— 83


Jidan mengatakan pada Sabria untuk mengirimkan soal PTS yang dibuatnya sebelum akhir pekan, dia juga meminta maaf berkali-kali karena mengerjakan hal itu dengan sangat lambat dibandingkan guru-guru yang lain. Meski Sabria beserta beberapa guru lainnya mengatakan pada Jidan bahwa itu bukan masalah besar sebab mereka paham kondisi Jidan yang baru mulai mengajar, sudah harus diberi tugas membuat soal padahal banyak pekerjaan lain yang harus dikejarnya karena Jidan masuk di pertengahan semester.

Di minggu terakhir mengajar, sepulang sekolah, Jidan yang biasa tidur siang untuk memulihkan energinya yang habis kini langsung membuka kembali laptopnya dan memeriksa ulang soal yang dibuatnya. Soal itu harus sama dengan pelajaran yang sudah diberikan selama beberapa bulan ini, kalau melenceng sedikit saja, biasanya para murid akan melakukan protes yang nantinya berimbas pada kegaduhan orangtua murid di forum terbuka sekolah. Mereka para guru benar-benar harus berhati-hati.

Sebelum di Bina Bakti, Jidan mengajar di sekolah swasta lain sebelum memutuskan berhenti setelah tahun ajaran tersebut habis. Dia menganggur lebih dari satu semester sebelum akhirnya bisa bekerja di Bina Bakti, itu pun berkat dukungan yang tak henti Sadewa dan dokternya berikan.

Tahun lalu, kondisi Jidan memang bisa dikatakan yang terburuk dari tujuh tahun terakhir setelah dokter sudah mengatakan bahwa sudah membaik. Sepuluh tahun berlalu sejak kejadian tersebut, Jidan belum bisa melupakan—memang tidak bisa dilupakan, namun dokter mengatakan bahwa bagaimanapun Jidan harus menerima, harus memaafkan dirinya sendiri, harus bisa berpikir bahwa kematian kedua orangtuanya bukan salahnya.

Jidan membenci dirinya sendiri lebih dari apa pun. Semua hal tentang kejadian itu seolah menghantamnya secara betubi-tubi, tidak kenal kata ampun, tidak kenal waktu, tidak pernah lekang oleh waktu. Dan tahun lalu, hukuman itu kembali menghantuinya. Membuatnya tersekat, seperti kehilangan arah, dipaksa mundur ke belakang, dan yang paling parah kehilangan motivasi untuk tetap hidup lebih lama.

“Jidan, kamu harus pikirkan adik kamu—”

“Adik saya kehilangan orangtuanya karena saya, Dok,” potong Jidan saat untuk yang kesekian kalinya datang menemui seorang dokter psikologi yang menangani kasusnya.

“Tapi, apa kamu nggak pernah memikirkan bagaimana kalau dia kehilangan kamu juga?”

Satu hal yang membuat Jidan berhenti berpikir untuk mati. Lama dia menatap Sadewa setelah itu. Wajah lelahnya, kantung mata yang menggelap, tatapan iba, raut khawatir, semuanya berpadu menjadi satu, berdiri cemas di hadapannya. Dia sudah melihat bagaimana anak itu menangis meraung-raung saat orangtua mereka pergi, tapi dia juga sudah melihat bagaimana anak itu menangis histeris saat harus menemukan sang kakak lemas tak berdaya bersimbah darah.

“Begini saja, bagaimana kalau kita ubah aturannya?”

Jidan menatap sang dokter penuh tanya. “Kalau kamu nggak mau hidup untuk diri kamu sendiri, hiduplah satu hari lagi untuk orang yang kamu sayang.”

“Satu hari?”

“Iya, satu hari. Kalau di hari itu kamu masih sayang sama dia, kamu harus hidup satu hari berikutnya. Begitu terus sampai kamu rasa kamu nggak sayang lagi sama orang tersebut.”

Satu hari itu kini sudah berjalan berbulan-bulan, nyaris satu tahun. Tanpa percobaan bunuh diri, tanpa berpikir untuk mati, tanpa berpikir untuk pergi meninggalkan. Satu hari yang kemudian terkepang rapi menjadi satu untaian yang meski bentuknya jelek, Sadewa akan jadi yang paling mengapresiasi hal tersebut. Sadewa pula yang sangat senang ketika Jidan mengatakan bahwa dia ingin kembali mengajar, meski kemudian melarang karena jarak sekolah tersebut sangat jauh sehingga mereka harus tinggal terpisah.

Tapi apa boleh buat? Sadewa akhirnya menyetujui dengan syarat, Jidan harus memberi kabar setiap hari. Tentang kegiatannya, tentang makanan yang dimakannya, juga tentang obat yang rutin dikonsumsinya. Juga karena pesan dokter padanya, bahwa Jidan memang harus melihat dunia di luar lingkungannya selama ini. Dia harus bertemu dengan lebih banyak orang yang mungkin di antaranya akan berhasil membuat Jidan benar-benar sembuh dari traumanya.

Pintu tiba–tiba diketuk ketika Jidan tengah begitu serius mengecek soal-soal di layar laptopnya. Dan baru juga Jidan menoleh untuk menebak siapa kiranya yang mengetuk pintu kamarnya di sore hari begini, pintu itu sudah langsung terbuka, dam seseorang yang sangat tidak dia harapkan untuk muncul begitu saja menerobos masuk tanpa permisi. Kepalanya langsung sakit.

“Pak Guru!!!” serunya dengan berisik. Ini belum akhir pekan, tapi Jidan sudah menemukan Gladys di kostan saat dia pulang mengajar, padahal biasanya perempuan itu baru tiba saat sore atau malah malam hari. Jidan menemukan Gladys sedang berkutat di dapur, tidak berniat bertanya, tapi dia terlihat sedang membuat sesuatu dan mengatakan kalau dia hari ini tidak ke kantor karena harus ke kampus.

Jidan tidak peduli. Dan untuk apa juga dia peduli?

Jidan benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bertanya atau mengeluh soal kehadiran Gladys di sana. Sebab perempuan itu langsung menyerbu tempatnya, menaruh sebuah piring yang dibawanya, lalu berkeliling dengan tidak sopan.

“Gadis, kamu ngapain?” tanya Jidan, mengikuti langkah kaki Gladys yang mulai menyusuri meja kerjaannya.

“OH, Pak Guru lagi kerja?” dia bertanya saat melihat laptop Jidan yang masih terbuka.

“Gadis ….” Jidan mulai sebal.

“Ini Pak Guru sama Dewa?” Perempuan itu mengambil satu bingkai foto yang ada di atas meja. Foto Jidan dengan Sadewa beberapa tahun lalu ketika Sadewa lulus SMA.

Jidan langsung merebut foto tersebut tanpa pikir panjang, namun Gladys sudah memegang bingkai foto yang lain. Kali ini foto dia dan Sadewa ketika masih kecil. Jidann jug laantas mengambill foto itu dari tangan Gladys, tapi secepat kilat pula Gladys sesudah memegang bingkai foto lain, bingkai foto terakhir yang ada di meja tersebut, foto Sadewa ketika masih balita.

“Ini siapa?” tanya Gladys, seraya menempelkan foto tersebut ke sisi wajah Jidan sebagai perbandingan, untuk mencari tahu jawabannya sendiri. “Nggak mirip,” katanya.

“Gadis, tolong balikin,” pinta Jidan degan amarah yang berusahaa untuk terus diredamnya.

Tapi bukan Gladys namanya jika tidak membuat Jidan kesal. Iya, kaan? Ketika Jidan hendak merebut bingkai foto itu, Gladys dengan cepat menghindar, kembali menatap foto tersebut dengan sangat serius.

“Mirip siapa, ya?’ dia berpikir keras.

“Gadis, tolong ….”

Perempuan itu kemudian menyerah dengan wajah cemberut. Dia mengembalikan bingkai foto tersebut pada Jidan.

Saat Jidan merasa penderitaannya akan berakhir, Gladys justru memegang hal lain sebagai mainannya. Perempuan itu menyentuh–sentuh buku-buku miliki Jidan yang tersusun rapi di sana, dia bahkan tak tanggung-tanggung untuk duduk di kursi putar yang baru sampai kemarin sore. Dibelikan oleh Sadewa dan langsung dikirim ke kostan. Jidan curiga bocah itu mendapat alamat dari Reza karena setiap dia memintanya pada Jidan, Jidan tak memberikannya.

“Uuuu …, kursinya enak banget. Tanyain Dewa dong beli kursinya di mana, gue mau juga.” Dia memutar-putarnya, membuat Jidan seketika pusing.

“Gadis, saya mohon pergi.”

“Kenapa, sih? Gue cuma mau lihat-lihat doang kok.” Perempuan itu cemberut.

“Iya, tapi ….”

“Ya udah, ya udah ….” Gladys bangkit dari kursi itu, nyaris membuat Jidan mengembuskan napas lega kalau saja perempuan itu tidak menemukan tempat bermain lain. “Tapi bohong.” Dengan senyum lebar, dia menghempaskan tubuhnya ke kasur Jidan yang sangat rapi, berguling-guling di sana, mengacak-acak selimut, bantal, dan guling.

Amarah Jidan sudah semakin memuncak. Dia menaruh bingkai foto yang dipegangnya ke atas meja, lalu berjalan menghampiri Galdys. Sekali lagi berujar, “Gadis, sekali lagi saya bilang, tolong keluar dari kamar saya!”

Gladys menatap serius, namun sedetik kemudian tertawa meledek sampai akhirnya kesabaran Jidan hilang, dia menarik paksa perempuan itu untuk pergi dari tempat tidurnya, membuat Gladys berontak, meronta kesakitan.

“Ya, gak usah kasar dong. Bisa nggak!?” suara Gladys melengking tak terima. Dia menatap tajam Jidan di hadapannya setelah lelaki itu melepas pergelangan tangannya yang tadi dia tarik untuk pergi dari tempat tidur itu.

“Saya udah minta kamu secara baik-baik tadi, kamu nggak denger.”

“Tapi nggak usah kasar sama perempuan! Sakit tangan gue, Bego!”

Jidan melongo mendengar kata kasar yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu. Meski bukan pertama kalinya dia mendengar Gladys bercap kata-kata kasar, tapi yang kali ini terasa beda. Benar-benar seperti ditujukan langsung padanya, menghapus hatinya, menyakiti perasaannya. Dia masih punya sedikit kesabaran untuk tidak mendorong perempuan itu sampai benar-benar keluar dari kamarnya.

“Gue tuh cuma mau ngasih ini!” Gladys menunjukkan piring yang dibawanya, berisi bakso goreng yang sangat merekah yang tadi dibuatnya.

“Saya nggak butuh itu, saya cuma butuh kamu keluar dari kamar saya sekarang.”

“Ini gue bikin susah payah, lo tolak juga?”

“Gadis, saya mohon ….”

“Ya, ini ambil dulu. Buat lo ngemil atau—”

“Gadis!” Seperti kehilangan kesadarannya, Jidan menepis piring itu dari tangan Gladys, membuatnya terpelanting ke bawah, menimbulkan suara nyaring pecahan piring keramik yang memekakkan telinga. Piring itu pecah, bakso goreng itu berhamburan di lantai, dan saus pedasnya mengotori sekitar.

Mulut Gladys menganga, dia bahkan sampai menutup telinganya dengan tangan ketika piring itu pecah, kemudian menatap Jidan dengan semburan amarah yang luar biasa. “KALAU NGGAK MAU TUH YA UDAH, NGGAK USAH PAKAI DIBANTING! NGGAK BISA NGEHARGAIN BANGET USAHA ORANG, YA!?”

Jidan panik, seketika dia kembali kepada kewarasannya yang hilang.

“DASAR GURU SINTING! NGGAK BISA NGEHARGAIN ORANG DAN MAINNYA KEKERASAN!” bentaknya sekali lagi sebelum pergi dari sana, berjalan kesal ke arah kamarnya, dan membanting pintu dengan kencang.

Saat itu Jidan hanya bisa mematung di tempatnya.