— 112


Utara tahu password unit apartemen Arion, Arion sendiri yang menunjukkannya tanpa dipinta, dan Arion sendiri yang menyuruh Utara untuk masuk begitu saja ke tempat tinggal lelaki itu tanpa perlu memencet bel lagi. Utara juga menginginkan hal itu, tapi kali ini ia tak bisa. Tangannya terlalu penuh untuk menekan satu per satu digit angka tersebut, bahkan untuk menekan bel pun ia agak kesulitan hingga harus menggunakan sikunya.

Ia jadi merasa malu sendiri. Sebab, lihat lah Utara Pradita sekarang! Tangannya begitu penuh dengan barang-barangnya sendiri, persiapan menginap malam ini, tapi sudah terasa seperti pindahan karena rasanya terlalu banyak.

Biasanya, Utara hanya membawa diri dan ponsel saja. Ia bisa mandi di kamar mandi Arion, menggunakan sabun dan sampo lelaki itu, tapi tetap harus pulang untuk membasuh wajah dengan sabun cuci mukanya sendiri, juga berganti pakaian sebelum berangkat bekerja.

Namun kali ini, seolah persiapannya begitu matang, Utara membawa satu setel baju untuk berangkat bekerja besok, tidak dilipat, melainkan digantung dan dilapisi plastik pakaian khusus yang diberikan pihak laundry. Ia membawa sepatu hak tingginya, membawa tasnya, membawa laptopnya, membawa perlengkapan mandinya, membawa skincare dan makeup-nya, juga membawa dua kantong besar berisi jajanan dari minimarket yang tadi ia beli sepulang dari kantor. Ia juga membawa beberapa berkas berisi materi untuk syuting besok, dan dokumen kasusnya di kantor.

Beruntung, Utara menyempatkan diri untuk pulang dulu ke unit apartemennya sendiri, mengabaikan permintaan Arion yang menyuruhnya untuk langsung datang. Karena kalau begitu, ia akan lebih banyak membawa barang-barang, karena ditambah piyama tidurnya yang sekarang ia kenakan.

Utara hanya berharap, Arion segera membukakan pintu untuknya, dan tak ada tetangga lain yang tiba-tiba muncul entah dari mana, memergokinya dalam kondisi seperti mau kabur. Apa kabar reputasinya nanti???

Baby …,” suara itu, dan panggilan itu. Juga tubuh itu yang muncul dengan ekspresi terkejut melihat Utara di luar dengan barang-barangnya yang banyak, namun tak lama terkekeh geli.

May you help me, Mr. Janardana?” Utara memutar bola matanya sebal, karena Arion malah mengejeknya, bukan segera membantunya dan menyuruhnya masuk. Ia nyaris memutar tubuhnya dan berbalik ke tempat tinggalnya sendiri, mengurungkan niat untuk menginap di tempat lelaki itu.

“Kenapa nggak telepon aku kalau barang bawaan kamu sebanyak ini?” Arion mengambil alih sebagian besar barang bawaan Utara, dan ketika itu Utara bergegas masuk tanpa menunggu Arion menyuruhnya. Ia terlalu takut seseorang memergokinya.

Utara tak menjawab, langkahnya terhenti sebelum ia masuk ke area ruang tengah, langsung berbalik, menatap Arion yang sedang memeriksa apa isi goodie bag dan paper bag yang ada di tangannya kini. Menaruh sepatu hak tinggi di rak, menyusunnya dengan rapi seolah itu akan menjadi tempat permanen di sana. “Lea udah tidur?” bisik Utara.

“Udah. Dia harus udah tidur sebelum jam setengah sepuluh, paling malem jam sepuluh.”

Jawaban itu entah kenapa membawa kelegaan di diri Utara.

“Mana yang harus aku taruh di kamar? Apa semuanya?”

“Yang ini jangan.” Utara mengambil dua kantong besar berisi jajanan itu. “Sama ini juga, aku mau hafalin materi dulu buat besok. Kita nggak akan langsung tidur, kan?” Ia mengambil sebuah berkas yang terselip di salah satu paper bag.

“Nggak dong, Baby. Kita perlu melakukan sesuatu dulu. Iya, kan?” Arion mengecup pipi Utara sekilas sebelum berjalan mendahului Utara, masuk ke kamar utama untuk menaruh barang-barang milik Utara.

Perempuan itu berdecak. Tapi setelah itu, ia beranjak dari sana menuju ke pantri, mengeluarkan jajanan itu dan memasukkannya ke dalam kulkas.

“Apa itu nggak terlalu banyak?”

Utara nyaris melompat dari tempatnya karena terkejut dengan kedatangan Arion yang tiba-tiba. Ia yang berjongkok sampai langsung duduk dan memegangi dadanya sendiri yang mendadak jantungnya berdecak lebih cepat, dan sialnya Arion menertawakannya, membuat Utara mencebik sebal.

I'm sorry ….” Arion berniat membantu Utara berdiri, tapi perempuan itu menepisnya, melanjutkan kembali kegiatannya menyusun snack di kulkas.

Arion hanya mendengus. Ia kemudian bergeser dari sana menuju ke arah kompor, menyalakan apinya untuk menghangatkan ayam kecap dan sup telur yang tadi ia buat.

“Sebanyak itu yang kamu beli, kira-kira titipan aku dibeliin nggak?” tanyanya setelah Utara selesai dengan kulkas dan berjalan menuju stool.

Utara merogoh sakunya, mengeluarkan dua kotak alat kontrasepsi, lalu menyodorkannya pada Arion, membuat lelaki itu mengangkat alisnya.

“Cuma dua?”

Pertanyaan itu mampu membuat Utara membelalak. “You said, 'cuma dua'?”

Yes, Baby. Satu kotak pun isinya cuma tiga.”

“Emangnya mau dipakai semua malem ini?”

“Kalau kamu mau.” Arion mengangkat bahu.

Dan Utara berdecih pelan. “Dan kalau kamu kuat.” Ia tersenyum miring.

I know my limit, Baby.”

“Ya, ya, ya ….”

Arion tak lagi membalas, ia menyodorkan piring berisi nasi dan ayam kecap, serta semangkuk kecil sup telur yang hangat. Terlihat sangat menggugah selera. Ia mengambil dua kotak itu, dan memasukkannya ke dalam saku celananya sendiri setelah kembali lagi membawakan air minum untuk Utara.

“Aku penasaran. Kamu belajar masak dari mana, sih? Apa emang dari dulu udah bisa?” tanya Utara seraya menyendok nasinya.

Arion duduk di stool samping Utara, membuatnya lebih dekat agar bisa menyentuh-sentuh perempuan itu sembari menatap wajah cantiknya yang sedang makan. “Dari dulu udah bisa, tapi tambah bisa kayaknya semenjak menikah.”

“Berarti selama nikah, kamu terus yang masak?”

“Nggak juga, sih. Kami punya ART, tapi kadang aku suka bikinin Lea dan … nggak-perlu-aku-sebut-namanya makanan.”

Utara menoleh mendengar sebutan untuk Rania yang Arion berikan. Lelaki itu tersenyum ketika Utara melemparnya dengan raut bingung, bahkan tangan Arion terulur untuk menyentuh rambut Utara.

“Aku nggak mau bahas apa pun tentang dia kalau lagi sama kamu. Aku tahu, itu masa laluku, kamu juga pasti punya masa lalu. Tapi nggak ada salahnya buat menghargai kamu, kan? Kalau kamu mau tahu sesuatu tentang hubunganku sama dia, tanyain aja, nggak apa-apa kalau itu sesuatu yang emang mengganggu kamu,” sambung Arion.

Utara tak membalas, ia kembali pada makanannya.

Skill masak aku semakin bertambah sejak cerai,” Arion kembali melanjutkan ceritanya, mencoba kembali mencairkan suasana. “Udah nggak pakai ART, dan aku berusaha memenuhi keinginan Lea kalau lagi pengin makan sesuatu. Berusaha buat nggak selalu beli. Walaupun kalau lagi capek, terpaksa beli.” Ia terkekeh.

“Lea pasti seneng banget punya papa kayak kamu.” Utara kembali menoleh, menatap Arion dengan serius.

“Udah aku bilang, kan? I can be your man and your daddy.

“Papaku dulu abusive. Suka mukulin Mama, aku, dan adikku kalau keinginannya nggak diturutin. Suka mabuk-mabukkan, main perempuan, dan nggak pernah sedikit pun ngasih nafkah ke kami.”

Baby ….” Arion turun dari stool-nya, bergerak lebih dekat dengan Utara untuk memutar stool yang perempuan itu duduki agar menghadap ke arahnya.

“Nggak apa-apa, dia udah pergi, nggak tahu ke mana. Mungkin sama selingkuhannya atau entah ke mana, aku nggak peduli. Tapi …,” Utara menarik napas sebelum melanjutkan, “tiga tahun lalu dia dateng lagi, nggak tahu dapet alamat rumah kami yang baru dari mana. Dia minta uang, ke Mama dan Nay. Aku nggak ada di sana karena kerja. Nay nggak kasih, akhirnya mukulin Mama, tapi beruntungnya, saat itu suami Nay—eum … sekarang udah mantan sih, dia yang lagi di kantor gerak cepet buat lapor polisi, terus polisi dateng, dan cowok brengsek itu akhirnya ditangkep.”

“Aku boleh tanya sesuatu?” Arion menatap dalam Utara.

“Tentu.”

“Sekarang dia di mana?”

I don't know.” Utara menggeleng. “Setelah kejadian itu, dia dipenjara, dan dapet peringatan buat nggak deketin kami lagi. Tapi masa depan nggak ada yang tahu, kan? Akhirnya kami pindah rumah lagi setelah Nay cerai dan dapet kerjaan baru, terus karena rumahnya cukup jauh dari kantorku, akhirnya aku terpaksa tinggal sendiri. Kejadian itu bikin Mama nggak mau pegang hape karena katanya takut dilacak sama cowok brengsek itu.”

“Kejadiannya waktu kamu nanganin kasus aku? Itu juga tiga tahun yang lalu, kan?”

“Nggak lama setelah aku nanganin kasus kamu. Kalau sebelum kejadian itu, aku mungkin nggak akan memenangkan kasus kamu atau kita nggak akan ketemu karena setelah itu aku agak nggak fokus dan lebih banyak ngambil kasus kecil. Walaupun sejujurnya, nama aku bisa naik dan dikenal sama publik kayak sekarang awalnya karena nanganin kasus kamu. Istri kamu—”

“Mantan istri, Tara,” potong Arion.

Utara terkekeh. “Iya, Mbak Rania itu kan model, jadi aku cukup banyak juga dimintain wawancara sama wartawan walau bukan pengacaranya.”

Arion mendengus. “Tapi bukannya yang bikin kamu dikenal banget tuh sekarang karena nanganin kasus penyanyi dangdut itu, kan?”

“Iya, karena itu juga. Dan karena tekad aku buat jadi terkenal. Sebab kalau aku dikenal banyak orang, punya power untuk melemahkan orang brengsek di depan publik, aku bisa secara nggak langsung ngancam si brengsek itu biar nggak balik lagi.”

Lelaki itu kemudian memeluk Utara, mengusap punggungnya dengan lembut. “Kamu hebat banget. Kamu keren. Kamu luar biasa. You know that?”

I know.”

Arion terkekeh. “Nggak salah aku suka sama cewek kayak kamu,” balasnya. “Aku nggak berharap hal ini terjadi lagi, tapi kalau misal kejadian itu datang lagi, kamu mau ngasih tahu aku nggak?”

Utara merenggangkan pelukan itu. Menatap Arion dengan cukup serius untuk beberapa saat sebelum ia menjawab dengan keyakinan penuh, “Aku bakal minta tolong kamu, Mas.”