mendesah lagi. “Oke ….”

Ia berujar begitu, padahal kenyataannya tak bisa oke. Lelaki itu seperti seharian gelisah, tak tenang, terus khawatir. Tak terhitung berapa kali ia melihat jam sampai Sashi pun rasanya tak bisa melakukan apa pun selain membiarkannya. Hingga saat malam hari, setelah makan malam bersama dan Jemima menceritakan tentang kegiatannya bersama Darian seharian tadi, saat Lingga sudah berada di kasur untuk tidur, saat itu Sashi merasakan tubuh Lingga panas.

Lelaki itu demam.

Jemima terlihat begitu bahagia saat menceritakan kegiatannya, dan Lingga juga terlihat begitu lega dan senang. Tapi tak bisa dipungkiri kalau semua rasa khawatir dan cemasnya seharian itu membuat daya tahan tubuh Lingga menurun secara drastis sampai akhirnya ia demam.

Sashi hanya bisa mendesah saat merawat Lingga di kamar. Mungkin ia sudah harus bersiap untuk segala hal yang akan Jemima lakukan di masa depan yang akan lebih mengejutkan daripada sekadar kencan. Karena kencan saja sudah membuat Lingga demam, bagaimana jika Jemima memperkenalkan seorang lelaki sebagai pacarnya?

Sashi berharap Lingga akan baik-baik saja.