— 128


Seolah sudah lama tidak bertemu, dan seakan dua teman yang saling merindu, Utara sudah gugup sejak ia berada di dalam lift untuk menyusul Erika di lobi apartemennya. Dan ia langsung melompat keluar begitu sampai dan pintu lift itu terbuka. Tak perlu waktu lama untuknya menemukan seorang wanita yang sedang hamil dengan satu anak perempuan yang digandengnya di tangan kanan, dan satu anak laki-laki di strolernya.

“Rika!?” Utara berseru nyaring. Ia berlari saat matanya sudah bersirobok dengan mata Erika dan temannya itu memberi senyuman kecil.

Ia datang memeluk erat Erika, lalu begitu saja menumpahkan tangisannya di bahu perempuan itu seakan sudah direncanakan dan seakan ada keran air yang bocor yang membuat air matanya mengalir deras. Semua perasaan itu tumpah dalam satu pelukan rindu. Rasa marah, sedih, kasihan, terluka, dan juga rindu itu bercampur jadi satu dalam pelukan hangat. Tak peduli satpam lobi, penjaga resepsionis, petuga kebersihan atau penghuni apartemen yang lewat melihat mereka, Utara dan Erika berpelukan sambil menangis, membuat Alya yang tangannya harus dilepas sejenak oleh sang mami merasa panik dan mulai menangis.

Kenapa Mami dan Rich Aunt-nya ini menangis? Apakah ia ada salah?

Dan karena tangisan Alya, mereka harus melepaskan pelukan dan berhenti menangis untuk saat ini, mereka bisa menyambungnya nanti jika sudah berada di tempat Utara.

“Kenapa nangis?” tanya Erika. “Mami sama Tante Tara nggak apa-apa.” Ia memeluk Alya, mencoba untuk menghentikan tangisan anaknya.

Utara terkekeh. “Ya udah, yuk. Ke tempat gue.” Ia mengambil alih stroler Devan, dan mendorongnya menuju lift sementara Erika mengurus Alya yang mulai berhenti menangis.

“Gue terlalu banyak nangis akhir-akhir ini, dan Alya suka lihat,” bisik Erika saat mereka sudah ada di dalam lift. “Awalnya mungkin karena ngerasa gue ngomelin dia dan bikin pusing karena dia makanya sampai nangis, tapi gue rasa akhir-akhir ini mulai ngerti kalau gue nangis bukan karena hal itu lagi. Tapi karena sesuatu yang menyakitkan buat gue.”

Utara menarik napas. Ia belum sanggup untuk membahas hal itu, tapi tahu bahwa ia perlu membicarakannya dengan Erika. “Lo tadi pulang dulu ke rumah?”

Erika mengangguk. “Ngambil barang-barangnya anak-anak, buku sama keperluan sekolah Alya yang lain, minggu depan dia mulai masuk sekolah lagi, cukup seminggu aja deh liburnya.” Ia nyengir.

“Nggak apa-apa, lo bisa tinggal di tempat gue buat sementara waktu sampai kita dapet titik terangnya, minimal sampai lo lahiran. Gue nggak keberatan sama sekali.”

“Karena lo bakal tinggal sama Mas Ari?” bisik Erika, membuat Utara melotot tajam.

“Nanti kita makan malem di tempatnya, sekalian biar Alya ketemu sama Lea.”

“Yang itu, ya, tempatnya?” Erika melirik ke arah samping di mana pintu unit apartemen Arion berada.

Utara hanya bergumam singkat, sedang sibuk memasukkan digit password pintu unit apartemennya sendiri.

“Orangnya ada di rumah?” tanya Erika lagi setelah pintu berhasil dibuka.

“Ada. Gue bahkan habis dari sana sebelum lo ngabarin kalau lo udah sampai lobi tadi.” Utara berjalan lebih dulu sembari mendorong stroler Devan masuk ke dalam. “Masih berantakan, gue udah nyuruh orang buat beresin, cuma baru bisa weekend nanti.”

Erika menatap ke sekeliling. “Kenapa nggak gue aja yang beresin?”

“Gue nggak mungkin nyuruh lo beresin semua ini, ya. Dengan kondisi lo harus jaga anak kecil dan lagi hamil.” Utara menatap galak.

“Tapi ini nggak seberapa, Tar.”

“Udah, lo jangan sentuh apa pun. Nyokap gue aja gue omelin kalau berani beresin barang-barang gue. Lagian, sebenernya gue udah nyuruh dari minggu lalu, cuma gara-gara minggu lalu gue balik ke rumah Mama, jadinya nggak jadi dan baru bisa minggu ini.”

Erika mendesah. Ia kemudian duduk di sofa dengan perasaan yang jauh lebih lega dan nyaman.

“Mana kunci mobil lo,” pinta Utara. “Biar gue aja yang ambil barang-barang lo di mobil.”

“Tante, katanya aku mau ketemu Lea,” Alya menatap Utara dengan penuh harap.

Utara terkekeh. “Iya. Nanti kita ketemu sama Lea, habis ini. Kita ngobrol dulu, oke? Mau nonton TV aja?”

Alya mengangguk, lalu Utara menghidupkan televisi yang baru satu kali ia hidupkan selama tinggal di sana, mengubah tontonan ke acara kartun, membuat dua bocah itu langsung duduk dengan tenang menonton selama dua orang dewasa di atas sofa mengobrol dengan serius dan penuh tumpahan perasaan.

“Jadi, gimana?” Utara hanya bertanya begitu, tapi air mata Erika langsung kembali menetes, lalu turun dengan deras, namun ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara agar anak-anaknya tak mendengar selama ia menangis.

Utara mendekat, merengkuhnya, dan ia pun ikut menangis tanpa alasan jelas, mungkin hanya satu yang pasti bahwa rasa sakit yang Erika kini rasakan, juga ia rasakan, ditambah perasaan marah dan kesal.

“Masih inget perjalanan dinas Mas Dito yang waktu itu nggak? Waktu lo pertama pindah ke sini,” Erika memulai bercerita. “Kenapa ya waktu itu gue percaya aja kalau ada perjalanan dinas yang makan waktu dari weekend?” Ia mendesah. “Tapi mungkin emang udah harusnya begitu. Sepulang dari dinas itu, gue masih belum ada curiga apa pun sama Mas Dito, sampai gue cium pakaian kotornya yang sebagian wangi parfum perempuan. Gue tahu wangi parfum Mas Dito, gue bahkan tahu aroma tubuhnya, jadi gue bisa tahu kalau itu bukan parfumnya dan wangi parfum perempuan sama laki-laki jelas beda.

“Gue coba buat berpikir positif aja, dan lagi-lagi karena emang kayaknya udah harus ketahuan, gue nggak sengaja lihat ada chat masuk dari satu kontak yang dinamain nama cowok, tapi pas gue coba buka isi chatting-annya kayak bukan sama cowok. Mesra banget, panggil-panggil sayang, dan yang paling penting ada history chat soal booking hotel dan pesawat di tanggal yang sama dengan tanggal dinas Mas Dito.” Tangis Erika pecah, ia tersedu-sedu dalam rangkuman Utara. Utara berusaha untuk tidak membuat Erika melanjutkan ceritanya, namun Erika tetap ingin menuntaskan semuanya, segala apa yang ia pendam selama ini.

“Terus semakin gue scroll, semakin … bikin gue ….”

“Udah. Stop. Gue nggak mau tahu lebih lanjut,” Utara menahan amarahnya. Kalau lelaki itu ada di hadapannya saat ini juga, ia mungkin sudah mendangnya, menonjoknya, atau bahkan membunuhnya.

“Dia temen kantor Mas Dito, dan gue kenal. Gue bahkan pernah ketemu di acara kantor gitu sama dia, sempet kenalan juga,” Erika masih melanjutkan.

“Terus tadi lo ketemu nggak sama si brengsek itu?”

Erika menggeleng. “Dia kan ngantor ….”

“Oh, iya. Gue lupa.” Ia nyengir, dan itu cukup untuk mencairkan suasana. “Tapi dia tahu lo mau ke sini?”

Erika kembali menggeleng. “Dia nggak ngasih kabar gue sejak gue ninggalin rumah.”

Utara menggeram sebal. “Tenang aja, gue bakal kasih pelajaran ke dia. Gue bakal bikin dia bayar banyak ke lo. Lo nggak usah mikirin dia lagi, sekarang lo pikirin aja diri lo sendiri dan anak-anak lo.”

“Tapi gue bingung gimana jelasin ini sama anak-anak nanti.”

“Pelan-pelan, Rika. Pelan-pelan. Mereka pasti ngerti. Mereka bakal lebih seneng lihat lo pisah dari si brengsek tapi bahagia, daripada lo tetep sama si brengsek tapi lo menderita. Nggak ada satu anak pun yang mau lihat mamanya menderita.”

Erika menatap Utara sejenak sebelum ia memeluk temannya itu, lalu berbisik dengan penuh perasaan, “Thanks, Babe …. Gue nggak tahu akal jadi kayak apa kalau nggak ada lo. Makasih banget.”

“Gue juga makasih sama lo karena udah ngambil keputusan yang terbaik buat lo sama anak-anak lo. Makasih banget karena lo masih mau bahagia dengan cara yang mungkin buat sebagian orang menyakitkan dan pastinya nggak gampang. Makasih udah bertahan sejauh ini, dan terus bertahan sampai akhir.”

Mereka menangis, dengan tanpa sadar kalau Devan sudah berdiri menghadap mereka, meninggalkan tontonan kartunnya untuk melihat dua orang dewasa itu menangis bersamaan.

Erika yang pertama kali melihat langsung terkekeh dan menarik bocah itu untuk duduk di pangkuannya, mengusap air mata dan ingusnya menggunakan tisu yang Utara sodorkan.

“Lo sendiri …, gimana?” tanyanya pada Utara. “Sorry, kejadian yang menimpa gue bikin lo tambah nggak percaya cinta sama cowok, ya?”

Utara meringis.

“Tapi gue rasa Mas Ari berhasil ngeyakinin lo,” katanya dengan percaya diri.

“Kenapa lo bisa seyakin ini?”

“Lo sadar nggak sih kalau lo tuh beda tiap kali lo ngomongin soal Mas Ari?”

Utara diam, memikirkan dirinya sendiri.

“Kayak kemarin waktu lo bilang kalau lo kesel sama dia, tapi ada aja yang bikin lo tuh terlihat kalau dia emang udah jadi seseorang spesial di hati lo.”

“Apa, sih?” Utara berusaha mengelak. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil air dingin karena baru sadar selama mereka di sana, ia belum menyuguhkan apa pun untuk Erika dan anak-anaknya.

Babe, jujur aja deh sama gue. Lo udah suka kan sama Mas Ari?” Erika bertanya dengan serius, dan Utara memikirkan itu dengan serius juga. Untuk pertama kalinya dia memikirkan hal ini dengan serius. “Lo mau tinggal bareng sama dia bukan karena lo butuh penghangat tiap malem atau manasin ranjang aja. Tapi karena lo mulai nggak tahan kalau lo terlalu lama jauh dari dia. Lo mulai pengin dia ngelindungi lo, pengin ngerepotin dia terus, pengin dia manjain lo, pengin dia ngasih kabar terus ke lo. Iya, kan? Intinya sangat bertolak belakang dengan perasaan lo sebelum ini.”

Utara kembali dengan teko berisi air dingin dan gelasnya. Juga permen susu untuk Alya dan Devan karena baru sadar kalau ia tak punya apa pun di dalam kulkasnya. Beli makanan banyak pun ia bawa semua ke tempat Arion, ditaruh di dalam kulkas lelaki itu. Karena berpikir bahwa ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di sana daripada di sini.

Apa ini ada hubungannya dengan yang Erika katakan barusan.

Utara kembali duduk di samping Erika, memakan permennya sembari menatap televisi di depan, namun pikirannya masih menerawang ke jauh, ke dalam perasaannya. “Gue …,” ia memulai. “Gue mulai takut kalau Mas Ari jadi salah satu cowok brengsek di hidup gue. Gue bukan lagi takut sama cowok, tapi gue takut kalau cowok ini … berubah jadi cowok brengsek yang gue takutkan.”

Senyum Erika kemudian mengembang besar. “Itu karena lo suka sama dia. Lo cuma mau dia yang baik, bukan dia yang buruk. Lo takut dia berubah nyakitin lo karena lo mulai nyaman dengan semua perlakukan manis yang dia kasih ke lo.”

Utara kembali termenung lama sampai kemudian ia menoleh pada Erika dengan perasaan yang campur aduk. Ia berujar, “Iya …, gue takut kehilangan Mas Ari.”