— 99


Utara memang paling suka dengan bubur kacang hijau buatan Pak Deni, tapi malam ini sepulang dari kantor setelah menyelesaikan pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, ia mampir ke warung Pak Deni, bukan untuk memesan bubur kacang hijau seperti biasanya, tapi memesan kopi hitam dengan sedikit creamer dan tempe goreng yang selalu baru diangkat dari penggorengan setiap kali Utara datang—Deni rela menggoreng yang baru hanya untuk Utara meski stok gorengannya masih ada.

Ada dua kemungkinan Utara datang ke warung burjo tersebut. Pertama, ia butuh teman cerita atau sekadar teman berbicara penghilang rasa penat. Kedua, ia butuh tempat untuk diam dan merenung.

Jika Utara datang karena butuh teman bicara, maka Utara akan duduk tepat di depan konter menghadap ke arah Pak Deni yang akan sibuk melayani pembeli yang datang, juga sibuk meladeni Utara berbicara, meski terkadang Deni juga yang mengoceh panjang lebar pada Utara karena pada dasarnya mereka memang saling suka bercerita satu sama lain.

Namun jika Utara datang karena butuh tempat untuk diam dan merenung, maka Utara akan memilih tempat lain yang terpisah dari konter makanan dan minuman itu, berada di pojok, menghadap ke dinding. Selain memunggungi Pak Deni, ia juga memunggungi seluruhnya, tak peduli seramai apa keadaan warung saat itu, Utara akan tetap bisa menemukan kesunyiannya sendiri. Tapi malam ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang mampir, tak lama kemudian pergi. Atau orang yang datang membeli bubur atau gorengan untuk dibawa pulang.

Hampir setengah jam sejak Arion mengakhiri pesan teks mereka dengan mengatakan bahwa lelaki itu akan menyusul Utara ke warung, memaksa Utara untuk percaya padanya tentang sebuah cinta yang ia punya, juga tentang teori kehadiran bahwa lelaki baik itu ada.

Utara tak mempercayai keduanya. Seperti yang ia katakan pada Arion, bahwa apa yang ia lihat lewat pekerjaannya, lewat orang-orang terdekatnya, melihat bagaimana mereka bersedih, nyaris gila, hingga putus asa, membuat Utara takut pada yang namanya cinta dari seorang lelaki.

Rasanya sudah cukup ia terakhir kali memberi percayanya dan rasa cintanya pada Nino yang membuatnya hancur, Utara tak ingin lagi.

Ia bukan belum melupakan Nino, tapi mungkin Arion benar, Utara hanya belum melupakan rasa sakitnya. Traumanya.

“Pesen apa, Mas?” suara Pak Deni terdengar, menandakan ada orang lain yang datang. “Lho, ini yang waktu itu dateng sama—”

Lalu tawa dari suara yang Utara cukup kenal. “Iya, Pak. Saya mau jemput Tara.”

Arion.

Utara memutar tubuhnya, lalu menemukan lelaki jangkung itu berdiri tengah menatap ke arahnya. Masih mengenakan setelan kantor, dengan celana abu gelap yang masih rapi bahkan dengan waktu semalam ini, kemeja hitam yang bagian lengannya sudah digulung sampai siku, memperlihatkan otot bisepnya yang membuat kemeja itu terlihat seperti mau meledak, juga urat-urat tangannya yang menonjol membuat cowok itu terlihat makin seksi. Dasi yang belum dilepas, rambut yang sudah agak berantakan, wajah lelah, dan jam tangan mahal yang berkilau seolah sedang meledek penghasilan kaum bawah. Lelaki itu menatap Utara dengan senyuman rasa lega.

“Saya pesen kopi aja, Pak,” ujar Arion pada Deni, meninggalkan tatapannya pada Utara yang lebih dulu mengembalikan pandangannya pada ponselnya sendiri, karena ia sedang bermain game di sana.

“Kopi hitam?”

“Iya.”

“Manis atau pahit?”

“Kasih gula dikit aja.”

Setelah itu Utara bisa merasakan kehadiran Arion di sebelahnya, duduk di sampingnya. Mereka tak mengatakan apa pun sampai kopi Arion diantarkan. Utara masih sibuk dengan game di ponselnya, dan Arion juga sibuk dengan ponselnya karena Elea baru saja mengirimkan foto-fotonya bersama sang sepupu.

“Mau pesen makannya, Mas?” tanya Pak Deni begitu ia menaruh gelas kopi itu ke hadapan Arion.

“Nggak usah, Pak. Makasih.” Arion tersenyum.

Pak Deni sudah kembali ke tempatnya, Arion sudah mengatur posisi gelasnya agar tak tersenggol tangannya, tapi Utara seperti belum mau berbicara pada Arion. Dan Arion juga tak mau mengganggu.

Lelaki itu melirik ke atas meja, kopi milik Utara yang tinggal sedikit. Tempe goreng dalam piring yang tinggal satu, bungkus bekas permen, serta dompet dan kunci mobil milik Utara. Arion memilih mengambil kunci mobil itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Utara tak merespons apa pun, hanya melirik sedikit sebelum kembali fokus pada ponselnya.

Arion menyeruput kopinya, membuat suara agak keras, dan itu berhasil mendapatkan perhatian dari Utara di sampingnya.

“Kamu beneran udah pulang ke apartemen?” tanya Utara, sudah kembali pada ponselnya. Yang membuat Deni di belakang sana membuang napas lega karena ia pikir dua orang itu tak akan saling bicara untuk waktu yang lama, melihat Utara juga tak banyak bicara selama di warung, Deni sudah bisa menebak kalau mereka sedang berantem.

“Iya. Aku belum sempet mandi dan ganti baju aja. Aku ke sini naik taksi.”

“Lembur?”

“Iya, tapi tadi ke rumah Mama dulu, niatnya mau jemput dia, tapi anaknya nggak mau,” jawab Arion. “Aku nggak bohong kalau aku kesepian,” bisiknya kemudian, membuat Utara mendengus.

“Udah makan?” tanya Arion ketika mereka sudah kembali diam.

“Makan tempe.”

“Makan nasi, <>Baby ….”

Utara melirik. Panggilan itu membuatnya merinding, agak khawatir Pak Deni mendengarnya juga meski suara Arion sangat pelan. “Udah terlalu malem buat makan nasi ….”

“Oh, terus harusnya makan apa?” bisik Arion lagi. “Bukannya tadi kamu bilang mau makan sesuatu?”

Perempuan itu berdecak, membuat Arion terkekeh geli. Lalu tanpa aba-aba Utara begitu saja menyandarkan kepalanya pada bahu Arion, membuat Arion terkejut dan agak panik.

“Ada Pak Deni,” bisik Arion pelan.

I know. Dari tadi juga di sana.”

Arion membuang napas panjang, berusaha tak peduli juga, ia merangkul pinggang Utara, membuat perempuan itu semakin dekat dengannya. “How's your day, Baby?” tanyanya sembari merapikan helai rambut Utara dengan sebelah tangannya yang lain.

“Bad ….”

“Udah ketemu sama Erika?”

Utara menggeleng. “Rumah mamanya lumayan jauh. Aku lagi banyak kerjaan banget, bakal pulang malem terus minggu ini. Jadi kemungkinan weekend baru ketemu ….”

It's okay. Weekend nanti aku anter, ya. Sekalian ajak Lea, dia pasti seneng ketemu Alya.”

Utara meninggalkan ponselnya, meletakkannya di atas meja untuk bisa mendongak menatap Arion. “Dia bakal baik-baik aja, kan, Mas? Aku khawatir banget. She's pregnant ….”

“Erika bakal baik-baik aja. Dia perempuan kuat, percaya sama dia.”

“Aku pengin nonjok muka si brengsek itu.”

Arion tersenyum. Utara tanpa sadar sudah meneteskan air mata, membuat Arion dengan cepat mengusapnya dengan tangannya. “Aku juga.”

“Ngapain kamu mau nonjok dia?”

“Karena bikin sahabat kamu sakit, dan bikin kamu tambah takut sama aku.”

“Kamu emang menakutkan.”

“Sekaligus penakut,” sambung Arion, membuat Utara mendengus dan tersenyum. “Aku nggak akan ngelarang kamu buat nangis, tapi tolong jadiin aku sandaran dan alat buat ngusap air mata kamu kayak gini terus.”

“Kalau aku nangisnya karena kamu?”

“Nangis bahagia atau nangis karena sakit?”

“Karena sakit.”

“Aku bakal ngutuk diri aku sendiri.”

“Kalau karena bahagia?”

“Aku bakal bikin kamu tambah nangis.”

“Baru kali ini ada cowok yang pengin bikin aku nangis,” sahut Utara.

Because of happiness, Baby …. Semua cowok pasti pengin perempuannya bahagia.”

Am I your girl?”

I hope you're my girlfriend.”

Utara mendengus lagi, ia bergerak menjauh, menegakkan tubuhnya seperti semula, membuat Arion dengan tak rela melepas tangannya dari pinggang perempuan itu.

Arion agak kecewa. Tentu saja. Meski Utara bisa dengan mudah dan santai melakukan kontak fisik dengannya, menyandarkan kepalanya di bahu Arion seperti yang tadi dilakukan yang biasanya baru bisa dilakukan oleh dua orang yang sudah punya hubungan resmi, tak segan mengatakan ingin mencium bahkan mencumbu Arion, menanggapi seluruh pembicaraan dewasa yang berbau seks, tapi nyatanya Arion belum bisa membuat Utara berucap dengan mulutnya bahwa perempuan itu menyukai Arion sebagaimana Arion menyukai Utara.

Saat memulai hubungan dengan Rania dulu, Arion memulainya dengan sangat pelan dan sederhana. Ciuman dan seks pertama mereka dilakukan ketika mereka sudah resmi berpacaran. Sangat berbeda dengan yang ia lakukan bersama Utara, sebab Utara sendiri sejak awal memang tak pernah mengharapkan hati Arion, Utara hanya menganggap segalanya adalah kesenangan belaka yang bisa ia dapatkan dari siapa pun jika tidak dengan Arion. Sayangnya, Arion menatap dengan tatapan berbeda, merasa dengan perasaan yang berbeda. Utara memberi percikan lain yang selama tiga tahun ini tak pernah Arion rasakan. Dan itu membuat Arion bersemangat, sekalipun harus berjuang lebih banyak dari yang dulu pernah ia lakukan.

“Kopi sama gorenganku belum dibayar,” ujar Utara.

“Biar aku yang bayar.”

“Aku nggak minta kamu buat bayar, aku cuma ngasih tahu.”

“Aku tahu. Tapi aku mau lakuin itu.”

“Kamu mau biayain hidup aku juga, Mas?” tanya Utara tiba-tiba.

“Kalau kamu minta. Aku siap.”

“Pengeluaranku banyak. Aku harus patungan sama adikku buat biayain semua keperluan Mama.”

“Aku bisa,” balas Arion dengan percaya diri.

“Aku suka barang mewah.”

“Aku bisa kerja lebih keras buat beliin semua barang mewah yang kamu mau.”

Salah satu sudut bibir Utara bergerak naik. “Mulut kamu manis banget.”

“Kamu udah coba, kan?” Alis Arion naik.

Utara terkekeh. “Tapi sayangnya aku belum mau lepas pekerjaanku. I love my job.”

I know. And I love you,” bisik Arion.

“Mulut kamu kayaknya tambah manis, aku mau coba lagi.” Utara berdiri dari tempat duduknya, mengambil dompet dan membawa serta ponsel dalam genggamannya pergi dari sana. Berpamitan sekilas dengan Pak Deni sebelum benar-benar meninggalkan Arion di sana.

Arion terkekeh pelan. Ia menyeruput sisa kopinya sebelum ikut beranjak dari sana dan menghampiri Pak Deni untuk membayar.

“Berapa semuanya, Pak?” tanya Arion. “Sekalian punya Tara juga.”

“Lima belas ribu, Mas.”

Arion sudah akan mengeluarkan uang dari dompetnya kembali bicara. “Bubur kacang hijaunya bungkus dua deh, sekalian.”

Setelah menerima bubur tersebut dan membayar semuanya Arion berjalan keluar, menghampiri mobil Utara di mana pemiliknya sudah lebih dulu masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang depan.

“Takut kamu pengin makan buburnya,” ujar Arion ketika sudah ikut masuk ke dalam mobil, menunjukkan kantong plastik berisi dua bungkus bubur kacang hijau.

“Aku lebih pengin makan kamu,” balas Utara tanpa ragu.

“Jadi, burjo Pak Deni bukan yang terbaik lagi?”

Utara memutar bola matanya, tak terima. “Masih yang terbaik lah!”

“Aku harap bisa jadi yang terbaik juga buat kamu. Tempat, suasana, makanan, dan orangnya. Jadi yang akan kamu tuju kalau kamu lagi dalam perasaan begini.”

Perempuan itu tak membalas, menatap lurus Arion di sampingnya, belum mau menyalakan mesin mobil. “Mr. Janardana,” panggilnya pelan.

Yes, Baby ….”

Take me home.”

Arion membalas dengan senyuman. Tangannya terulur sejenak untuk memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Utara sebelum pada dirinya sendiri dan menghidupkan mesin mobil, membawa Utara pulang seperti permintaan perempuan itu juga keinginannya sendiri.