—76


Kiara langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar kostnya, mengembuskan napas. Dari dalam sana, dia bisa mendengar Gladys meneriaki Narga yang baru akan pergi dengan kencang, mengancam jika tidak menceritakan apa yang terjadi pada lelaki itu yang baru berhadapan dengan Kiara.

Lalu entah apa yang sedang Kiara pikirkan, dia melompat dari tempat tidurnya, kembali keluar dari kamar, dan terburu berjalan ke arah pintu balkon, membuka gordennya sedikit untuk bisa mengintip ke bawah, melihat Narga yang baru keluar melewati gerbang kostan. Lelaki itu berhenti sejenak, dan dia menatap ke atas, tepat ke balkon, dan pandangannya bertubrukkan langsung dengan Kiara yang ketika sadar bahwa Narga juga melihatnya, dia segera menutup rapat-rapat gorden tersebut. Dia bisa melihat bagaimana lelaki itu tersenyum kecil padanya.

Saat keributan di bawah sana kembali terdengar, antara Gladys dan Jidan, Kiara buru-buru kembali ke kamarnya, lalu duduk di hadapan meja rias, menatap pantulan dirinya sendiri di sana. Wajah lelah itu begitu terlihat. Stres, frustrasi, tertekan, dan rasanya dia sendiri lupa kapan terakhir kali merasa bahagia terhadap hidup yang dijalaninya. Lantas, bagaimana Narga bisa begitu yakin dapat membuatnya bahagia sedangkan dia sendiri tak tahu caranya?

Kiara bergeming. Ingatannya kembali memutar kejadian beberapa saat lalu saat dia baru sampai kostan, saat secara kebetulan, Narga yang baru mengunjungi kamar kost Gladys, berhadapan dengannya. Kiara baru akan naik ke atas, dan Narga baru turun ke bawah.

Narga jelas bukan orang asing untuk Kiara. Dia tahu lelaki itu. Selain karena mahasiswa magangnya terkenal akrab dengan salah satu barista Under Coffee yang terletak persis di lobi kantornya, juga karena sejak kemunculannya beberapa bulan lalu di kedai kopi itu, Kiara sudah bisa merasakan tatapan yang berbeda setiap kali dia mampir ke sana untuk membeli minuman atau makanan.

Meski awalnya tak nyaman dan berniat akan menegurnya, Kiara memilih membiarkannya karena sejatinya Narga bukan lelaki pertama yang menatapnya dengan tatapan memuja seperti itu. Yang membedakan, Narga tidak memberi tatapan menjijikan seperti kebanyakan lelaki yang menatap Kiara selama ini. Lelaki itu menatapnya dengan malu-malu, memberi senyuman dengan ragu-ragu, sampai hari ini malu dan ragu itu seolah menjadi semu.

Kiara hendak melewati Narga begitu saja untuk segera naik dan masuk ke kamarnya, namun ketika dia baru mau melangkah, Narga lebih dulu menggapai lengannya dan dengan agak paksa menariknya untuk mengikuti langkah kakinya keluar dari sana.

Kiara berontak. Berusaha melepaskan diri namun tenaga Narga jelas jauh lebih besar darinya, jadi itu tak membantu banyak. Dia bisa saja berteriak, namun bukan tabiatnya untuk membuat keributan seperti yang biasa Gladys lakukan, dan Kiara merasa Narga bukan untuk menyakitinya.

“Apa-apan, sih!?” bentak Kiara saat Narga sudah melepas tangannya dan dia sudah membawanya ke sebuah tempat sepi di bawah pohon mangga di samping rumah warga yang tak jauh dari kostan. Dia hendak pergi dari sana, tapi Narga tak kalah cepat untuk menahannya, membuatnya lebih merapat ke dinding rumah dan Narga lebih mendekat ke arahnya, membuat Kiara kini lebih merasa terkurung.

Mana Narga yang malu-malu ketika mencuri tatap ke arahnya? Mana juga Narga yang selalu ragu untuk memberikan senyum manisnya ketika pandangan mereka tak sengaja bertemu? Yang Kiara lihat kini raut kemarahan dan keputusasaan.

“Gue bisa teriak,” ancam Kiara. “Ini rumah Pak RT kalau lo mau tahu.”

“Setahu gue rumah Pak RT di depan gang sana.”

Oke, Kiara kalah.

“Gue mau bicara sebentar,” ujar Narga lagi.

“Ya, kenapa harus—”

“Harus begini,” potong lelaki itu sebelum Kiara menyelesaikan pertanyaannya yang sudah bisa ditebak. “Kalau nggak gini, gue nggak tahu kapan lagi punya kesempatan buat bicara, dan punya keberanian kayak sekarang.” Sebab faktanya, Narga memang melawan rasa malu dan takutnya dengan amarah yang sudah mulai memupuk saat dia tahu tentang berita itu.

Bisa-bisanya kemarin dia merasa terancam dengan seorang penghuni baru di kostan yang berstatus sebagai guru, padahal yang sebenarnya menjadi ancaman adalah Kiara itu sendiri.

Perasaan Kiara, status Kiara.

Tanpa melepaskan tangan Kiara, Narga mengembuskan napas, dia menunduk. “Soal berita yang baru gue denger hari ini …, itu bener?” tanyanya dengan suara pelan.

Kiara diam sejenak, menatap lelaki di hadapannya, tak berniat untuk kembali berontak. Dia tahu hari ini kabar tentang hubungannya dengan Rion Lantai 2 kembali menguar setelah yang pertama kali beberapa minggu lalu. Berbeda dari yang waktu itu, yang terdengar hanya sayup-sayup dengan orang yang mendengarnya memilih tidak peduli daripada sibuk bergosip dan membuat kabar itu lebih meluas, hari ini kabar itu merebak dengan lebih luas, lebih berisik, dan lebih menekannya.

Dia tahu, sejak awal memutuskan untuk mengambil jalan tersebut ada konsekuensi berat yang akan dihadapinya, namun detik itu tak ada pilihan lain, semesta seperti tak memberi pilihan lain yang bisa Kiara pilih dengan cepat. Rion memujanya, lelaki itu mendambanya, dan mungkin akan melakukan apa saja untuknya, termasuk menggelontorkan banyak uang untuk sesuatu yang mungkin terdengar sepele.

Tapi itu yang Kiara butuhkan. Uang. Tak ada yang lain.

Rasa jijik, rasa muak, amarah, sedih, semuanya hanya bisa dia paksa telan demi sejumlah uang untuk membayar hutang. Tak peduli apa pun, tak peduli siapa pun, ketika keluarganya saja tak pernah peduli padanya, Kiara terbiasa untuk mati rasa.

Dia hanya perlu main aman, main tenang. Meski sejatinya, tembok kantor itu berbicara, dan serapat-rapatnya menutup bangkai, baunya akan tercium juga.

Hari ini dia berusaha untuk tidak peduli lagi, berusaha untuk bekerja seperti biasa lagi, berusaha untuk mematikan perasaannya lagi. Namun bagaimana dia bisa tahan dengan sayup-sayup orang yang membicarakannya dengan nada cemooh dan menghina itu semakin sering terdengar? Bagaimana dia bisa lebih tahan lama pada tatapan jijik dan hina orang-orang itu yang semakin terang-terangan padanya?

Kiara nyaris tak sanggup. Dia banyak menghabiskan waktu di toilet hari ini, untuk menangis. Berharap itu bisa meredakan sesaknya, tapi kenyataannya orang-orang jauh lebih keras membicarakannya di toilet sana.

“Menurut lo?” Kiara balik bertanya.

Narga mendongak, mempertemukan pandangan mereka. “Kak ….”

“Kalau menurut lo itu bener, ya udah. Gue nggak ada kewajiban apa pun buat ngejelasin itu.”

Lelaki itu ingin protes, tapi untuk apa ketika yang dikatakan Kiara memang benar. Kiara tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun padanya. Memangnya dia siapa? Teman saja bukan. Mereka memulai percakapan singkat lewat pesan teks saja baru beberapa hari yang lalu. Narga benar-benar punya keberanian yang penuh untuk menyeret Kiara ke tempat itu dan menanyakan hal tersebut, ketika mereka bukan siapa-siapa.

Narga akhirnya melepas tangan Kiara, mundur dua langkah sampai mereka kini berjarak. Dia menunduk, membuang napas berat.

Dua ingin menyerah. Memang mungkin sudah seharusnya dia membiarkan perasaan itu berenang di dalam harinya tanpa mencoba untuk muncul ke permukaan dan menyapa. Perasaannya ada hanya untuk dipendam, bukan untuk diungkapkan. Namun ketika dia benar-benar akan menyerah dan membiarkan Kiara pergi, wajah Gladys dengan suara mengomelnya itu muncul dalam ingatan. Bagaimana perempuan itu dengan keras menginginkan Kiara berubah melaluinya, dan bagaimana usahanya bisa saja menyelamatkan bukan hanya satu perasaan, tapi juga banyak perasaan.

Lalu Narga kembali mendongak, menatap perempuan cantik di hadapannya yang ternyata belum ingin bergerak dari tempatnya. “Kalau gitu, biarin gue bikin lo berkewajiban menjelaskan itu ke gue,” ucapnya dengan lugas.

Kiara diam. Dia sudah tahu maksudnya.

“Respons gue,” sambung Narga. “Gue mau deketin lo, bikin lo suka sama gue, bikin lo jatuh cinta sama gue, bikin lo jadi milik gue. Gue mau lo ninggalin laki-laki itu, buang laki-laki itu.”

“Narga—”

“Kak, lo sadar nggak sih apa yang lo lakuin ini salah?” potongnya. “Gue yakin, lo sadar banget. Tapi kenapa? Kenapa tetep lo lakuin? Kenapa tetep lo jalanin?”

Tak ada kalimat yang bisa Kiara lakukan untuk menjawab pertanyaan itu. Dia memilih bungkam.

“Lo suka sama laki-laki itu, Kak?” tanya Narga lagi. “Dia jelek, gendut, udah tua. Mending sama gue. Gue ganteng, tinggi semampai, nggak akan bikin lo malu kalau diajak kondangan, dan gue masih muda.”

Seharusnya Kiara tertawa, tapi dia hanya diam.

“Ya …, gue cuma barista sih, beda sama laki-laki itu yang … punya jabatan bagus di perusahaan. Tapi gue nggak bikin lo kelaperan kalau kita lagi jalan bareng, gue bakal tetep bayarin makan dan tiket nonton. Gue bakal beliin lo hadiah juga. Gue bakal bikin lo bahagia—”

“Lo nggak bisa,” kali ini Kiara yang memotong. “Lo nggak akan bisa bikin gue bahagia. Nggak bisa ….” Terdengar putus asa.

“Gue bisa.”

“Nggak. Nggak ada yang bisa bahagiain gue.”

“Biar gue jadi yang pertama kalau gitu,” balas Narga cepat. Sorot matanya terlihat begitu serius, begitu bersungguh-sungguh dalam mengatakan hal itu.

Kiara menatapnya, nyaris terbuai kalau saja tidak dengan cepat sadar diri bahwa memang tidak pernah ada yang bisa membuatnya bahagia. “Nggak usah terlalu percaya diri.” Dia hendak pergi, namun Narga kembali menahannya, membuat pergelangan tangannya kembali digenggam oleh lelaki itu.

“Gue tahu, lo pasti punya alasan kenapa sampai mau melakukan ini semua, sampai sejauh ini. Tapi jadiin gue juga alasan kenapa lo harus berhenti melakukan ini semua, even udah sejauh ini. Berhenti untuk kehidupan yang lebih baik, yang nggak menyakiti banyak orang.”

“Kalau menyakiti banyak orang bisa bikin gue nggak tersakiti, gue bakal tetep melakukannya.” Kiara nyaris menangis, dia belum pernah sejujur itu.

“Gue bakal bikin lo nggak tersakiti tanpa harus menyakiti orang lain. Gue!”

“Lo nggak akan bisa!” suara Kiara ikut meninggi.

“Makanya, biarin gue nyoba. Izinkan gue untuk mencoba bikin lo bahagia. Respons gue, jangan abaikan gue.”

Kiara menatap Narga cukup dalam. “Lo yang bakal tersakiti, lo yang nggak akan bahagia.”

“Nggak ada yang tahu kalau belum dicoba.” Ada satu hal yang pasti ketika Narga berhasil menatap Kiara cukup lama seperti sekarang, tidak malu-malu dan ragu-ragu seperti sebelumnya, bahwa mungkin yang dikatakan Gladys benar, perempuan itu juga tahu, Kiara tidak benar-benar bahagia dengan hubungan gila yang dijalaninya, dengan keputusan sinting yang diambilnya. Perempuan itu punya alasan cukup dalam yang membuatnya terpaksa mengambil keputusan tersebut sampai membuatnya terlihat tertekan.

Untuk satu alasan, Narga lega. Setidaknya Kaira tidak benar-benar menikmati perannya menjadi seorang racun.

“Satu bulan,” ucap Narga lagi. “Biarin gue coba dalam waktu satu bulan. Buat deketin lo, bahagiain lo, bikin lo ninggalin cowok itu dan jadi milik gue. Satu bulan.”

“Satu minggu,” tawar Kiara.

“Mana bisa!?” Narga protes.

“Katanya bisa.”

“Kalau seminggu ya nggak bisa lha. Minimal sebulan.” Dia cemberut. “Gue bukan lagi deketin jomblo ngenes, tapi ….”

“Cewek gila yang lagi ngejalanin hubungan kotor sama orang lain,” sambung Kiara saat Narga tak sanggup untuk melanjutkan.

Narga mengerjap.

“Oke, satu bulan.”

Lelaki itu tersenyum.

“Kalau lo gagal, pergi jauh-jauh dari hidup gue, jangan pernah muncul lagi di hidup gue, jangan ganggu hidup gue.”

Dia ingin protes, tapi memilih bungkam. Tak terbayang bagaimana dia tidak melihat kakak cantiknya itu setelah ini. Namun ada sesuatu yang sangat menyenangkan menanti jika dia berhasil melakukannya. Narga tak sabar untuk mencapai hal itu. “Kalau gue berhasil?” tanyanya.

Kiara bergumam panjang, bingung mau jawab apa.

“Kalau gue berhasil, jangan sekali-kali lo balik sama cowok itu, atau cari cowok lain. Karena pada saat itu, cowok lo cuma gue. Gue bakal jadi cowok lo.”

Kiara mendengus, tersenyum kecil.

Dan senyum lebar Narga lakukan. Dia melangkah lebih dekat sampai Kiara benar-benar merapatkan punggungnya ke dinding. “Jangan ngehindarin gue,” katanya. “Jangan curang. Kita harus bermain sehat.”

“Lo yang harus hati-hati,” balas Kiara. “Walaupun gila, gue tetep cewek yang lagi ngejalin hubungan sama orang lain. Lo harus hati-hati. Lebih hati-hati dari cara bermain gue.”

“Gimana caranya lo bermain? Kasih tahu gue, biar gue bisa perbaiki.”

“Gue—” Kiara mematung seketika saat dirasa Narga semakin dekat dengannya. Hidung mereka nyaris bersinggungan. Dia bahkan bisa merasakan napas halus dan berat Narga dari jarak dekat.

“Kalau gue maunya main ugal-ugalan, gimana?” tanya Narga, kepalanya berubah miring, bibirnya dibuat sejajar dengan bibir Kiara, membuat perempuan itu semakin tak bisa bergerak dan entah mengapa seolah tak punya kekuatan untuk mendorong Narga menjauh.

Kiara masih belum bisa mengucapkan sesuatu, kini dia menahan napasnya.

“Gue bakal cium lo,” ujar Narga, dia semakin mendekat. Namun berhenti saat jarak mereka benar-benar hanya tinggal beberapa inci saja. Hanya dengan satu gerakan kecil, dia sudah berhasil menyapu bibir Kiara, tapi Narga tak melakukannya. “Gue bakal cium lo kalau gue udah berhasil bikin lo jatuh cinta sama gue,” sambungnya. “Dan kalau udah tiba waktunya, perasaan lo berubah sama gue, kasih tahu gue, pinta gue buat cium lo, gue bakal cium lo saat itu juga. Atau mau sekarang—”

Ketika itu Kiara membawa kembali kekuatan penuhnya. Dia mendorong tubuh Narga sampai lelaki itu mundur beberapa langkah menjauh darinya. Dan tanpa mengatakan apa pun lagi, Kiara memilih pergi dari sana.

“Inget kesepakatan kita!” teriak Narga sebelum perempuan itu benar-benar menjauh darinya. Dan setelahnya Narga membuang napas berkali-kali seperti orang terengah yang baru saja melakukan lari marathon. Memegang dadanya yang jantungnya berdetak gila-gilaan. Kemudian tersenyum, memuji dirinya sendiri bahwa meski gugup dan keberaniannya yang entah datang dari mana, akhirnya dia bisa menyampaikan perasaan itu, walau dengan sedikit amarah dan pemaksaan. Tapi itu baik.

Narga hanya berharap hasilnya juga baik.