Sebelum Kencan
Lingga tahu kalau ia akan ada di titik ini, ia sudah tahu kalau ia akan sampai pada tahap ini, dan ia pun sudah mempersiapkan. Ia hanya tidak menyangka kalau waktu itu datang begitu cepat—atau mungkin ia hanya tidak menyadari bahwa waktu lah yang berjalan sangat cepat hingga tak merasakan bahwa putri semata wayangnya sudah besar dan rasanya ia belum mempersiapkan apa pun untuk menyambut hal itu.
Lingga sangat menyayangi Jemima, ia sangat menjaga putri kecilnya itu—walau untuk sekarang, Jemima sudah tidak bisa lagi disebut kecil, usianya hampir tujuh belas, sudah besar, sudah remaja. Tapi Lingga tak pernah membatasi perempuan itu untuk melakukan apa pun yang diinginkannya, selagi itu pada batas wajarnya. Ia berusaha untuk tidak mengekang dengan siapa perempuan itu bergaul dan ke mana ia pergi. Bukan dalam bentuk kebebasan, Lingga hanya percaya bahwa Jemima tidak akan melakukan apa pun yang membuat orangtuanya kecewa apalagi sakit.
Jemima sama seperti Sashi, mudah bergaul, bisa menyesuaikan diri dengan cepat di mana pun dan dengan siapa pun, ceria, dan juga mudah ngambek. Melihat Jemima sekarang, seperti melempar Lingga ke kehidupan masa lampaunya saat ia berteman dengan Sashi, putri manja yang punya banyak keinginan besar yang dikekang orangtuanya, yang pada akhirnya bisa diselamatkan oleh kehadiran bocah kurus yang nyaris seperti kekurangan gizi, yang kemudian menemukan warna lain dalam kehidupannya setelah pertemuan itu.
Lingga tahu hampir seluruh teman-teman Jemima, apalagi yang terdekat karena perempuan itu hampir selalu menceritakan tentang temannya padanya. Tapi mungkin itu tidak cukup untuk menyadari bahwa Lingga sudah tiba di masa Jemima bukan hanya milik orangtuanya lagi, tapi milik dirinya sendiri. Putri kecilnya itu punya kehidupannya sendiri yang tidak bisa diikut campuri oleh siapa pun, termasuk orangtuanya.
“Papa Lingga,” begitu Jemima memanggil. Mereka baru selesai makan malam bersama, saat Sashi merapikan alat makan di meja makan, Jemima akan bantu menyiapkan buah untuk mereka.
“Iya?” Lingga menatapnya, memperhatikan perempuan itu yang sedang memotong-potong buah apel di tangannya. Terlihat ringkih sampai Lingga ingin mengambil alih karena takut jemari mulus putrinya terluka karena pisau yang tajam. Namun ia membiarkannya. Jemima sudah bisa melakukan hal itu sendiri.
“Minggu nanti, Jemi boleh main keluar nggak sama temen? Mau nonton film.” Awalnya begitu. Dan Lingga seharusnya sudah menaruh curiga di sana karena Jemima terlihat agak gugup saat mengatakannya.
Suara mesin cuci piring di belakang terdengar, menjadi latar pendukung percakapan keduanya sebelum Sashi bergabung dengan membawakan kopi untuk Lingga.
“Mau Mama bikinin susu nggak?” tanya Sashi pada Jemima.
“Nggak, nanti aja. Nanti Jemi bikin sendiri.” Senyumnya tak biasa, dan Sashi sudah menangkap hal itu. Ia yang pertama kali menyadarinya. Duduk di samping Lingga adalah salah satu usaha untuk kemungkinan terburuk yang dalam kepalanya mungkin sangat lucu.
“Sama siapa mainnya? Temen sekolah kamu? Atau siapa?” tanya Lingga. Piring dengan potongan buah apel itu sudah ada di hadapannya, namun Jemi masih terus mengupas dan memotongnya.
“Sama cowok ….” Suara itu terdengar mencicit.
“Iya, sama siapa, Jemi? Mas Rafa?” Lingga menyebutkan anak tertua Ibram yang memang dekat dengan Jemima.
Jemima menggeleng.
“Kafka?” Lingga menyebut lagi satu nama lelaki yang ia ingat paling dekat dengan putrinya. Kali ini anak kedua Hasta, yang hanya berjarak beberapa bulan dengan Jemima, mereka satu sekolah.
“Bukan juga ….” Jemima jadi semakin gugup.
“Terus?” Lingga tiba-tiba kehilangan minat pada apel di garpunya yang bahkan sudah sempat ia gigit sedikit.
“Jemi, sini, Mama aja yang lanjut potongin apelnya.” Melihat suasana sudah mulai tegang, Sashi memilih mengambil alih pekerjaan Jemima, sebab dalam situasi semacam ini, ia juga takut apa yang dilakukan Jemima akan melukai tangan.
Jemima tidak banyak protes. Ia memberikan apel, pisau, dan juga piring lain itu pada mamanya. Lalu menatap sang papa di hadapannya, meski itu agak sulit sekarang, sebab tak lama, ia kembali menunduk untuk menghindari tatapan Lingga yang entah kenapa kali ini cukup menakutkan baginya.
Lingga jarang marah, jarang mengomel, malah cenderung memanjakan. Tapi siapa pun pasti tahu marahnya orang yang biasanya baik itu bagaimana. Lingga bisa dikatakan cukup menakutan. Sekali saja Jemima melakukan kesalahan fatal, siap-siap ia akan diomeli dan tidak akan diajak bicara selama berhari-hari. Dan itu sangat mengerikan untuknya.
Tapi apakah yang kali ini sebuah kesalahan?
Jemima meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah kesalahan yang akan membuat Lingga marah padanya. Namun ia sendiri tahu bahwa hal semacam ini sulit untuk diterima sebagian besar orangtua, apalagi yang baru pertama kali menghadapinya, dan hanya punya satu-satunya anak perempuan.
“Jadi …,” Jemima memulai. “Namanya Darian,” ia meneguk air liurnya sendiri, sudah kembali menatap Lingga untuk melihat bagaimana respons papanya itu. “Dia kakak kelas aku. Kafka juga kenal kok. Mereka satu ekskul bareng. Dia … ngajak aku nonton hari Minggu nanti, kalau boleh ….”
Kafka yang mengenalkan cowok ini pada Jemima. Atau lebih tepatnya, Darian yang memaksa Kafka untuk mengenalkan Jemima padanya karena siapa pun pasti tahu kalau keduanya begitu lengket di sekolah, seperti sepasang kekasih, meski sebenarnya hanya teman dekat. Orangtua mereka dulu—sampai sekarang juga berteman dekat.
“Pacar?” Lingga langsung menembak. Jantungnya sudah berdebar kencang, perasaannya mulai tak terarah, emosinya bergumul menjadi satu, dan ia tak mengerti apa yang benar-benar dirasakannya. Mungkin marah, mungkin sedih, mungkin kesal, atau mungkin juga senang, atau … tidak terima. Ia hanya berusaha tetap tenang saat Jemima terus menatapnya.
“Bukan, bukan.” Jemima mengibaskan dua tangannya dengan cepat, panik. “Bukan pacar kok, cuma temen.”
“Tapi dia kakak kelas kamu.”
Benar. Tapi ….
“Kalau gitu, kenalan. Kenalan deket.” Jemima nyengir. “Cuma nonton kok, Pa. Eum …, paling sama ke kafe atau toko buku aja. Beneran. Jemi nggak akan bohong.” Kali ini ia agak memohon. Masih agak takut, tapi sudah lebih rileks.
“Darian ini … orangnya kayak gimana?” Kali ini Sashi yang bertanya. Ia sudah menyodorkan piring berisi potongan apel itu ke hadapan Jemima.
Mereka bisa melihat dengan jelas senyum malu-malu di bibir Jemima, bahkan wajah bersemu merah itu yang membuat Lingga mendengus sebal, tapi Sashi di sampingnya berusaha menegur agar ia tetap tenang.
“Kak Darian ini … eum … dia baik. Dia juga pinter, walaupun kalah, dia pernah ikut olimpiade sains tahun lalu. Suka main game juga sama Kafka. Kafka cerita, katanya mainnya keren. Jemi pernah minta diajarin, tapi nggak bisa-bisa, terus Kafka kesel, nggak mau ngajarin lagi. Kak Darian juga ganteng.” Senyum itu terlihat lagi. Senyum mendamba.
“Jadi, Kafka udah kenal deket?”
“Iya, Mama Sashi,” jawab Jemima dengan semangat. “Kalau nggak percaya, tanya aja sama Kafka.”
Sashi melirik Lingga. Ia ingin tertawa, tapi berusaha menahannya. “Gimana, Papa Lingga?” tanyanya.
Jemima menunggu dengan cemas. “Nggak … boleh, ya?”
Lingga membuang napas berat. “Jemput ke rumah?”
“Iya, jemput ke rumah kok. Jemi udah bilang sama Kak Darian buat jemput ke rumah.”
“Oke,” balas Lingga singkat yang mengundang senyum lebar dari Jemima.
“Asik!” seru perempuan itu, lalu bangkit dari tempat duduknya, berlari kecil menghampiri sang papa dan memeluknya. “Sayang Papa Lingga, deh.”
Lingga hanya tersenyum kecil sembari mengelus rambut panjang putrinya.
“I love you, Papa Lingga!” Lalu membubuhkan sebuah kecupan kecil di pelipis lelaki itu sebelum pergi dari sana, naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya.
“Sama Mama nggak?” sebelum itu, Sashi berteriak, melayangkan sebuah protes karena Jemima hanya melakukan itu pada Lingga. Sudah terlalu sering, tapi ia masih belum benar-benar terbiasa dan masih suka cemburu.
Jemima tak menjawab, ia hanya menoleh ke belakang, memberikan senyuman, lalu melanjutkan langkahnya.
“Belajar, Jemi! Jangan main HP!” teriak Lingga saat punggung Jemima sudah tak terlihat, tapi ia yakin Jemima masih mendengarnya karena perempuan itu berseru setelahnya.
“Iya, Papa Lingga!”
Lingga mendesah. Ia menunduk, menatap potongan apel dalam piring kecilnya yang mulai diselimuti bercak kecoklatan. “Kalau aku bilang nggak, Jemi bakal marah nggak kira-kira?” gumamnya pada Sashi yang mengumpulkan potongan apel itu ke satu piring yang sama, dan bersiap untuk menyiapkan buah-buahan lainnya, juga susu untuk dibawa ke kamar Jemima, untuk menemani anak itu selama belajar.
Sashi terkekeh. “Kamu bilang, nggak akan mengekang Jemi, nggak akan memberi dia kehidupan kayak yang aku terima dulu dari orangtuaku.”
“Iya, tapi ….” Lingga menatap Sashi dengan raut sedih, ia cemberut, membuat Sashi seketika tertawa.
“It's okay, Papa Lingga. Jemi bakal baik-baik aja, udah fasenya. Dia nggak akan jadi kecil terus, sekarang udah remaja, udah mulai jatuh cinta, kamu harus siap-siap, karena di masa depan, dia bukan cuma pergi buat diajak nonton film doang, tapi juga hidup berkeluarga sama laki-laki lain.”
Mendengar itu, rahang Lingga sontak mengeras. Ia sudah tahu bahwa bagaimanapun kondisinya, ia pasti akan sampai pada tahap itu. Tapi bagaimana menghadapinya ketika dengan membayangkannya saja pun ia tak sanggup? Ia tak sanggup melihat putri kesayangannya dimiliki oleh orang lain.
Tangan Sashi terulur untuk meredakan ketegangan Lingga, mengusapnya lembut, membimbingnya agar menatapnya.
“Emangnya kamu baik-baik aja tahu Jemi bakal nge-date sama cowok?” Lingga bertanya setelah pandangannya bertemu dengan Sashi. “Dia bahkan belum tujuh belas.”
“Aku khawatir. Itu pasti. Gimanapun juga, kita nggak kenal sama orang ini, apalagi dia cowok.” Sashi menatap Lingga dengan penuh perhatian. “Tapi aku percaya Jemi. Dia tahu apa yang baik untuknya, kita cuma tinggal ngarahin aja.”
Lingga masih cemberut.
“Masa remaja itu yang paling indah, Ga. Aku nggak mau Jemi kehilangan kesenangan masa remajanya kayak aku dulu, jadi kita nggak boleh terlalu mengekangnya. Kita cuma perlu mengarahkan, inget?”
Kemudian mendesah, membuat Sashi terkekeh.
“Apa sih yang kamu takutin?” tanya Sashi kemudian.
Lingga diam sejenak. “Aku cuma khawatir,” jawabnya.
Sashi membuang napas panjang. “Teruslah khawatir, biar kamu bisa bener-bener menghiburnya sekuat tenaga kalau kemungkinan terburuk terjadi sama Jemi.”
Kening Lingga berkerut.
“Kalau dia udah jatuh cinta, dia mungkin juga bakal mengalami fase patah hati. Kamu harus siap jadi orang pertama yang menghiburnya,” sambung Sashi dengan senyuman, membuat Lingga sontak mengerang. “Udah, jangan terlalu dipikirin.” Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah kulkas untuk mengambil buah-buahan lain. “Mau berendam?” tanyanya.
Pandangan Lingga mengikuti ke arah tubuh Sashi bergerak.
“Aku rasa, aku perlu mendinginkan kepala kamu. Jadi kita bisa berendam sebentar.” Sashi menoleh, memberi senyum tipis yang penuh arti. “Sana, siapin airnya, aku mau kasih buah dulu ke kamar Jemi, biar aku bantu ngomong juga kalau papanya ini khawatir banget.”
Lingga kembali cemberut, tapi ia beranjak dari sana menuju kamarnya, ke dalam kamar mandi mereka, menyiapkan air dalam bath up sesuai permintaan Sashi.