— 35


Di persimpangan jalan menuju gang di mana kostan berada, Gladys sudah berdiri menunggu jemputannya, yaitu Rion. Rion Lantai 7 yang katanya akan datang lebih pagi, tapi terhitung sejak sepuluh menit dia menunggu di sana, Rion tak kunjung datang. Bukan karena lelaki itu sudah pergi meninggalkannya—Gladys percaya, Rion bukan tipe orang yang seperti itu—tapi karena …, ya, memang belum datang saja. Toh, Rion tak membombardirnya dengan pesan teks seperti biasa jika datang lebih dulu san Gladys belum muncul.

Jika biasanya dia sendiri, kali ini ada Reza yang menemani. Tiba-tiba saja lelaki itu saat sedang menyantap nasi goreng buatannya berujar, “Dys, lo berangkat sama Mas Rion, kan?”

Gladys yang sedang memasukkan nasi goreng ke dalam kotak bekal untuk Rion dan Narga menoleh ke arah Reza dengan bingung, kemudian teringat semalam Rion meminta kontak Reza untuk menanyakan sesuatu. Pasti karena itu, pikirnya.

“Gue ikut, ya. Nebeng sekalian.” Reza nyengir. Ya, walaupun gedung kecamatan dan kantor tempat Gladys magang searah, tapi perlu memutar sedikit kalau Rion benar-benar akan mengantar Reza ke gedung kecamatan nantinya.

“Ya …, ngapain ngomong sama gue. Orang gue juga nebeng.”

“Gue ngasih tahu, biar ke depannya bareng.”

“Udah ngomong sama Mas Rion?”

“Belum?”

“Lah!?” Gladys agak melongo. “Kalau Mas Rion nggak mau nganterin ke gedung kecamatan, gimana?”

“Mau lah pasti.”

“Pede banget, dih. Belum tentu juga. Siapa tahu di jalan kita kejebak macet terus nggak punya banyak waktu nganterin lo.”

Reza menggaruk tengkuknya. “Ya udah lah, gampang. Gue bisa sambung naik angkot nanti.”

“Emang mau ngapain, sih? Tumben banget nggak bawa motor sendiri. Mobil lo juga nganggur terus noh.”

“Ada yang mau gue omongin, penting, harus ngomong langsung.”

Gladys mendekat dengan wajah penasaran, meninggalkan sejenak nasi gorengnya. “Ada apa, Bang? Mas Rion beneran minta dicariin istri ke lo?”

Dengan jari telunjuknya, Reza menempelkannya ke kening Gladys sebelum mendorongnya menjauh, karena rasanya terlalu dekat dengan wajahnya. “Kepo ….” Dia menyeringai. “Lagian, emangnya lo doang yang pengin irit ongkos? Gue juga pengin irit bensin kali.”

“Gaji pegawai kecamatan berapa, sih? Sama upah magang gue aja pasti jauh lebih gede lo, belum lagi bonus-bonus dan uang pelicin dari sana-sani.” Gladys membalas dengan seringai yang sama, membuat Reza tak tahan ingin menjitak kepalanya. “AW!” perempuan itu mengaduh seraya memegang keningnya yang rasanya sangat perih.

“Sembarangan lu kalau ngomong. Uang pelicin … uang pelicin …. Lo pikir duitnya disetrika segala pakai pelicin?”

“Ya, terus apa dong penasaran nih? Lo baru juga chatting-an semalem udah langsung minta nebeng aja. Nggak tahu malu!” Gladys kembali berjalan menuju nasi gorengnya. Menutup kotak bekal itu dan memasukkannya masing-masing ke dalam kantong plastik bersama serta sendok dan garpunya.

Ngomong-ngomong, Gladys kelupaan membawakan garpu untuk Jidan. Tapi tak apa, Gladys berpikir penampilan Jidan tak seperti orang kebanyakan yang biasa makan pakai sendok dan garpu, jadi tak masalah.

“Pembicaraan orang dewasa, bocah nggak perlu tahu,” Reza sembari bangkit dari tempat duduknya setelah menghabiskan sepiring nasi goreng yang selalu enak itu meledek Gladys saat berjalan menuju wastafel untuk menaruh piring kotor dan mencucinya—harus segera dicuci kalau tidak ingin notifikasi group chat kostan tiba-tiba muncul karena Kiara memperingatkan soal alat makan bekas pakai harus langsung dicuci.

“Gue bukan bocah!!!”

Ya, meski sudah protes, sampai Rion datang dan memasukkan mereka ke kursi belakang, Reza tak kunjung memberitahu alasan mengapa dia pagi ini ikut nebeng dengan Rion.

Sorry ya, Mas, nggak ngomong dulu.” Reza nyengir. “Kalau nggak mau nganterin sampai kantor, nggak apa-apa kok. Gue bisa nyambung naik angkot bentar.”

“Iya, nggak apa-apa,” jawab Rion seraya melajukan kembali mobilnya. “Rui, ayo disapa dulu Om yang ini. Namanya Om Eza.”

Bocah perempuan yang sedang sibuk memainkan tablet itu menoleh ke belakang, menatap Reza sejenak untuk mendapat lambaian tangan canggung dari lelaki itu. “Halo, Om.”

“Hai ….” Reza meringis kecil, seketika membuat tawa Gladys menyembur dan Rion terkekeh di tempatnya.

“Ini anak kecil, Bang Eza. Lo kayak lihat monster deh,” komentar Gladys. “Rui udah sembuh?” dan dia memutuskan untuk mengambil alih.

“Aku masih pilek sama batuk, tapi Ayah paksa aku sekolah,” bocah itu memalingkan wajahnya dari sang ayah, sepertinya mereka memiliki perdebatan kecil pagi ini.

“Kan udah nggak demam, Rui. Kepalanya udah nggak pusing kayak kemarin, kan?” sang ayah melakukan pembelaan.

“Ya, tetep aja, Ayah. Aku ini masih sakit. Aku maunya tidur sambil nonton kartun, bukan sekolah!”

“Terus Ayah gimana? Masa Ayah nggak berangkat ke kantor lagi hari ini? Nanti kalau Ayah dipecat gara-gara nggak masuk-masuk, Ayah nggak bisa beliin kamu susu dan baju bagus lagi, semalem ngomongnya udah minta mainan baru.”

Perdebatan itu membuat Reza dan Gladys saling pandang dengan situasi canggung. Hingga akhirnya Gladys berusaha mengalihkan situasi dengan nasi goreng yang dibawanya.

“Mas, aku pagi tadi bikin nasi goreng buat lho. Udah sarapan belum?” Gladys menyodorkan kotak bekal terbungkus kantong plastik itu ke kursi depan.

Rion memberi senyuman. “Kebetulan banget, gue emang nggak sempet sarapan. Tadi cuma beli bubur buat sarapannya Rui doang.”

“Kalau gitu, ini dimakan ya, Mas.”

“Gue seneng nih ngasih tebengannya kalau sogokannya makanan enak.”

Gladys tertawa. “Nggak tiap hari, Mas. Boncos aku kalau bikin makanan buat orang tiap hari. Buat sendiri aja masih mendang-mending.”

“Bisa aja lo.”

“Tapi ya …, masih mending sih daripada nggak ada sama sekali.” Gladys melirik ke arah Reza. Dan Reza sadar akan tatapan itu.

“Apa?” tanya lelaki itu sewot. “Gue ikut naik ke sini karena emang ada yang mau diomongin sama Mas Rion, ya.”

“Ngomongin apa, Za?”

“Itu, Mas. Soal yang semalem—”

“Za,” potong Rion seraya memberi lirikan pada Reza dari kaca spion yang mengisyaratkan Rui di sampingnya.

“Oh, oke ….” Reza mengerti, akhirnya dia menunda pembicaraan sampai Rui sampai di daycare-nya dan Rion mengantarnya ke dalam.

Setelah Rion kembali dan mereka melanjutkan perjalanan, barulah pembahasan itu kembali dibuka.

“Kenapa, Za?” tanya Rion.

“Gue semalem langsung nanya sama orangnya, Mas. Langsung gue telepon. Terus gue jelasin lah maksud lo—”

“Mas Rion beneran minta dicariin istri sama Bang Eza!?” potong Gladys dengan suara hebohnya, menatap dua lelaki itu secara bergantian—setelah Rui turun, Gladys secara otomatis pindah ke kursi depan menggantikan Rui seperti biasanya, sebab Rion tidak mau terlihat seperti sopir pribadi yang sedang mengantarkan majikannya karena penumpang mobilnya duduk di belakang.

“Lo bisa diem dulu nggak?” Reza menatap tajam, tapi Gladys cengengesan lalu mendengus.

“Dia pengin banget sih, Mas,” Reza kembali menjelaskan. “Cuma katanya pengin ketemu sama anaknya dulu.”

Mata Gladys kembali melebar mendengar hal itu. “BENERAN, MAS!?” Dia menatap Rion dengan raut tak percaya, lengkap dengan suara hebohnya. “Kenapa Mas nggak minta aku aja buat jadi istri Mas?”

Saat Reza mendesah lelah, Rion terkekeh geli. “Emangnya lo mau sama duda anak satu kayak gue?”

Gladys tiba-tiba bertingkah centil, menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga sembari mengerjap aneh. “Kalau dudanya kayak Mas Rion sih …, aku mau kok. Apalagi duda kan … udah berpengalaman, ya …. Pasti lebih mantep lagi—”

“Apa yang mantep?! Apaan yang mantep?!” Di kursi belakang Reza heboh mengulurkan tangannya untuk membekap mulut Gladys, membungkam perempuan itu agar tak lebih banyak bicara. “Nih, mantep, nih! Mantep!!!” Dia benar-benar membekap mulut Gladys, membuat perempuan itu mengamuk di tempatnya hingga tak punya pilihan lain selain menyemburkan air liurnya.

“GLADYS?!!!!” teriak Reza seraya menjauhkan tangannya dari Gladys, menatap nanar telapak tangannya yang dihiasi air liur Gladys. “Sinting ya lo!”

“Memang,” perempuan itu meledek, menjulurkan lidahnya. “Makanya jangan macem-macem sama gue!” Dia mengabaikan rambutnya, lalu mengeluarkan cermin kecil dari tasnya untuk melihat tataan makeup-nya.

Rion hanya terkekeh. Sembari memberikan beberapa lembar tisu pada Reza, dia hanya geleng-geleng kepala. Meski di rumah sudah pusing dengan kerewelan Rui selama sakit beberapa hari ini, tapi keributan dalam mobil pagi ini justru malah menghiburnya. Selain Rui dan rekan kerjanya di kantor, Rion benar-benar tak punya orang lain untuk diajak bercanda atau sekadar membuat candaan di hadapannya yang membuatnya tertawa.

Jadi, mengenal Gladys yang heboh, berisik, cerewet, tapi suka membawakannya makanan enak buatan sendiri, benar-benar menghibur Rion. Sekarang, ditambah Reza yang sepertinya akan tambah membuat dunia ini tak pernah sepi. Rion mungkin harus bersorak.

“Kalau gue jadi Mas Rion, gue sih beneran ogah punya istri kayak lo. Dih cewek gila,” Reza masih menggerutu.

“Ya udah, maaf …. This is cegil. Cewek Gila.” Gladys terkekeh.

“Jadi, gimana, Mas? Lo mau kontaknya? Nanti biar gue kirimin.” Meski begitu Reza tetap harus melanjutkan pembicaraannya.

“Nggak usah. Lo atur tempat ketemuan aja, nanti biar langsung ketemuan,” balas Rion.

“Aku boleh ikut nggak, Mas? Mau lihat calon istrinya Mas Rion.” Gladys menatap Rion dengan sok sendu.

“Pertemuan ini khusus buat orang waras aja. Cegil dilarang ikut campur.” Reza menyeringai puas.

“Iya deh si paling coting.”

“Apaan coting?” Reza melirik penasaran. “Cowok tinggi?” Dia tersenyum percaya diri. “Ya, emang sih gue tinggi—”

“Cowok sinting,” potong Gladys sebelum menyemburkan tawa dengan sangat puas, dan Rion juga gagal menyembunyikan tawanya, membuat Reza menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan sebal.

***

Rion benar-benar baik mau mengemudi lebih jauh dan agak memutar untuk mengantarkan Reza lebih dulu ke gedung kecamatan. Padahal Gladys sudah berusaha agar Rion mau tega menurunkan Reza di pinggir jalan demi bisa melihat lelaki itu dengan seragam dinas kocekelatannya menyetop angkot jelek untuk menyambung perjalanan sampai kantor.

Dalam perjalanan menuju kantor mereka, Rion akhirnya menjelaskan maksud dari percakapannya dengan Reza, tentang mencari pengasuh untuk Rui dan keluar dari daycare.

“Menurut lo gimana, Dys?” tanya Rion.

“Ya …, eum … eum …. Nggak tahu. Aku belum pernah punya anak dan ngurus anak. Jadi aku nggak tahu mana yang baik.”

Rion terkekeh. “Emang, ya, lo tuh nggak bisa diandelin.”

Gladys meringis. “Tapi, Mas …. Mungkin emang ada baiknya gitu,” dia sedikit memberi tanggapan. “Kalau sama pengasuh kan, Rui bisa diajak jalan-jalan keluar rumah selama Mas kerja. Mungkin ke mal, ke toko buku, jajan es krim, atau malah ke tempat wisata yang tadinya cuma bisa Rui lakuin kalau Mas libur aja. Iya nggak sih, Mas? Cuma ya …, emang agak PR aja buat cari pengasuh yang bener-bener bisa dipercaya.” Dia nyengir.

Rion terdiam, meresapi kalimat itu. Jika mamanya hanya menyenggol sedikit lewat pesan teks, maka ucapan Gladys barusan mampu menyadarkannya bahwa selama empat tahun ini, dia ternyata begitu jahat pada Rui. Tak memberi kebebasan, tak memberi rasa sayang yang cukup meski rasanya dia sudah penuh menyayangi Rui, tak memberi banyak kenangan baik, dan tentunya tak memberi waktu yang banyak. Ketika dia seharusnya bisa memberi kebebasan untuk Rui sebagai penebusan dosa karena terlalu sibuk, dia justru mengurung Rui pada tempat yang mungkin bocah itu merasa bosan karena itu bukan tahun pertamanya, barangkali juga muak.

Daycare bukan tempat yang mengerikan. Rui diajarkan banyak hal, dijaga dengan sepenuh hati, diperhatikan dengan sangat baik. Tapi … mungkin Rui butuh lebih dari itu.

“Kak Princess baik kok, Mas,” Gladys berbicara lagi.

“Kak Princess?” Rion mengerenyit.

“Iya. Diana. Princess, kan?”

Rion tertawa. “Lo tuh ada aja sebutannya, ya.”

“Ya, kan aku cetar!”

“Cetar? Syahrini maksud lo?”

“Cewek Pintar!”

Lalu mereka berdua tertawa.

“Itu nasi goreng buat siapa lagi tuh?” Rion melirik pada goodie bag berisi dua lagi kotak bekal nasi goreng di dalamnya. “Cowok lo yang di coffee shop?”

Gladys menatap tak terima. “Mas, please! Dia bukan cowok aku!”

“Oh, ya? Tapi gosip lo soal anak magang yang pacaran sama barista coffee shop bawah tuh udah sampai ke telinga gue lho.”

“Yeee … bodo amat. Aku nggak peduli,” balas Gladys. “Nih, ya, Mas. Kalau ada gosip tentang kita, entah bilang kalau aku ani-aninya Mas Rion, atau aku ngegodain Mas Rion, aku sih bodo amat, nggak peduli mereka mau ngomong apa. Yang aku pikirin tuh justru Mas Rion. Kalau Mas Rion ngerasa risih soal itu, please …, kasih tahu aku, nanti aku yang ngejauh. Tapi kalau bisa sih, Mas Rion juga bodo amat, biar aku tetep bisa dapet tebengan sampai akhir magang.” Lalu dia nyengir.

“Emang ya …, lo tuh ….” Rion mendesah. “Gue baru aja mau terharu sama kalimat lo lho.”

Gladys membalas dengan cengiran.

Selanjutnya, sisa perjalanan mereka sampai kantor diisi dengan Rion yang bertanya bagaimana keadaan dua kantor selama dua hari dia tak masuk, meski sebenarnya Gladys dan Rion kalau di kantor jarang bertemu karena seperti punya kantor yang berbeda—beda lantai, beda pekerjaan. Cuma …, anak magang kadang bisa ditempatkan di mana saja dan mengerjakan apa saja.

Dan tentu saja Gladys tak ketinggalan menceritakan perihal hari tepatnya yang membuat Rion terpingkal meledek.

Mereka baru benar-benar berpisah saat Rion menurunkan Gladys di depan lobi sementara lelaki itu lanjut ke basement untuk memarkir mobil. Dan sebelum Gladys naik ke atas, dia berbelok sejenak ke arah kedai kopi, bertemu dengan Narga yang sedang berdiri di balik konter pemesanan.

“Selamat pagi, anak setan!” seru Gladys saat mereka berhadapan.

Narga menatap malas, menurunkan topi cokelatnya sampai menutup bagian mata.

“Oh, nggak mau nih?” Gladys menunjukkan goodie bag yang dibawa, menggoyang-goyangkannya di hadapan Narga, membuat lelaki itu akhirnya mengangkat lagi topinya, melirik ke arah goodie bag tersebut. “Nasi goreng,” bisiknya.

Lelaki itu menyecap lidah. Sudah dibilang, kan? Tak ada yang tak suka dengan masakan Gladys.

“Kalau cuma mau pamer, mending nggak usah.”

Gladys mendengus. “Nethink mulu lo.” Dia menyodorkan goodie bag tersebut. “Nih, simpen. Nanti kita makan siang bareng.”

Senyum Narga mengembang. Meski begitu dia ragu-ragu mengambil goodie bag tersebut, melihat isi di dalamnya. Dan senyum itu semakin mengembang sempurna.

“Jangan lupa nanti panasin dulu bentar sebelum dimakan.”

“Iya, iya ….”

“Dah lah, bye!”

“Eh, Dys! Bentar!” seruan Narga membuat Gladys kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke lelaki itu.

“Apaan lagi? Bentar lagi bel bunyi nih, nanti gue telat lagi.”

“Bel apaan, anjir? Lo pikir ini sekolah pakai bel masuk segala.”

Gladys memutar bola matanya.

“Tunggu, bentar.”

Sebentar yang Narga maksud adalah waktu membuatnya satu cup minuman dingin yang kemudian diberikan pada Gladys. Namun saat perempuan itu hendak menyedotnya, Narga mencegahnya, membuat Gladys menatap heran sekaligus bete.

“Kenapa lagi, sih?” tanyanya.

“Itu bukan buat lo.”

Gladys melongo, padahal saat Narga menyodorkan minuman dingin itu senyum Gladys mengembang sama seperti saat dia memberikan nasi goreng pada Narga. Juga terharu. “Apa, sih, bangsat?”

“Itu buat Kakak Cantik.”

Semakin melongo dan tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. “Narganjing, yang barusan ngasih lo nasi goreng buat makan siang itu gue! Bukan Mbak Kiul!”

“Yang bilang nasi gorengnya bukan dari lo siapa, sih? Tanpa lo kasih tahu juga gue percaya kalau itu nasi goreng lo yang bikin.”

“Ya, terus?”

“Tadi gue lihat muka Kakak Cantik kayak lagi sedih gitu. Gue kasihan. Pengin meluk.”

“Tai anjing bener ya lo.”

Narga memberi senyum masam. “Udah, itu lo kasih dulu. Nanti siang baru gue bikinin buat lo.”

“Tapi pagi ini juga gue butuh kopi!”

“Ya, beli lah! Sini, mau pesen yang mana?”

“Sinting!” umpat Gladys.

“Dah, sana! Nanti keburu bel masuknya bunyi.”

“Dasar cogil!”

“Hah?”

“Cowok Gila!”

“Eh, jangan bilang kalau itu dari gue, ya.”

Gladys tak membalas, memilih berlalu meninggalkan Narga begitu saja. Kemarin dia sudah benar-benar melarang Narga untuk naksir Kiara apalagi berniat mendekatinya seperti yang lelaki itu gembor-gemborkan selama ini. Meski tak memberikan alasan, Gladys harap Narga mau menurutinya. Tapi hari ini lelaki itu justru peduli dengan raut sedih Kiara dan memberikannya satu cup es kopi secara cuma-cuma.

Benar-benar cowok gila.

Sebelum menaruh barang-barangnya, dia menatap ke sekeliling ruangan untuk menemukan Kiara yang ternyata sudah duduk manis di kubikelnya, lalu menatap sekitar, dan menemukan Rion Lantai 2 yang ternyata sedang berbicara dengan manager divisi di ruang rapat.

Gladys berjalan menghampiri Kiara dengan perasaan dongkol. Dia memang sebal dengan perempuan itu, tapi setelah tahu punya hubungan dengan lelaki beristri, Gladys semakin sebal. Di antara banyak lelaki di dunia, kenapa harus laki-laki yang sudah punya istri? Gladys tak habis pikir. Meski begitu, dia tak punya kuasa untuk mengatur.

Gladys menaruh cup minuman itu dengan agak kasar, menimbulkan debam kecil karena hantamannya, membuat Kiara sedikit tersentak dan menatap Gladys dengan bingung.

Berbarengan dengan itu, pintu ruang rapat dibuka, dan dua orang yang sedang bicara keluar.

“Dari barista di bawah,” ujar Gladys pada Kiara, sengaja membuat suaranya agak besar. “Naksir lo katanya. Orangnya lumayan ganteng, masih muda, dan yang terpenting belum menikah dan punya anak.”

Kiara mencelus.

Gladys tak peduli. Dia terpaksa memuji Narga demi menyadarkan Kiara, yang entah kenapa dia sendiri berani dan mau untuk melakukan hal itu. Dia berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Kiara yang menatap Rion Lantai 2 dengan perasaan kacau.