TIGAKATA — 06
Tigakata memiliki kantor dan pabrik tempat produksi produk di dua lokasi yang berbeda dan cukup tidak berdekatan. Kantor Tigakata berada di selatan Ibu Kota, sedangkan pabrik itu sendiri berada di kota lain yang berjarak setidaknya satu jam dengan perjalanan yang sangat lancar.
Namun, hari kerja seperti hari ini, sangat tidak mungkin bertemu dengan jalanan yang lengang. Kama keluar dari pabrik ketika matahari masih memancarkan sinarnya, dan sampai ke kantor saat langit sudah sepenuhnya gelap.
Kama tak perlu surat atau izin apa pun untuk datang ke kantor tersebut. Saat melewati pos penjaga di depan, ia hanya perlu menurunkan kaca mobilnya, tersenyum, kemudian menyapa satpam yang berjaga, yang justru berujar pada Kama seperti kerinduan sebab Kama sudah lama sejak ia datang terakhir kali.
Kama tak perlu punya alasan pasti untuk datang. Ia bisa berkunjung apa pun alasannya. Entah karena pekerjaan, atau urusan pribadi seperti yang sekarang ia lakukan. Meski ia bekerja di gedung kantor Tigakata, tapi semua orang yang berada di dalamnya, kenal dengan Kama Peraksi, si hidung ajaib yang sudah menciptakan puluhan aroma parfum bagi Tigakata.
Dan Kama hanya perlu mengetuk singkat sebuah pintu ruangan yang sudah sangat ia kenal untuk bisa masuk ke dalam dan bertemu dengan pemiliknya.
Inka.
Perempuan itu duduk di balik mejanya. Blazer-nya tersampir di belakang kursi, rambut panjangnya sudah digulung menggunakan jepit, kemejanya terlihat kusut, keningnya berkerut saat menatap layar komputer di hadapannya, matanya terlihat lelah, menandakan bahwa perempuan itu bekerja begitu keras hingga mungkin melewatkan jam makannya.
Perempuan itu adalah Inka yang sama dengan Inka yang Kama temui pertama kali saat usianya tujuh tahun. Yang suka cemberut sambil memakan biskuit cokelatnya, yang malu-malu saat menatap Kama yang tiba-tiba dijadikan sebagai kakaknya.
Masih Inka yang sama dengan Inka yang kini akan menjadi istri Kama, yang mungkin akan menolak, yang mungkin tidak setuju, dan mungkin tidak suka sebab ia membenci Kama.
“Udah makan?” tanya Kama.
Inka melihat jam di pergelangan tangannya, lalu mendesah. Seperti tebakan Kama, perempuan itu melewatkan makannya.
“Mau keluar? Kita bisa bicara sambil makan?”
“Nggak usah. Aku bisa makan nanti di apart.” Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan berpindah menuju sofa di mana Kama sudah duduk lebih dulu tanpa disuruh. “Nanti Mas juga pulangnya bisa kemaleman. Langsung dari pabrik?”
Kama mendesah. Ia ingin berujar bahwa ia tak keberatan jika harus menghabiskan malam di jalan di tengah kemacetan jika itu bisa membuat Inka makan, tapi akhirnya yang keluar dari mulutnya hanya, “Iya. Tadi langsung ke sini.”
“Mau minum, Mas?” Inka menoleh ke sekitarnya. “Cuma ada air putih, sih.”
“Nggak apa-apa. Nanti Mas bisa ambil sendiri kalau mau.”
Perempuan itu mendengus. Kama bertanya-tanya, kapan kiranya hubungan mereka mulai berjarak dan berubah menjadi canggung. Apa sejak mereka beranjak dewasa? Atau saat Darius lebih memilih Kama dibanding Inka sebagai orang yang dipercaya mengurus parfum Tigakata?
“Jadi, kita harus mulai dari mana?” tanya Kama. Ia tahu Inka tak suka berbasa-basi.
“Soal perjodohan itu …,” Inka memulai, “apa Mas setuju?”
Kama menatap Inka lebih dalam beberapa jeda. “Apa menurut kamu Mas ada di posisi yang bisa buat menolak?”
“Tapi—”
“Kalau kamu nggak setuju, Mas nggak masalah. Tapi maaf, Mas nggak akan ikut campur soal penolakan itu. Kamu bisa ngomong langsung ke Bapak,” Kama menyela.
Inka membuang napas panjang. “Apa Mas berpikir aku juga ada di posisi yang bisa buat nolak kemauan Papa?” tanyanya dalam gumaman yang masih bisa Kama dengar. “Padahal kita berdua seharusnya udah bisa nebak apa rencana yang Papa punya sejak awal, sejak Papa ngenalin aku ke Mas pertama kali.”
Benar.
Sejak awal semuanya memang sudah ditentukan. Sejak Darius mengadopsi Kama di panti asuhan, mengurus dan mendidiknya selayaknya anak kandungnya sendiri, mengenalkannya pada Inka, membuat mereka dekat. Tanpa kata pun, seharusnya mereka berdua sudah tahu.
Darius sudah merencanakan hal ini sejak awal. Bukan hanya soal pergantian posisinya di Tigakata, tapi juga soal perjodohan Inka dan Kama. Semuanya sudah jelas. Seharusnya Inka tak lagi terkejut. Meski kenyataannya, hal ini tetap membuatnya kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri.
“Mas punya pacar?” tanya Inka.
Kama agak panik, ia dengan cepat menjawab, “Nggak.”
Desahan panjang terdengar kemudian.
“Kamu … punya?” Kama balik bertanya.
“Nggak ….” Terdengar ragu. Inka mungkin punya seseorang yang disuka.
“Mas nggak akan maksa, Ka. Kalau kamu nggak mau—”
“Aku punya syarat,” potong Inka cepat. Tatapannya berubah tajam pada Kama.
“Apa?”
“Ajarin aku bikin parfum.”
Jawaban itu membuat Kama tertegun. Ia terdiam seketika.
“Aku tahu, aku nggak bisa. Tapi aku yakin kalau aku berusaha mengenal baik detail aroma yang ada, aku pasti bisa bikin seenggaknya satu parfum buat diriku sendiri,” sambung Inka dengan suara membara.
“Inka, kamu bisa bikin parfum.” Suara Kama terdengar tenang. “Sekarang pun kamu bisa ngelakuinnya. Semua orang bisa bikin parfum. Tapi bukan itu masalahnya, kan?”
Lidah Inka kelu. Ia berharap Kama tak mengatakannya. Sebuah fakta yang selalu menjadi mimpi buruknya.
“Kamu bisa meracik berbagai aroma yang mungkin udah kamu hafal detailnya kayak gimana. Tapi apa kamu bisa—”
“Stop!” Inka menyela dengan suara yang agak tinggi. Tatapannya tajam, tapi memohon.
Kama tak perlu mengatakannya. Lelaki itu tak perlu memberitahu bahwa sejak awal ia sudah kalah. Inka sudah kalah dari Kama bahkan sebelum pertarungan dimulai.
Inka tak seperti Kama.
Tidak pernah bisa seperti Kama.
Kama si peracik parfum yang andal, yang sangat dipercaya Darius untuk bukan hanya memimpin pabrik produksi, tapi sebentar lagi akan memimpin seluruh Tigakata. Seseorang yang diambil Darius dari panti asuhan sebab Inka, si anak kandungnya tak bisa memenuhi ekspektasi dan keinginan sang papa. Seseorang yang semenjak kemunculannya dan memperlihatkan kemampuannya dalam membedakan sebuah bau sudah membuat Inka iri.
Kama Peraksi, calon suami Inka Nirja Prabawa yang tidak bisa menghirup aroma apa pun. Yang bukan tak bisa sekadar membedakan bau atau meracik sebuah parfum, tapi benar-benar tak bisa menghirup sebuah aroma.
Apa yang kiranya akan Kama katakan jika Inka memberitahu bahwa ia sebenarnya bisa menghirup satu aroma sejak kemunculan Kama ke hadapannya?
Aroma alami tubuh Kama.
“Inka, Mas cuma memenuhi perintah Bapak. Nggak pernah ada sedikit pun niat Mas buat mengkhianati kamu atau keluarga kamu. Mas bukan orang jahat. Kalau keputusan Bapak soal kepemimpinan udah bulat, maka satu-satunya cara biar kamu lebih tenang soal Tigakata, kita harus memenuhi permintaan Bapak yang lain juga, yaitu menikah.”
Inka penasaran, kenapa ia hanya bisa menghirup aroma tubuh Kama dari sekian banyak aroma yang ada di dunia ini?
Ia harus mulai mencari tahu alasannya. Dan mungkin satu-satunya cara adalah dengan lebih dekat pada Kama.
Menikah.