— 140


Bukan kemeja atau blouse, bukan juga celana panjang seperti yang Utara pinta, melainkan sebuah dress sebatas lutut yang Arion bawakan untuk Utara pakai mengunjungi sang mama. Utara nyaris ingin memaki dan tak ingin memakai dress tersebut kalau saja kemeja yang sebelumnya ia pakai bekerja seharian itu tak kotor terkena tumpahan kopi di satu jam sebelum ia pulang.

“Mas, gimana aku bisa pakai dress ini buat ketemu mama kamu?!” Utara menatap tajam ketika Arion memberikan paper bag berisi pesanannya yang tak sesuai itu.

“Kenapa sama dress-nya? Kayaknya baik-baik aja.”

Utara memejamkan mata. Memang baik-baik saja. Bukan jenis dress ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang Arion suka itu, dress berbahan katun biasa berwarna hitam, tapi potongan lehernya cukup rendah, belum lagi dress itu tak berlengan.

Utara hanya bisa mendesah saat keluar dari mobil untuk kembali ke kantornya berganti pakaian, sementara Arion dan Elea menunggu di dalam mobil di parkiran. Dan ketika Utara sudah kembali lagi, betapa terkejutnya Arion melihat Utara membalut dress itu dengan sebuah blazer krem yang entah datang dari mana itu.

“Punya siapa?” tanya Arion begitu Utara sudah duduk di kursi penumpang di sampingnya.

“Punya junior aku,” ujar Utara seraya merapikan rambutnya dengan bantuan tangan dan kaca spion di mobil. “Untung dia belum pulang dan mau berbaik hati minjemin blazernya ke aku. Dan beruntungnya lagi, ukurannya pas.”

Arion terkekeh, membuat Utara menoleh dengan sebal.

“Besok-besok jangan begini lagi, ya, Mr. Janardana? Merepotkan.”

Arion masih tertawa, kini tangannya terulur untuk mengusap kepala Utara untuk mengusapnya lembut dan menariknya pelan agar ia bisa mengecupnya.

Awalnya, perlakuan semacam itu sangat Utara hindari saat ada Elea di depan mereka. Tapi setelah satu minggu penuh mereka tinggal bersama dan Elea sudah banyak melihat hal-hal yang sebelumnya sangat asing untuknya, ia jadi mulai terbiasa. Ketika papanya memeluk Tante Seksi, ketika papanya mencium kecil Tante Seksi ketika papanya membiarkan Tante Seksi berbaring di pahanya, atau sebaliknya. Atau ketika papanya terlihat sangat tak keberatan berbagi meja kerja yang sama dengan Tante Seksi.

Elea awalnya bingung. Tapi kemudian dengan kapasitas otaknya yang masih kecil itu ia berusaha mengumpulkan anekdot dari segala interaksi dan ucapan orang-orang terdekatnya. Bahwa mungkin Tante Seksi ini akan jadi mama barunya, istri papanya, dan yang akan memberikan adik untuknya. Sebab ketika Elea bertanya pada sang papa apakah ia menyukai Tante Seksi, papanya menjawab tanpa ragu, “Iya, Papa suka.”

Tapi sayangnya, ketika ia bertanya pada Tante Seksi apakah ia suka dengan papanya, Tante Seksi itu menjawab dengan agak ragu, “Belum.”

Jadi sepertinya kemunculan adik itu masih harus ditunda. Padahal Elea sendiri sudah tak sabar mengajaknya bermain bersama Alya dan Devan. Pasti seru banget.

Elea sendiri suka dengan Tante Seksi, karena Tante Seksi sekarang setiap pagi membantunya bersiap sebelum berangkat sekolah, mengikat rambutnya dengan gaya baru, menemaninya tidur walau setelah Elea terlelap, Tante Seksi selalu pergi meninggalkannya untuk pindah ke kamar sang papa. Tak apa, yang penting sarapan dan makan malamnya kini tak lagi hanya berdua dengan papanya, tapi ada Tante Seksi yang juga menemani mereka.

Tante Seksi tak bisa memasak seperti Tante Rika, tapi papanya bilang kalau perempuan tak harus selalu bisa masak, laki-laki pun bisa melakukannya, makanya papanya ini sangat pintar membuatkan ayam kecap untuknya, meski ayam kecapnya tak seenak buatan Tante Rika.

Elea benar-benar menyukai Tante Seksi, dan sepertinya Alya dan Devan juga menyukai Tante Seksi. Itu tak bisa dibiarkan. Ia tak mau berbagi Tante Seksi dengan siapa pun. Tante Seksi hanya untuknya!

“Mas,” panggil Utara sebelum mereka benar-benar turun dari mobil setelah sampai di sebuah rumah yang mereka tuju. Ia menatap Arion dengan raut tegang.

“Kamu tahu nggak? Aku belum pernah ngelihat ekspresi tegang kamu kayak gini, bahkan waktu sidang atau lagi ngehadepin media.”

Utara mendengus, ia memukul bahu lelaki itu.

“Aku bakal nyelametin kamu dari pertanyaan yang merujuk ke arah sana.” Arion bahkan sudah tahu apa yang akan Utara katakan. “Aku bakal di samping kamu terus.”

Utara menarik napas dalam.

“Berdebat sama pengacara lain atau hakim aja kamu berani, masa ngehadepin mama aku—iya, iya, oke ….” Arion langsung mengangkat kedua tangannya saat mendapat tatapan tajam dari Utara.

Setelah beberapa kali lagi Utara menenangkan diri, akhirnya mereka turun dari mobil bersamaan. Sebelumnya, Utara sudah mengajak Arion mampir untuk membeli buah-buahan untuk dibawa, meski Arion ngotot tak usah, tapi Utara berpikir rasanya tak enak kalau ia datang tanpa membawa apa pun. Walau berkali-kali Arion mengatakan kalau ini bukan pertemuan resmi, hanya pertemuan biasa. Anggap saja perkenalan singkat, dan Arion berkata mereka akan mengajak Utara pulang setelah makan malam.

“Akhirnya yang ditunggu datang juga!” seru seseorang dari dalam sana ketika Arion membuka pintu yang tak terkunci dan memanggil mamanya, serta Elea yang langsung berlari ke dalam.

Dengan rambut yang sudah seluruhnya memutih itu, perempuan yang dipanggil Nenek oleh Elea itu terlihat berdiri tegak dengan wajah tegas yang sudah lumayan dipenuhi kerutan, tersenyum ramah menyambut kedatangan Utara yang hanya bisa tersenyum kaku.

Mereka sudah pernah bertemu sekali di sidang pertama perceraian Arion dan Rania tiga tahun lalu. Tentu saja berinteraksi dengan cukup baik meski Utara lebih banyak mendengarkan wanita bernama Anwita ini mengeluh perihal menantunya yang buruk dan meminta Utara untuk memenangkan persidangan.

“Malem, Tante,” sapa Utara dengan senyum kaku tapi terlihat tetap manis. “Gimana kabarnya?”

“Baik …, baik ….” Anwita menyambut dengan sangat ramah. “Kamu gimana kabarnya? Makin cantik aja, deh. Lebih cantik daripada kalau Tante lihat di TV.”

Utara nyengir. “Makasih, Tante. Aku juga baik.”

“Yuk, masuk. Tante udah bikin makan yang enak buat kamu.” Anwita merangkul Utara untuk ikut masuk ke dalam bersamanya.

“Lea, cuci tangan dulu,” Arion memperingati Elea yang sudah lebih dulu duduk di kursi meja makan.

Bocah itu langsung menurut. Turun dari kursinya, berlari menuju pantri untuk mencuci tangannya di wastafel, diikuti oleh tiga orang dewasa di belakangnya.

Ada banyak makanan yang disajikan di atas meja itu yang tentu saja bukan hanya Anwita yang mempersiapkannya, tapi juga seorang asisten rumah tangga yang memang biasa membantu di rumah itu.

Meski tinggal sendiri, berjauhan dengan dua anaknya yang sudah punya keluarga masing-masing, Anwita tak pernah tinggal sendirian. Ia ada asisten rumah tangga yang tinggal bersamanya, membantunya mengurus rumah atau sekadar menemaninya mengobrol kalau sedang bosan. Ada tukang kebun yang seminggu sekali datang untuk merapikan halaman depan dan belakang, ada suster yang setiap akhir minggu juga datang untuk memeriksa kesehatannya atau kapan pun jika Anwita mengeluh ada yang tak beres dengan tubuhnya. Belum lagi teman-temannya yang suka mengadakan kegiatan ini dan itu yang nasibnya tak jauh berbeda dengannya, yaitu tinggal jauh dengan anak-anaknya.

Arion pernah berkata, kalau mamanya ini meski sudah berumur kegiatannya bisa lebih sibuk dari dirinya sendiri. Selalu punya kegiatan untuk mengusir rasa bosan, tapi ketika Arion mengajaknya tinggal bersama, Anwita menolak karena lebih senang bertemu dengan teman-temannya yang seumur daripada dengan anak-anaknya.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?”

Pertanyaan itu sudah cukup untuk membuat Utara tersedak. Ia terbatuk dan mungkin akan mati kalau tak buru-buru minum air yang Arion sodorkan.

“Ma,” tegur Arion.

“Mama cuma nanya, Ari. Kan biar jelas juga. Lagian, sekarang pacaran lama-lama udah nggak nge-trend. Kalau udah sama-sama cocok, kenapa nggak langsung nikah aja?”

“Iya, tapi—”

“Lea, kamu nggak nyuruh papamu cepet-cepet nikah sama Tante Tara?” Anwita memotong dengan menoleh pada Elea.

Bocah itu mengerjap bingung, menatap papanya dan Tante Seksi secara bergantian. “Tante Seksi bilang, menikah itu harus dua orang yang suka sama suka. Papa suka sama Tante Seksi, tapi Tante Seksi belum suka sama Papa. Jadi belum bisa menikah, belum bisa kasih aku adik kayak Devan juga.”

Utara kembali terbatuk.

Anwita agak terkejut juga dengan jawaban Elea, tapi kemudian ia tersenyum lembut. “Kamu udah pengin punya adik, ya?”

“Iya!” Elea berseru dengan sangat bersemangat.

“Tuh, denger, kan?” Anwita kembali menatap Arion dengan agak galak. “Mama nggak maksa kalian, tapi udah seharusnya kalian mikirin hubungan ini lebih serius, daripada sekadar main-main. Jangan suka buang-buang waktu buat hal yang nggak jelas dan nggak penting. Buat pengacara, waktu itu berharga banget, kan?” Ia balik menatap Utara. “Jadi kalau udah sama-sama nemuin kecocokan, lebih baik mulai bicarain ke arah yang lebih serius.”

Arion sudah akan menjawab, tapi Utara lebih dulu menyambar, “Iya, Tante. Makasih nasihatnya.”

“Tante ngerti banget kondisi kamu walau cuma denger sedikit dari Ari. Tapi bukan berarti apa yang terjadi di sekitar kamu, bakal terjadi juga sama kamu. Hubungan Tante sama papanya Ari juga nggak berjalan lancar, kami cerai. Ari juga bernasib sama, tapi Difa, adiknya Ari sekarang bahagia sama pernikahannya, sama kedua anaknya.” Anwita tersenyum pada Utara. “Nggak semuanya buruk, Tara. Hal baik itu pasti ada. Kamu cuma harus yakin kalau hal baik itu akan menghampiri kamu, maka rasa takut itu nanti bakal hilang dengan sendirinya. Percaya sama diri kamu, percaya sama orang yang mencintai kamu. Itu kuncinya.”

Utara langsung menoleh pada Arion. Persis sekali seperti yang Arion selalu katakan padanya.

“Nah, Lea,” Anwita kembali lagi pada si bocah. “Mulai sekarang jangan panggil Tante Tara dengan Tante Seksi, nggak sopan!” Ia menatap Elea, membuat bocah itu cemberut. “Panggil Mama, atau tanya Tante Tara maunya dipanggil apa. Ibu? Bunda? Atau apa?”

Keterkejutan itu ternyata masih berlanjut. Utara sepertinya tak diizinkan makan dengan tenang, meski Arion sendiri sudah susah payah menyembunyikan senyumannya. Ia menatap anak perempuannya untuk memberi dukungan agar bicara seperti yang neneknya suruh tadi.

“Tante Seksi mau aku panggil apa?” tanya Elea dengan suara pelan. “Aku udah punya mama …. Maksud aku, aku mau mama baru, tapi aku takut bingung kalau panggil Tante Seksi pakai Mama juga. Tapi kalau—”

“Gimana kalau Bunda?” Arion memotong, menatap Elea dan Utara secara bergantian.

“Bunda Seksi?”

“Lea!” tegur Anwita, sementara Arion sudah terkekeh.

“Iya …, Bunda aja.”

“Gimana, Tara?” tanya Anwita.

Utara menatap dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan hangat yang tak biasa ia rasakan di dalam dadanya saat ini. Dan tanpa sadar itu membuatnya meneteskan air mata.

Baby, what's wrong?” tanya Arion dengan agak panik. “Kamu nggak suka?”

Utara mengerjap, ia menatap Arion. “Aku … eum … suka. Iya, nggak apa-apa. Bunda. That's good.

Senyum Arion mengembang. Ia lantas memeluk Utara seketika, mengabaikan mamanya yang langsung berdeham keras.

“Jadi, mulai sekarang nggak ada Tante Seksi lagi, oke?” Arion berbicara pada Elea. “Adanya Bunda.”

Elea mengangguk. “Kalau aku lupa?”

“Jangan lupa. Harus dibiasain.”

“Papa bakal marah?”

“Papa nggak akan marah. Papa marah kalau kamu nakal sama Tante—maksudnya Bunda.”

“Iya ….”

Arion tersenyum lagi. Di bawah meja, tangannya meraih tangan Utara, meremasnya lembut seraya melayangkan senyum hangat pada perempuan itu.

***

Seharusnya Utara sudah bisa menebak kalau Arion tidak akan benar-benar mengajaknya pulang setelah selesai makan malam, atau Anwita yang mengizinkan mereka pulang begitu saja setelah selesai, lagi pula ini rumah mama Arion, bukan rumah makan yang ditinggal setelah selesai. Jadi, ketiga Anwita menyuruh mereka menginap dan Arion seperti tak punya niat untuk melawan mengiakan begitu saja meski mereka besok harus ke kantor dan Elea harus sekolah.

“Aku udah bawa baju buat besok, kamu nggak perlu khawatir,” begitu ujar Arion.

“Jangan-jangan kamu udah rencanain ini.” Utara menatap galak.

“Bukan merencanakan, tapi emang berharap. Jadi aku jaga-jaga.”

Utara mendesah. Ia melipat tangannya di depan dada.

“Kamu cocok pakai baju Mama gitu.” Arion memperhatikan Utara yang memakai baju milik Anwita untuk istirahat nanti setelah ia mandi tadi.

“Bahannya juga enak, adem. Di rumah juga aku suka pakai baju Mama, suka rebutan sama Nay kalau Mama bilang mau ngasih baju lamanya ke anaknya.” Perempuan itu terkekeh.

Mereka sedang di halaman belakang sekarang. Anwita menyuruh Arion tidur di kamar yang biasa dipakai Difa kalau datang, dan Utara menempati kamar Arion yang dua-duanya ada di atas, sedangkan Elea akan tidur dengan sang nenek di kamar bawah. Dan Utara sudah bisa menebak meski Arion mengiakan aturan itu, Arion juga yang akan melanggarnya.

So …, are you happy?” tanya Arion seraya menangkap tubuh yang lebih kecil darinya itu dari arah belakang. Mendekapnya.

“Mas, nanti mama kamu ngelihat,” bisik Utara, berusaha melepaskan diri.

“Biarin aja. Nggak apa-apa, Mama juga pasti ngerti.”

“Mas ….”

“Pertanyaan aku belum dijawab lho.”

Utara akhirnya diam. Ia memegang dua tangan besar yang mengurung tubuhnya itu, menyandarkan kepalanya pada pundak Arion.

Baby …,” panggil Arion.

“Aku seneng.”

“Sama panggilan baru yang Lea kasih? Suka?”

Utara mengangguk malu-malu. “Terdengar aneh buat aku, tapi … aku nggak nyangka kalau aku bakalan suka.”

“Kamu bakal dengan cepat terbiasa.” Arion menaruh kepalanya di pundak Utara. “Jadi, aku udah boleh minta belum?”

“Minta apa?” Mata Utara membelalak. “Ini di rumah mama kamu, ya. Jangan aneh-aneh.”

Arion terkekeh. “Mikir apa, sih? Emangnya aku semesum itu, ya?”

“Kamu nggak nyadar?”

“Coba, siapa yang bikin aku begitu?”

“Siapa?”

“Jangan pura-pura nggak tahu, ya, Mrs. Janardana.”

“Mrs. Janardana?” Utara menoleh ke samping sampai hidungnya nyaris bersinggungan dengan pipi Arion.

Isn't it you, Baby?” Arion ikut menoleh juga, membuat wajah mereka kini sangat dekat hingga bisa hanya dengan sekali gerakan kecil, dua bibir itu akan bersentuhan. “Soon …, right?” ia menambahkan.

Utara tersenyum, lalu ia yang pada akhirnya berinisiatif untuk melakukan gerakan kecil itu sampai membuat bibirnya menyentuh bibir Arion. Hanya berniat untuk memberikan kecupan kecil, tapi ia lupa kalau lelaki yang sedang ia hadapi ini adalah Arion Janardana yang tak mengenal arti kecupan kecil. Arion dengan cepat menahan bibir Utara agar tetap berada di sana ketika ia mulai bergerak menyapu lembut.

Dan mungkin akan berlanjut jadi sesuatu yang menuntut kalau Utara tak lebih dulu menarik diri.

“Tuh, kan, apa aku bilang? Mintanya kamu tuh mesum.”

Arion mendengus. “Tuh, kan, apa aku bilang? Yang bikin aku mesum itu kamu. Yang mulai duluan siapa?”

“Aku mau makan kamu.” Utara menggigit bibir bawahnya.

“Ini di rumah Mama.”

“Kalau tadi kita pulang, aku mungkin udah makan kamu.”

Arion terkekeh pelan. “Kita masih punya besok, besok, dan besok lagi, besoknya lagi, besok terus. Kamu bisa makan aku kapan pun kamu mau.”

“Kamu nggak mau makan aku?”

“Kamu serius nanya?” Arion menatap Utara, keningnya berkerut. “Sekarang pun aku pengin makan kamu. Aku lagi mencoba menahan diri.”

“Aku harus lihat sekuat apa pertahanan diri kamu itu.”

“Udah aku buktiin sejak pertama kali kita ketemu, setelah kamu pindah ke samping unit apartemen aku.” Arion mendengus. “Kamu tahu, kan, sekuat apa pertahanan diri aku waktu aku gantiin baju kamu yang penuh muntahan, dan kamu yang tiba-tiba nyerang aku buat cium aku. Itu ciuman pertama aku setelah tiga tahun. Kamu tahu?”

Utara terkekeh. “Tapi aku nggak nyesel udah rampas your first kiss itu. Kalau aku nggak gitu, kamu nggak akan ngejar-ngejar aku sebegininya, dan aku nggak akan pernah dapet perlakuan manis sebegininya dari kamu. Iya, kan?”

“Oke …. Jadi, kapan aku bisa dapet pengakuan kamu? Itu permintaanku. Your confession.”

Kali ini Utara dia, ia menatap lurus ke depan, meninggalkan mata Arion. Tak tahu harus menjawab apa.

Arion sendiri tak banyak berharap, asal ia tahu kalau Utara sudah jatuh cinta padanya, itu sudah cukup. Ia tahu bagaimana Utara, ia tahu perasaan perempuan itu, dan ia tak bisa memaksakan. Membuatnya jatuh cinta padanya saja sudah sebuah pencapaian mengingat bagaimana Utara begitu keras perihal cinta yang menjijikan dan lelaki yang brengsek di awal. Arion sudah bisa berbangga diri karena mampu melunakkan perasaan seorang Utara Pradita dengan segudang trauma yang dimilikinya. Ia hanya perlu sabar sedikit lagi kalau memang benar-benar menginginkan pernyataan nyata dari mulut Utara.

It should be love, right?” Utara tiba-tiba berbicara. “Soal perasaan aku.” Ia kembali menoleh pada Arion.

Lelaki itu melepas pelukannya, menegakkan tubuhnya, memutar tubuh Utara agar menghadap ke arahnya. Dan ketika mata mereka sudah saling bertatapan, Arion bertanya, “Apa yang kamu rasain sama aku?”

“Aku nyaman. Aku ngerasa dilindungi banget. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku suka semua perlakuan yang kamu kasih ke aku. Aku selalu pengin deket kamu. Tapi aku takut ….”

“Takut kenapa?”

“Takut kamu nyakitin aku.”

Are you trust me, Baby?”

I trust you,” Utara menjawab dengan yakin.

“Kalau gitu, nggak ada masalah lagi yang harus kamu hadapin. Aku nggak akan nyakitin kamu, aku nggak akan jadi cowok brengsek yang kamu benci itu. I won't be like that, karena aku udah pernah digituin sama orang lain dan aku tahu gimana rasanya.”

Utara tak membalas.

Are you happy with me, Baby?” tanya Arion lagi.

Of course.

So, it should be love.” Arion tersenyum penuh kelembutan. Sebelah tangannya berada di pinggang perempuan itu, sementara tangan lainnya memainkan helai rambut Utara sembari matanya tak lepas untuk menelusuri setiap pahatan wajah cantik Utara.

Lama mereka terdiam sampai akhirnya satu kalimat itu terlontar dari bibir Utara, yang meski pelan tetap bisa ditangkap dengan baik oleh telinga Arion.

I love you.”

Yeah, it should be love.

I love you more,” balas Arion.

Itu seharusnya cinta.

selesai.