— 21
Gladys mengembuskan napas panjang, lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja yang membuatnya menghadap langsung ke arah luar, di mana saat ini hujan sedang turun membasahi jalanan entah sejak kapan karena begitu keluar dari ruang rapat berbarengan dengan jam kerjanya yang habis, hujan sudah turun.
Pagi tadi dia datang terlambat dan membuatnya yang harusnya pergi bersama Kiara ke pabrik, harus dilempar ke ruangan Rion—tepatnya, Rion Lantai 5 yang terkenal menyebalkan dan galak terhadap mahasiswa magang meski punya paras yang tampan. Gladys bekerja bersama Rion sampai pukul tiga sore, sampai Kiara kembali dan akhirnya menyelamatkannya dari siksa duduk berjam-jam di depan layar laptop bersama puluhan berkas yang memuakkan. Tapi meski judulnya menyelamatkan, Kiara tidak benar-benar membebaskannya, karena setelah itu dia disuruh menyusun laporan kunjungan ke pabrik hari ini bersama Maudy dan disuruh menghafal isinya karena besok mereka akan ikut Kiara mempresentasikan hasil laporan itu.
Tidak datang tapi disuruh menyusun laporan. Gladys hari ini nyaris gila.
Atau mungkin sebenarnya sudah gila?
Dia hanya tidak berteriak di tengah-tengah ruangan saja hari ini. Apa memang mahasiswa magang punya tugas yang seberat ini? Dia pikir, dia hanya perlu membantu mem-fotocopy berkas atau membelikan minuman di lantai dasar gedung ini yang memang terdapat sebuah kedai kopi yang juga menjual berbagai roti dan pastry yang rasanya lumayan enak.
Dan ngomong-ngomong soal roti, hari ini dia hanya makan roti karena meski siang tadi Gladys tetap dapat jam makan siang, dia tak nafsu makan apa pun hingga akhirnya hanya memakan satu roti yang diberikan Rion Lantai 5, katanya sebagai upah karena membantu mengerjakan pekerjaannya.
Jika Galdys tak menahan diri, dia ingin meminta Rion Lantai 5 memberinya upah dengan uang yang banyak daripada sebuah roti yang harganya hanya 12.000 rupiah. Mungkin itu bisa membuatnya tersenyum sedikit hari ini.
Tidak ada yang lebih baik dari uang, kan?
Gladys tersentak merasakan pipinya tiba-tiba dingin oleh sentuhan sesuatu. Dia langsung menegakkan tubuh dan terkejut saat mendapati langit di luar sana sudah gelap dan hujan sudah berhenti.
“Buset, bikin pulau lo di sini?” Seseorang duduk di hadapannya, meletakkan es cokelat di atas meja, untuknya.
Gladys mendelik mengusap sudut-sudut bibirnya takut benar-benar meneteskan air liur saat tak sengaja tidur tadi. Berapa lama kiranya dia tertidur? Dan ketika dia berusaha menoleh sedikit, lehernya sakit, tanda bahwa dia tidur dalam posisi itu sudah cukup lama.
“Buat gue nih?” tanyanya saat melihat cup minuman di hadapannya.
“Nggak mau? Ya udah.” Lelaki itu pura-pura akan menarik kembali minuman yang dibawanya saat Gladys tak kalah cepat merebutnya, lalu menyedotnya.
“Kok lo nggak bangunin gue, sih? Lo pasti tahu gue tidur di sini dari tadi, kan?”
Narga mendesah, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Manager gue yang suruh. Kasihan ngelihat lo kayak udah nggak punya nyawa tadi.”
Gladys kemudian menjenjangkan lehernya untuk melihat ke sekitar kedai kopi termasuk konternya, menyapu keadaan untuk mengetahui bahwa meski kantor sudah sepi dan hanya menyisakan. beberapa orang di setiap ruang dan lantainya yang masih sibuk berkutat pada pekerjaannya yang belum selesai, keadaan kedai kopi masih cukup ramai. Ada beberapa orang yang sedang menunggu pesanan, ada juga yang sudah menikmati pesanannya sambil bekerja.
Lagi-lagi ini tentang pekerjaan.
Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya bekerja? Kenapa uang tidak langsung turun dari langit? Jadi orang-orang tidak perlu bekerja untuk menghasilkan uang.
Gladys mendesah, lalu berdiri dari sana. “Lo udah pulang, kan?” Dia menatap Narga yang sudah tidak memakai seragamnya dan juga ada tas ransel yang ditaruh di kursi sebelahnya, sudah pasti milik Narga. “Yuk, anterin gue pulang ke kostan.”
Sebelum Narga menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu meninggalkannya, membuatnya mau-tak mau menyambar cepat ranselnya dan mengejar Gladys.
“Sana ambil motor lo,” suruh Gladys lagi saat tahu Narga sudah berdiri di sampingnya.
“Siapa yang bilang gue mau anter lo?”
Gladys menoleh, memberi tatapan sok sedih. “Lo nggak kasihan sama gue? Lihat muka gue? Cantik, kan?”
“Najis!” Narga mendorong kening Gladys dengan telunjuknya saat perempuan itu sudah menyemburkan tawa.
“Gue serius, lihat muka gue!”
“Mau muntah gue!”
“Gue capek banget, Nar. Lelahhhh …,” dia merengek. “Tulang-tulang gue udah nggak bisa menahan beratnya tubuh ini …. Hamba lelah, hamba letih, hamba lesu …. Hamba tidak ingin desak-desakan di busway bersama orang-orang bau ketek yang mukanya sepet-sepet.”
“Lebay banget busettt ….” Narga melongo. Meski dia sudah sering menghadapi Gladys yang banyak bercanda dan dramanya, dia tetap selalu kehabisan kata-kata setiap kali berhadapan lagi. “Lagian, gue nggak nyuruh lo pulang naik busway. Naik ojek lah. Pagi tadi lo naik ojek, kan?”
“Naik ojek mahal.” Gladys tersenyum masam. “Pagi tadi itu kepepet karena gue telat.”
“Nggak ada yang nyuruh lo buat telat juga.”
“Kalaupun nggak telat, gue biasa ikut nebeng sama Mas Rion Lantai 7. Tapi berhubung anaknya Mas Rion lagi sakit, jadi ya … gue terpaksa ngeluarin sedikit uang gue buat naik busway, dan sialnya hari ini malah harus naik ojek.” Gladys menyedot kembali minumannya dengan perasaan dongkol. “Mudah-mudahan besok Rui udah sembuh, jadi gue bisa nebeng sama ayahnya lagi.”
“Doa lo nggak tulus, nggak akan dijabah.”
Gladys berdecak. “Didoain sama lo juga belum tentu dikabul, soalnya pendosa agak susah didenger doanya.”
“Brengsek.”
Perempuan itu tertawa. “Jadi, sampai kapan kita mau berdiri di sini? Keburu hujan lagi nih.”
“Gue nggak bawa helm tambahan.”
“Elah, nggak apa-apa, ada gue. Polisi takut kok sama lo, tenang aja, nggak akan ketangkep. Soalnya muka lo mirip genderuwo.”
Meski bukan itu intinya, meski Narga mengomel, meski Narga marah-marah, meski Narga bergerutu, meski Narga menolak, pada akhirnya Narga tetap membawa Gladys untuk naik ke atas motor matic-nya itu, membalas jalanan yang padat saat matahari baru saja tenggelam dan cuaca dingin karena baru saja turun hujan.
Gladys mengatur lagi posisi tas ransel yang dipakai Narga dan totebag-nya sendiri, yang dijadikan pembatas antara dirinya dan lelaki itu di atas motor, yang membuat Narga berdecih dan semakin tak habis pikir dengan perempuan itu, apalagi saat kedua tangan Gladys yang hanya menyentuh sedikit ujung jaket yang Narga kenakan sebagai pegangannya selama di atas motor, yang kemudian memunculkan ide jahil untuk membawa Gladys mengebut hingga akhirnya kedua tangan itu mau mencengkeram dengan benar kedua sisi jaket Narga di bagian pinggangnya meski Galdys tetap mempertahankan posisinya agar dadanya tak menyentuh tepat punggung lelaki itu.
“Nggak usah berlagak seolah dada lo gede sampai bikin gue sange pas lo meluk gue dari belakang. Lo begitu pun punggung gue nggak akan ngerasain apa-apa, orang rata begitu.”
Dan Gladys tak berpikir lama untuk menoyor kepala Narga saat itu juga. Membuat lelaki itu mencebik sebal dan mengancam bahwa dia akan menjatuhkan motor jika Gladys mengganggunya lagi selama berkendara.
Orang-orang di kantor yang melihat kedekatan keduanya bertanya-tanya, bagaimana Gladys bisa lebih akrab dengan orang yang baru dia temui sebulan lalu saat baru memulai magang alih-alih dengan dua teman lainnya yang datang dari kampus yang sama bahkan jurusan yang sama, yang memulai magang di kantor yang sama.
Gladys bahkan terlihat seakan tak mengenal Maudy dan Adwin karena jarang mengobrol kalau bukan karena pekerjaan mereka. Para pegawai kantor di sana banyak yang berspekulasi bahwa mereka bermusuhan, tapi setelah melihat beberapa kali—walau bisa dihitung jari jumlahnya, ada waktu di mana mereka seperti anak magang lainnya saat makan siang bersama.
Gladys juga tak pernah menyangka bisa sampai seakrab itu dengan lelaki yang sekarang sedang mengantarnya ke kostan ini, yang rela berkendara lebih jauh dari tempat tinggalnya sendiri. Padahal pertemuan mereka hanya pertemuan klasik biasa; Gladys membeli kopi di kedai kopi tempat Narga bekerja, Narga yang bertanya apa Gladys pegawai baru atau mahasiswa magang karena belum pernah melihat sebelumnya, lalu saling antusias karena ternyata mereka Gladys kuliah di kampus yang sama dengan kampus Narga dulu, bahkan juga satu jurusan.
Tapi jika dipikir lagi, kenapa Narga bisa lebih dekat dengan Gladys? Padahal Maudy dan Adwin pun datang dari tempat yang sama.
Mungkin karena Gladys datang ke kedai kopi itu lebih dulu dari dua temannya, jadi antusias itu masih penuh, sampai akhirnya mereka dekat dan Narga bisa sampai cerita bahwa ternyata dia sudah naksir lama dengan Kiara, yang tak lain adalah pembimbing Gladys di kantor sekaligus teman satu kostan. Itu juga yang mungkin bisa membuat keduanya akrab, bahkan tak masalah jika Gladys tak memanggil Narga dengan sebutan 'kakak' meski sudah tahu lelaki itu seniornya di kampus dulu.
“Eh, Nar,” Gladys memanggil, mengatur lagi tas mereka karena dia harus maju sedikit agar Narga bisa mendengar suaranya, “lo beneran nggak mau nomornya Mbak Kiul? Gue bisa kasih sebagai ongkos ojek lho ….”
“Gue bisa minta sendiri.”
“Alah! Dari tahun jebot bilangnya mau minta sendiri tapi sampai sekarang nggak dapet-dapet.”
“Ya, itu karena gue belum minta.”
“Bukan belum minta, tapi emang lo nggak berani.”
Narga tak menjawab.
“Lagian, apa sih yang lo takutin dari Mbak Kiul?” tanya Gladys. “Ya …, emang sih dia galak, aura-aura kegalakannya udah bisa lo lihat dari jarak puluhan kilo, bahkan sebelum lo bisa lihat mukanya, aura kegalakannya nih udah berasa duluan. Tapi ya kenapa gitu lho???” Dia jadi geregetan.
“Lo nggak akan ngerti kalau nggak pernah naksir orang.”
Kali ini Gladys tak tahan untuk tak menoyor kembali kepala Narga. “Nggak ada hubungannya pernah naksir orang sama nggak berani minta kontak orang!”
“Ya, ada lah!”
“Apa coba?”
“Kalau lo naksir sama orang ini, lo bakal punya ketakutan lebih buat sekedar nyapa doang. Jadi, jangankan minta kontaknya, nyapa aja nggak berani. Deg-degan, cuy!”
“Ngeles mulu kayak bajay! Justru seharusnya itu bikin lo terpacu buat lebih berani deketin. Beneran ditikung orang, baru tahu rasa! Lihat aja, bentar lagi Mbak Kiul bakal bawa gandengan lewat depan mata lo, biar nyeseknya makin berasa!”
Gladys ini memang nomor satu kalau urusan mendukung Narga mendekati Kiara, tapi nomor satu juga untuk urusan menyumpahi Narga agar Kiara menolaknya atau Narga kalah start dari lelaki lain yang mungkin juga menyukai perempuan itu. Siapa juga yang tak kesal setiap hari disembur cerita soal Kakak Cantik yang dia taksir mampus tapi setiap hari tak ada kemajuan untuk mendekat?
Gladys bertahan untuk tetap mendengarkan, itu sudah luar biasa.
“Lagian, apa sih yang lo lihat dari Mbak Kiul?” tanya Gladys.
Sebelum menjawab, Narga tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting saat membayangkan betapa menawannya Kiara di matanya.
Dan ketika lelaki itu hendak membuka mulutnya untuk menjawab, Gladys lebih dulu memukul bahunya dengan heboh, menyuruhnya berhenti.
“Apa, sih?” Narga mencebik.
“Stop! Stop! Stop!!!”
Narga kemudian terpaksa menepi dengan sebal dan bingung, tepat sebelum motor yang mereka naiki berbelok ke arah gang di mana kostan Gladys berada.
Gladys begitu saja melompat turun dari motor Narga, meninggalkan lelaki itu untuk berjalan ke arah sebaliknya dari arah yang seharusnya mereka lalui, kemudian berteriak, “Pak Guru!!?”
Langkah perempuan itu terlihat riang, seperti tanpa beban, seolah Narga tak menemukan wajah tertekan dan lelah Gladys yang ditemuinya beberapa jam lalu sebelum perempuan itu tidur di salah satu kursi di kedai kopinya. Ya, tidur memang cara paling ampuh untuk mengisi daya energi setiap manusia. Tapi apa secepat itu?
Narga melongo saat Gladys sudah menghentikan langkah seorang lelaki yang tengah berjalan menuju jalan raya besar di depan sana, membuatnya mau-tak mau memutar arah motornya dan menghampiri dua orang itu.
“Pak Guru mau ke mana?” tanya Gladys dengan senyum lebar yang demi Tuhan, Jidan tak menyukainya. Dia terkejut, nyaris berlari terbirit saat mendengar perempuan itu berteriak menghampirinya. Entah kenapa terdengar begitu menakutkan.
“Mau beli makan,” jawab Jidan, berusaha terlihat tenang meski dia sungguh tertekan tanpa alasan.
Gladys mengangguk, masih dengan senyumannya. “Beli makan di mana?”
“Nggak tahu. Eza bilang ada warung makan enak di depan halte, saya mau coba ke sana.”
“Oh, Bu Suk?”
“Hah?” Dia agak terkejut dengan sebutan nama warung itu.
“Iya, warung makan Bu Suk.”
“Woy, Dys!?” Narga lalu muncul, menatap sebal Gladys tapi mengangguk sopan dan tersenyum canggung pada Jidan.
“Lho, lo belum balik?” tanya Gladys yang ingin sekali membuat Narga mengumpat dan menonjok wajah tanpa dosa kalau saja tak ingat hukum dan sabarnya yang masih tinggi.
“Lo nggak mau bilang sesuatu sama gue gitu udah nganterin lo pulang?”
Gladys menggaruk rambutnya. “Oh, nomornya Mbak Kiul? Ya udah, nanti gue kirimin.”
Mata Narga membulat tak percaya. “Bukan itu!!!”
“Terus apa dong?”
Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meninggikan lagi kesabarannya. Matanya terpejam menahan emosi sebelum kemudian memilih tersenyum. “Nggak kok, bukan apa-apa, kalau gitu, gue balik, ya ….”
Gladys tertawa terbahak, memukul lengan Narga beberapa kali. “Thanks, ya, udah nganterin gue. Baik-baik di jalan, jangan ngebut-ngebut. Nyesel lo kalau mati sebelum berhasil deketin Mbak Kiul.”
“Anj—” Narga nyaris mengumpat kalau saja tak ingat ada seseorang di sebelah Gladys yang kemudian berhasil membuatnya tersenyum sopan lagi.
“Eh, Nar, kenalin, ini Pak Guru. Penghuni baru kostan,” Gladys memperkenalkan Jidan dengan senyum penuh arti yang dia layangkan untuk Narga sebelum kemudian berbisik, “calon saingan lo. Kalau lo kebanyakan mikir, Mbak Kiul bisa disikat sama ini cowok.”
Narga tertawa dengan bibir mengatup. Dia mematikan mesin motornya, lalu turun dan mengulurkan tangan ke hadapan Jidan. “Narga, Pak Jidan. Musuhnya Gladys.”
“Bukan musuh, tapi kacung,” bisik Gladys pada Jidan yang masih bisa didengar Narga.
Sekali lagi, perempuan itu lolos dari rasa ingin menonjok Narga terhadapnya.
“Jidan,” ucap Jidan seraya meraih uluran tangan Narga. “Panggil aja gitu.”
“Oh, iya …, Jidan ….”
Gladys memukul keras lengan Narga. “Yang sopan sama yang lebih tua. Jidan … Jidan …. Lo pikir, temen lo.”
Narga meringis memegangi lengannya. Setahun terus bersama Galdys, bisa-bisa anggota tubuhnya rontok satu per satu karena terus dianiaya. “Kalau gitu, Pak Jidan.” Dia mengangguk sopan.
Gladys menahan tawa, membayangkan Jidan dengan ekspresi sebal mengatakan bahwa dia belum setua itu untuk dipanggil 'bapak'.
“Kalau gitu, gue balik, ya.” Narga kembali ke motornya, dan menyalakan mesinnya lagi, bersiap untuk pergi.
“Sekali lagi, makasih udah anterin gue. Hati-hati, kabarin Kalau udah nyampe. Nggak ngabarin, gue gorok leher lo besok pagi.”
“Iya, iya, bawel banget buset. Besok jangan telat lagi,” sahut Narga, lalu menatap Jidan. “Mari, Pak Jidan, saya duluan.”
Dan setelah motor Narga pergi dari sana, membawa pengemudinya menghilang ditelan jarak, Jidan begitu saja melanjutkan langkahnya tanpa mengatakan apa-apa pada Gladys, membuat Gladys langsung melangkahkan kaki lebar-lebar demi bisa kembali berdiri sejajar.
“Pak Guru, gue boleh ikut beli makan bareng nggak? Soalnya gue juga belum makan dari pagi.”
Jidan tak menoleh, dia menjawab, “Emangnya, kalau saya bilang nggak boleh, kamu mau pergi?”
Gladys nyengir. “Nggak sih, mau ikut aja.”
Lelaki itu mendesah. Agaknya hari ini memang benar-benar akan jadi hari yang sangat panjang untuknya.
“Pak Guru, gimana hari pertama ngajar di sekolah? Seru nggak? Murid-muridnya banyak nakal nggak? Guru-guru yang lain pada julid nggak? Atau pada baik?”
Jidan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya sedikit untuk menatap Gladys yang ketika itu pun masih tersenyum ke arahnya. “Capek,” jawabnya. “Stres juga.”
Gladys mengangguk prihatin. “Berarti sekolah swasta mahal kayak gitu nggak menjamin orang-orangnya beda kayak sekolah gratisan negeri, ya. Tetep aja muridnya nakal dan guru-gurunya julid. Kasihan banget Pak Guru capek dan stres ngehadepin orang-orang kayak gitu. Semangat ya, Pak Guru.” Dia menepuk-tepuk pelan punggung Jidan sebagai tanda penyemangat, yang membuat Jidan tersentak karena sentuhan tiba-tiba itu.
“Gadis—”
“GLADYS!” ralat Gladys dengan cepat, matanya menatap bete Jidan sampai akhirnya membuat senyum itu menghilang.
“Maksud saya …, Gadis Mahasiswa. Dalam KBBI, Gadis itu artinya anak perempuan yang belum kawin. Dan kamu seorang mahasiswa. Makanya dengerin dulu saya ngomong sampai selesai.”
“Ngeles aja kayak bajay,” gerutu Gladys, masih sebal. “Ya udah, mau ngomong apa?”
Mereka sudah kembali melangkah menuju jalan raya besar, dan nanti akan belok ke kiri, berjalan lagi sekitar 100 meter untuk menemukan sebuah warung makan kecil yang berada tepat di bawah tangga JPO yang terhubung langsung dengan halte.
“Nggak tahu, lupa,” balas Jidan. Padahal dia hanya tak jadi mengatakan bahwa penyebab lelah dan stresnya saat ini bukan datang dari sekolah tempatnya mengajar, tapi dari … Gladys.
“Guru kok pelupa.” Gladys terkikik sementara Jidan memejamkan mata menahan rasa kesal.
Sampai di persimpangan jalan, mereka berhenti sejenak, Jidan celingukan mencari halte dan warung makan yang Reza maksud, sebab dia sama sekali belum pernah ke tempat ini, karena untuk makan kemarin, dia masih mengandalkan Idah yang memberi makan anak-anak penghuni kostnya karena katanya masak banyak, juga mencoba membeli dari aplikasi pesan antar. Tapi Sadewa mengatakan, kalau dia terus pesan makan secara online setiap hari, niscaya uang simpanannya akan habis sebelum dia mendapat gaji pertamanya dari mengajar di Bina Bakti. Meski dapat upah yang lumayan, dia tetap harus berhemat dan menabung. Jadi dia tadi memberanikan diri untuk bertanya pada Reza di mana tempat makan dekat sini yang sekiranya lumayan enak.
“Tuh, bawah tangga sana,” Gladys menunjuk tempat yang sudah dihafalnya karena cukup sering beli makan di sana jika dia tidak memasak.
Jidan mengangguk, mungkin ada baiknya juga Gladys menemaninya malam ini. Walau bikin kesal, setidaknya dia membantu sedikit. Jidan mengakuinya.
Dan sesaat sebelum keduanya melangkah ke arah sana, sebuah mobil putih tiba-tiba berhenti tepat di depan mereka. Bukan tanpa alasan Gladys memilih diam sejenak, membuat Jidan juga ikut diam menunggu.
Lewat kaca tembus pandang, dia bisa melihat dua orang yang ada di dalam mobil itu sebelum salah satunya keluar dari kursi penumpang.
Seseorang yang dikenalnya.
Atau lebih tepatnya, dua orang yang dikenalnya.
Kiara dan Rion.
Rion Lantai 2. Satu-satunya Rion dari tiga Rion yang ada di kantor yang dipanggil Bapak. Karena punya jabatan yang lebih tinggi dari dua Rion lainnya, dan juga punya istri dan dua orang anak yang sudah cukup besar.
Kiara mematung saat saat pandangannya bertabrakan langsung dengan dua orang penghuni kostnya, terutama Galdys. Sebelum memilih pergi begitu saja meninggalkan keduanya tanpa mengatakan apa pun, seolah mereka tidak mengenal satu sama lain.