TIGAKATA — 24
‐—
Terkadang, Inka penasaran terhadap reaksi orang-orang saat pada akhirnya tahu kalau orang yang mereka bilang kalau parfum yang dipakai itu tak bisa menghirup aroma seperti apa dari parfum yang digunakannya.
Apakah mereka mencibir?
Mencemooh?
Hanya sekadar tahu bahwa ia tidak bisa menghirup aroma apa pun sudah termasuk mimpi buruk bagi Inka, jadi ia tidak bisa membayangkan jika akan lebih banyak orang yang tahu soal itu.
Meski ia tak bisa menghirup aroma apa pun, Inka tetap menggunakan wangi-wangian dengan aroma yang aman, hanya untuk memastikan bahwa ia tak bau badan. Sebab ia sendiri tak tahu apakah detik ini ia bau badan atau tidak, sebab ia tak bisa menghirupnya.
Satu alasan lain kenapa ia tak bisa membenci Kama adalah karena setelah mamanya, Kama adalah orang yang bertanggung jawab pada seluruh produk wewangian yang Inka gunakan. Bukan hanya parfum, tapi juga lotion sampai sabun mandi. Kama menunjukkan produk-produk dengan aroma yang aman— tidak berbau terlalu menyengat— untuk Inka, dan Inka tinggal membelinya secara berkala ketika habis.
Tapi khusus untuk parfum, Kama sendiri yang membuatkannya untuk Inka secara khusus hingga aroma tersebut hanya Inka yang memilikinya. Sekeras apa pun orang-orang bertanya tentang parfum yang Inka gunakan, dan sekeras apa pun Inka menjawab kalau itu parfum Tigakata, mereka tidak akan menemukan aroma yang sama seperti yang Inka gunakan, dan Inka tak bersalah karena ia menjawab dengan jujur.
Parfum itu dibuat di Tigakata, bahkan yang membuatnya adalah orang yang sama dengan orang yang meracik sebagian besar aroma parfum Tigakata yang tersebar di pasaran sekarang.
Dan orang itu juga yang nanti akan memimpin Tigakata, juga menjadi suami Inka.
Inka tidak bisa berbohong kalau setelah percakapannya dengan Ochi beberapa hari itu, sampai hari ini pun ia masih kepikiran tentang Kama, tapi sama seperti hari itu, hari ini pun ia masih tak ingin bertanya secara langsung tentang perasaan Kama. Jadi, memutuskan untuk bertemu mungkin akan jadi pilihan yang tepat. Seenggaknya ia bisa memastikan sendiri dengan melihat Kama secara langsung.
Karena tahu Kama akan datang ke kantor, Inka memutuskan untuk tak membawa mobil. Ia berangkat naik taksi, dan berniat meminta lelaki itu mengantarnya ke apartemen. Berita tentang pernikahan mereka yang diikuti pergantian kepemimpinan sudah merebak di Tigakata, jadi berduaan di kantor hanya akan mengundang gosip tak mengenakan dari orang-orang yang melihat kedatangan Kama ke ruangan Inka, meski sebelumnya pun Kama sudah sering melakukannya. Namun sebagian besarnya memang hanya tentang pekerjaan.
Kama datang tepat saat pekerjaan Inka selesai. Lelaki seperti biasa, mengetuk pintu, lalu tanpa menunggu jawaban dari Inka, langsung masuk ke dalam dan tersenyum kecil.
Kalau dari pakaian dan penampilannya— rambutnya yang agak berantakan dan kemejanya yang agak kusut, lelaki itu baru pulang dari pabrik dan tidak mampir dulu ke rumahnya untuk sekadar mandi dan berganti pakaian.
Selalu begitu. Inka tak heran.
Tapi tetap harus ia akui, meski begitu, Kama tetap seorang pemuda yang tampan, yang terlihat rapi walau rambutnya agak acak-acakan, dan banyak orang bilang kalau lelaki itu wangi meski sudah lelah bekerja seharian. Apakah mereka lupa kalau meski disebut pabrik, tapi tempat kerja Kama adalah tempat yang nyaman dan penuh dengan bahan-bahan untuk membuat parfum? Dan barangkali mereka juga lupa kalau Kama adalah seorang peracik parfum yang tak mungkin membuat dirinya sendiri bau badan.
“Kebetulan, aku baru selesai,” ujar Inka, merapikan barang-barangnya. “Kita ngobrol di tempatku aja, ya.”
Kama terlihat agak terkejut, tapi tak lama ia kembali rileks. Tersenyum kecil sebagai tanggapan.
Hampir semua orang, baik di kantor atau pabrik, tahu hubungan seperti apa yang dimiliki Inka dan Kama. Bahwa Inka adalah anak kandung Darius Prabawa, pemimpin Tigakata saat ini. Dan bahwa Kama adalah anak yan Darius ambil dari panti asuhan, yang Darius urus dan besarkan sampai jadi seperti sekarang, seorang peracik parfum yang andal.
Setelahnya mereka membuat cerita versi mereka masing-masing yang kemudian menyebar dari mulut ke mulut.
Tentang Kama yang katanya anak haram Darius dengan selingkuhannya yang langsung dibantah tegas oleh Darius sendiri. Tentang Kama, si bajingan beruntung yang siap merebut Tigakata dan membuang keluarga Prabawa setelahnya. Tentang Kama yang sudah ditentukan sebagai jodoh Inka hingga tak ada satu pun orang kantor yang berani mendekati Inka dalam artian romantis.
Tentang Kama yang begini dan begitu yang pada akhirnya sebagian kecil dari gosip-gosip itu terbukti saat ini.
Bahwa Kama adalah jodoh Inka yang sudah dipersiapkan Darius sejak lama. Dan bahwa Kama akan menggantikan Darius setelah menikah dengan Inka.
Sesuatu yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran Kama. Tentang apakah ia harus senang atau sedih.
“Mau minum apa, Mas?” tanya Inka saat mereka sudah sampai di sebuah apartemen mewah tempat Inka tinggal seorang diri, terpisah dari rumah orangtuanya. “Kemarin aku bikin jus mangga, masih ada di kulkas, ambil aja kalau mau. Aku ganti baju dulu sebentar.” Kemudian menghilang ke balik kamar, meninggalkan Kama di sana sendirian.
Agaknya Kama sendiri lupa kapan terakhir kali datang ke apartemen Inka. Mungkin beberapa bulan yang lalu saat Inka sedang sakit dan Kama datang untuk membuatkan bubur serta merawat perempuan itu karena orangtuanya sedang ada di luar kota.
Mereka hampir selalu bertemu di kantor, atau di rumah orangtua Inka. Setelah bertemu, terkadang Kama mengantar Inka, tapi tidak sampai masuk ke dalam. Dari apa yang ia ingat, tatanan ruangan apartemen itu masih sama seperti terakhir kali, masih rapi, dan wanginya masih sama. Inka tak mengganti pengharum ruangannya. Perempuan itu tak akan menggantinya sampai Kama sendiri yang mengusulkan untuk menggantinya.
“Enak, Mas?” tanya Inka saat kembali setelah mengganti pakaiannya dengan lebih santai dan nyaman, menatap Kama yang sedang meminum jus mangga buatannya.
“Emang ada yang salah?” Lelaki itu menatap jus dalam gelasnya dengan tatapan bingung, seperti siap memuntahkan apa yang barusan ia minum kalau Inka mengatakan ada racun dalam jus tersebut.
Inka terkekeh. “Nggak sih, cuma mangganya menurut Mas agak asem, jadinya kurang enak.”
“Oh ….” Kama meneguk jus mangga itu lagi. “Enak kok. Justru yang begini seger.” Ia meneguk habis isi dalam gelas itu sebelum menuangkannya lagi dari dalam botol.
“Mana parfum aku, Mas?” pinta Inka.
Tentu. Tidak suka basa-basi. Kama seharusnya bisa menebaknya.
Kama berjalan ke tempat di mana ia menaruh tasnya, merogoh ke dalamnya untuk mengambil sebuah botol kecil berisi cairan berwarna putih kekuningan di sana. Ia memberikannya pada Inka, menjelaskan tentang aroma apa saja yang ia pakai ke dalamnya untuk memberi Inka gambaran perihal aroma parfum tersebut. Walau perempuan itu mengerti, sejatinya Inka tidak pernah benar-benar bisa membayangkan seperti apa aroma yang Kama coba jelaskan padanya. Ia tak pernah sekalipun menghirupnya.
“Ini cuma sample karena tadinya emang mau Mas tes dulu di kulit setelah dipakai seharian, juga ngebandingin aromanya kalau disemprot ke pakaian. Nanti Mas bikinin lagi versi besarnya.”
Inka menatap botol kecil di tangannya. Menggoyang-goyangkan cairan di dalamnya. Umumnya, seseorang akan langsung akan membuka tutupnya dan menghirup aromanya, atau bahkan langsung menyemprotkannya ke pergelangan tangan. Tapi Inka hanya menatapnya tanpa ekspresi sampai Kama mengambil kembali parfum itu dan tiba-tiba menyemprotkannya ke pergelangan tangan Inka.
“Mas …,” desis perempuan itu saat Kama meraih tangannya yang sudah tersemprot parfum, membawa ke hidungnya untuk ia hirup aromanya.
Lelaki itu memejamkan mata, seakan sedang memproses segala aroma dari parfum yang baru saja disemprotkan, yang bercampur dengan aroma tubuh Inka.
Tak terlalu terlihat perbedaannya. Mungkin Kama bisa menggunakan leher yang biasa menghasilkan lebih banyak keringat daripada pergelangan tangan. Namun ia tak mungkin melakukannya, kan? Ia tak mungkin mendekatkan hidungnya ke leher Inka.
“Mas rasa, nggak akan ada masalah.” Kama melepas tangan Inka. “Kamu bisa pakai besok pagi, terus minta pendapat orang kantor kalau perlu. Atau mungkin mereka bisa notice tanpa kamu tanya.” Lelaki itu tersenyum.
“Iya, makasih ….”
“Kamu udah makan?” tanya Kama. “Ada sesuatu yang bisa Mas masak? Mas bisa masakin kamu sesuatu dulu sebelum Mas pulang.”
“Kita pesen aja. Aku nggak mungkin nyuruh orang yang nanti bakal nyetir jauh buat masak. Takutnya kelamaan juga, nanti Mas sampai rumahnya kemaleman.” Inka meraih ponselnya dan langsung membuka aplikasi pesan antar. “Oh ya, Mas bilang, Mas mau ngasih aku sesuatu lagi selain parfum. Apa?” perempuan itu bertanya tanpa mendongak.
Ada kegugupan tersendiri saat Kama melakukannya, namun ia tetap mengambil sesuatu itu dari dalam tasnya. Sesuatu yang berada di dalam kotak beludru, yang ia buka tutupnya dan ia tunjukan pada Inka.
“Kita sepakat buat nggak ngadain acara pertunangan, tapi Mas ngerasa tetep harus ngasih ini ke kamu.”
Tubuh Inka membeku menatap benda kecil berkilau itu di dalam kotak tersebut. Tak ada kalimat romantis, tak ada perlakuan romantis, tak ada di tempat yang romantis, dan tak ada di situasi yang romantis. Tapi Inka membatu, pikirannya kosong, bahkan ia menyadari bahwa ia pun menahan napasnya untuk sejenak.
Mereka bukan sepasang kekasih. Hanya seperti teman, hanya seperti kakak dan adik, hanya dua orang asing yang bertemu karena aroma, hanya dua orang yang dipakai sebagai alat bisnis terbalut kasih sayang dan rasa peduli, dua orang yang terjebak pada keadaan, yang tak berada di posisi yang baik untuk menolak.
Kama dan Inka.
Apakah mereka bisa bersatu karena cinta seperti yang Ochi katakan pada Inka tempo hari? Yang meski berselimut pernikahan, tapi pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang biasa. Bisakah mereka hidup dengan nyaman ketika Inka selalu melihat Kama sebagai orang yang membuatnya merasa kerdil karena sebuah kemampuan dengan dasar aroma? Bisakah mereka hidup lebih lama ketika Kama selalu melihat Inka sebagai orang yang sulit dan selalu menolak didekati karena ia punya kemampuan yang tak Inka miliki?
Bisakah Inka menolak cincin itu?
Bisakah Kama menolak memberikan cincin itu?
“Kalau kamu nggak mau pakai, kamu bisa—”
“Bukankah seharusnya Mas yang pasangin ke jari aku?” Inka ingin tahu semua jawaban dari semua pertanyaan yang menumpuk di kepalanya. Juga tentang satu-satunya aroma yang bisa masuk ke hidungnya.
Inka mengulurkan tangannya, dan Kama dengan gugup memasangkan cincin itu jari manis nan lentik itu. Cantik dan berkilau.
“Dari mana Mas tahu ukuran jari aku?” Inka bertanya setelah benda mungil itu memeluk salah satu jarinya.
Kama menunjukkan jari kelingkingnya. “Nebak,” jawabnya, yang dibalas kekehan kecil oleh Inka.
“Jari manis aku sama kayak jari kelingking Mas?”
“Lebih kecil lagi. Pegawai tokonya yang ngasih usul.”
“Aku bisa ngasih tahu kalau Mas mau nanya sama aku.”
“Mas takut kamu nggak suka.”
“Mas nggak akan tahu aku suka atau nggak kalau nggak nanya.”
Ah.
Kalimat itu.
Inka yang mengatakannya, tapi Inka juga yang merasa tertampar. Mendadak ia mendengar suara Ochi mengatakan kalimat yang mirip.
“Mas—”
“Inka—”
Mereka memanggil bersamaan.
“Mas dulu,” ujar Inka.
Kama menarik napas, menatap Inka dengan serius, kemudian bertanya, “Mana yang lebih kamu suka, dijodohkan dengan Mas atau Mas gantiin posisi Bapak?”
Pertanyaan konyol yang Kama sendiri sudah bisa menebak jawabannya.
Tapi ia tetap ingin bertanya.
Inka diam. Bingung harus menjawab apa.
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau jawab,” lanjut Kama kemudian.
“Mas sendiri, mana yang lebih Mas suka. Dijodohkan dengan aku atau gantiin posisi Papa?” Inka balik bertanya. Persis seperti yang Tessa tanyakan pada Kama tempo hari. “Nggak apa-apa kalau—”
“Dijodohkan sama kamu,” potong Kama sebelum Inka menyelesaikan kalimat yang sudah bisa Kama tebak.
Inka kembali diam, ia menatap mata itu dengan dalam dan serius. Mencari tahu pada setiap kemungkinan yang juga menumpuk di kepalanya, berusaha membaca setiap raut yang Kama keluarkan.
“Maaf …,” ujar Kama lagi.
“Karena?”
“Karena Mas suka dijodohkan sama kamu, menikah sama kamu.”
“Mas—”
“Mas janji setelah nikah pun, Mas nggak akan ganggu kamu. Mas akan hidup sebagaimana harusnya Mas hidup saat ini. Mas nggak akan ngelakuin apa yang nggak kamu suka. Mas cuma akan memenuhi permintaan Bapak buat jaga kamu sama Tigakata. Mas nggak akan lakuin hal lain,” sela Kama. Ia berbicara dengan cepat. “Mas janji ….”
Apakah itu ungkapan perasaan yang tiba-tiba?
Dan apakah itu jawaban dari kemungkinan yang tak sempat Inka lontarkan?
Bahwa Kama baik-baik saja karena ia senang akan menikah dengan Inka.