— 12
Kostan itu berada di tengah pemukiman padat penduduk. Jidan mengatakan kalau kostannya terletak di dalam sebuah gang yang hanya bisa dilalui satu mobil dan satu motor saja, tapi saat Sadewa melihat secara langsung saat mengantar sang kakak untuk pindahan ke kostan tersebut dengan mengendarai sebuah mobil milik teman kuliahnya, menurutnya tidak sesempit itu. Memang bukan jalanan besar, tapi masih cukup dilalui oleh dua mobil, meski yang satunya mungkin harus agak mengalah dengan berhenti sejenak dan mengambil bagian rumah warga agar badan mobil tidak saling bersinggungan dan mobil satunya bisa melaju lebih dulu.
Jidan di bangku penumpang terlihat lebih banyak diam. Dia tak begitu menyukai rencana Sadewa yang mengantarnya sampai ke kostan sampai harus meminjam mobil temannya, walau itu sebenarnya bukan masalah besar. Dan Sadewa sendiri sudah menjelaskan bahwa pemilik mobil ini adalah teman baiknya. Lagi pula, bagaimana Jidan akan membawa tiga koper besar bersama beberapa boks lainnya dengan motor atau naik KRL?
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lumayan lama, selain karena jarak tapi juga karena kemacetan, akhirnya mereka sampai di kostan tersebut, dan mobil masuk ke area carport yang kosong karena tak ada satu pun penghuninya yang bawa kendaraan pribadi, dan Reza menaruh mobilnya di garasi rumah orangtuanya yang berada tepat di depan kostan.
Emak Idah—begitu warga sekitar memanggilnya, orangtua Reza sekaligus pemilik kost, langsung menghampiri begitu melihat Jidan turun dari mobil.
“Bawa barang-barangnya banyak, Pak Guru?” tanya Idah, enggan memanggil Jidan dengan sebutan 'mas' atau sekadar nama setelah tahu bahwa Jidan seorang guru.
“Nggak, Bu. Cuma pakaian sama buku aja, sama paling barang-barang kebutuhan lain.”
“Oh …, iya lah, nggak usah banyak-banyak, kan di sini fasilitasnya udah lengkap. Tinggal bawa diri aja gitu.” Idah terkikik sebelum perhatiannya teralih pada Sadewa yang muncul setelah mengeluarkan barang-barang Jidan dari bagasi.
“Ini adik saya, Bu,” ucap Jidan, memperkenalkan Sadewa tanpa ditanya.
“Dewa, Bu.” Sadewa mengulurkan tangannya dengan sopan.
“Panggil aja 'emak', biar enak.” Idah tersenyum. “Adik-kakak bisa ganteng-ganteng gini, ya. Pasti orangtuanya ganteng dan cantik juga.”
Sadewa tersenyum kecil dan melirik ke arah Jidan yang sedang menatap ke sekeliling halaman kostan tersebut yang ternyata dirawat dengan baik, terlihat dari rumput yang panjangnya teratur dan tanaman hias yang berjejer rapi dan terlihat begitu segar.
“Iya, Mak,” jawab Sadewa pada akhirnya.
“Bilangin kakak kamu juga, buat panggil Emak pakai 'emak' aja, nggak usah 'ibu'. Dari kemarin manggilnya 'ibu' terus,” bisik Idah pada Sadewa.
Lelaki itu terkekeh, melirik lagi sang kakak sebelum mengangguk patuh pada Idah.
“Mak,” tiba-tiba seorang lelaki yang menggunakan celana pendek dan kaus lengan pendek, rambut acak-acakan dengan ponsel di tangannya masuk ke dalam pekarangan kost, memanggil Idah, membuat Jidan dan Sadewa yang masih berada di sana juga ikut menoleh.
“Habis dari mana, sih? Ini bantuin angkat barang ke atas,” pandangan Idah tertuju pada koper dan boks yang seluruhnya sudah diturunkan dari mobil.
“Oh …, penghuni baru?” Lelaki itu mendekat dengan wajah sumringah, memasukkan ponselnya ke saku celananya. “Dewa?” tunjuknya pada Sadewa. “Dan yang ini pasti Jidan, abangnya.” Lalu beralih pada Jidan.
“Yang sopan.” Idah memukul pelan bahu anaknya itu. “Guru ini.”
“Bang Reza, kan?” Sadewa menyambut saat Reza tengah berdecak lidah.
“Panggil aja Eza, kalau susah nyebut pakai Z, Eja aja udah, nggak apa-apa,” Reza mengulurkan tangannya dan Sadewa menyambut dengan ramah.
Sadewa terkekeh. Dia sudah menebak sejak mereka bertukar pesan teks saat menanyakan kost, bahwa Reza adalah orang yang menyenangkan. Sebab bukan hanya lingkungan baik yang Sadewa cari untuk tempat tinggal baru sang kakak, melainkan orang-orang yang juga menyenangkan, makanya dia bersikeras agar Jidan mau mengambil kost ini.
“Yuk, masuk. Gue bantuin angkat barang sekalian.” Reza kemudian menuntun dua lelaki itu untuk masuk ke dalam rumah seraya membawa satu boks dengan dua tangannya, langsung menuju lantai dua ke kamar milik Jidan.
“Kemarin Emak udah ngebersihin kamarnya, udah nyuruh orang buat ngecek aliran listrik, lampu, sama air di kamar mandi. Semuanya beres. Tapi kalau ada apa-apa, boleh langsung kasih tahu gue aja,” Reza berbicara pada Jidan saat Sadewa kembali turun ke bawah untuk membawa barang-barang yang lainnya.
Jidan mencoba menyalakan lampunya, tidak cukup terang, bahkan terkesan redup.
Reza menyadari hal itu. “Eh, ini belum diganti nih sama si Emak. Pas masih kosong emang sengaja dikasih lampu yang watt-nya kecil, terus kemarin kayaknya cuma ngecek si dudukannya aja deh, takutnya bermasalah, tapi lupa sekalian diganti. Gue ngomong sama Emak dulu deh.”
Dia baru akan keluar dari kamar Jidan untuk mencari Idah yang tadi pergi meninggalkan mereka karena ada pembeli di warungnya dan akan kembali membawakan minuman untuk Jidan dan Sadewa, namun sebelum itu Sadewa yang baru saja kembali menahannya sejenak.
“Ini emang pada nggak ada, Bang?” tanya Sadewa, menoleh pada dua kamar lain yang kelihatan sepi.
“Oh …. Yang satu udah pergi dari pagi tadi, yang satu lagi—”
Dan ketika itu pintu kamar yang letaknya berseberangan dengan kamar Jidan terbuka, seorang perempuan dengan celana pendek dan tanktop bergaris keluar dari sana, menguap lebar-lebar tanpa peduli ada dua lelaki yang sedang menatapnya, dan dari wajah serta rambutnya yang sangat berantakan terlihat kalau perempuan itu baru bangun tidur.
“Eh, ada penghuni baru, ya?” ujarnya setelah selesai menguap dan menggaruk-garuk rambutnya.
Jidan yang mendengar suara itu ikut keluar dari kamarnya, selesai memeriksa bagian kamar mandi untuk memastikan bahwa pemilik kost benar-benar sudah menyiapkannya dengan baik seperti yang dikatakan. Dia agak terkejut melihat perempuan itu mendekat.
“Lho, yang mau ngekost dua orang?” tanya perempuan itu lagi, menatap bergantian Jidan dan Sadewa.
“Cuma satu,” jawab Reza. “Yang ini—”
Perempuan itu memotong dengan mengangkat sebelah tangannya. “Biar gue tebak ….” Jari telunjuknya bergerak antara Jidan dan Sadewa untuk beberapa saat sampai berhenti di Jidan. “Pasti ini Pak Guru,” tebaknya. “Dan lo ….” Dia menatap Sadewa, bertanya-tanya.
“Adiknya,” ucap Sadewa, lalu mengulurkan tangan. “Dewa,” katanya.
Perempuan itu tersenyum sangat lebar, mengusap dulu tangannya ke celana dengan gerakan membersihkan sebelum menyambut uluran tangan itu. “Gladys,” katanya dengan nada centil dan nada suara yang lembut. “Pakai L dan pakai Y.”
Sadewa terkekeh. “Oke …. Gladys ….”
“Kuliah?” tanyanya. “Soalnya lo kelihatan masih muda.” Menyindir Jidan.
Reza menahan tawa.
“Iya, kuliah. Kuliah juga?”
“Iya, gue semester enam, lagi magang sekarang, semester depan udah skripsi.”
“Semester depannya lagi belum tentu itu skripsi kelar,” sambung Reza, memancing tatapan tajam dari Gladys.
“Gue semester empat,” Sadewa menyahut.
“Oh …, wow …. Kayaknya kita cocok.”
Reza memutar bola mata. “Cocok dari mana!? Cuma sama-sama lagi kuliah aja lo bilang cocok.”
“Sirik aja lo!”
“Udah lo sana balik ke kamar. Mandi! Perawan-perawan jam segini baru bangun.”
“Idih, sok tahu banget lo kalau gue masih perawan, udah pernah lihat punya gue emangnya?”
“Sinting!”
Sadewa dan Jidan yang mendengar hal itu hanya saling lirik. Sadewa jadi agak khawatir. Reza mungkin orang yang menyenangkan, dan perempuan bernama Gladys ini juga kelihatannya menyenangkan, tapi Sadewa jadi takut yang seperti ini malah membuat Jidan tak nyaman.
“Bentar, ih! Gue belum kenalan sama Pak Guru!” seru Gladys saat Reza mendorong tubuhnya untuk kembali ke kamarnya.
“Hai, Pak Guru …,” sapanya pada Jidan. “Kita udah kenalan sih di group chat, tapi kenalan lagi deh.” Dia tersenyum. “Gladys …. Bukan Gadis, oke?”
Jidan menatap sejenak uluran tangan di hadapannya, lalu menyambut dengan ragu. “Jidan. Panggil aja saya Jidan, nggak usah pakai Pak Guru.”
“Nggak mau, ah,” goda Gladys. “Maunya Pak Guru aja. Pak Guru …. Pak Guru ….”
Sadewa meringis kecil. Semakin khawatir.
“Ngomong-ngomong, guru apa?” tanya perempuan itu.
“Bahasa Indonesia.”
“Oh …, pantes pakainya saya-saya. Ternyata harus sesuai KBBI kalau ngomong.”
“Di KBBI ada kok 'gue-lo'.”
“Oh, ya? Kirain nggak ada. Coba ngomong pakai 'gue-lo' kalau gitu. Gue mau denger,” goda Gladys sekali lagi, kali ini sambil terkekeh-kekeh membuat Reza geram dan Sadewa kembali melirik was-was ke arah Jidan yang wajahnya sudah menunjukkan tabiat tak suka pada perempuan di hadapannya ini.
Reza kemudian benar-benar mendorong pelan tubuh Gladys untuk kembali ke kamarnya, sekalian dia pergi menemui Idah untuk menanyakan perihal lampu. Namun tak lama, saat Sadewa dan Jidan berada di dalam kamar untuk merapikan barang-barang, Gladys kembali menemui keduanya, mengetuk pintu meski terbuka, tersenyum lebar, kali ini rambut panjangnya sudah digulung menggunakan jepitan.
Sadewa melirik ke arah Jidan yang kelihatan tak peduli sebelum menghampiri Gladys sendirian.
Ternyata perempuan itu membawa ponselnya untuk meminta kontak Sadewa, dan Sadewa memberikannya dengan senang hati tanpa pikir panjang.
“Pak Guru,” panggil Gladys, tetap berada di ambang pintu, tak berniat masuk lebih dalam.
Jidan menoleh, menatapnya dari tempatnya.
“Adiknya boleh buat gue aja nggak?” Gladys terkekeh, tersenyum sok manis.
Jidan menatap Sadewa. “Ambil aja kalau dia emang mau.”
“Pasti mau,” balas Gladys dengan percaya diri. “Iya, kan?” Dia beralih pada Sadewa.
Sedangkan Sadewa hanya garuk-garuk kepala, bingung.
“Kalaupun mau, mungkin kamu bakal dijadiin selingkuhannya.”
Gladys menatap kecewa. “Lo udah punya cewek?”
Tak ada jawaban, hanya gumam panjang bernada bingung.
“Yah …, kecewa deh gue.” Galdys cemberut. “Tapi ya …, aneh sih kalau cowok seganteng lo nggak punya pacar. Pasti di kampus, lo jadi rebutan.” Lalu terkikik lagi. “Iya, kan, Pak Guru? Adiknya Pak Guru ini pasti terkenal di kampus.”
“Saya nggak tahu,” balas Jidan. “Nggak pernah dateng ke kampus adik saya.”
“Ah, Pak Guru nggak perhatian sama adik sendiri.”
“Bukan nggak perhatian. Ngapain juga saya dateng ke kampus adik saya cuma buat tahu dia terkenal atau nggak di kampusnya? Dia bukan anak SMP atau SMA yang rapor sekolahnya harus diambilin orangtua.”
Sadewa meringis kecil mendengar Jidan sudah bicara banyak. Dari ekspresi wajahnya, kentara sekali kalau kakaknya ini mulai tak nyaman dan terganggu dengan kehadiran Gladys yang pasti setelah ini Sadewa sendiri akan mendapat banyak protes mengenai sifat Gladys. Sudah terbayang.
Beruntung, di saat Sadewa kebingungan mencari celah untuk mencairkan suasana, Idah dan Reza datang menghampiri mereka. Selain membawa minum dan beberapa kudapan, mereka juga membawa tangga besi untuk mengganti lampu di kamar Jidan.
Setelah itu Gladys pergi, namun dia sempat menggoda Jidan sekali lagi, “Semoga betah ya, Pak Guru. Baik-baik sama penghuni kamar sebelah, anjing galak.”
“Emangnya di sini boleh pelihara anjing?” tanya Sadewa dengan nada polos, mengundang tawa dari Reza.
“Lho, gue nggak bilang pelihara anjing, tapi emang penghuninya yang kayak ….” Gladys memutar bola matanya. “Galak.” Dia cekikikan. “Tapi nggak apa-apa. Kalau ada apa-apa, panggil gue aja, Pak Guru. Nanti kita karaokean bareng-bareng. Oke?”
Jidan tak menjawab sampai Gladys benar-benar pergi dari sana dan dia tak melihatnya lagi sampai esok harinya.