— 34
Keluar dari kamarnya untuk berangkat ke sekolah, Jidan sudah mendengar bunyi berisik alat masak yang beradu di dapur lantai bawah, juga aroma harum masakan yang pelan-pelan membelai hidungnya dan membuatnya lapar.
Semalam karena terlalu sibuk mengecek data nilai siswa dari semester sebelumnya, juga mempersiapkan bahan mengajar hari ini, Jidan tak sempat keluar untuk mencari makan, dan tahu-tahu waktu sudah malam hingga rasanya mau beli makanan lewat aplikasi pesan-antar pun ragu karena pasti sudah banyak resto atau warung makan yang tutup. Hingga akhirnya dia hanya memasak sebungkus mi instan dengan telur yang sudah disediakan Sadewa dalam satu kardus khusus saat dia mengantar kakaknya pindahan. Untuk hal perhatian terhadap Jidan, Sadewa memang masih juaranya. Sebab kalau bukan karena Sadewa, mana mungkin Jidan kepikiran untuk membeli sekardus mi instan dan berbungkus-bungkus makanan ringan untuk persediaan di dalam kost.
Untuk itu, ketika Jidan mencium aroma masakan yang sepertinya sangat enak, perutnya tiba-tiba bunyi. Dia berniat membeli sebungkus roti dalam perjalanan ke sekolah nanti, untuk mengganjal perutnya sampai jam makan siang.
Dengan pakaian yang sudah rapi, tas ransel berisi laptop, buku, dan segala keperluan mengajar lainnya yang disampirkan di sebelah bahunya, Jidan menuruni anak tangga setelah melirik sejenak ke pintu kamar Gladys dan Kiara yang masih sama-sama sunyi. Sejenak, Jidan iri pada pegawai kantor yang baru masuk pukul sembilan hingga punya waktu tidur sedikit lebih lama darinya yang harus sudah sampai di sekolah pukul tujuh pagi.
Jadi, siapa yang sedang memasak di dapur?
Reza? Lelaki itu pun mungkin masih tidur.
Jidan berjalan sedikit ke arah belakang dan menemukan Gladys sedang menggoyang-goyangkan pinggulnya di depan kompor dengan tangan yang sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan, dan bernyanyi dengan suara sumbang, jelek, dan bahasa yang tidak jelas. Jidan langsung bergidik ngeri, dia sudah akan berbalik untuk langsung meninggalkan perempuan itu meski sedikit kagum bahwa ternyata Gladys bisa masak—entah masakannya enak atau tidak, yang penting bisa berdiri di atas kompor dan membuat sesuatu di dalam wajan atau panci, sudah bisa disebut bisa masak—ketika kalah cepat dengan Gladys yang berbalik setelah mematikan kompor dan menemukan Jidan di sana.
Perempuan itu tersenyum lebar. “Pak Guru …,” sapanya dengan riang.
Jidan menahan napas sejenak mendengarnya, memejamkan mata sebelum memaksakan diri untuk menoleh kembali ke arah sana meski tetap tak berhasil untuk tersenyum seperti pesan Sadewa yang menyuruhnya untuk lebih sering tersenyum pada orang lain.
“Mau berangkat, ya?” Gladys berjalan menghampiri, Jidan menatap khawatir.
Dari penampilannya, sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu belum mandi. Rambutnya dijepit asal, belum lagi tanktop dan celana pendek kebanggaannya yang sepertinya jadi seragam tidurnya setiap malam meski cuaca sedang dingin. Meski tak ada jejak air liur di pipi atau kotoran di sudut mata, wajah polos tanpa makeup itu bisa membuktikan bahwa tebakan Jidan benar.
“Baru juga jam setengah tujuh. Mau ngapain sih di sekolah? Bantu nyapu sama ngepel petugas kebersihan?” Dia terkikik menyebalkan.
“Sekolah mulainya jam tujuh lewat sepuluh menit,” balas Jidan.
Gladys mengangguk-angguk. “Oh …. Pak Guru pasti belum sarapan?”
“Udah.” Entah kenapa Jidan malah membalas gitu, padahal perutnya sedang lapar karena ramuan aroma masakan di dalam wajan itu yang sepertinya nasihat goreng.
“Ah, masa??? Nggak percaya tuh. Sarapan apa?”
Jidan bergumam panjang, bingung harus menjawab apa. “Kenapa juga saya harus bilang sama kamu?”
“Ya elah, masa nanya doang nggak boleh. Pelit banget.” Gladys tersenyum masam. “Nggak jadi deh gue kasih nasi goreng buatan gue yang paling enak sejagad raya ini,” ucapnya dengan penuh percaya diri.
“Saya nggak minta juga kok.”
“Ya, kan gue yang mau ngasih, Pak Guru ….”
“Ya, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau ngasih. Saya nggak akan nangis.”
Gladys menyeringai. Sekali lagi membuat Jidan bergidik ngeri. “Beneran nggak akan nangis? Ini nasi gorengnya enak banget lho …. Banget, banget, banget pokoknya. Best!” Dia mengacungkan ibu jarinya tepat di depan wajah Jidan, hampir menyentuh bagian hidung.
Jidan dengan hati-hati menyentuh ujung ibu jari itu, menurunkannya dari depan wajahnya sembari meringis kecil. “Saya nggak ngiler, nggak yakin juga sama masakan kamu.”
“Yahhh …, dia nggak percaya gue jagonya soal masak. Belum nyobain, sih.”
Ya, memang.
Jidan berteriak dalam hati.
Kepalanya melongok sedikit ke arah belakang punggung Gladys di mana nasi goreng itu masih mengepulkan asap panas di dalam wajahnya, membuat Gladys yang melihatnya terkekeh meledek
Jidan mendengus, menyesali perbuatannya yang tanpa bisa dia kendalikan itu, sepertinya efek terlalu lapar sedangkan makanan ada tepat di depan matanya.
“Mulut bisa bohong, tapi matanya itu lhoo …. Ngiler, kan?” Gladys masih terkikik-kikik, semakin membuat Jidan sebal.
“Saya harus berangkat.” Jidan memilih memutus percakapan dengan berniat segera pergi dari sana, sebab jika dia terus meladeni perempuan yang ada di hadapannya ini pasti tidak akan pernah selesai. Gladys selalu punya banyak hal untuk dibahas dan dibicarakan sampai rasanya dia tak punya rasa lelah untuk menggoda orang lain.
“Nanti dulu, sih.” Gladys meraih tangan Jidan, menggenggamnya dengan tangannya yang lebih kecil sampai tak bisa secara penuh melingkari pergelangan tangan Jidan. “Gue takut Pak Guru ngiler di sekolah.” Lalu sebelum Jidan berkesempatan untuk menarik tangannya sendiri, Gladys menarik tangan Jidan untuk ikut melangkah bersamanya menuju kompor.
Perempuan itu mengambil sendok baru tanpa melepaskan genggaman tangannya, menyendok nasi goreng itu dari dalam wajan langsung sebelum menyodorkannya ke depan mulut Jidan.
“Ngapain?” tanya lelaki itu.
“Cobain dong, Pak Guru, masa gue suruh ngitung jumlah butir nasi yang ada di sendok ini.”
“Nggak.”
“Kenapa, sih? Nggak akan nyesel kok. Ini gue jamin enak banget.”
“Nggak ada yang tahu kalau sebelumnya mungkin kamu masukin sianida ke dalam nasi gorengnya.”
Gladys mendengus. “Ini nasi goreng, Pak Guru, bukan kopi. Dan nama gue Gladys Purnama, bukan Jessica Wongso, please ….” Dia memutar bola matanya.
“Iya, tapi—”
“Aduh, aduh …. Aduh! Aduh!” Sebelah tangan Gladys melepas genggaman untuk menyentuh tangannya sendiri yang masih setia mengangkat sendok berisi nasi goreng. “Aduh, aduh, tangan gue sakit. Aduh …. Tolongin, Pak Guruuuuu!!!” serunya dengan heboh, membuat Jidan panik.
Dia bergerak tak tentu juga karena bingung harus apa. “Apa? Mana yang sakit? Kasih tahu saya.” Dia ragu untuk menyentuh, tapi wajahnya terlihat begitu khawatir tepat sesaat setelah Gladys merintih dengan dramatis.
“Ini, ini …. Ini makan dulu nasi gorengnya ….”
Dan tanpa pikir panjang, Jidan langsung melahap nasi goreng di sendok itu, seketika senyum Gladys terluka dengan sangat lebar. Dia bahkan antusias menantikan Jidan mengunyah nasi gorengnya dan menelannya. Hingga kemudian berseru senang saat mulut lelaki itu sudah kosong tanda Jidan sudah memakan sesuap nasi goreng tersebut.
“Mana yang sakit?” tanya Jidan, masih khawatir.
“Udah sembuh ….” Gladys menggoyang-goyangkannya kedua tangannya, dan Jidan sadar kalau dia baru saja ditipu manusia paling menyebalkan abad ini.
Lelaki itu menahan napas sejenak sebelum memutuskan untuk berbalik tanpa mengatakan apa pun, meski lagi-lagi Gladys mampu meraihnya dan menahannya sebentar lagi.
“Mau ke mana lagi sih, Pak Guru? Gue belum selesai.”
“Saya udah telat.”
“Nanti, ah. Masih lama juga.” Gladys menarik tangan kiri Jidan untuk melihat jam di pergelangan tangan lelaki itu.
“Emangnya kamu nggak ke kantor hari ini?”
“Ke kantor kok.”
“Ya, terus? Kamu emangnya nggak siap-siap.”
Gladys berdecak. “Itu gampang. Yang penting sekarang, gimana nasi goreng gue? Enak, kan?”
Jidan diam. Apakah dia harus menjawab jujur dengan mengatakan bahwa nasi goreng buatan Gladys memang sangat enak? Atau justru berbohong agar segera menyudahi pertemuan ini? Karena rasanya Jidan mulai stres.
Belum sempat dia menjawab, pintu kamar depan terbuka, Reza dengan wajah bangun tidurnya keluar dari sana seraya menaruh handuk di pundaknya, berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di samping dapur.
“Wih, bikin sarapan ya lo, Dys?” tanya lelaki itu saat hidungnya mencium aroma nasi goreng yang masih kuat disekitar dapur.
“Yoi, Bang. Nasgor.”
“Banyak nggak? Mau dong ….” Dia nyengir.
“Aman, Bang. Semalem gue sengaja masak nasi banyak emang buat dibikin nasgor pagi ini.”
“Mantap!” Dengan mata yang masih setengah terbuka, Reza memberikan jempolnya. Dia melirik sekilas ke arah tangan Gladys yang memegang tangan Jidan sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi.
“Tuh, Bang Eza aja mengakui kalau masakan gue itu enak, makanya dia minta,” Gladys kembali berceloteh pada Jidan.
Jidan mendesah. “Penilaian saya penting banget buat kamu, ya? Emangnya kalau saya kasih nilai, kamu bakal jadi juara MasterChef?”
“Ya, nggak, sih ….” Gladys nyengir. “Ah, tahu, ah ….” Dia menepis tangan Jidan, lalu bergerak ke arah rak piring untuk mengambil kotak makan berwarna pink dengan gambar Minnie Mouse di bagian tutupnya. “Tunggu situ, jangan ke mana-mana.”
Meski sebal, anehnya Jidan menurut, memperhatikan Gladys yang memasukkan nasi goreng ke dalam kotak bekal itu sampai nyaris penuh. Mengipas-kipasnya sejenak dengan tuturnya sebelum menutupnya rapat. Memasukkannya ke dalam kantong plastik bersama dengan sendok dan garpu yang baru, lalu menyodorkannya pada Jidan.
“Nih, bawa,” katanya.
“Buat apa?”
“Ya elah, pakai nanya. Masa buat dihitungin jumlah butir nasinya di dalem kotak itu. Ya, buat dimakan lah, Pak Guru. Gimana, sih? Katanya guru, masa gitu aja nggak ngerti.”
Jidan menatap kotak bekal yang masih Gladys pegang.
“Ih, kelamaan ….” Gladys akhirnya memaksa tangan itu untuk mengambil alih kotak bekal. “Gue mau mandi nih, mau siap-siap.”
Lelaki itu belum membalas apa pun.
“Jangan lupa dimakan, awas kalau sampai dibuang! Makanan paling enak sejagad raya nih,” ujar Gladys lagi dengan senyum lebarnya. “Dah, sana berangkat. Nanti telat diomelin lagi. Masa Guru terlambat.”
“Gadis—”
“Gladys, Pak Guru,” perempuan itu meralat. “Harus berapa kali sih gue bilang, gue tuh Gladys, bukan Gadis.”
“Iya, maaf ….”
Gladys bergumam singkat. “Kenapa? Mau protes lagi soal nasi gorengnya?”
“Nggak.”
“Terus?”
“Eum ….” Jidan terlihat ragu untuk mengatakannya, tapi dia tahu, dia harus. Jadi dengan suara pelan dan sedikit tak jelas, dia berujar, “Makasih.”
Gladys sontak terbahak mendengarnya. Dia jelas mendengar kata itu dengan sempurna, dan tak percaya bisa menggelitik perutnya. “Ya, ya, ya …. Gue sengaja bikin banyak emang buat dibagiin kok, bukan cuma buat gue. Buat Bang Eza, buat si sinting Narga, buat Mas Rion, terus buat Pak Guru.”
“Kia?”
“Alah! Mbak Kiul nggak pernah mau, nggak level kali makan makanan kayak gini. Minimal kalau nasi goreng, dia pasti makannya di Solaria. Padahal kalau beli di pedagang pinggir jalan, udah dapet berapa bungkus tuh. Jadi, gue kasih ke Pak Guru aja, biar tambah semangat ngajarnya.” Dia masih tersenyum.
Jidan tak menanggapi, hanya menatap dalam diam ekspresi wajah nyinyir Gladys yang tengah bercakap-cakap, tanpa sadar membuatnya terkekeh kecil.
Gladys menyadari hal itu, dan dia seketika heboh. “Wahhhh …. Gue barusan merinding! Gila! Pak Guru barusan ketawa! Astaga! Pak Guru ternyata bisa ketawa!”
Dalam sekejap Jidan kembali merasa stres dan kesal. Dia memilih berbalik dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa pun lagi, kali ini Gladys tak menahannya membiarkan lelaki itu pergi begitu saja saat dia masih sibuk tertawa-tawa.
“Dadah …, Pak Guru!!!” serunya kemudian ketika terlihat Jidan di ambang pintu sedang memakai sepatunya. “Semangat ngajarnya, ya! Bekelnya jangan lupa dihabisin. Fighting!”
Telinganya pengang, mungkin jika lebih lama lagi berada di sana, gendong telinganya bisa pecah. Dia buru-buru keluar dari kostan, berjalan menjauh dari rumah itu, setelahnya menatap kotak bekal yang dibungkus kantong plastik yang dipegangnya dalam diam. Tiba-tiba merenung, tiba-tiba tersadar, bahwa ini pertama kalinya lagi setelah sepuluh tahun ada seseorang yang membuatkannya bekal makanan untuk dibawa ke sekolah. Dulu dia masih pelajar, kini sudah menjadi tenaga pengajar.
Apa waktu memang berjalan begitu cepat? Tapi kenapa kejadian itu selalu rasanya selalu baru kemarin terjadi?